Anda di halaman 1dari 9

Pancasila pada Masa Penjajahan

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk membentuk negara sangat erat


kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan serta keadilan. Dalam kenyataannya secara objektif telah
dimiliki bangsa Indonesia sejak dahulu kala.
Kedatangan bangsa Eropa disatu sisi telah mengenalkan bangsa Indonesia
kepada akulturasi budaya dan nilai-nilai yang berkembang pada saat itu.
Kesuburan Indonesia dengan hasil alam yang melimpah sangat dibutuhkan oleh
Bangsa Eropa pada saat itu. Bangsa Eropa berlomba-lomba memperebutkan
kemakmuran bumi Indonesia Apa yang dicita-citakan oleh pemimpin-pemimpin
wilayah nusantara masa itu menjadi hilang pada masa penjajahan. Kedaulatan
negara hilang, persatuan dihancurkan, kemakmuran lenyap, kebodohan dan
kemelaratan.
Adapun beberapa kajian sejarah sebelum dirumuskannya Pancasila pada Masa
Penjajahan:
1. Portugis 1505 – 1595
Bangsa Portugis Menjajah Indonesia Pada tahun 1512, bangsa Portugis yang
dipimpin oleh Fransisco Serrao mulai berlayar menuju Kepulauan Maluku.
Orang-orang Portugis yang semula dianggap sebagai sahabat rakyat ternate
berubah menjadi pemeras dan musuh. Portugis adalah bangsa Eropa pertama
yang datang ke wilayah Asia untuk melakukan perdagangan. Pada tahun 1511,
bangsa Portugis memasuki wilayah perairan Indonesia.
Laut merupakan kekuatan utama bangsa Portugis. Sejak abad ke-15 Portugis
mulai mengembangkan teknologi maritim. Bahkan, para pelaut Portugis sudah
menggunakan kompas dan peta portolan untuk mengarungi lautan. Armada
Portugis datang ke Asia menggunakan kapal dagang besar (Nao). Kapal tersebut
dilengkapi dengan tentara, senjata ringan (senapan), dan senjata berat (meriam).
Portugis mengendalikan perdagangan di Asia Tenggara di bawah pimpinan
Alfonso de Albuquerque.
Portugis bergerak menuju negara yang kaya akan hasil laut dan rempah-rempah.
Pada tahun 1511, bangsa Portugis pertama kali mendarat di Indonesia, tepatnya
di daerah Malaka. Dalam penguasaan Portugis, Malaka menjadi pusat
perdagangan yang paling ramai di Asia.
Disebutkan dalam buku Suma Oriental yang ditulis oleh pegawai Portugis,
Tome Pires, tidak ada pusat perdagangan yang lebih besar dari Malaka. Malaka
juga menjadi tempat komoditas utama dari seluruh dunia timur dan barat. Tome
Pires mengatakan bahwa tidak ada tempat lain yang memperdagangkan
komoditas dengan halus dan mahal.
Pada tahun 1512, Alfonso de Albuquerque mengirimkan armadanya ke Maluku.
Armada tersebut membangun monopoli perdagangan cengkeh. Cengkeh dari
Indonesia Timur merupakan komoditi yang paling berharga. Armada pertama
mendarat di Pulau Banda, Maluku. Pulau tersebut merupakan pusat penghasil
pala dan selaput buah pala atau sering disebut fuli.
Dalam rangka memperbesar usaha dagang, Portugis berupaya memperluas
wilayah kekuasaannya. Mereka kemudian menguasai Selat Sunda. Pada tahun
1522, Portugis dan Raja Sunda, Sang Hyang Prabu Surawisesa, melakukan
kesepakatan perjanjian kerjasama.
Melalui kesepakatan tersebut, bangsa Portugis diizinkan untuk mendirikan
benteng di daerah yang disebut "Kepala" dengan syarat memberikan
perlindungan kepada Kerajaan Sunda dari kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Pada kenyataannya, benteng tersebut tidak pernah dibangun. Pada tahun 1526,
armada Portugis yang saat itu dipimpin oleh Fransisco de Saa dihantam topan.
Beberapa dari mereka yang sempat selamat kemudian mendarat di Sunda
Kepala, namun dibunuh oleh Pasukan Cirebon.

