Anda di halaman 1dari 12

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

KONSELING TRAUMA MUHAMMAD HAFIZH, M.Pd

“PENGARUH TRAUMA TERHADAP PRESTASI AKADEMIK”

KELOMPOK 10:
NOVIYANTI RAHMADHANI (11940221824)
RIA ELIZA (11940221410)

MAHASISWA SEMESTER 5 KELAS 5B


JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM (BKI)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI (FDK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat, ridha dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“PENGARUH TRAUMA TERHADAP PRESTASI AKADEMIK“. Shalawat dan salam
tidak lupa penulis hadiahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang telah berjuang untuk
menyampaikan ajaran Islam sehingga umat Islam mendapatkan petunjuk kejalan yang lurus
di dunia maupun di akhirat.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari bantuan
rekan kerja yang sudah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Meskipun demikian,
penulis masih merasa banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Oleh sebab itu,
penulis sangat terbuka menerima kritik dan saran yang membangun untuk dijadikan sebagai
bahan evaluasi.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya
Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamin

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
 Latar Belakang......................................................................................................... 1
 Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
 Trauma Anak........................................................................................................... 2
 Efek Trauma Pada Masa Kanak.............................................................................. 2
 Merespon Trauma.................................................................................................... 3
 Strategi Mendamping Anak Dengan Trauma.......................................................... 4
 Pemulihan Trauma................................................................................................... 6
BAB II PENUTUP............................................................................................................. 8
 Kesimpulan.............................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak yang mengalami krisis atau tekanan besar dalam hidupnya dapat mengalami
trauma. Anak dengan trauma dapat mengalami problem, seperti: sulit tidur, mimpi buruk,
menjadi sangat bergantung pada orang lain, atau menjadi menjauh/menarik diri dari
orang lain, sulit makan, berperilaku agresif, dan frustasi. Di sekolah, juga bisa muncul
masalah perilaku seperti: sulit konsentrasi, dan kesulitan mengikuti instruksi di kelas dan
bekerja/belajar dalam kelompok. Sayangnya, problem perilaku ini dapat membuat orang
dewasa di sekitar anak salah paham bahwa anak mengalami kesulitan belajar, kesulitan
konsentrasi atau gangguan kecemasan biasa. Akibatnya, Guru tidak bisa memahami
masalah anak dan kurang dapat memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan
anak.
Trauma dapat mempengaruhi proses belajar, perilaku anak dan juga interaksi
anak dengan orang-orang di sekelilingnya. Oleh karena itu, Guru perlu memahami apa
trauma dan bagaimana mendampingi anak dengan trauma di sekolah. Guru juga perlu
membekali diri untuk mampu membantu anak didiknya yang mengalami trauma agar
bisa belajar walaupun sedang berada dalam situasi krisis. Tulisan ini menguraikan
mengenai apa trauma pada anak usia sekolah dan strategi yang dapat dilakukan Guru di
sekolah untuk mendampingi anak dengan trauma.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud trauma anak?
2. Apa efek trauma pada masa kanak?
3. Bagaimana merespon trauma?
4. Seperti apa strategi mendamping anak dengan trauma?
5. Bagaimana proses pemulihan trauma?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Trauma Anak
Trauma adalah pengalaman krisis yang tiba-tiba/tidak diantisipasi yang
menyebabkan munculnya perasaan takut luar biasa dan dapat berkaitan dengan ancaman
hidup dan bahaya fisik pada seseorang (NCTSN, 2016). Secara umum, respon anak
terhadap trauma adalah munculnya perasaan cemas akan keselamatan diri dan orang di
sekitarnya. Anak dengan trauma melaporkan bahwa mereka sering mengingat peristiwa
krisis secara berulang-ulang, muncul perasaan bersalah atau malu tentang apa yang
mereka lakukan atau tidak lakukan pada saat krisis tersebut, mereka juga biasanya tidak
mampu mengelola perasaan cemasnya, bahkan kewalahan dengan emosi sedih dan
kecemasannya.
Trauma bukan hanya sekedar persoalan kekerasan, seperti: pemerkosaan,
kekerasan fisik, psikis dan seksual, atau mengalami bullying. Trauma bisa juga terjadi
karena pengalaman meninggalnya orang yang dikasihi, pergantian pengasuh, perceraian
orang tua, pindah rumah/sekolah, atau terlalu banyak les/tugas sekolah. Berbagai bentuk
stress/tekanan yang membuat sistem stress tubuh manusia terus bekerja selama minimal
4-6 minggu bisa disebut sebagai stress pasca trauma (National Institute for Trauma and
Loss in Children; TLC, 2016). Pada masa kini, terdapat peningkatan jumlah anak yang
mengalami trauma (TLC, 2016).
B. Efek Trauma Pada Masa Kanak
NCTSN menguraikan bahwa pengaruh trauma dapat terjadi secara khas pada tiap
tahap perkembangan masa usia sekolah:
1. Usia Pra-sekolah. Trauma dapat menyebabkan kemunduran perkembangan
psikologis anak, misalkan: setelah trauma anak menjadi suka ngompol, menghisap
jempol, dan berbicara dengan kata-kata yang lebih sederhana dari yang telah mampu
dicapainya sebelumnya. Mereka juga bisa tampak lebih tergantung/tidak mau lepas
dari orang tuanya, dan cemas sekali jika berpisah dari orang tuanya. Anak juga bisa
mudah mengalami ledakan emosi (temper tantrum) dan mudah menangis serta sulit
ditenangkan. Beberapa anak dapat menunjukkan gejala regresi, seperti: pasif,
menarik diri, bahkan mutis (sama sekali tidak mau bicara). Biasanya anak juga
mengalami kesulitan tidur dan mimpi buruk. Cara yang dapat dilakukan untuk
membantu anak memproses kejadian traumatiknya adalah permainan pasca trauma
(post-traumatic play).