2. Spanyol 1521 – 1602


Menjelang akhir abad ke-15, Spanyol dan Portugis sama-sama berambisi
menguasai wilayah lain di dunia. Untuk menjaga kerukunan di antara keduanya,
maka dibuatlah Perjanjian Tordesillas pada 7 Juni 1494 yang membagi wilayah
di luar Eropa menjadi dua bagian. Belahan sebelah timur dimiliki oleh Portugis,
sementara bagian barat dikuasai Spanyol. Bangsa Spanyol pun memulai
penjelajahan samudra untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah
menuju ke arah barat.
Dalam Ekspedisi pertama yang dipimpin oleh Christopher Columbus berhasil
mencapai Amerika. Setelah itu, Spanyol kembali mengirim ekspedisi di bawah
pimpinan Fernando de Magelhaens atau Ferdinan Magellan, yang akhirnya tiba
di Filipina pada April 1521. Namun, karena Magellan terbunuh di Filipina,
ekspedisi dilanjutkan oleh Kapten Sebastian del Cano, yang mengarahkan
kapalnya ke selatan. Pada 1521 pula, bangsa Spanyol di bawah pimpinan
Sebastian del Cano untuk pertama kalinya datang ke Indonesia, tepatnya di
Kepulauan Maluku.
Bangsa Spanyol Menjelajah Indonesia Pelaut Spanyol berhasil mencapai
Kepulauan Maluku pada tahun 1521 setelah terlebih dahulu singgah di Filipina.
Bangsa Spanyol dimanfaatkan oleh rakyat Tidore untuk bersekutu dalam
melawan rakyat Ternate. Maka pada tahun 1534, diterbitkan perjanjian
Saragosa (tahun 1534) yang isinya antara lain pernyataan bahwa bangsa
Spanyol memperoleh wilayah perdagangan di Filipina sedangkan bangsa
Portugis tetap berada di Kepulauan Maluku.
Kedatangan bangsa Spanyol di Maluku disambut baik oleh Kerajaan Tidore,
yang tengah bermusuhan dengan Portugis yang lebih dulu bersekutu dengan
Ternate. Sebaliknya, Portugis menganggap kehadiran Spanyol sebagai ancaman
bagi monopoli perdagangannya. Selain itu, Portugis menuding Spanyol telah
melanggar Perjanjian Tordesillas, karena Maluku telah menjadi wilayah
kekuasaannya. Namun, Spanyol memutuskan untuk memantapkan klaim dan
bersikeras bahwa wilayah Maluku bagian dari kekuasaannya. Oleh karena itu,
persaingan di antara keduanya pun terjadi dan peperangan tidak dapat
dihindarkan lagi. Pertempuran antara Spanyol dan Portugis berakhir setelah
diadakan perjanjian Saragosa pada 22 April 1529. Lewat perjanjian ini, Portugis
tetap melaksanakan aktivitas perdagangan di Maluku. Sementara Spanyol harus
meninggalkan Maluku dan memusatkan pekuasaannya di Filipina. Dengan
begitu, penjajahan Spanyol di Indonesia telah gagal sebelum dimulai.
3. Belanda 1602 – 1942
Bangsa Belanda Menjajah Indonesia Proses penjajahan bangsa Belanda
terhadap Indonesia memakan waktu yang sangat lama, yaitu mulai dari tahun
1602 sampai tahun 1942. Penjelajahan bangsa Belanda di Indonesia, diawali
oleh berdirinya VOC.Praktek praktek VOC mulai kelihatan dengan paksaan
paksaan , sehingga rakyat melakukan perlawanan.
Pancasila dalam Penjajahan Kontak dengan bangsa Eropa telah membawa
perubahan-perubahan dalam pandangan masyarakat yaitu dengan masuknya
paham-paham baru, seperti liberalisme, demokrasi, nasionalisme. Hingga
sampai akhirnya Indonesia dapat menumbuhkan jiwa Nasionalisme dan bersatu
untuk merdeka.
Dorongan akan cinta tanah air ini yang menimbulkan semangat untuk melawan
penindasan belanda, namun sekali lagi karena tidak adanya kesatuan dan
persatuan di antara mereka dalam melawan penjajah, maka perlawanan terebut
senantiasa kandas dan menimbulkan banyak korban.Penghisapan mulai
memuncak ketika Belanda menerapkan sistem monopoli melalui tanam paksa
(1830-1870) dengan memaksakan beban kewajiban terhadap rakyat.
Masa penjajahan Indonesia tidak langsung dimulai ketika orang-orang Belanda
pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara pada akhir abad ke-16.
Sebaliknya, proses penjajahan oleh bangsa Belanda merupakan proses ekspansi
politik yang lambat, bertahap dan berlangsung selama beberapa abad sebelum
mencapai batas-batas wilayah Indonesia seperti yang ada sekarang. Raffles
melanjutkan reorganisasi pendahulunya (Daendels) dengan mereformasi
pengadilan, polisi dan sistem administrasi di Jawa. Dia memperkenalkan pajak
tanah di Jawa yang berarti bahwa petani Jawa harus membayar pajak, kira-kira
nilai dua-perlima dari panen tahunan mereka, kepada pihak berwenang. Raffles
juga sangat tertarik dengan budaya dan bahasa Jawa. Pada tahun 1817 ia
menerbitkan bukunya The History of Java, salah satu karya akademis pertama
yang topiknya pulau Jawa. Namun, reorganisasi administrasinya yang
diterapkan Raffles juga berarti meningkatnya intervensi pihak asing di
masyarakat dan ekonomi Jawa, yang tercermin dari meningkatnya jumlah
pejabat peringkat menengah Eropa yang bekerja di residensi-residensi di pulau
Jawa. Antara tahun 1825 dan tahun 1890 jumlah ini meningkat dari 73 menjadi
190 pejabat Eropa.
Adapun beberapa bentuk sistem pemerintahan yang dilakukan oleh Belanda
selama menjajah di Indonesia:
- Tanam Paksa atau Sistem Kultivasi di Jawa
Persaingan dengan para pedagang Inggris, Perang Napoleon di Eropa, dan
Perang Jawa mengakibatkan beban keuangan yang berat bagi pemerintah
Belanda. Diputuskan bahwa Jawa harus menjadi sebuah sumber pendapatan
utama untuk Belanda dan karena itu Gubernur Jenderal Van den Bosch
mendorong dimulainya era Tanam Paksa (para sejarawan di Indonesia mencatat
periode ini sebagai era Tanam Paksa namun pemerintah kolonial Belanda
menyebutnya Cultuurstelsel yang artinya Sistem Kultivasi) di tahun 1830.
- Zaman Liberal Hindia Belanda
Semakin banyak suara terdengar di Belanda yang menolak sistem Tanam Paksa
dan mendorong sebuah pendekatan yang lebih liberal bagi perusahaan-
perusahaan asing. Penolakan sistem Tanam Paksa ini terjadi karena alasan
kemanusiaan dan alasan ekonomi. Pada 1870 kelompok liberal di Belanda
memenangkan kekuasaan di parlemen Belanda dan dengan sukses
menghilangkan beberapa ciri khas sistem Tanam Paksa seperti persentase
penanaman beserta keharusan menggunakan lahan dan tenaga kerja untuk hasil
panen dengan tujuan ekspor.
Kelompok liberal ini membuka jalan untuk dimulainya sebuah periode baru
dalam sejarah Indonesia yang dikenal sebagai Zaman Liberal (sekitar 1870-
1900). Periode ini ditandai dengan pengaruh besar dari kapitalisme swasta
dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial pada saat itu
kurang lebih memainkan peran sebagai pengawas dalam hubungan antara
pengusaha-pengusaha Eropa dengan masyarakat pedesaan Jawa. Namun, walau
kaum liberal mengatakan bahwa keuntungan pertumbuhan ekonomi juga akan
mengucur kepada masyarakat lokal, keadaan para petani Jawa yang menderita
karena kelaparan, kurang pangan, dan penyakit tidak lebih baik di Zaman
Liberal dibandingkan dengan masa sistem Tanam Paksa.
- Politik Etis dan Nasionalisme Indonesia
Politik Etis ini (yang merupakan pengakuan bahwa Belanda memiliki hutang
budi kepada orang pribumi Nusantara) bertujuan untuk meningkatkan standar
kehidupan penduduk asli. Cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui
intervensi negara secara langsung dalam kehidupan (ekonomi), dipromosikan
dengan slogan 'irigasi, pendidikan, dan emigrasi'. Namun, pendekatan baru ini
tidak membuktikan kesuksesan yang signifikan dalam hal meningkatkan standar
kehidupan penduduk asli.
Namun, Politik Etis itu ada efek samping yang sangat penting. Komponen
pendidikan dalam politik ini berkontribusi signifikan pada kebangkitan
nasionalisme Indonesia dengan menyediakan alat-alat intelektual bagi para elite
masyarakat Indonesia untuk mengorganisir dan menyampaikan keberatan-
keberatan mereka terhadap pemerintah kolonial. Politik Etis ini memberikan
kesempatan lewat sistem edukasi, untuk sebagian kecil kaum elit Indonesia,
untuk memahami ide-ide politik Barat mengenai kemerdekaan dan demokrasi.
Maka, untuk pertama kalinya orang-orang pribumi mulai mengembangkan
kesadaran nasional sebagai 'orang Indonesia'.
4. Prancis 1806 – 1811
Kekuasaan Prancis dan Britania di Hindia Belanda yang berlangsung dari 1806
hingga 1811. Prancis memerintah antara tahun 1806 dan 1811. Britania
mengambil alih kekuasaan dari tahun 1811 sampai 1815, dan mengembalikan
kekuasaan kepada Belanda pada tahun 1815.
Jatuhnya Belanda ke tangan Imperium Prancis dan pembubaran Perusahaan
Hindia Timur Belanda menyebabkan beberapa perubahan besar dalam
pemerintahan kolonial Eropa di Hindia Belanda, ketika salah satu Peperangan
era Napoleon terjadi di Jawa.  Periode ini, yang berlangsung selama hampir satu
dekade, menyaksikan perubahan yang luar biasa di Jawa, karena proyek
infrastruktur dan pertahanan yang agresif terjadi, diikuti oleh pertempuran,
reformasi, dan perubahan besar pemerintahan di koloni tersebut.
Pada 1806, Raja Lodewijk Napoleon dari Belanda mengirim salah satu
jenderalnya, Herman Willem Daendels, menjabat sebagai gubernur jenderal
Hindia Timur di Jawa. Daendels dikirim untuk memperkuat pertahanan Jawa
terhadap kemungkinan invasi Inggris yang masuk. Dia tiba di kota Batavia (kini
Jakarta) pada 5 Januari 1808 dan menggantikan mantan Gubernur Jenderal
Albertus Wiese. Dia membangun pasukan baru, membangun jalan-jalan baru di
Jawa, dan memperbaiki administrasi pemerintahan internal pulau ini.
Pemerintahan Daendels adalah keras dan darurat militer, karena koloni tersebut
dipersiapkan menghadapi ancaman Britania. Dia mendirikan rumah sakit baru
dan barak militer, pabrik senjata baru di Surabaya dan Semarang, dan sebuah
kolese militer baru di Batavia. Dia menghancurkan Kastel di Batavia dan
menggantikannya dengan benteng baru di Meester Cornelis (Jatinegara), dan
membangun Fort Lodewijk di Surabaya. Namun, prestasinya yang paling
terkenal adalah pembangunan Jalan Raya Pos (bahasa Belanda: Grote Postweg)
sepanjang utara Java dari Anjer hingga Panaroecan. Jalan ini kini berfungsi
sebagai jalan utama di Jawa, dinamakan Jalur Pantura. Jalan sepanjang ribuan
kilometer itu selesai hanya dalam waktu satu tahun, di mana ribuan tenaga kerja
wajib menyebabkan orang Jawa tewas akibat korupsi dana upah kerja wajib