2
2. Usia Sekolah dasar. Anak usia sekolah dasar dapat mengungkapkan beberapa gejala
fisik, seperti: sakit kepala, sakit perut, dan nyeri. Anak juga dapat menampilkan
perubahan perilaku seperti: mudah tersinggung, agresif, dan meledak marah. Secara
koginitif, anak bisa tampak kurang konsentrasi, sering absen dan turunnya prestasi
akademis. Beberapa anak juga bisa menunjukkan obsesi pada peristiwa
traumatisnya, dengan terus-menerus membicarakan traumanya dan bertanya terus-
menerus tentang kejadian traumanya. Beberapa anak juga bisa menampilkan gejala
perubahan yang tidak konsisten, hal inilah yang menyulitkan untuk memahami
gejala trauma anak.
3. Usia Sekolah menengah-akhir. Pada usia ini, anak telah memiliki kesadaran diri
yang lebih berkembang. Anak juga lebih mampu memahami perasaan yang
dialaminya. Mereka cenderung mengembangkan perasaan bersalah dan malu atas
kejadian trauma yang dialaminya. Pada beberapa anak dapat terjadi perubahan
drastis pada cara pandang mereka terhadap dunia, misalkan: “dunia bukan lagi
tempat yang aman.”, bahkan karena hal ini, beberapa anak bisa melakukan perilaku
yang membahayakan dirinya sendiri. Anak juga bisa memunculkan perubahan dalam
hal prestasi akademis, relasi dengan orang-orang di sekitarnya, persoalan absensi,
dan perilaku bermasalah di sekolah.
Secara umum, trauma menghambat rutinitas belajar bagi anak. Anak dengan
trauma bisa menampilkan emosi yang meledak-ledak di kelas, turunnya nilai/prestasi
akademik, sulit konsentrasi, perilaku maladaptif dan merusak di sekolah, sering tidak
hadir di sekolah. Dan hal-hal tersebut dapat dihindari atau diturunkan jika Guru dan
pihak terkait memberikan bantuan dan layanan penanganan trauma bagi anak di skeolah.
C. Merespon Trauma
Dalam kelas, Guru perlu melakukan identifikasi siapa anak yang beresiko
mengalami trauma atau sedang mengalami trauma. Guru mengamati perubahan perilaku
dan gejala emosional anak yang menjadi indikator terjadinya reaksi stress traumatik.
Selanjutnya, Guru yang terlatih dapat memberikan Bantuan Psikologis Pertama
(Psychological First Aid) bagi anak dengan trauma. Psychological First Aid bertujuan
untuk membangun resiliensi anak menghadapi traumanya, dengan juga mengakui
pengalaman traumatik yang dialaminya. Hal yang penting dilakukan Guru dalam
Psychological First Aid adalah membangun persepsi anak bahwa ia berada dalam
lingkungan yang sungguh aman. Selanjutnya, anak akan diajak untuk memahami apa
saja reaksi alamiah manusia menghadapi stress/trauma, lalu anak dibantu untuk

3
mengekspresikan perasaannya dan membantu anak untuk bisa mengidentifikasi pemicu
traumanya serta cara-cara untuk mengelola kecemasannya tersebut.
Proses ini sering berlanjut dengan konseling. Guru dapat merujuk anak yang
membutuhkan bantuan konseling lanjutan pada professional, seperti: konselor sekolah,
psikolog klinis, atau terapis trauma anak dan remaja. Jika anak mendapatkan bantuan
yang sesuai dengan kebutuhannya, maka dapat menurunkan munculnya perilaku
bermasalah pada anak dengan trauma.
D. Strategi Guru Mendamping Anak Trauma
Jika Guru tidak memahami berbagai bentuk trauma, Guru bisa menjadi kurang
peka pada anak, dan menganggap apa yang dialami anak bukanlah trauma. Perlu
dipahami, persepsi trauma dialami oleh anak, dan sering anak mengalami kecemasan
besar atas suatu situasi yang mereka persepsikan sebagai besar dan mereka merasa tidak
berdaya menghadapinya. Maka Guru perlu memahami trauma dari perspektif si anak.
Guru sebaiknya tidak menilai trauma anak, misalkan bekata: “ah jangan khawatir, itu kan
hal kecil. Begitu saja kok kamu takut. Ga usah takut.” Kata-kata seperti ini bisa membuat
anak tidak mempercayai Guru, karena merasa tidak dipahami.
National Institute for Trauma and Loss in Children (TLC, 2016) menguraikan
beberapa hal penting yang perlu dipahami Guru ketika berhadapan dengan anak yang
mengalami trauma di sekolah. Beberapa di antaranya adalah:
1. Anak dengan trauma berperilaku sulit bukan untuk mengetes kesabaran Guru atau
orang di sekitarnya. Pikiran anak dengan trauma sering diisi dengan kecemasan atau
masalah yang terjadi di rumahnya, maka ia akan memunculkan problem perilaku
karena kecemasannya tersebut. Guru perlu memahami hal ini. Maka, ketika anak
dengan trauma dating terlambat atau tidak mengerjakan pekerjaan rumah, alih-alih
memarahi anak, Guru perlu mengingatkan tegas dan membantu anak untuk
menyelesaikan tugasnya. Untuk dapat membantu anak dengan trauma yang
mengalami problem perilaku, maka Guru perlu menyadari bahwa anak berperilaku
sulit bukan untuk mengetes kesabaran Guru. Namun, melihat anak dengan trauma
sebagai anak yang membutuhkan bantuan.
2. Guru/orang lain tidak perlu tahu apa akar/penyebab trauma secara detail untuk
dapat menolong anak. Kecenderungan budaya kelompok yang sering terjadi adalah
banyak orang di sekeliling anak akan bertanya apa yang telah terjadi, apa akar
masalahnya. Pertanyaan detail tentang trauma yang dilakukan terus-menerus malah
bisa menjadi tekanan baru bagi anak, seperti proses trauma ulang (retraumatization).

4
Alih-alih berperan sebagai penyelidik trauma secara mendetail, maka Guru perlu
fokus menghadapi apa yang terjadi pada saat ini saja. Perlengkapan utama Guru
untuk berhadapan dengan anak dengan trauma adalah empati dan fleksibilitas.
Sekolah juga perlu mengembangkan kode etik kerahasiaan untuk bekerja dengan
anak dengan persoalan trauma. Hal ini untuk menghindari bocornya rahasia anak
dan mengurangi kemungkinan pergunjingan yang tidak perlu.
3. Anak dengan trauma sering cemas memikirkan masa depan atau apa yang akan
terjadi kemudian. Cara menghadapi kecemasan masa depan adalah dengan
melakukan antisipasi. Pengelolaan jadwal kegiatan dapat memberikan perasaan
antisipasi, karena anak tahu apa yang akan dilakukannya dalam beberapa waktu ke
depan. Oleh karena itu, Guru perlu membuat jadwal yang jelas dan mudah dipahami
oleh anak dengan trauma. Kadang, jadwal abstrak secara verbal saja tidaklah mudah
dipahami anak. Maka, Guru bisa membuat jadwal secara visual yang lebih mudah
dipahami anak, misalkan: membuat papan jadwal dengan alat bantu visual pelajaran
dan aktivitas yang akan dilakukan secara berturut-turut dalam 1 hari. Dengan hal ini,
anak dengan trauma bisa mengantisipasi apa yang akan dilakukannya di kelas.
Selain itu, ajari anak juga teknik relaksasi, seperti: latihan pernapasan sederhana dan
melemaskan otot seperti stretching.
4. Trauma berpengaruh negatif pada belajar. Dalam kondisi stress anak akan kesulitan
belajar. Anak dengan trauma biasanya akan kesulitan belajar kecuali mereka
mendapatkan situasi belajar yang penuh penerimaan dan mendukung mereka. Guru
bisa melakukan hal-hal di kelas yang menurunkan kecemasan anak, dan hal inilah
yang akan membantu anak dengan trauma untuk lebih bisa belajar.
5. Anak dengan trauma dapat mengalami kesulitan pengelolaan diri. Kebanyakan
kasus trauma anak yang bekepanjangan dialami anak dari keluarga yang kurang
memahami atau kurang memperhatikan anak (unavailable). Anak dengan trauma
berkepanjangan juga biasanya kurang mampu mengendalikan perasaan mereka
(unable to self soothe), akibatnya mereka dapat melakukan perilaku yang
maladaptive atau bermasalah ketika mengalami trauma/stress. Oleh karena itu, bantu
anak untuk mampu mengelola stressnya. Semakin banyak tugas akan meningkatkan
stress anak di sekolah. Berikan waktu bagi anak untuk istirahat atau mengisi ulang
energinya di antara aktivitas di kelas, misalkan: minum atau merebahkan kepala di
kelas ketika butuh rehat. Guru dapat membuat break/istirahat di antara tugas yang

5
harus dilakukan anak di kelas. Hal ini dapat membantu anak untuk bisa mengatur
responnya terhadap stress.
6. Kadang Guru perlu terbuka menanyakan apa yang bisa ia bantu pada anak. Untuk
dapat tepat membantu anak, Guru dapat menanyakan langsung pada anak tentang
apa yang bisa dibantu agar mereka bisa menyelesaikan tugas sekolahnya, misalkan:
“Apa yang bisa Ibu Guru bantu?” Hal ini membangun perasaan positif bagi anak
karena ia merasa didukung dan dipahami. Jika anak tidak menjawab, mungkin ia
juga membutuhkan waktu untuk menjawab pertanyaan terbuka seperti ini. Berikan
anak waktu, namun penting agar anak merasa bahwa ia dapat meminta bantuan dan
percaya pada Gurunya.
7. Dukungan pada anak dengan trauma bisa meluas hingga lingkungan di luar
sekolah. Guru dapat bekerjasama dengan orang-orang di sekitar anak, terutama cara-
cara dan strategi penanganan trauma pada anak. Misalkan, memberitahu pada
penjemput anak/supir antar-jemput agar lebih peka terhadap perilaku anak. Hal ini
dapat membantu anak di lingkungan yang lebih luas lagi. Semakin banyak orang
yang berempati dan mendukung anak dengan trauma akan membuatnya menjadi
lebih aman dan nyaman untuk melanjutkan hidupnya pasca trauma.
8. Anak dengan trauma perlu mengalami perasaan berdaya dan mampu. Guru perlu
membantu anak untuk keluar dari perasaan tidak berdaya yang khas dalam proses
trauma. Maka anak perlu diberikan kesempatan untuk berproses untuk membuat
tujuan, berusaha mencapai tujuan dan sukses mencapai tujuannya. Berikan aktivitas
yang mampu dilakukan anak dengan berhasil, agar anak dapat mengalami
keberhasilan yang akan menghasilkan perasaan berdaya dan mampu. Biarkan anak
mengalami keberhasilan karena usahanya. Penting dipahami bahwa yang dibutuhkan
anak bukan hanya sekedar pujian semata, namun pengalaman berhasil atas usahanya
sendiri.
E. Pemulihan Trauma
Sebagian besar anak akan pulih dari trauma secara alamiah, dengan proses dan
kecepatan pemulihan yang berbeda-beda satu dengan yang lain (dipengaruhi oleh bentuk
trauma, kemampuan coping/pengelolaan masalah, usia, pengalaman trauma sebelumnya,
temperamen anak, dll.).
Namun Guru dapat membantu proses alamiah ini agar dapat berlangsung secara
lebih optimal. Berikut adalah beberapa hal yang perlu dilakukan untuk pemulihan anak
dengan trauma:

6
1. Menjaga rutinitas: pada usia sekolah, rutinitas sekolah memberikan rasa aman yang
besar bagi anak yang mengalami trauma. Karena dengan rutinitas aktivitas sekolah
anak mendapatkan perasaan “normal”. Aktivitas sekolah juga dapat menjadi wadah
berbagi pengalaman bagi anak dan saling memberikan dukungan antara satu dengan
yang lain. Hal-hal ini dapat mendukung terjadinya pemulihan bagi anak.
2. Menggunakan dukungan komunitas: sekolah dapat bekerjasama dengan komunitas
untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak. Contohnya: pembangunan
kembali lingkungan dapat memberikan perasaan aman bagi anak yang trauma pasca
bencana; atau berkembangnya sistem buddy dan pengawasan Guru selama jam
bermain yang mencegah terjadinya bullying di sekolah dapat menumbuhkan
perasaan aman bagi anak yang mengalami trauma bullying.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendampingan anak dengan
trauma di sekolah adalah hal yang penting. Guru perlu menguasai strategi pendampingan
anak dengan trauma di sekolah, terutama agar anak merasa aman dan nyaman belajar dan
beraktivitas di sekolah. Oleh karena itu, sudah selayaknya layanan pendampingan dan
pemulihan trauma dikembangkan dan disiapkan di setiap sekolah. Layanan
pendampingan dan pemulihan trauma bisa diperuntukkan bagi anggota sekolah yang
membutuhkan (misal: murid, Guru, keluarga dan staf di sekolah).
Lebih lanjut, perlu dipahami walau Guru adalah orang diandalkan untuk
berhadapan secara langsung dengan anak, namun Guru tidak harus memberikan treatmen
psikis pada anak. Treatment psikis khusus harus diberikan oleh tenaga kesehatan mental
profesional (konselor sekolah, psikolog, terapis trauma anak dan remaja). Guru bisa
melakukan perujukan pada kasus-kasus yang membutuhkan penanganan intensif.
Terakhir, sekolah juga perlu membangun kerjasama internal (dengan sesama staf
sekolah) dan eksternal (keluarga, komunitas) untuk mempersiapkan dan melakukan
pendampingan pemulihan trauma. Hanya dengan kerjasama demikian, maka anak akan
mendapatkan bantuan yang komprehensif untuk melanjutkan hidup dan belajar pasca
trauma.

8
DAFTAR PUSTAKA
http://www.weareteachers.com/blogs/post/2016/02/24/10-things-about-childhood-trauma-
every-teacher-needs-to-know
https://traumasensitiveschools.org
http://www.nctsn.org/resources/audiences/school-personnel/effects-of-trauma

Anda mungkin juga menyukai