yang diserahkan dari Herman William Daendels ke bupati, kepala residen,
pejabat-penjabat pribumi, para bangsawan dan feodalis dengan bukti nota
penyerahan upeti kerja wajib dari Daendels kepada para bupati, sedangkan bukti
nota penyerahan upeti dari bupati kepada para pekerja, tidak pernah sampai
bukti pembayaran upeti ke para pekerja jalan pos Anyer-Penarukan.
5. Inggris 1811 – 1816
Inggris pertama kali tiba di Batavia pada 4 Agustus 1811. Di bawah pimpinan
Thomas Stamford Raffles, Inggris merebut seluruh kekuasaan Belanda di
Indonesia. Berdasarkan situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, perebutan kekuasaan Belanda di Indonesia ditandai dengan
Perjanjian Tuntang pada 18 September 1811. Meski pusat kekuasaan Inggris
ada di Calcuta, India, dalam pelaksanaannya Raflles berkuasa penuh di
Indonesia. Pemerintah Raffles di Indonesia cenderung mendapat tanggapan
positif dari para raja dan rakyat Indonesia, karena:
1) Kerajaan dan rakyat Indonesia tidak menyukai pemerintahan Daendels
yang seenaknya dan sangat kejam.
2) Ketika masih berada di Malaysia, Raffles beberapa kali melakukan misi
rahasia ke ekrajaan-kerajaan anti Belanda di Indonesia, seperti
Palembang, Banten, dan Yogyakarta. Raffles berjanji akan memberikan
hak-hak lebih besar kepada kerajaan-kerajaan tersebut.
3) Sebagai seorang liberalis, Raffles memiliki kepribadian yang simpatik. Ia
menjalankan politik murah hati dan sabar meski dalam praktiknya
berlainan.
Dalam buku Sejarah Indonesia Modern (2016) oleh MC Ricklefs, dalam
menjalankan pemerintahannya, Raffles didampingi oleh Badan Penasihat
yang terdiri dari Gillespie, Cranssen, dan Muntinghe. Meski kebijakan
pemerintahan yang diambil Raffles dinilai lebih longgar dan memajukan
perekonomian di Hindia, tetap saja memberikan dampak buruk pada kondiri
rakyar Indoensia masa pemerintaahan Inggris. Beberapa dampak buruk
kebijakan pemerintahan Inggris bagi rakyat Indonesia di antaranya:
1) Sistem sewa tanah atau pajak tanah
Raffles menganggap satu-satunya pemilik tanah yang sah adalah
pemerintah. Sehingga rakyat menjadi penyewa dan diwajibkan
membayar pajak sewa dari tanah yang diolahnya. Mesipun sebenarnya
tanah tersebut milik mereka. Bagi petani yang tidak bisa membayar
uang, bisa membayar dengan beras.
Persaingan tidak sehat Pengusaha pribumi dengan modal kecil akan
kalah bersaing dengan pedagang besar atau yang memiliki modal
besar. Karena mereka yang memiliki modal besar akan mendapatkan
pintu politik terbuka.
Pengekangan kekuasaan kerajaan Meskipun ada beberapa kerajaan
yang sudah dijanjikan untuk mendapatkan porsi yang lebih besar,
tetap saja dilakukan pengekangan kekuasaan. Upacara dan tatacara
yang berlaku di kerajaan-kerajaan disederhanakan. Bahkan orang-
orang besar pribumi juga dibatasi pergerakannya. Inggris menganggap
bahwa kemandirian atau kekuasaan kerajaan-kerajaan dan
kedaultannya akan membahayakan posisi Inggris di Nusantara.
Penulis : Serafica Gischa
6. Jepang 1942 – 1945
Jepang Masuk Indonesia tanggal 08 Maret 1942 dan mempropagandakan
kehadirannya di Indonesia untuk membebaskan Indonesia dari Belanda
Penjajahan Jepang semakin menyengsarakan bangsa Indonesia. Terdesaknya
Jepang pada Perang Pasifik, Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia di
kemudian hari dan kemerdekaan yang tanpa syarat. Bangsa Indonesia
diperkenankan memperjuangkan kemerdekaannnya
Masa pendudukan Jepang di Nusantara yang saat itu masih bernama Hindia
Belanda dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945
seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M.
Hatta.
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Jerman Nazi.
Hindia Belanda mengumumkan keadaan siaga dan mengalihkan ekspor untuk
Kekaisaran Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris. Negosiasi dengan Jepang
yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal
pada Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan hampir seluruh wilayah Asia
Tenggara pada bulan Desember di tahun yang sama.[1] Pada bulan yang sama,
faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi
terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan
Jepang pada Maret 1942. Pengalaman dari penguasaan Jepang di Nusantara
sangat bervariasi, tergantung tempat seseorang tinggal dan status sosial orang
tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan,
mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan tanpa alasan
dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran
Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.
Selama masa pendudukan, Jepang juga membentuk badan persiapan
kemerdekaan yaitu BPUPKI , Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritsu junbi chōsa-kai dalam bahasa Jepang.
Badan ini bertugas membentuk persiapan-persiapan pra-kemerdekaan dan
membuat dasar negara dan digantikan oleh PPKI atau Dokuritsu Junbi Iinkai
yang bertugas menyiapkan kemerdekaan.

Penerapan Pancasila pada Masa Orde Baru


Masa Orde Baru adalah masa kepemimpinan Soeharto sebagai Presiden
Republik Indonesia dengan konsep Demokrasi Pancasila. Visi utama
pemerintahan Orde Baru ini adalah penerapan Pancasila dan UUD NRI Tahun
1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat
Indonesia. Tetapi, ada penyimpangan penerapan dan Pancasila selama Orde
Baru.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan nasional dapat dilaksanakan


secara bertahap dan berkesinambungan melalui Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) dan Program Pembangunan yang tertuang di dalam Garis-
garis Besar Haluan Negara (GBHN). Hal tersebut menjadikan pembangunan
nasional tumbuh.

Sementara itu, Lembaga Kepresidenan menjadi pengontrol utama lembaga


negara lainnya, baik yang bersifat suprastruktur (DPR, MPR, DPA, BPK, dan
MA) maupun yang bersifat infrastruktur (LSM, Partai Politik, dan sebagainya).

Pada masa Orde Baru, kebebasan berpolitik juga dibatasi dengan jumlah partai
politik yang terbatas pada tiga partai saja, yaitu Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Masa Orde Baru juga membatasi kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.
Sejumlah surat kabar dan majalah dibredel dan dicabut surat izin penerbitannya
dengan alasan telah memberitakan peristiwa yang bertentangan dengan
kebijakan pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai