Anda di halaman 1dari 68

1

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN KEBUTUHAN DASAR: AKTIFITAS FISIK

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Stase


Keperawatan Dasar Profesional Holistik Islami
Dosen Pengampu : Anggriana, S.Kep.,Ners.,M.Kep

Oleh:
YANI YANUAR

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
2021/2022
2

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN KEBUTUHAN DASAR: MOBILISASI FISIK

A. Konsep Sistem Muskuloskeletal

1. Pengertian Muskuloskeletal

Muskuloskeletal terdiri dari kata Muskulo yang berarti otot dan kata skeletal

yang berarti tulang. Muskulo atau muscular adalah jaringan otot-otot tubuh. Ilmu yang

mempelajari tentang muskulo atau jaringan otot-otot tubuh dan myologi. Skeletal atau

osteo adalah tulang tubuh (Syaifuddin,2012)

2. Otot (Muskulus / Muscle)

Otot merupakan organ tubuh yang mempunyai kemampuan mengubah energi kimia

menjadi energi mekanik/gerak sehingga dapat berkontraksi untuk menggerakkan rangka,

sebagai respons tubuh terhadap perubahan lingkungan. Otot disebut alat gerak aktif

karena mampu berkontraksi, sehingga mampu menggerakan tulang (Syaifuddin, 2012)

Gabungan otot berbentuk kumparan dan terdiri dari:

a. Fascia, adalah jaringan yang membungkus dan mengikat jaringan lunak.

Fungsi fascia yaitu mengelilingi otot, menyediakan tempat tambahan otot,

memungkinkan struktur bergerak satu sama lain dan menyediakan tempat

peredaran darah dan saraf.

b. Ventrikel (empal), merupakan bagian tengah yang mengembung.

c. Tendon (urat otot), yaitu kedua ujung yang mengecil, tersusun dari jaringan

ikat dan besrifat liat. Berdasarkan cara melekatnya pada tulang, dibedakan

sebagai berikut:

1) Origo, merupakan tendon yang melekat pada tulang yang tidak berubah

kedudukannya ketika otot berkontraksi.

2) Inersio, merupakan tendon yang melekat pada tulang yang bergerak ketika
3

otot berkontraksi (Syaifuddin, 2012)

3. Jenis- jenis Otot

Berdasarkan letak dan struktur selnya, dibedakan menjadi:

a. Otot Rangka (Otot Lurik)

Otot rangka merupakan otot lurik, volunter (secara sadar atas perintah dari

otak), dan melekat pada rangka, misalnya yang terdapat pada otot paha, otot betis,

otot dada. Kontraksinya sangat cepat dan kuat. Struktur mikroskopis otot

skelet/rangka yaitu Memiliki bentuksel yang panjang seperti benang/filament.

Setiap serabut memiliki banyak inti yang terletak di tepi dan tersusun di bagian

perifer. Serabut otot sangat panjang, sampai 30 cm, berbentuk silindris dengan lebar

berkisar antara 10 mikron sampai 100 mikron.

b. Otot Polos

Otot polos merupakan otot tidak berlurik dan involunter (bekerja secara tak

sadar). Jenis otot ini dapat ditemukan pada dinding berongga seperti kandung kemih

dan uterus, serta pada dinding tuba, seperti pada sistem respiratorik, pencernaan,

reproduksi, urinarius, dan sistem sirkulasi darah. Kontraksinya kuat dan lamban.

Struktur mikroskopis otot polos yaitu memiliki bentuk sel otot seperti

silindris/gelendong dengan kedua ujung meruncing. Serabut selini berukuran kecil,

berkisar antara 20 mikron (melapisi pembuluh darah). Memiliki satu buah inti sel

yang terletak di tengah sel otot dan mempunyai permukaan sel otot yang polos dan

halus/licin (Syaifuddin,2012)

c. Otot Jantung

Otot Jantung juga otot serat lintang involunter, mempunyai struktur yang sama

dengan otot lurik. Otot ini hanya terdapat pada jantung. Bekerja terus-menerus

setiap saat tanpa henti, tapi otot jantung juga mempunyai masa istirahat, yaitu

setiap kali berdenyut Memilki banyak inti sel yang terletak di tepi agak ke tengah.
4

Panjang sel berkisarantara 85-100 mikron dan diameternya sekitar 15 mikron.

Berdasarkan gerakannya dibedakan menjadi:

d. Otot Antagonis

Yaitu hubungan antar otot yang cara kerjanya bertolak belakang/tidak searah,

menimbulkan gerak berlawanan. Contohnya: Ekstensor (meluruskan) dengan

fleksor (membengkokkan), misalnya otot bisep dan otot trisep. Depressor (gerakan

ke bawah) dengan elevator (gerakan ke atas), misalnya gerak kepala menunduk dan

menengadah.

e. Otot Sinergis

Yaitu hubungan antar otot yang cara kerjanya saling

mendukung/bekerjasama, menimbulkan gerakan searah. Contohnya pronator

teresdanpronator kuadrus (Syaifuddin, 2012)

B. Konsep Gangguan Aktivitas

1. Pengertian Gangguan Aktivitas

Menurut (Heriana,2014) Aktivitas adalah suatu energi atau keadaan yang bergerak

dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu tanda

kesehatan adalah adanya kemampuan aktivitas seseorang melakukan aktivitas seperti

berdiri, berjalan dan bekerja. Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari

keadekuatan sistem persyarafan dan muskuloskeletal. Jadi dapat diartikan bahwa

gangguan aktivitas merupakan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan kegiatan

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Etiologi

Menurut (Hidayat,2014) penyebab gangguan aktivitas adalah sebagai berikut:

a. Kelainan Postur

b. Gangguan perkembangan otot

c. Kerusakan sistem syaraf

d. Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal dan neuromuskuler


5

e. Kekakuan otot

3. Manifestasi Klinis

Menurut (Potter & Perry, 2009) Manifestasi klinis pada gangguan aktivitas adalah

ketidak mampuan pasien untuk bergerak secara mandiri atau perlu bantuan alat ataupun

dengan bantuan orang lain, dan memiliki hambatan dalam berdiri juga memiliki

hambatan dalam berjalan.

4. Patofisiologi

Menurut (Hidayat, 2014) proses terjadinya gangguan aktivitas tergantung dari

penyebab dari gangguan yang terjadi. Ada 3 hal yang dapat menyebabkan gangguan

aktivitas diantaranya adalah:

a. Kerusakan Otot

Kerusakan otot ini meliputi kerusakan anatomis maupun fisiologis otot. Otot

berperan sebagai sumber daya dan tenaga dalam proses pergerakan jika terjadi

kerusakan pada otot, maka tidak akan terjadi pergerakan jika otot terganggu. Otot

dapat rusak oleh beberapa hal seperti trauma langsung oleh benda tajam yang

merusak kontinuitas otot. Kerusakan tendonatau ligament, radang dan lainnya.

b. Gangguan pada skelet

Rangka yang menjadi penompang sekaligus proses pergerakan dapat terganggu

pada kondisi tertentu hingga menggangu pergerakan atau mobilisasi. Beberapa

penyakit dapat menggangu bentuk, ukuran maupun fungsi dari sistem rangka

diantaranya adalah fraktur, radang sendi, kekakuan sendi dan lain sebagainya.

c. Gangguan pada sistem persyarafan

Syaraf berperan penting dalam menyampaikan implus dari dank ke otak.

Implus tersebut merupakan perintah dan koordinasi antara otak dan anggota gerak.

Jadi, jika syaraf terganggu maka akan terjadi gangguan penyampaian implus dari

dank e organ target. Dengan tidak sampainya implus maka akan mengakibatkan

gangguan mobilisasi.
6

C. Konsep Hambatan Mobilitas Fisik

1. Pengertian Hambatan Mobilitas Fisik

Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pergerakan fisik tubuh atau salah

satu, atau semua ekstermitas yang mandiri dan terarah (NANDA, 1999 dalam Renata

Komalasari, 2011) atau penurunan kemampuan untuk berpindah ke satu tempat ke

tempat yang lain atau ke satu posisi ke posisi yang lain. Hambatan mobilitas fisik juga di

definisakan sebagai keterbatasan pergerakan fisik secara mandiri baik secara aktual

ataupun potensial dalam lingkungan.

2. Faktor yang mempengaruhi mobilisasi

Menurut Enawati (2012) faktor yang mempengaruhi mobilisasi adalah:

a. Gaya hidup

Mobilisasi seseorang di pengaruhi oleh latar belakang budaya, nilai-nilai yang

di anut dan lingkungan tempat tinggal (masyarakat).

b. Ketidakmampuan

Kelemahan fisik atau mental sesorang akan menghalangi seseorang untuk

melakukan aktifitas sehari-hari. Secara umum ketidak mampuan dibagi menjadi

dua, yaitu: ketidak mampuan primer disebabkan oleh trauma atau sakit, (misalnya

paralisis akibat cidera atau gangguan pada medulla spinalis). Sedangkan

ketidakmampuan sekunder terjadi akibat dampak dari ketidak mampuan primer,

(misalnya tirah baring atau kelemahan otot).

c. Tingkat energi

Energi sangat di butuhan oleh banyak hal, salah satunya adalah untuk

mobilisasi, dalam hal ini cadangan dari energi yang di miliki masing- masing

individu sangat bervariasi. Di samping itu, ada kecenderungan seseorang untuk

menghindari stressor guna untuk mempertahankan kesehatan psikologis dan fisik.

d. Usia
Usia dapat berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan mobilisasi, pada individu lansia,

kemampuan untuk melakukan aktivitas menurun sejalan dengan penuaan.


7

3. Etiologi

Menurut Buckwalter (2011: 457-459) Beberapa faktor yang menyebabkan atau ikut

berperan terhadap hambatan mobilitas fisik:

a. Intoleransi aktifitas

Intoleransi aktifitas merupakan penurunan energi akibat kehilangan masa otot

dan tonus otot atau karena gangguan aktifitas sel. Lansia mengalami kehilangan

tonus otot atau masa otot akibat penuaan normal, tetapi juga dapat beresiko

terhadap kelemahan lebih lanjut akibat sindrom disuse, yang berhubungan dengan

penyakit kronis, penurunan pada aktivitas dan pergerakan. Otot pernafasan juga

melemah, dan paru cenderung menjadi elastis. Oleh karena itu lansia memiliki

volume tidal yang lebih sedikit dan mengalami penurunan vital. (Buckwalter (2011:

457-459)

b. Nyeri

Nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan berat umum atau setempat. Lansia

rentang terhadap nyeri kronis ataupun akut, baik somatopatik maupun psikogenik,

karena memiliki insiden penyakit kronis dan terapi yang lebih tinggi mengalami

peningkatan trauma yang diakibatkan jatuh dan fraktur, dan rentang terhadap

infeksi. (Buckwalter (2011: 457-459)

c. Gangguan Neuromuskular

Merupakan penurunan gerakan otot karena penurunan system gangguan

intervasi parifer atau saraf pusat. Sistem saraf mengendalikan inervasi dan fungsi

seluruh dari bagian tubuh, dengan demikian, kontraksi dan reflek otot sangat

bergantung pada sistem neurologik. (Buckwalter (2011: 457- 459)

d. Gangguan Muskuloskeletal

Merupakan penurunan atau kehilangan fungsi otot sistem penyongkong skeletal

yang di sebabkan oleh faktor struktural atau mekanis. Sumber struktural adalah
8

hambatan pada fisiologik pergerakan. Sedangkan penyebab mekanis adalah

peralatan eksternal seperti restrain atau gips yang bias menghambat pergerakan.

Kondisi kronis, seperti osteoporosis, fraktur, arthritis, tumor, dan edema.

Mengganggu stabilitas atau fleksibilitas struktural. (Buckwalter (2011: 457-459)

e. Gangguan Psikologis

Merupakan respon yang terjadi saat emosi yang terjadi saat stres melebihi

kemampuan individu untuk dapat berbicara secara efektif. Rasa takut atau duka cita

yang berlarut-larut akibat kehilangan yang menyertai penuaan dapat membuat

lansia yang sering kali harus menyesuaikan diri dengan perubahan gaya hidup dan

lingkungan. Tanpa di dukung oleh kondisi kesehatan yang baik dan sistem

dukungan keluarga yang memadahi. (Buckwalter (2011: 457-459)

f. Hambatan sosiokultural atau lingkungan fisik.

Hambatan sosiokultural merupakan ketidak sesuaian peran dan konflik peran,

ketidak seimbangan hubungan kekuasaan, hubungan sosial kurang baik, hubungan

yang tidak cocok, dan nilai budaya yang tidak cocok. Lansia sangat beresiko

terhadap hambatan hubungan sosial dan perubahan serta transisi peran, seperti

ketergantungan pada orang lain. Hambatan pada tipe ini biasanya muncul saat

lansia dirawat dipanti. (Buckwalter (2011: 457-459)

g. Kurang pengetahuan

Induvidu sering kali tidak mampu mengelola penyakit atau cidera secara efektif

karena kurang pengetahuan tentang tindakan yang harus di lakukan. Selain itu

lansia lebih mudah mengalami defisit kognitif akibat penyakit stroke dan dimensia.

Dengan demikian lansia dapat membatasi mobilitas mereka karena tidak

mengetahui pentingnya mempertahankan pergerakan, cara memulihkan mobilitas,

dan sumber yang tersedia untuk membantu mereka untuk mencegah gangguan lebih

lanjut dan dampaknya dapat menggangu fungsi kesehatan.

h. Defisit kognitif dan perseptual


9

Merupakan penurunan kemampuan untuk memproses input sensori secara

mental dan atau kehilangan sensasi. Defisit ini cenderung menyertai penuaan

normal dan juga dapat terjadi sekunder akibat penyakit yang sering di alami oleh

lansia. Lansia juga sering mengalami keterbatasan lingkungan fisik dan sosial,

terutama karena hambatan mobilitas fisik. Lingkungan ini mengurangi input sensori

penting mobilitas yang optimum (misalnya untuk orientasi ruangan dan waktu,

alasan bergerak dan beraktivitas), sehingga keterbatasan lingkungan dapat

mengakibatkan hambatan mobilitas.

i. Faktor latrogenik

Faktor iatrogenik yang berkaitan dengan hambatan mobilitas adalah regimen

terapi yang mempengaruhi pergerakan lansi, termasuk tirah baring, agens

farmaseutika (sedatif, obat penenang, analgesik, anestetik) lingungan layanan

kesehatan yang restritif dan asing serta pembedahan dan terapi lain yang membatasi

aktivitas, seperti pemberian cairan iv, pengisapan dan pemasangan kateter. Kondisi

ini penting untuk mengatasi cidera atau penyakit, tetapi juga bias menyebabkan

masalah yang serius, terutama pada lansia yang memiliki banyak faktor predisposisi

terhadap imobilisasi dan dampaknya.

4. Jenis Mobilitas.

Jenis mobilisasi menurut Ernawati (2012) Di bagi menjadi dua:

a. Mobilisasi penuh.

Mobilisasi penuh adalah kemampuan seseorang untuk melakukan gerak secara

penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran

dalam sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunteer

dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh tubuh seseorang.

b. Mobilitas sebagian

Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara terbatas, Batasan

jelas, dan tidak mampu secara bebas, karena di pengaruhi oleh gangguan saraf
10

motorik dan sensorik. Hal ini dapat di jumpai pada kasus dengan cidera patah

tulang dengan pemasangan traksi. Mobilitas sebagian ini di bagi menjadi 2 tipe,

yaitu:
1) Mobilitas sebagian temporer

Merupakan kemampuan induvidu untuk bergerak dengan Batasan yang

sementara. Hal tersebut dapat di sebabkan oleh trauma reversibel pada sistem

musculoskeletal. Contohnya adalah dislokasi tulang atau sendi.

2) Mobilitas sebagian permanen

Merupakan kemampuan induvidu untuk bergerak dengan Batasan yang

sifatnya menetap. Hal ini di sebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang

reversibel. Contoh terjadinya stroke, cidera tulang, dan terganggunya sistem

saraf motorik dan sensorik.

5. Manfaat Mobilisasi

Menurut Mubarak, Indrawati, & Susanto (2015)

a. Mencegah kemunduran dan mempertahankan fungsi tubuh serta

mengembalikan rentang gerak aktif, sehingga penderita dapat kembali bias

gerak dengan normal serta setidaknya penderita dapat memenuhi kebutuhan

sehari-hari.

b. Membantu pernafasan lebih menjadi kuat

c. Memperlancar eliminasi alvi dan urine

d. Memperlancar peredaran darah

e. Mempertahankan tonus otot, memelihara dan peningkatan pergerakan dari

persendian

f. Memperlambat proses penyakit, khususnya penyakit degeneratif

g. Dan untuk aktualisasi diri (harga diri dan cita tubuh)

6. Dampak Hambatan Mobilitas Fisik

a. Dampak Fisiologik

Menurut mass (2011: 449) pada situasi tertentu, penurunan mobilitas fisik

menguntungkan. Dalam keadaan istirahat, konsumsi oksigen dan metabolisme

menjadi lebih lambat dan beban jantung menurun. Nyeri, ketengangan, dan
pengisian vena berkurang saat sistem muskuloskeletal rileks ketika posisi tubuh

supinasi. Banyak penyakit misalnya CHF dan fraktur. Memerlukan beberapa tingkat

penghambatan aktivitas guna mencapai penanganan yang efektif. Kemampuan

fungsi tubuh berkurang jika bagian tubuh tersebut mengalami cidera atau terserang

penyakit. Kebutuhan fisiologia bagian tubuh tersebut mungkin lebih bersar di

bandingkan dengan kemampuan responnya. Dengan demikian, istirahat sangat

penting untuk mempertahankan homeostasis dan mencegah cidera yang lebih lanjut.

Semakin besar hambatan mobilitas fisik, semakin besar pula kemungkinan timbul

masalah fisiologis. Jenis penurunan kondisi fisiologik yang muncul akibat

hambatan mobilitas fisik antara lain:

1) Penurunan rentang pergerakan sendi (RPS)

Penurunan RPS terjadi akibat hambatan mobilitas fisik karena jaringan ikat

di sekitar kapsula sendi dan di dalam otot menjadi padat. serat otot yang

terkena mendadak dan atrofi karena tidak secara teratur tidak memendek dan

memanjang dalam rentang pergerakan penuh otot tersebut. Radang, trauma dan

sirkulasi yang buruk di tambaha hambatan mobilitas dan mempercepat

pembentukan jaringan ikat padat.

2) Penurunan kekuatan dan ketahanan otot.

Penurunan kekuatan otot dan ketahanan otot terjadi jika kontraksi otot kurang

dari 20% tengangan maksimum setiap hari. Pemeliharaan kekuatan dan ketahanan

otot bergantung pada frekuensi kontraksi tegangan maksimum. Beberapa kontraksi

kuat setiap hari cukup untuk mempertahankan massa dan kekuatan otot jika asupan

protein adekuat. Namun, otot yang istirahat sempurna akan kehilangan 10- 15%

kekuatan setiap minggu dan dapat kehilangan sebesar 5,5% kekuatan setiap harinya,

dengan kegilangan yang cepat terjadi adalah pada fase awal imobilitas. Penurunan

kekuatan terjadi akibat peningkatan reabsorbsi tulang yang menyertai hambatan

mobilitas. Struktur skeletal biasanya selalu di perbarui melalui absorbs dan pergantian
tulang. Proses ini bergantung pada kontraksi Penurunan kekuatan skeletal otot dan

tegangan otot untuk meningkatkan deposisi tulang osteoporosis terjadi saat destruksi

tulang dan reabsorbsi melampau produksi tulang.

3) Gangguan Kardiovaskuler

Gangguan fungsi kardioveskuler terutama dramatis jika hambatan

mobilitas menyebabkan lansia harus tirah baring lama hanya atau dapat duduk

di kursi. Efek kemunduran akan lebih berat jika saat yang sama terjadi demam,

penyakit atau cidera. Kemampuan adaptasi sirkulasi terhadap posisi tegak

menurun secara cepat jika induvidu terlalu lama berbaring. Vasokonstriksi,

sebagai respon simpatis normal untuk mengompensasi penurunan tekanan arteri

dan peningkatan frekuensi jantung saat posisi berubah dari supinasi ke posisi

tegak, tidak lagi efektif. Sebaliknya terjadi vasodilatasi dan pengisian vena, dan

menyebabkan penurunan volume sirkulasi, penurunan aliran balik vena,

penurunan curah jantung, peningkatan frekuensi nadi, dan penurunan tekanan

darah.

4) Ketidakseimbangan metabolik

Penurunan mobilitas menyebabkan pemecahan protein dan ekskresi

nitrogen dan dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolik lain. Terjadi

penurunan laju metabolik, peningkatan cadangan lemak atau karbohidrat,

keseimbangan nitrogen dan kalsium metabolik negatif, penurunan toleransi

glukosa, dan alkoholis metabolik. Elektrolit lain juga di laporkan mengalami

keseimbangan negatif akibat imobilitas.

5) Gangguan fungsi perkemihan

Penurunan fungsi perkemihan yang paling parah jika hambatan mobilitas

mengakibatkan posisi induvidu harus terus rekumben, aliran urine dari ginjal ke

ureter melawan gaya gravitasi. Karena peristalsis tidak memadahi untuk

melawan gravitasi, pelvis ginjal terisi penuh sebelum urine mengalir ke ureter.
Oleh karena itu, terjadi statis urine. Akibatnya, terjadi statise urine yang

merupakan predisposisi terhadap batu ginjal atau infeksi ginjal.

6) Penurunan fungsi pencernaan

Masalah pencernaan yang berhubungan dengan hambatan mobilitas meliputi

ingesti, digesti, dan eliminasi. Imobilisasi lama mengakibatkan keseimbangan

nitrogen negatif. Induvidu dengan keseimbangan nitrogen negatif seringkali

anoreksia, yang menyebabkan kurang gizi dan mempersulit masalah kesehatan

lain.

7) Gangguan pernapasan

Gangguan pernafasan akibat hambatan mobilitas disebabkan oleh tauma

penurunan ventilasi dan ketidakmampuan mengeluarkan sekresi. Ekspansi

sempurna aveoli, yang biasanya dicapai saat melakukan aktivitas fisik pada

posisi tegak, terganggu saat mobilitas terhambat. Pertukaran gas optimum

hanya terdapat terjadi apabila alveoli terisi penuh oleh udara dan dekat dengan

sirkulasi darah dan saat udara di alveoli bertukar secara kontinu.

b. Dampak Psikologis

Mobilitas fisik mempengaruhi konsep diri, harga diri, dan kemampuan manusia

dalam menghadapi masalah. Kemampuan berinteraksi secara fisik dengan

komponen dalam lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia berkaitan erat

dengan konsep diri dan peran diri. Hambatan mobilitas mengganggu aspek konsep

diri dan harga diri. Akibatnya imobilitas menyebabkan kurang minat dan kurang

motivasi untuk belajar dan menyelesaikan masalah. Dorongan dan harapan

menurun, dan emosi dapat di ekspresikan secara berlebihan atau tidak tepat,

termasuk marah, apati, agresi, atau regresi. Isolasi dan ketergantunagn paksa dapat

menunjukan stimulus intelektual dan sensori, yang di butuhkan oleh perilaku

perseptual yang optimal.

c. Dampak Sosioekonomik
Bagi lansia, dampak sosioekonomik hambatan mobilitas sering kali berat.

Hambatan mobilitas dapat mengubah aktivitas peran induvidu sebagai pasangan,

orang tua, teman, karyawan, dan anggota kelompok sosial dan komunitas.

Tanggung jawab sosial biasanya membutuhkan aktivitas fisik dan stabilitas

psikologik. Akibat hambatan mobilitas, jaringan dukungan sosial teganggu,

menyebabkan lansia memiliki kesempatan terbatas untuk dapat mempertahankan

fungsi interaksi dan hubungan sosial yang optimal.

7. Pemeriksaan diagnostik atau penunjang

1) Sinar-X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan

hubungan tulang.

2) CT Scan (Computed Tomography) menunjukan rincian bidang tertentu tulang

yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cidera

ligament atau tendon. Di gunakan untuk mengidentifikasi dlokasi dan

panjangnya patah tulang di daerah yang sulit di evaluasi.

3) MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah Teknik pencitraan khusus,

noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan


computer untuk memperlihatkan abnormalitas. (mis: tumor atau penyempitan

jalur jaringan lunak, melalui tulang Dll).

4) Pemeriksaan Laboratorium

HB menurun pada trauma, Ca menurun pada imobilisasi lama, Alkali Fosfat

meningkat, Kreatinin dan SGOT meningkat pada kersakan otot

8. Terapi atau tindakan penanganan

Terapi yang dapat di lakukan antara lain (Potter and Perry (2012)

a. Kesejajaran Tubuh

Dalam mempertahankan kesejajaran tubuh yang tepat, perawat mengangangkat

klien dengan benar, menggunakan teknik posisi yang tepat, dan memindahkan klien

dengan posisi yang aman dari tempat tidur ke kursi atau brankar. Pengaturan posisi
dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas, digunakan untuk meningkatkan

kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibilitas sendi. Posisi-posisi tersebut, yaitu: posisi

fowler (setengah duduk), posisi litotomi, posisi dorsal recumbent, posisi supinasi

(terlentang), posisi pronasi (tengkurap), posisi lateral (miring), posisi sim, posisi

trendelenbeg (kepala lebih rendah dari kaki).

b. Mobilisasi Sendi

Untuk menjamin keadekuatan mobilisasi sendi maka perawat dapat

mengajarkan klien latihan ROM (Range of Motion). Apabila klien tidak mempunyai

control motorik volunteer maka perawat melakukan latihan rentang gerak pasif.

Mobilisasi sendi juga ditingkatkan dengan berjalan. Latihan ini baik ROM aktif

maupun pasif merupakan tindakan pelatihan untuk mengurangi kekakuan pada

sendi dan kelemahan otot. Latihan-latihan itu, yaitu: Fleksi dan ekstensi

pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku, pronasi dan supinasi lengan bawah,

pronasi fleksi bahu, abduksi dan adduksi, rotasi bahu, fleksi dan ekstensi jari-jari,

infersi dan efersi kaki fleksi dan ekstensi pergelangan kaki, fleksi dan ekstensi lutut,

rotasi pangkal paha.

c. Mengurangi Bahaya Mobilisasi

Intervensi keperawatan klien imobilisasi harus berfokus mencegah dan

meminimalkan bahaya imobilisasi. Intervensi harus diarahkan untuk

mempertahankan fungsi optimal pada seluruh sistem tubuh.

D. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Sebelum melakukan anamnesis, pastikan bahwa identitas sesuai dengan catatan

medis. Perawat hendaknya memperkenalkan diri, sehingga terbentuk hubungan yang

baik dan saling percaya yang akan mendasari hubungan terapeutik selanjutnya antara

perawat dan klien dalam asuhan keperawatan. Untuk itu, format pengkajian pada lansia

yang di kembangkan minimial terdiri atas: data dasar yaitu identitas, alamat, Pendidikan,
pekerjaan, agama, dan suku bangsa (Sunaryo, dkk, 2016)

a. Identitas

Beberapa penyakit muskuloskeletal banyak terjadi pada klien di atas usia 60 tahun.

Lansia yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak yang mengalami gangguan sistem

muskuloskeletal dari pada perempuan, pekerjaan yang berat juga akan dapat

mempengaruhi sistem muskuloskeletal.

b. Keluhan utama

Pada umumnya pasien mengalami kesulitan untuk melakukan beraktivitas,

dipnea setelah aktivitas, gangguan sikap berjalan, Gerakan lambat, kesulitan

membolak-balikan posisi, keterbatasan pada rentang gerak, dan ketidaknyamanan

pada pasien (NANDA Internasional, 2015)

c. Riwayat penyakit sekarang

Riwayat penyakit mulai dari timbulnya keluhan yang dirasakan sampai saat

dibawa ke layanan kesehatan, biasanya pasien mengalami intoleransi aktivitas,

nyeri yang di akibatkan jatauh dan fraktur, gangguan musculoskeletal penyebabnya

peralatan eksternal seperti restrain atau gips. atau kondisi kronis seperti

osteoporosis, fraktur, artritis, tumor, edema (Buckwalter, 2011)

d. Riwayat penyakit dahulu

Perlu di kaji riwayat penyakit yang lalu seperti riwayat penyakit

muskulokeletal, riwayat pekerjaan yang dapat berhubungan dengan penyakit

muskulokeletal. Apakah klien mengalami penyakit serupa sebelumnya, apakah

klien mengalami menopouse dini, serta penggunaan obat-obatan tertentu seperti

lortikosteroid, glukokortikosteroid, serta deuretik (Mutaqqin, 2008 dalam Afni,

2019)

e. Riwayat penyakit keluarga

Perlu di kaji ada tidaknya anggota keluarga yang memiliki Riwayat penyakit

keturunan keluarga atau apakah keluarga pernah menderita penyakit yang sama
karena faktor genetik. Misalnya tentang ada tidaknya riwayat alergi, stroke,

penyakit jantung, dan DM (Mutaqqin, 2008 dalam Afni, 2019)

f. Pengkajian psikososial dan spiritual

1) Psikologi : biasanya mengalami peningkatan stress

2) Sosial : cenderung menarik diri dari lingkungan

3) Spiritual : kaji agama terlebih dahulu, bagaimana cara pasien menjalankan

ibadah menurut agamanya, adakah risiko/ hambatan pasien dalam

menjalankan ibadahnya.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum

Pasien lansia (≥60 tahun) yang mengalami gangguan muskuloskeletal keadaan

umumnya lemah. Timbang berat badan klien, apakah ada gangguan penyakit karena

obesitas atau malnutrisi.

b. Kesadaran

Kesadaran klien biasanya composmentis dan apatis.

c. Tanda-tanda vital

1) Suhu meningkat (>37ᶿC) atau dalam batas normal

2) Nadi meningkat atau dalam batas normal

3) Tekanan darah meningkat atau dalam batas normal

4) Pernafasan biasanya normal atau terjadi peningkat

d. Pemeriksaan head to toe

1) Pemeriksaan muka dan kepala

Pemeriksaan ini meliputi bentuk wajah, benjolan pada kepala maupun

muka, ada tidaknya lesi, penyebaran rambut, dan kerontokan rambut.

2) Mata

Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan konjungtiva, sklera,

strabismus, penglihatan, peradangan, katarak, dan penggunaan kacamata.


3) Hidung

Pemeriksaan yang dilakukan meliputi bentuk hidung, peradangan dan

penciuman.

4) Mulut tenggorakan, telinga

Terdapat kebersihan mukosa bibir, peradangan/stomatitis, gigi, radang

gusi, kesulitan mengunyah, pendengaran. Pada lansia biasanya terdapat

penurunan pendengaran.

5) Dada

Pemeriksaan yang dilakukan pemeriksaan bentuk dada normal, retraksi,

suara nafas vesikuler, ada tidaknya suara tambahan, ada tidaknya suara jantung

tambahan, pemeriksaan ictus cordis, dan ada tidaknya keluhan yang dirasakan.

6) Abdomen

Pemeriksaan bentuk perut, nyeri tekan, kembung, bising usus, dan massa

keluhan yang diraskan.

7) Ekstermitas

Pemeriksaan kekuatan otot (skala 1-5)

1) : Lumpuh

2) : Ada kontraksi

3) : Melawan gravitasi dengan sokongan

4) : Melawan gravitasi tetapi tidak ada tahanan

5) : Melawan gravitasi dengan tahanan sedikit

6) : Melawan gravitasi dengan kekuatan penuh

Biasanya pasien yang mengalami hambatan mobilitas fisik akan

mengalami kelemahan pada otot karena biasa terjadi akibat nyeri pada

ekstermitas atau penyakit lain seperti stroke, osteoporosis, gout arthritis, dll

(Buckwalter, 2011)

3. Pengkajian Status Kesehatan Kronis, Kongnitif, Fungsional, satus Psikologis


dan Dukungan Keluarga.

a. Pengkajian Kesehatan Kronis

Pengkajian ini di lakukan untuk mengetahui seberapa kronis masalah kesehatan

pada lansia pengkajian ini di lakukan dengan menggunakan pengkajian masalah

keperawatan (Nugroho, 2010)

b. Pengkajian status kognitif

Menggunakan Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ) untuk

mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan intelektual, yang terdiri dari 10 hal yang

mengetes orientasi, memori dalam hubungannya dengan kemampuan perawatan

diri, memori jauh, serta kemampuan matematis (Nugroho, 2010)

c. Pengkajian status fungsional

Pengkajian status fungsional didasarkan pada kemandirian klien dalam

menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemandirian berarti tanpa

pengawasan, pengarahan dan bantuan dari orang lain. Instrument yang biasa

digunakan dalam pengkajian status fungsional yaitu Indeks Katz, Bartel Indeks, dan

Sullivan Indeks Kats. Lingkup pengkajian meliputi keadekuatan enam fungsi yaitu:

mandi, berpakaian, toileting, berpindah, kontinen dan makan, yang hasilnya untuk

mendeteksi tingkat fungsional klien (mandiri/ dilakukan sendiri atau tergantung)

(Sunaryo, dkk, 2015)

d. Pengkajian status dukungan keluarga

Status dukungan dapat diukur dengan menggunakan APGAR keluarga.

Penilaian: jika pertanyaan-pertanyaan yang dijawab selalu (poin 2), kadang- kadang

(poin 1), hampir tidak pernah (poin 0) (Nugroho, 2010)

e. Tingkat Depresi

Mengkaji seberapa tingkat depresi pada lansia mengetahui nilai normal dalam

tingkat depresi (Nugroho, 2010). Penilaian tingkat depresi dengan cara menilai

seberapa besar depresi yang terjadi pada lansia.


f. Indeks Barthell

Pengkajian ini untuk mengetahui kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas sehari-

harinya. Dan untuk mengetahui kemandirian tersebut dapat di lihat dari kemandirian

Indeks Barthell (Nugroho, 2010)


4. Intervensi Keperawatan.

No. Diagnosa Keperawatan SDKI SLKI SIKI


1 Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan OUTCOME Dukungan mobilisasi
muskuloskeletal Mobilitas Fisik meningkat Observasi
DEFINISI (L.05042) 1)Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
Keterbatasan dalam gerak fisik dari satu lainnya
atau lebih ekstremitas secara mandiri. kriteria hasil: 1)Pergerakan 2)Identifikasi adanya toleransi fisik saat
PENYEBAB ekstremitas meningkat melakukan
a. Kerusakan integritas struktur tulang 2)Kekuatan otot meningkat )Monitor tekanan darah sebelum memulai
b. Perubahan metabolisme 3)Rentang gerak (ROM) mobilitas
c. Ketidakbugaran fisik meningkat 4)Monitor keadaan umum selama melakukan
d. Penurunan kendali otot 4)Nyeri menurun mobilisasi
e. Penurunan massa otot 5)Kecemasan menurun Terapeutik
f. Penurunan kekuatan otot 6)Kaku sendi menurun 1)Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
g. Keterlambatan perkembangan 7)Gerakan tidak (misalnya pagar tempat tidur) 2)Fasilitasi
h. Kekakuan sendi terkoordinasi melakukan pergerakan , jika perlu 3)Libatkan
i. Kontraktur menurun keluarga untuk membantu pasien
j. Malnutrisi dalam meningkatkan pergerakan
k. Gangguan musculoskeletal

Gejala dan tanda mayor


Subjektif:
a.Mengeluh sulit menggerakan
ekstermitas
Objektif:
a.Kekuatan otot menurun

41 41
42

b.Rentang gerak (ROM) menurun 8)Gerakan terbatas menurun Edukasi


Gejala dan tanda minor 9)Kelemahan fisik menurun 1)Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
Subjektif: 2)Anjurkan melakukan mobilisasi dini
a.Nyeri saat bergerak 3)Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
b.Enggan melakukan pergerakan dilakukan (misalnya duduk ditempat tidur,
c.Merasa cemas saat bergerak duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat
Objektif : tidur ke kursi)
a.Sendi kaku Pengaturan posisi
b.Gerakan tidak terkoordinasi Observasi
c.Gerakan terbatasd.Fisik lemah 1)Monitor status oksigenasiTerapeutik
1)Motivasi melakukan ROM aktif atau pasif
2)Hindari gerakan menempatkan klien yang
dapat meningkatkan nyeri

42
ASUHAN KEPERAWATAN TERHADAP NY. A DENGAN GANGGUAN
MOBILITAS FISIK
DI RUANG FRESIA 2 RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG

A. Kasus Terkait
B. Pengkajian
1. IDENTITAS
a. Pasien
Nama Pasien : Ny. A
Tanggal Lahir : 29/07/2000
Usia : 21 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kp. Kawungsari 02/08 Wargamekar Baleendah
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Status marital : Menikah/Tidak menikah/duda/janda
Nomor RM : 0001980718
Diagnosa Medis : Myeloradikulopathy cervical setinggi segmen
C5 e.c lesi ekstra dural e.c spondilitis TB
Tanggal Pengkajian : 26/10/2021
Tanggal Masuk RS : 25/10/2021
b. Penanggung Jawab Pasien
Nama : Neng Shima
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SLTA
Hubungan dengan Pasien : Kakak Ipar
Alamat : Kp. Kawungsari 02/08 Wargamekar Baleendah
2. RIWAYAT KEPERAWATAN
a. Riwayat Kesehatan Pasien
Riwayat Penyakit Sekarang
1). Keluhan Utama :
Lemah ke 4 ekstremitas

2). Kronologi Penyakit Saat ini :


1 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sulit BAK, perut
menggembung, dibawa ke RS Al Ihsan lalu dipasang folley kateter, 3
bulan sebelum masuk rumah sakit lemah kedua tungkai, awalnya sulit
25

berjalan, selang 2 minggu kaki tidak bisa digerakkan, 4 bulan sebelum


masuk rumah sakit pasien mengatakan lemas kdua lengan, nyeri leher,
dan menjalar dilengan sebelah kanan. Saat dikaji pasien mengeluh
lemah ke 4 anggota gerak, keluhan ini sampai membuat aktifitas pasien
terbatas, pasien hanya membuat aktifitas terlentang ditempat tidur
Kekuatan otot

3 3
0 0

Tangat tidak bisa menggenggam kuat tangan pemeriksa keluhan disertai


nyeri leher skala nyeri 3 nyeri seperti direms remas terutama dirasakan
malam hari nyeri diarea tulang leher belakang
3). Pengaruh Penyakit terhadap pasien :
Penyakit ini sangat berpengaruh terhadap pasien karena pasien menjadi
tidak bisa melakukan apa – apa
4). Apa yang diharapkan pasien dari pelayanan kesehatan :
Pasien berharap bisa kembali sembuh
Riwayat Penyakit Masa Lalu
Pasien tidak memiliki penyakit saat kecil, tidak mempunyai alergi, pasien
perna dirawat dengan TB paru dan mendapat pengobatan OAT selama 5
minggu
b. Riwayat Kesehatan Keluarga
Genogram

-----------

Pasien tinggal dengan suami dan anaknya, diantara keluarganya tidak ada
yang memiliki penyakit menular. Saat pasien sakit sangat berpengaruh
terutama dalam mengurus anaknya yang baru berusia 3 bulan
c. Pengkajian Biologis
26

Rasa Aman dan Rasa Nyaman


Nyeri di area tulang leher belakang sehingga pasien tidak bisa melakukan
aktifitas, pasien membatasi aktifitas dan menggunakan relaksasi untuk
mengurangi nyeri walaupun hanya berkurang sedikit. Pasien pernah
dilakukan FNAB
Aktifitas Istirahat Tidur
Aktifitas
Aktifitas saat sehat : tidak terganggu
Aktifitas saat sakit : Seluruh aktivitas seperti makan, bergerak, mandi dll
dilakukan di tempat tidur dan dibantu pasien.
Istirahat
Istirah saat sehat : istirahat dilakukan saat pasien lelah mengerjakan
pekerjaan rumah tangga, saat ada waktu luang pasien hanya menonton TV
Istirahat saat sakit : seharian pasien hanya terbaring ditempat tidur
Tidur
Saat sehat pasien tidur dari jam 21 sampai jam 05
Saat sakit pasien tidur jam 21 namun sering terjaga karena keluhan nyeri
dileher bagian belakang
Kegiatan yang dilakukan sebelum tidur adalah menonton TV
Cairan
Pasien minum dalam sehari 5-6 gelas, pasien tidak ada minuma yang
dipantang kecuali yang mengandung alkohol, kebutuhan cairan parenteral
pasien NaCl 0.9% 1500 cc/24 jam. Tidak ada program pembatasan cairan
pada pasien
Eliminasi Urin dan feses
Eliminasi feses
BAB pasien tidak terasa, sensasi defekasi tidak ada pasien sering dilakukan

manual evakuasi fekal, walaupun pasien sering makan buah namun tidak

banyak membantu, defekasi 3 hari sekali, pengeluaran feses lama dan sulit, feses

keras, peristaltik turun.


27

Eliminasi urin
Pasien tidak merasakan sensasi BAK sehingga sejak 1 bulan yang lalu
terpasang folley kateter, urin berwarna merah karena mengkonsumsi OAT
Kebutuhan Oksigen dan Karbondioksida
Pernafasan
RR 16 x/menit saturasi 98% dengan tanpa bantuan oksigen, Bunyi nafas
vesikuler dispneu tidak ada, tidak pernah mengkonsumsi obat – obatan
untuk melancarkan pernafasa, tidak memiliki kebiasaan merokok, tidak
pernah dirawat karena ganguan pernafasan. Pasien tidak memili alergi
terhadap debu
Kardiovaskuler
Klien tidak mengluh cepat lelah, dada berdebar, nyeri dada dan dada terasa
ditindih. Pasien tidak menggunakan alat pacu jantung
Personal Hygiene
Personal hygiene pasien dibantu orang lain, mandi dan gosok gigi dilakukan
sekali sehari. Pasien cuci rambut 3 hari sekali
Sex
Pasien mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban seorang istri untuk
melayani suaminya karena rasa sakit pada lehernya yang mengganggu,
pasien memiliki 1 orang anak yang berumur 3 bulan
Pengkajian Psikososial dan Spiritual
1). Psikologi
Emosi pasien stabil, klien tidak mudah marah, klien dapat
mengekspresikan perasaannya, pasien selalu berdoa ketika hatinya
merasa sedih atau marah. Pasien marasa tidak berguna lagi bagi
keluarganya. Pasien merasa perannya sebagai ibu belum terlaksana
dengan baik, sejak melahirkan pasien belum pernah merawat anaknya.
Hal yang paling disukai pasien adalah baca Al Quran. Dukungan dari
suami dan keluarga merupakan hal yang menguatkannya dalam
menghadapi penyakit pasien, pasien hanya bisa berdoa agar kembali
sembuh. Pasien tidak mampu melakukan apapun saat ini
28

2). Hubungan Sosial


Orang yang paling dekat dan dipercaya pasien adalah kakak ipar, pasien
tidak pernah mengikuti kegiatan masyarakan disekitar rumahnya
3). Spiritual
Klien memeluk agama Islam dan senantiasa menjalankan ibadah sesuai
dengan ajaran agamanya, pasien saat ini belum sholat karena masih
merasa kotor/masa nifas

√ Agama : √ Baligh √ Ibadah : dibantu


Islam
√ Penggunaan kerudung √ Kegiatan ibadah lain
√ Besuci : T
√ Melaksanakan sholat : tidak sholat √ Kemampuan sholat : -
√ Kendala tidak sholat : Merasa badannya kotor/nifas
√ Makna sakit : Ujian
√ Harapan sembuh : ya
√ Penerimaan tentang penyakit : menerima
√ Dukungan komunitas spiritual : baik
√ Yang paling mendukung : keluarga

3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum
1). Kesadaran : GCS :
Kesadaran compos mentis GCS : E 4 M 6 V 5
2). Kondisi klien secara umum
Pasien sakit sedang
3). Tanda – tanda Vital
TD = 110/80 mmHg N = 88 x/menit RR = 18 x/menit saturasi 98%
S= 36 0C
4). Pertumbuhan fisik :
TB = 145 cm BB = 45 kg Selama 3 bulan berat badan pasien turun 2
kg, BMI = 21,4
4). Keadaan kulit : warna, tekstur, kelainan kulit
Kulit sawo matang, tidak ada edema, tidak ada sianosis di perifer
29

b. Pemeriksaan Cepalo Kaudal


1). Kepala
a) Bentuk, keadaan kulit, pertumbuhan rambut
Bentuk bulat utuh kulit kepala bersih pertumbuhan rambut merata,
rambut sedikit rontok
b) Mata : kebersihan, penglihatan, pupil, refleks, sklera, konjungtiva
Konjungtiva tidak anemis sklera tidak ikterik, pupil isokor diameter
2 mm, refleks cahaya baik
c) Telinga : bentuk, kebersihan sekret, fungsi dan nyeri telinga
Bentuk simetris, secret tidak ada fungsi pendengaran baik, nyeri
telinga tidak ada
d) Hidung : fungsi, sekret, polip, nyeri?
Fungsi penciuman baik, sekret tidak ada, polip tidak ada , nyeri
tidak ada
e) Mulut : kemampuan bicara, keadaan bibir, selaput mukosa, warna
lidah, gigi (letak, kondisi gigi) oropharing (bau nafas, suara parau,
dahak)
Kemampuan bicara baik, mukosa bibir lembab, warna lidah merah
muda, gigi utuh
2). Leher
Bentuk simetris, tidak ada pembesaran tyroid, kelenjar getah bening,
tidak ada pembesaran tonsil dan tidak ada peninggian JVP, nilai JVP <8

cmH2O, tidak ada nyeri telan


3). Dada
a) Inspeksi :
Bentuk dada simetris retraksi dinding dada tidak ada, pergerakan
pernafasan simetris, jenis pernafasan dada
b) Auskultasi :
Suara nafas vesikuler bunyi jantung S1 dan S2, tidak terdengan
bruit di badomen
c) Perkusi :
30

Perkusi dada sonor, perkusi batas jantung dalam batas normal


d) Palpasi :
Pergerakan dada simetris, tidak ada nyeri tekan, pernafasan dalam
dan teratur, iktus cordis tidak teraba
4). Abdomen
a) Inspeksi :
Bentuk datar, countur licin, warna kulit putih, ostomi todak ada
b) Auskultasi :
Bising usus 8 x/menit
c) Perkusi :
Perkusi area abdomen terdengar timpani, massa tidak ada, nyeri
tekan tidak ada
d) Palpasi :
Nyeri tekan dan nyeri lepas tidak ada, palpasi organ dalam batas
normal
5). Genitalia, anus dan rektum
a) Inspeksi :
Area genitalia tampak bersih, terpasang Dower kateter warna urin
kuning kemerahan, tidak terdapat hemoroid
b) Palpasi :
Tidak ada penumpukan urin
6). Ekstremitas
a) Atas :
Kekuatan otot

3 3

1 0
Gerak simetris, tonus baik, formasi jari lengkap, jari jari tidak bisa
menggenggam benda benda
b) Bawah :
31

Tonus otot kurang, tidak terdapat edema perifer, tidak terdapat


varises, refleks patela positif, refleks babinski positif, kedua kaki
sama sekali tidak bisa digerakkan
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Radiologi
Tanggal 25/10/2021
Ro thoraks dalam batas normal
Ro cervical dalam batas normal
b. Laboratorium
Hb : 11,4 leu : 11 rb eritrosit : 6,23 trombosit : 569.000
Ur : 9,0 Krea : 0,39 Ca : 5,97
c. EEG, ECG, EMG, USG, CT Scan
Hasil biopsi (FNAB) punggung kiri : peradangn nonspesifik a/r punggung
kiri
MRI : fraktur kompresi vertebra C7 disertai perubahan intensitas signal
corpus vertebra C6 disertai paravertebra abses yang meluas e.e spondilitis
TB dengan paravertebra abses lesi e.c DD/preabses dd/ metastase
5. TERAPI YANG DIBERIKAN

Nama obat Cara pemberian Dosis Jam pemberian


FDC Peroral 1x3 tablet 08.00
Rifampisin Peroral 1x450 mg 06.00
Vit B6 Peroral 1x50 06.00
Omeprazole Intravena 1x40 mg 08.00
NaCl 0,9% Intravena 1500 cc/24 jam

C. Analisa Data

DATA ETIOLOGI MASALAH


KEPERAWATAN
DS : klien mengatakan Trauma medula spinal Gangguan mobilitas fisik
sulit menggerakkan berhubungan dengan
Trauma pada C7
ekstremitas terutama kerusakan integritas
kaki gangguan fungsi fleksus struktur tulang
DO : kekuatan otot brachialis
32

3 3
kelemahan otot

0 0 Hambatan mobilisasi fisik


ROM menurun, gerakan
terbatas

DS : klien mengeluh Trauma medula spinal Nyeri akut berhubungan


nyeri ditulang leher dengan agen pencedera
Jaringan yang cidera
belakang, skala nyeri 3, mengeluarkan zat kimia
fisik (fraktur tulang
klien mengatakan sering inflamasi (histamin & belakang)
terjaga dari tidur karena bradikinin)
nyeri
DO : klien tampak pelepasan prostaglandin
meringis transduksi ke
substantiagelatinosa

sampai ke otak melalui


spinothalamic

thalamus

dipersektian Nyeri

DS : Trauma medula spinal Gangguan integritas


DO : terdapat luka kulit berhubungan
Trauma pada C7
decubitus grad II dengan penurunan
disimpisis sinistra gangguan fungsi fleksus mobilitas, faktor
brachialis mekanis (gesekan)
kelembaban
kelemahan otot

Hambatan mobilisasi fisik

Tekanan berlebih pada


pembuluh darah yang
terus menerus

Suplay O2 turun

Iskemik jaringan

Nekrosisi

Gangguan integritas
DS : pasien mengatakan Trauma medula spinal Konstipasi berhungan
sensasi defekasi tidak ada, dengan penurunan
defekasi 3 hari sekali, Trauma pada C7 gastrointestinal
33

pengeluaran feses lama dan


sulit gangguan fungsi fleksus
DS : feses keras, peristaltik brachialis
turun 8x/menit
kelemahan otot

Hambatan mobilisasi fisik

Konstipasi

DS : klien mengeluh Trauma medula spinal Defisit perawatan diri


lemah ke 4 anggota berhubungan dengan
gerak gangguan neuromuskular Gangguan neuromuskuler
DO : ADL klien
aliran O2 ke otak
dilakukan suami dan
terhambat
perawat
kekuatan otot Hipoksia serebral

3 3 Necrosis
mikroskopisneuron area
0 0
Kerusakan UMN

Paralisis

ADL terganggu

Keterbatasan dalam
melakukan aktifitas sehari
hari

Defisit perawatan diri


DS : Pasien marasa tidak Trauma medula spinal Resiko gangguan
berguna lagi bagi
Trauma pada C7 perlekatan berhubungan
keluarganya. Pasien
merasa perannya sebagai gangguan fungsi fleksus dengan ketidak
ibu belum terlaksana brachialis
mampuan memenuhi
dengan baik, sejak
melahirkan pasien belum kebutuhan bayi
kelemahan otot
pernah merawat
anaknya. Hambatan mobilisasi fisik
DO : pasien terlihat
sedih Ketidak mampuan memenuhi
kebutuhan bayi

Resiko gangguan perlekatan


DS : Pasien melahirkan Juli 2021 Resiko distress spiritual
Pasien mengatakan
Keluar Caira berwarna putih
intra vagina
34

pasien saat ini belum


Kurang pengetahuan
sholat karena masih
Pasien tidak sholat
merasa kotor/masa nifas
DO :

D. Prioritas Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (fraktur tulang
belakang)
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas,
faktor mekanis (gesekan) kelembaban
4. Konstipasi berhubungan dengan penurunan gastrointestinal
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
6. Resiko gangguan perlekatan ditandai dengan ketidak mampuan memenuhi
kebutuhan bayi
7. Resiko distress spiritual dibuktikan dengan kurang pengetahuan
35

E. Nursing Care Plan

No. Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
DX Keperawatan
1 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Dukungan mobilisasi
mobilitas fisik keperawatan 3x24 jam diharapkan Observasi:
berhubungan mobilitas fisik meningkat dengan  Identifikasi adanya nyeri atau Rasa nyeri dapat berakibat seseorang malan
dengan kriteria hasil : keluhan fisik lainnya bergerak
kerusakan Pergerakan ekstremitas terbatas cukup  Identifikasi toleransi fisik Mengetahui batas kemampuan gerak pasien
integritas menurun melakukan pergerakan
struktur tulang Kekuatan otot tertbatas cukup  Monitor frekuensi jantung dan Mengetahui efek dari melakukan aktifitas
Ditandai dengan menurun tekanan darah sebelum memulai fisik
: Nyeri cukup meningkat mobilisasi
DS : klien Kaku sendi cukup meningkat  Monitor kondisi umum selama Mengetahui efek dari melakukan aktifitas
mengatakan Pergerakan terbatas cukup meningkat melakukan mobilisasi fisik
sulit Kelemahan fisik cukup meningkat Terapeutik:
menggerakkan  Fasilitasi aktivitas mobilisasi Untuk meningkatkan kemampuan aktifitas
ekstremitas dengan alat bantu pasien
terutama kaki  Fasilitasi melakukan Memberikan bantuan agar mencegah sakit
DO : kekuatan pergerakan, jika perlu yang bertambah
otot  Libatkan keluarga untuk Meningkatkan partisipasi keluarga dalam
membantu pasien dalam merawat pasien
3 3 meningkatkan pergerakan
 Lakukan latihan penguatan Latihan penguatan anggota gerak atas
0 0 anggota gerak atas dengan pita dengan menggunakan pita dan bola elastik
ROM menurun, dan bola plastik efektif meningkatkan kekuatan dan fingsi
gerakan anggota gerak atas (Tresnasari, Basuki
terbatas Edukasi &Defi, 2017)
 Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi Keluarga dan pasien mengerti sehingga
diharapkan dapat berperan serta mendukung
 Anjurkan melakukan mobilisasi proses pengobatan pasien
dini Meningkatkan kemampuan mobilisasi
pasien secara perlahan sehingga tidak terjadi
 Ajarkan mobilisasi sederhana komplikasi pada pasien
yang harus dilakukan (mis. Dapat menurunkan nyeri tekan dan nyeri
Duduk di tempat tidur) gerak, meningkatkan LGS, dan
Kolaborasi : meningktakan kemampuan fungsional
Kolaborasi dengan fisioterapi dalam

35
36

pemberian infra red, exercise therapy Mencegah kontraktur dari ekstremitas dan
dan transcutaneus elektrical nerve memperbaiki kekuatan otot ekstremitas
stimulations (TENS)

2 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri


berhubungan keperawatan 3x24 jam diharapkan Observasi:
dengan agen tingkat nyeri menurun dengan kriteria  Identifikasi lokasi, karakteristik, Dapat memntukan tindakan dan atau
pencedera fisik hasil : durasi, frekuensi, kualitas, pengobatan apa yang harus dilakukan untuk
(fraktur tulang Keluhan nyeri cukup menurun intensitas nyeri mengatasi nyeri
belakang) Meringis cukup menurun  Identifikasi skala nyeri Mengetahui tingkat keparahan nyeri
ditandai Gelisah cukup menurun  Identifikasi respons nyeri non Melihat tingkat nyeri yang tidak didapat
dengan : Kesulitan tidur cukup menurun verbal secara verbal
DS : klien  Identifikasi faktor yang Menghindari sara nyeri pasien
mengeluh nyeri memperberat dan memperingan
ditulang leher nyeri
belakang, skala  Identifikasi pengetahuan dan Mengetahui tingkat pengetahuan pasien
nyeri 3, klien keyakinan tentang nyeri tentang nyeri
mengatakan  Identifikasi pengaruh nyeri pada Mengetahui sejauh mana nyeri dapat
kualitas hidup mempengaruhi aktifitas pasien
sering terjaga
 Monitor efek samping Untuk beberapa orang analgetik dapat
dari tidur
penggunaan analgetik mengakibatkan rasa mual dan nyeri
karena nyeri Terapeutik: epigastrik
DO : klien  Berikan teknik nonfarmakologi Untuk skala nyeri ringan dan sedang sangat
tampak untuk mengurangi rasa nyeri bermanfaat untuk menurunkan nyeri
meringis  Kontrol lingkungan yang Lingkungan yang bising dan meningkatkan
memperberat rasa nyeri emosi dan stress sehingga dapat
meningkatkan rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur Dengan istirahat dan tidur yang cukup dapat
menurunkan ambang nyeri pasien
 Pertimbangkan jenis dan Menentukan intervensi yang akan digunakan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan Sehingga pasien dapat menghindari faktor
pemicu nyeri pencetus nyari
 Jelaskan strategi meredakan Agar pasien dapat mengerti dan diharap
nyeri terjalin kolaborasi dengan pasien
 Ajarkan teknik nonfarmakologis Untuk skala nyeri ringan dan sedang sangat
untuk mengurangi rasa nyeri bermanfaat untuk menurunkan nyeri
Kolaborasi

36
37

 Kolaborasi pemberian analgetik, Dapat menurunkan rasa nyeri pasien yang


jika perlu tidak dapat dilakukan oleh terapi
nonfarmakologis
3 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Perawatan Integritas Kulit
integritas kulit keperawatan 3x24 jam diharapkan Observasi:
berhubungan integritas kulit dan jaringan meningkat  Identifikasi penyebab gangguan Menemukan penyebab utama terjadinya
dengan dengan kriteria hasil : integritas kulit decubitus
penurunan Elastisitas meningkat Terapeutik:
mobilitas, faktor Hidrasi meningkat  Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah Mencegah terjadinya penekanan pada satu
mekanis Kerusakan lapisan kulit menurun baring sisi tubuh terlalu lama sehingga aliran darah
(gesekan) Perdarahan menurun pada daerah tersebut tudak lancar
kelembaban Nyeri menurun  Gunakan produk berbahan Menjaga kulit tetap lembab
ditandai petrolium atau minyak pada
dengan : kulit kering
DS :  Hindari produk berbahan dasar Alkohol dapat mengiritasi kulit
DO : terdapat alkohol pada kulit
luka decubitus Edukasi
grad II  Anjurkan menggunakan Menjaga kulit tetap lembab
disimpisis pelembab
sinistra  Anjurkan minum air yang Mencegah dehidrasi sel yang dapat
cukup menyebabkan sel menjadi rusaksehingga
dapat terjadi luka
 Anjurkan meningkatkan asupan Dengan nutrisi yang adekuat dapat
nutrisi meningkatkan imun
 Anjurkan menghindari terpapar Dapat merusak kulit
suhu ekstrem
 Anjurkan mandi dan Dengan mandi dan menggunakan sabun
menggunkan sabun secukupnya sapat membunuh kuman yang ada
Perawatan Luka dipermukaan kulit pasien
Observasi:
 Monitor karakteristik luka Menentukan dressing yang akan digunakan
 Monitor tanda-tanda infeksi Dengan terdeteksi secara dini, resiko infeksi
meluas dapatr teratasi

Terapeutik:
 Lepaskan balutan dan plester Mencegah terbentuknya luka akibat kulit
secara perlahan yang menempelpada plester
 Bersihkan dengan cairan NaCl Membersihkan luka dari kuman yang
atau pembersih nontoksik menempel pada permukaan luka
 Bersihkan jaringan nekrotik Mempercepat pertumbuhan jaringan baru

37
38

 Berikan salep yang sesuai ke Mempercepat kesembuhan luka


kulit/lesi, jika perlu
 Pasang balutan sesuai jenis luka Mempercepat pertumbuhan jaringan pada
 Pertahankan teknik steril saat luka
melakukan perawatan luka Mencegah terjadinya infeksi nasokomia
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala Meningkatkan pengetahuan tentang infeksi
infeksi luak
 Anjurkan mengkonsumsi Memberikan nutrisi adekuat dapat
makanan tinggi kalori dan mempercepat proses penyembuahan
protein
Kolaborasi
 Kolaborasi prosedur Mempercepat proses pergantian jaringan
debridement yang telah mati menjadi jaringan yang baru
 Kolaborasi pemberian Jika terjadi infeksi dipertimbangkan untuk
antibiotik, jika perlu pemberian antibiotik

4 Konstipasi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Konstipasi


berhungan keperawatan 3x24 jam diharapkan Observasi:
dengan eliminasi fekal membaik ditandai  Periksa tanda dan gejala Untuk menilai adakah penumpukan feses
penurunan dengan :  Periksa pergerakan usus, Menilai kemampuan eliminasi feses
gastrointestinal Keluhan defekasi lama dan sulit karakteristik feses
ditandai sedang  Identifikasi faktor risiko Menemukan faktor utama penyebab
dengan : Distensi abdomen sedang konstipasi
konstipasi
DS : defekasi 3 Konsistensi feses cukup membaik Meningkatkan pengetahuan pasien dan
Edukasi
hari sekali, Frekuensi defekasi sedang keluarga tentang penyebab konstipasi
 Jelaskan etiologi masalah dan
pengeluaran
alasan tindakan Mencegah feses yang keras sehingga susah
feses lama dan
 Anjurkan peningkatan asupan keluar
sulit
cairan, jika tidak ada
DS : feses keras, kontraindikasi Agar dapat dilakukan secara rutin dan
peristaltik turun  Ajarkan cara mengatasi mandiri oleh keluarga
konstipasi/impaksi
Terapeutik: Makanan tinggi serat dapat menahan air
 Anjurkan diet tinggi serat pada feses sehingga diharapkan feses lunak
Merangsang peristaltik usus
Menghindari penumpukan feses
 Lakukan masase abdomen, jika
perlu Melunakkan konsistensi feses agar mudah
 Lakukan evakuasi feses secara keluar

38
39

manual, jika perlu Melunakkan konsistensi feses agar mudah


 Berikan enema atau irigasi, jika keluar dan meningkatkan peristaltik usus
perlu
Kolaborasi
Kolaborasi penggunaan obat pencahar,
jika perlu
5 Defisit Setelah dilakukan tindakan Dukungan Perawatan Diri
perawatan diri keperawatan 3x24 jamdiharapkan Observasi:
berhubungan perawatan diri meningkat dengan  Identifikasi kebiasaan aktivitas Mengetahui batas kemampuan pasien sesuai
dengan kriteria hasil : perawatan diri sesuai usia dengan usianya
kelemahan Kemampuan mandi sedang  Monitor tingkat kemandirian Untuk menentukan bantuan yang sesuai
ditandai Kemampuan mengenakan pakaian yang dibutuhkan pasien
dengan : sedang  Identifikasi kebutuhan alat Mengetahui apa yang dibutuhkan pasien
DS : klien Kemampuan makan sedang bantu kebersihan diri, untuk personal hygiene nya
mengeluh Kemampuan ke toilet sedang berpakaian, berhias, dan makan
lemah ke 4 Verbalisasi keinginan melakukan Terapeutik:
anggota gerak perawatan diri meningkat  Sediakan lingkungan yang Lingkungan yang mendukung akan
DO : ADL Mempertahankan kebersihan mulut teraupetik meningkatkan motivasi pasien dalam
klien dilakukan sedang melakukan personal hygiene
suami dan  Siapkan keperluan pribadi Kelengkapan alat dapat menjadi slah satu
perawat penentu kepuasan dalam pemenuhan
kekuatan otot kebutuhan personal hiygiene
 Dampingi dalam melakukan Mencegah terjadinya resiko jatuh
perawatan diri sampai mandiri
3 3  Fasilitasi untuk menerima keadaan Hal ini menjaga agar pasien tidak
ketergantungan memaksakan diri sehingga melaksanakan
0 0 sesuai dengan kemampuannya
 Jadwalkan rutinitas perawatan diri Kegiatan yang dilakukan secara rutin akan
Edukasi lebih menampakkan hasil yang baik
 Anjurkan melakukan perawatan Kegiatan yang dilakukan secara konsisten
diri secara konsisten sesuai akan lebih menampakkan hasil yang baik
kemampuan

6 Resiko Setelah dilakukan tindakan Promosi Keutuhan Keluarga


gangguan keperawatan 3x24 jam diharapkan Observasi:
perlekatan meningkat dengan kriteria :  Identifikasi pemahaman Menilai kemampuan keluarga dalam
berhubungan Verbalisasi perasaan positif terhadap keluarga terhadap masalah mengenali masalah
dengan ketidak bayi  Identifikasi adanya konflik Mengetahui adanya konflik dalam keluarga
mampuan Kekhawatiran menjalankan peran prioritas antar anggota keluarga
memenuhi orang tua menurun  Identifikasi mekanisme koping Mengetahui tahapan koping dalam masalah

39
40

kebutuhan bayi keluarga


ditandai  Monitor hubungan anatara Mengetahui keharmonisan keluarga
dengan : anggota keluarga
DS : Pasien Terapeutik:
marasa tidak  Hargai privasi keluarga Menjaga rasa nyaman pasien
berguna lagi  Fasilitasi kunjungan keluarga Diharapkan keluarga yang menjenguk dapat
bagi memberikan support mental
keluarganya.  Fasilitasi keluarga melakukan Dukungan keluarga sangat membantu proses
Pasien merasa pengambilan keputusan dan penyembuhan pasien
perannya pemecahan masalah
sebagai ibu  Fasilitasi komunikasi terbuka Keluarga yang tidak dapat memjenguk
belum antar setiap anggota keluarga pasien ke rumah sakit dapat memberikan
terlaksana Edukasi dukungan moral via telepon
dengan baik,  Informasikan kondisi pasien secara Keluarga akan mendapat informasi yang
sejak berkala kepada keluarga valid jika perawat atau dokter sendiri yang
melahirkan membrikan informasi pada keluarga atau
pasien belum pasien
pernah  Anjurkan anggota keluarga Memberikan lignkungan yang nyaman bagi
merawat mempertahankan keharmonisan pasien
anaknya. keluarga
DO : pasien Kolaborasi
terlihat sedih  Rujuk untuk terapi keluarga, jika Untuk masalah yang tidak bisa dipecahkan
perlu

7 Resiko distress Setelah dilakukan tindakan Dukungan perkembangan Spititual


spiritual keperawatan 2x24 jam terjadi
dibuktikan peningkatan terhadap dukungan Terapeutik:
dengan kurang spiritual.
 Sediakan lingkungan yang
pengetahuan Dengan kriteria hasil : Pasien dapat tenang sehingga dapat
tenang untuk refleksi diri
ditandai Verbalisasi makna dan tujuan hidup menurunkan tingkat stress
 Fasilitasi mengidentifikasi
sedang Menemukan masalah spiritual pasien
dengan masalah spiritual
Verbalisasi kepuasan tehadap makna
 Fasilitasi mengidentifikasi
DS : hidup sedang Memudahkan pasien dalam mengetahui
hambatan dalam pengenalan diri
Aktifitas ibadah pasien meningkat kelemahan dirinya
 Fasilitasi mengeksplorasi
Pasien Memudahkan pasien dalam mengetahui
keyakinan terkait pemuliahan
kekuatan dirinya
mengatakan tubuh, pikiran dan jiwa
 Fasilitasi hubungan persahaban
pasien saat ini Memfasilitasi dukungan yang bisa didapat
dengan orang lain dan
dari luar
belum sholat pelayanan keagamaan

40
41

karena masih Edukasi


Meningkatkan ibadah pasien sesuai dengan
merasa Anjurkan membuat komitmen spiritual keyakinannya
kotor/masa berdasarkan keyakinan dan nilai
nifas
DO :

F. Implementasi
Dx
Hari/Tanggal Waktu Implementasi Paraf
27/10/2021 08.00 1 - Mengidentifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya ttd
R: klien mengluh nyeri area leher, skala 3 (0-10), nyeri bertambah jika bergerak, berkurang jika
istirahat dan mendapa therapi
08.02 1 - Menjelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
R: Klien mengatakan mengerti tujuan dari mobilisasi, klien miring kanan
08.10 1 - Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
R: klien mampu menggerakan ekstremitas, kekuatan otot 3/3
- Memonitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi
08.15 1 R: TD = 110/80 mmHg N = 88 x/menit RR = 18 x/menit SpO2 98% S= 36 0C
- Memonitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
08.17 1 R: keadaan umum tenang
- Memfasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
08.30 1 R: klien mobilisasi dibantu suami dan perawat
- Memfasilitasi melakukan pergerakan ROM pasif
08.35 1 R: Klien mampu ROM aktif di ekstremitas atas, ROM pasif ekstremitas bawah dibantu perawat

41
42

Dx
Hari/Tanggal Waktu Implementasi Paraf
- Melibatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
08.36 1 R: Keluarga tampak membantu pasin dalam mobilisasi
- Memberikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
09.00 2 R: Klien mendapatkan therapi paracetamol 500 mg, skala nyeri berkurang 2 (0-10)
- Mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
09.10 2 R: Perawat memperbolehkan penunggu pasien hanya 1 orang untuk 1 pasien
- Memfasilitasi istirahat dan tidur
2 R: Klien tampak tenang
09.15 - Mengajarkan teknik nonfarmakologis: nafas dalam untuk mengurangi rasa nyeri
R: Klien mengerti teknik nafas dalam yang diajarkan perawat
09.30 2 - Mengidentifikasi penyebab gangguan integritas kulit
R: Klien mengatakan lama berbaring dan jarang berubah posisi
09.32 3 - Mengubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
R: Klien tampak mau berbarubah posisi tiap 2 jam
10.00 3 - Menggunakan produk berbahan petrolium atau minyak pada kulit kering
R: Klien mengatakan menggunakan minyak zaitun untuk melembabkan kulit
11.00 3 - Menganjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
R: klien mengatakan suami menggunakana sabun secukupnya saat memandikan
12.00 3 - Memonitor karakteristik luka
R: Terdapat luka di daerah panggul kiri, grade 1, diameter 2x2 cm, bersih.
- Memonitor tanda-tanda infeksi
12.00 3 R: tidak tampak tanda-tanda infeksi
- Melepaskan balutan dan plester secara perlahan
12.30 3 R: Luka klien diganti, dirawat menggunakan cairan Nacl 0,9% dan balutan esktra thin
- Mempertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka
12.30 3 R: menggunakan pinset atau sarung tangan steril saat melakukan perawatan luka
- Menganjurkan minum air yang cukup
12.45 3 R: klien mengatakan anjuran perawat, klien minum 5-6 gelas sehari
- Menganjurkan meningkatkan asupan nutrisi tinggi serat
12.45 R: Klien mengerti anjuran perawat, klien makan habis 1 porsi tiap makan
4 - Mendampingi dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
R : mambantu kelaurag untuk memandikan pasien
13.00 4 - Memfasilitasi untuk menerima keadaan ketergantungan
R: kelarga membantu perawat memandikan pasien
13.00 5 - Menjadwalkan rutinitas perawatan diri
R : Setiap pagi pasien diseka
12.30 5 - Menganjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan
R : setiap pagi dan sore sikat gigi

42
43

Dx
Hari/Tanggal Waktu Implementasi Paraf
12.30 5 - Memfasilitasi kunjungan keluarga
R: keluarga rutin secara bergantian menunggui pasien di rumah sakit
13.00 5 - Memfasilitasi keluarga melakukan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
R:melibatkan keluarga dalam setiap Tindakan keperawatan yang dilakukan
14.00 6 - Memfasilitasi komunikasi terbuka antar setiap anggota keluarga
R: pasien melakukan video call dengan anaknya melalui kakak iparnya
- Memfasilitasi mengidentifikasi masalah spiritual
10.00 6 R : pasien mengatkan bahwa dia masih dalam masa nifas karena keluar cairan putih di vagina
- Memfasilitasi mengeksplorasi keyakinan terkait pemuliahan tubuh, pikiran dan jiwa
12.00 6 R : pasien mengatakan semoga diberikan kesembuhan oleh Allah
- Menganjurkan membuat komitmen spiritual berdasarkan keyakinan dan
12.00 7 R: pasien terlihat sholat dhuhur
13.00 7

13.00 7

28/10/2021 08.00 1 - Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan ttd


R : pasien mampu mengangkat tangan dan menggerakkan jari tangan namun tidak mampu
menggenggam
08.00 1 - Memonitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi
R : TD 130/78 mmHg N : 87x/menit
- Memfasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
08.00 1 R : pasien miring kanan dan punggung diganjal bantal
- Melibatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
08.00 1 R : suami dan kakak ipar membantu pasien bergerak miring
- Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
08.30 2 R : pasien mengeluh nyeri pada leher ketika awal bergerak, skala 3/10
- Mengidentifikasi respons nyeri non verbal
09.00 2 R : pasien meringis
- Mengajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
09.15 2 R : pasien mengikuti arahan perawat untuk tarik nafas dalam
- Mengubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
R : pasien bersedia melakukan mobilisasi pasif miring kanan-kiri
10.00 3 - Memonitor tanda-tanda infeksi
R : luka tampak bersih, warna merah diameter 2x2 grad 2
09.00 3 - Memonitor tingkat kemandirian

43
44

Dx
Hari/Tanggal Waktu Implementasi Paraf
R : pasien masih dibantu oleh suaminya ketika melakukan mobilisasi
10.00 5 - Memfasilitasi mengidentifikasi masalah spiritual
R : pasien mengatkan bahwa dia masih dalam masa nifas karena keluar cairan putih di vagina
12.00 4 - Memfasilitasi mengeksplorasi keyakinan terkait pemuliahan tubuh, pikiran dan jiwa
R : pasien mengatakan semoga diberikan kesembuhan oleh Allah
12.00 4 - Menganjurkan membuat komitmen spiritual berdasarkan keyakinan dan nilai

12.00 4

29/10/2021 07.30 1 - Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan ttd


Respon pasien : pasien mampu mengangkat tangan, namun tidak mampu menggenggam secara
sempurna
08.00 1 - Memonitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi
Respon pasien TD 120/80 mmHg, HR 90x/menit
08.00 1 - Melibatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
Respon pasien : pasien terlihatmenuruti perkataan keluarganya untuk miring kanan
09.00 2 - Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Renspon pasien : pasien mengatakan terasa nyeri saat awal bergerak didaerah leher, seperti ditusuk
namun berkurang setelah posisi dirasa nyaman
- Mengidentifikasi respons nyeri non verbal
09.15 2 Respon pasien : pasien tampak meringis
- Memonitor karakteristik luka
10.00 3 Respin pasien : luas 2x2, grad 2 warna luka merah

G. Evaluasi

44
45

D
Hari/Tanggal Evaluasi Paraf
x
27/10/2021 1 DX 1 ttd
S : klien mengatakan sulit menggerakkan ekstremitas terutama kaki
O : kekuatan otot

3 3

0 0
ROM menurun, gerakan terbatas
A : Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
P : lanjutkan intervensi dukungan mobilisasi

2 DX 2
S : klien mengeluh nyeri ditulang leher belakang, skala nyeri 3, klien mengatakan sering terjaga dari tidur
karena nyeri
O : klien tampak meringis
A : Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (fraktur tulang belakang)
P : lanjutkan intervensi manajemen nyeri

3 DX 3
S:
O : terdapat luka decubitus grad II disimpisis sinistra dengan diameter 2x2 cm warna luka merah, luka bersih,
verban digantisetiap 3 hari
A : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas, faktor mekanis (gesekan)
kelembaban
P : lanjutkan intervensi Perawatan Integritas Kulit

4 DX 4
D : pasien mengatakan sensasi defekasi masih tidak ada, pengeluaran feses masih lama dan sulit
D : feses keras, peristaltik turun
A : Konstipasi berhubungan dengan penurunan gastrointestinal

45
46

D
Hari/Tanggal Evaluasi Paraf
x
P : lanjutkan intervensi Manajemen Konstipasi

DX 5
5 S : klien mengeluh lemah ke 4 anggota gerak
O : ADL klien dilakukan suami dan perawat
kekuatan otot

3 3

0 0
A : Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
P : lanjutkan intervensi Dukung Perawatan Diri

DX 6
6 S : pasien mengatakan sedih berkurang jika dilakukan video cal, pasien masih sedih jika tiba tiba teringat
anaknya
O : klien tampak senang setelah video call
A : Resiko gangguan perlekatan berhubungan dengan ketidak mampuan memenuhi kebutuhan bayi
P : lanjutkan intervensi Promosi Keutuhan Keluarga

S : pasien mengatakan sekang sdh sholat, terkadanh diimamin suaminya


O:
7 A : Resiko distress spirituan
P : lanjutkan intervensi dukungan perkembangan spiritual

46
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dijelaskan kesenjangan antara teori dan asuhan

keperwatan secara langsung pada Ny. A dengan Myeloradikulopathy

cervical setinggi segmen C5 e.c lesi ekstra dural e.c spondilitis TB di

Ruang Fresia 2 RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung meliputi pegkajian,

diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

A. Laporan Kasus

Sorang perempuan berusia 21 tahun pekerjaan inui rumah tangga,

sudah menikah masuk rumah sakit tanggal 25 Oktober 2021 dengan

keluhan utama kelemahan di ke emapt anggota gerak, yang dialami

bertahap sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. 1 bulan sebelum

masuk rumah sakit pasien mengeluh sulit BAK, perut menggembung,

dibawa ke RS Al Ihsan lalu dipasang folley kateter, 3 bulan sebelum

masuk rumah sakit lemah kedua tungkai, awalnya sulit berjalan, selang 2

minggu kaki tidak bisa digerakkan, 4 bulan sebelum masuk rumah sakit

pasien mengatakan lemas kdua lengan, nyeri leher, dan menjalar dilengan

sebelah kanan. Saat dikaji pasien mengeluh lemah ke 4 anggota gerak,

keluhan ini sampai membuat aktifitas pasien terbatas, pasien hanya

membuat aktifitas terlentang ditempat tidur. Kekuatan otot esktremitas

atas 3/3, esktremitas bawah 0/0. Tangan tidak bisa menggenggam kuat
48

tangan pemeriksa keluhan disertai nyeri leher skala nyeri 3 nyeri seperti

diremas remas terutama dirasakan malam hari nyeri diarea tulang leher

belakang.

1. Karakteristik Pasien

Pada tinjauan pustaka menurut Yanti dan Hasian (2019) seseorang

yang mengalami cedera medulla spinal akibat myeloradiculopathy paling

sering mengalami pada rentang usia 13 sampai dengan 91 tahun (Lebih

banyak ditemukan pada dekade ke 5 dan ke 6) dan angka kejadian pada

laki-laki dilaporkan sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan

perempuan. 70% disebabkan oleh spondilosis dan protrusi diskus. Menurut

penulis tidak ada kesenjangan antara tinjauan pustaka dan tinjauan kasus

karena pada tinjauan pustaka dan tinjauan kasus didapati tiga persamaan

yaitu pada rentang usia 13-91 tahun, jenis kelamin perempuan dan

penyebabnya terjadi karena spondilitis.

Pada tinjauan pustaka menurut Yanti dan Hasian (2019) seseorang

yang mengalami cedera medulla spinal akibat myeloradiculopathy sering

mengalami keluhan radiating pain, nyeri menusuk, bertambah parah saat

batuk dan bersin, paresis/paralisis, disfungsi bladder. Pada tinjauan kasus

penulis menemukan Ny. A memiliki keluhan lemah di ekstremitas atas dan

bawah, nyeri area leher dan disfunsi blader. Tidak ada kesenjangan antara

tinjauan teoritis dan tinjauan kasus.

Pada tinjauan pustaka menurut Yanti dan Hasian (2019) seseorang

48
49

yang mengalami cedera medulla spinal akibat myeloradiculopathy dapat

disebkan oleh tumor dan spondilitis. Pada tinjaun kasus pasien pernah

dirawat dengan TB paru dan mendapat pengobatan OAT selama 5 minggu.

Hasil pemeriksaan penunjang menunjukan fraktur kompresi vertebra C7

disertai perubahan intensitas signal corpus vertebra C6 disertai

paravertebra abses yang meluas e.e spondilitis TB dengan paravertebra

abses lesi e.c DD/preabses dd/ metastase. Menurut penulis tidak ada

kesenjangan antara tinjauan pustaka dan tinjauan kasus.

Pada tinjauan pustaka menurut Yanti dan Hasian (2019) seseorang

yang mengalami cedera medulla spinal akibat myeloradiculopathy

pengkajian riwayat penyakit keluarga dilakukan untuk mengidentifikasi

hubungan herediter dengan penyakit yang diderita klien. Pada tinjauan

kasus klien asien tinggal dengan suami dan anaknya, diantara keluarganya

tidak ada yang memiliki penyakit menular. Tidak ada kesenjangan antara

tinjauan teori dengan tinjauan kasus.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Aktifitas istirahat

Pada tinjauan pustaka menurut Yanti dan Hasian (2019) seseorang yang

mengalami cedera medulla spinal akibat disebutkan aktivitas istirahat

dapat ditemukan tanda kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok

spinal pada bawah lesi. kelemahan umum / kelemahan otot (trauma dan

adanya kompresi saraf). Pada tinjauan kasus ditemukan Pasien hanya

beraktifitas di tempat tidur, pasien dibantu orang lain dalam memenuhi

49
50

kebutuhannya dan seharian pasien hanya terbaring ditempat tidur. Tidak

ada kesenjangan antara tinjauan teori dengan tinjauan kasus.

b. Sirkulasi

Pada tinjauan pustaka menurut Yanti dan Hasian (2019) seseorang

yang mengalami cedera medulla spinal akibat disebutkan gejala jantung

berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi ditandai

hipotensi, hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat,

hilangnya keringat pada daerah yang terkena. Pada tinjaun kasus

ditemukan klien tidak mengluh cepat lelah, dada berdebar, nyeri dada dan

dada terasa ditindih. Pasien tidak menggunakan alat pacu jantung.

Terdapat perbedaan antara tinjauan teoritis dan tinjauan kasus.

c. Eliminasi

Pada tinjuan teoritis (Restu, 2019) disebutkan tanda retensi urine,

distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti

kopi tanah /hematemesis, inkontinensia defekasi berkemih. Pada tinjaun

kasus ditemukan BAB pasien tidak terasa, sensasi defekasi tidak ada

pasien sering dilakukan manual evakuasi fekal, walaupun pasien sering

makan buah namun tidak banyak membantu. Pasien tidak merasakan

sensasi BAK sehingga sejak 1 bulan yang lalu terpasang folley kateter, uri

berwarna merah karena mengkonsumsi OAT. Tidak ada kesenjangan

antara tinjauan teori dengan tinjauan kasus.

d. Integritas ego

Pada tinjuan teoritis (Restu, 2019) disebutkan gejala menyangkal,

50
51

tidak percaya, sedih, marah ditandai takut, cemas, gelisah, menarik diri.

Pada tinjaun kasus ditemukan klien marasa tidak berguna lagi bagi

keluarganya. Pasien tidak mampu melakukan apapun saat ini. Tidak ada

kesenjangan antara tinjauan teori dengan tinjauan kasus.

e. Makanan/cairan

Pada tinjuan teoritis (Restu, 2019) disebutkan tanda klien

mengalami distensi abdomen yang berhubungan dengan omentum,

peristaltik usus hilang (ileus paralitik). Pada tinjaun kasus ditemukan

bentuk datar bising usus 8 x/menit, nyeri tekan tidak ada, palpasi organ

dalam batas normal. Terdapat perbedaan antara tinjauan teoritis dan

tinjauan kasus.

f. Higiene

Pada tinjuan teoritis (Restu, 2019) disebutkan tanda klien sangat

ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi). Pada

tinjaun kasus ditemukan personal hygiene pasien dibantu orang lain,

mandi dan gosok gigi dilakukan sekali sehari. Tidak ada kesenjangan

antara tinjauan teori dengan tinjauan kasus.

g. Neurosensory

Pada tinjuan teoritis (Restu, 2019) disebutkan tanda kelumpuhan,

kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok

spinal). Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak

setelah syok spinal sembuh). Kehilangan tonus otot /vasomotor,

51
52

kehilangan refleks/refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan

reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena

pengaruh trauma spinal. Gejala: kebas, kesemutan, rasa terbakar pada

lengan atau kaki, paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok

spinal teratasi, bergantung pada area spinal yang sakit. Pada tinjaun kasus

ditemukan ekstremitas atas jari jari tidak bisa menggenggam benda

benda, kekuatan otot 3/3. Ekstremitas bawah tonus otot kurang, kedua

kaki sama sekali tidak bisa digerakkan, kekuatan otot 0/0. Tidak ada

kesenjangan antara tinjauan teori dengan tinjauan kasus.

h. Nyeri/nyaman

Pada tinjuan teoritis (Restu, 2019) disebutkan gejala nyeri atau nyeri

tekan otot dan hiperestesia tepat di atas daerah trauma, serta tanda

mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral. Pada tinjaun kasus

ditemukan nyeri di area tulang leher belakang sehingga pasien tidak bisa

melakukan aktifitas, pasien membatasi aktifitas dan menggunakan

relaksasi untuk mengurangi nyeri walaupun hanya berkurang sedikit.

Tidak ada kesenjangan antara tinjauan teori dengan tinjauan kasus.

i. Pernafasan

Pada tinjuan teoritis (Restu, 2019) disebutkan gejala gejala napas

pendek, kekurangan oksigen, sulit bernapas ditandai Tanda: pernapasan

dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat,

sianosis. Pada tinjaun kasus ditemukan Bentuk dada simetris retraksi

dinding dada tidak ada, pergerakan pernafasan simetris, jenis pernafasan

52
53

dada, Suara nafas vesikuler bunyi jantung S1 dan S2, tidak terdengan

bruit di badomen, Perkusi dada sonor, perkusi batas jantung dalam batas

normal, Pergerakan dada simetris, tidak ada nyeri tekan, pernafasan

dalam dan teratur, iktus cordis tidak teraba, RR = 18 x/menit saturasi

98%. Terdapat perbedaan antara tinjauan teoritis dan tinjauan kasus.

j. Keamanan

Pada tinjuan teoritis (Restu, 2019) disebutkan gejala Suhu yang

berfluktasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar). Pada tinjaun

kasus ditemukan suhu tubuh klien 36 0C dan tidak tidak ada riwayat

demam. Terdapat perbedaan antara tinjauan teoritis dan tinjauan kasus.

k. Seksualitas

Pada tinjuan teoritis (Restu, 2019) disebutkan gejala disfungsi seksual.

Pada tinjauan kasus ditemukan Pasien mengalami kesulitan dalam

memenuhi kewajiban seorang istri untuk melayani suaminya karena rasa

sakit pada lehernya yang mengganggu, pasien memiliki 1 orang anak yang

berumur 3 bulan. Tidak ada kesenjangan antara tinjauan teori dengan

tinjauan kasus.

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menggambarkan respon

manusia (keadaan sehat atau perubahan pola interaksi aktual / potensial) dari

individu atau kelompok tempat perawat secara legal mengidentifikasi dan

perawat dapat memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status

53
54

kesehatan atau untuk mengurangi, menyingkirkan atau mencegah perubahan.

Pada tinjaun teoritis (Restu, 2019) ditemukan 3 diagnosa keperawatan

sedangkan pada tinjauan kasus ditemuakan 5 diagnosa keperawatan. Diagnosa

keperawatan yang sering muncul pada klien dengan Myeloradiculopathy,

yaitu:

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis

2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan immobilitas,

penurunan sensorik.

3. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat

perkemihan.

Sedangkan pada kasus ditemukan 5 diagnosa keperawatan yaitu :

1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas

struktur tulang

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (fraktur tulang

belakang)

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas,

faktor mekanis (gesekan) kelembaban

4. Defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan nutrisi

5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan

Diagnosa pada kasus yang tidak ditemukan di teori adalah :

1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas

struktur tulang

2. Defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan nutrisi

54
55

3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri.

Berdasarkan penelititan terdapat perbedaan antara tinjauan teoritis dan

tinjauan kasus.

C. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah pengembangan strategi desain untuk

mencegah, mengurangi, dan mengatasi masalah – masalah yang telah

diidentifikasi dalam diagnosa keperawatan. Desain perencanaan

menggambarkan sejauh mana perawat mampu menetapkan cara

menyelesaikan masalah dengan efektif dan efesien. Dalam menyusun

rencana tindakan keperawatan kepada klien berdasarkan prioritas masalah

yang ditemukan, tidak semua rencaana tindakan pada tinjauan kasus

disesuaikan dengan keluhan dan keadaan klien. Berdasarkan penelititan

terdapat perbedaan antara tinjauan teoritis dan tinjauan kasus yaitu

gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas

struktur tulang, defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan

nutrisi, defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri.

Pada kasus Ny. A pemeriksaan status motorik awal menunjukkan trofi

normal, tanpa fasikulasi dan klonus. ke 4 anggota gerak. Kekuatan otot

esktremitas atas 3/3, esktremitas bawah 0/0. Tangan tidak bisa

menggenggam kuat tangan pemeriksa keluhan disertai nyeri leher skala

55
56

nyeri 3 nyeri seperti diremas remas terutama dirasakan malam hari nyeri

diarea tulang leher belakang. Menurut penelitian hal ini terjadi karena

adanya gangguan pada sistem neuron yang mengakibatkan terjadinya

kelemahan otot. Hal ini sesuai dengan studi Maulina dan kalanjati (2013)

bahwa level neurologi dari suatu lesi medula spinalis berdasarkan level

sensoris ditentukan sebagai level segmen paling kaudal dengan fungsi

normal dan level motoris ditentukan sebagai kelompok otot paling kaudal

yang mempunyai grading tenaga minimal 3 (skor 0-5). Pada pasien dengan

cedera medulla spinallis apabila segera dilakukan terapi maka akan

menyebabkan beberapa gangguan, yaitu penurunan kekuatan otot,

penurunana pergerakan, oenurunan sensitivitas tubuh dan gangguan

aktivitas sehari-hari.

Kelemahan otot disebabkan adanya suatu gangguan pada sistem motor atau

neuron di suatu titik atau beberapa tempat dari rangkaian kendali dari sel motor

neuron sampai ke serabut-serabut otot. Pada kasus Ny. A berdasarkan hasil hasil

pemeriksaan biopsi (FNAB) punggung kiri menunjukkan adanya peradangn

nonspesifik a/r punggung kiri MRI : fraktur kompresi vertebra C7 disertai

perubahan intensitas signal corpus vertebra C6 disertai paravertebra abses yang

meluas e.e spondilitis TB dengan paravertebra abses lesi e.c DD/preabses dd/

metastase. Menurut penulis Ny. A mengalami gangguan di beberapa titik tempat

yakni antara C5-C8. Menurut National Spinal Cord Injury Association dan The

Christopher & Dana Reeve Foundation (2013) mengkategorikan trauma medulla

spinalis , menjadi :

56
57

a. Low Cervical Nerves (C5 – C8) Trauma level ini memungkinkan pasien

masih mampu bernapas dan bicara normal seperti sebelumnya.

1) Trauma C5 Pasien mampu menggerakkan tangan meraih siku, tetapi

terjadi paraplegia. Mampu berbicara menggunakan diafragma, tetapi

kemampuan bernapas melemah.

2) Trauma C6 Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi

trauma pada level ini menyebabkan gangguan pada kemampuan ekstensi

siku, dan terjadi paraplegia. Mampu berbicara menggunakan diafragma,

tetapi kemampuan bernapas melemah.

3) Trauma C7 Sebagian besar pasien mampu menggerakkan bahu, dengan

gangguan ekstensi siku dan ekstensi jari – jari tangan. Tidak terdapat

gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih

atau defekasi tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan

keinginan dengan bantuan alat.

4) Trauma C8 Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan objek

yang digenggam. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit

kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi tetapi pasien dapat

mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan dengan bantuan alat.

Terapi pada cedera medula spinalis ditujukan untuk meningkatkan dan

mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Tindakan rehabilitasi

merupakan kunci utama dalam penanganan cedera medulla spinalis. Pada

pasien dengan cedera medulla spinalis yang mengalami kelemahan otot

dapat dilakukan Terapi Menggenggam Bola Karet. Latihan genggam bola

57
58

karet umumnya dilakukkan pada pasien dengan stroke. Hasil studi Lois

(2018) menunjukkan menunjukkan adanya peningkatan kekuatan motorik

pasien stroke non hemoragik dengan latihan menggenggam bola karet di

Ruang Flamboyan RSUD Jombang.

Dilihat dari gejala klinis yg dialami pasien Ny. A dan tujuan terapi

genggam bola karet ini juga dapat dilakukkan pada pasien Ny. A karena

terapi menggenggam bola merupakan suatu modalitas rangsangan sensorik

raba halus dan tekanan reseptor ujung organ berkapsul pada ekstermitas

atas. Kemudian respon akan disampaikan ke korteks sensorik di otak jalur

sensorik melalui badan sel pada saraf C7-TI secara langsung melalui

system limbik. Pengolahan rangsangan yang ada akan menimbulkan

respon cepat pada saraf untuk melakukan aksi atas rangsangan tersebut

(Angliadi dalam Novi, 2019). Latihan menggenggam bola merupakan

salah satu upaya latihan Rang Of Motion (ROM) aktif asitif. ROM aktif

asitif yaitu kontraksi otot secara aktif dengan bantuan gaya dari luar seperti

terapis, alat mekanis, latihan yang bisa digunakan yaitu penggunaannya

dengan bola seperti bola karet (Irdawati dalam Novi, 2008). Latihan untuk

menstimulasi gerakan pada tangan dapat berupa latihan fungsi

menggenggam/mengepalkan rapat-rapat sehingga menggerakkan otot-otot

untuk membantu membangkitkan kembali kendali otak terhadap otot-otot

tersebut.

Menurut (Adi dan Kartika dalam Novi, 2019) tujuan terapi latihan

menggenggam bola karet adalah meningkatkan tonus otot, memperbaiki

58
59

tonus otot serta refleks tendon yang mengalami kelemahan, menstimulasi

saraf motorik pada tangan yang akan diteruskan ke otak. Jenis bola yang

digunakan dapat berupa bola tangan China, thera-Band Hand Exercisers

yang terbuat dari polymer dan bolat karet. Bola karet ini terdiri dari 2 jenis

(permukaan halus dan permukaan dengan sedikit tonjolan). Penulis sendiri

menggunakan bola karet dengan permukaan halus.

Latihan menggunakan bola dipilih karena dari sisi harga relatif murah

jika dibandingkan dengan teknik lain yang menggunakan teknologi yang

lebih canggih seperti penggunaan robot yang digunakan di negara maju.

Bola karet dapat dijadikan sebagai bahan alat komplementer yang dapat

digunakan oleh pasien dan keluarga secara mandiri tanpa perawat harus

senantiasa mengajari atau memberikan latihan kepada pasien disaat ada

tindakan keperawatan yang prioritas untuk dilakukan pada pasien yang

lain (Reny Chaidir., et al. Dalam Novi, 2019). Keuntungan latihan

menggunakan bola ini yaitu dapat meningkatkan kekuatan jari,

pergelangan dan lengan tangan; dan menstimulasi titik akupresur pada

tangan dan jari. Gerakan pada tangan dapat distimulasi dengan latihan

fungsi menggenggam yang dilakukan dengan tiga tahap yaitu membuka

tangan, menutup jari-jari untuk menggenggam objek dan mengatur

kekuatan menggenggam (Pork Winona dalam Novi, 2019).

D. Implementasi

Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan

59
60

yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan meliputi pengumpulan

data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah

pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru. Setelah rencana

tindakan ditetapkan, maka dilanjutkan dengan melakukan rencana tersebut

dalam bentuk nyata, dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien low

back pain, hal ini tidaklah mudah. Terlebih dahulu penulis mengatur

strategi agar tindakan keperawatan dapat terlaksana, yang dimulai dengan

melakukan pendekatan pada klien agar nantinya klien mau melaksanakan

apa yang akan perawat anjurkan, sehingga seluruh rencana tindakan

keperawatan yang dilaksanakan sesuai dengan masalah yang dihadapkan

klien.

Untuk diagnosa pertama, gangguan mobilitas fisik berhubungan

dengan kerusakan integritas struktur tulang penulis melakukan terapi

menggenggam bola. Implementasi melibatkan anggota keluarga pasien

dalam hal ini suami pasien. Cara melakukan terapi menggenggam bola

yaitu dengan meletakkan bola ditangan kemudian diremas dengan lembut

dengan sesekali ditekan dalam beberapa detik. Bola dapat diremas 60 kali

dan dilakukan 1 kali dalam sehari, boleh di ulang 2 sampai 3 kali sehari

jika mampu.

Sebelum dilakukan intervensi klien dan keluarga mengatakan belum

tahu terapi genggam bola karet dan kekuatan jari ekstremitas atas adalah

3/3 (dapat menggerakan jari dan telapak tangan). Intervensi dilakukan 1

kali dalam 1 hari. Keluarga membantu pasien dalam melakukan terapi

60
61

genggam bola dengan dibimbing oleh perawat. Pada pengukuran setelah

intervensi didapatkan skala kekuatan otot masih 3/3 (dapat menggerakan

jari dan telapak tangan). Menurut penulis ini semua terjadi karena adanya

gangguan pada system motor neuron di C7 atau gangguan fungsi fleksus

brachialis yakni serat saraf yang berjalan dari tulang belakang C5-T1,

kemudian melewati bagian leher dan ketiak, dan akhirnya ke seluruh

lengan (atas dan bawah).

Keluarga dapat membantu pasien dalam terapi genggam biola, klien

mengatakan bersemangat untuk melakukan terapi genggam bola agar bisa

segera menggendong anaknya. Latihan menggenggam bola karet yang

dilakukan dalam waktu 10-15 menit 2 kali sehari selama 7 hari berturut-

turut dapat menimbulkan rangsangan sehingga meningkatkan rangsangan

pada syaraf otot ekstremitas, maka dari itu terapi menggenggam bola karet

dengan rutin dan sesuai dengan prosedur maka kekuatan otot akan

meningkat (Rico et al, 2020).

Diagnosa kedua, nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

(fraktur tulang belakang). mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi,

frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, mengidentifikasi skala nyeri

mengidentifikasi respons nyeri non verbal, mengidentifikasi faktor yang

memperberat dan memperingan nyeri, mengidentifikasi pengetahuan dan

keyakinan tentang nyeri, mengidentifikasi pengaruh nyeri pada kualitas

hidup, memberikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri,

mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri, memfasilitasi

61
62

istirahat dan tidur, mempertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam

pemilihan strategi meredakan nyeri, menjelaskan penyebab, periode, dan

pemicu nyeri, menjelaskan strategi meredakan nyeri, mengajarkan teknik

nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri. Respon klien masih

mengeluh nyeri ditulang leher belakang, skala nyeri 3.

Dalam melakukan tindakan keperawatan, penulis tidak menemukan

kesulitan yang berarti, hal ini disebabkan karena :

1. Adanya faktor perencanaan yang baik dan keaktifan keluarga dalam

perawatan sehingga memudahkan untuk melakukan asuhan pada tindakan

keperawatan.

2. Pendekatan yang dilakukan dengan baik sehingga keluarga merasa percaya

sehingga memudahkan dalam pemberian serta pelaksanaan tindakan

keperawatan.

3. Adanya kerja sama yang baik antara penulis dengan petugas ruangan

sehingga penulis mendapatkan bantuan dalam melakukan tindakan asuhan

keperawatan.

E. Evaluasi

Evaluasi adalah penilain dengan cara membandingkan perubahan

keadaan pasien dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan. Dari 5 diagnosa keperawatan yang penulis tegakkan sesuai

dengan apa yang penulis temukan dalam melakukan studi kasus dan

melakukan asuhan keperawatan, kurang lebih sudah mencapai

62
63

perkembangan yang lebih baik dan optimal, maka dari itu dalam

melakukan asuhan keperawatan untuk mencapai hasil yang maksimal

memerlukan adanya kerja sama antara penulis dengan klien, perawat,

dokter, dan tim kesehatan lainnya.

1. Pada diagnosa pertama yaitu gangguan mobilitas fisik berhubungan

dengan kerusakan integritas struktur tulang masalah belum teratasi karena

aktivita sklien masih dibantu dan kekuatan otot ekstremitas atas 3/3

sedangkan ekstremitas bawah 0/0.

2. Pada diagnosa kedua yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera

fisik (fraktur tulang belakang) masalah belum teratasi karena masih terasa

nyeri didaerah leher, nyeri pada saat bergerak.

3. Pada diagnosa ke tiga gangguan integritas kulit berhubungan dengan

penurunan mobilitas, faktor mekanis (gesekan) kelembaban masalah

belum teratasi karena masih terdapat luka decubitus grad II disimpisis

sinistra.

4. Pada diagnosa ke empat defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan

kebutuhan masalah belum teratasi karena masih terdapat rambut rontok

dan berat badan masih bereiko berkurang dikarenakan metabolisme yang

meningkat akibat cedera/nyeri.

5. Pada diagnosa ke lima defisit perawatan diri berhubungan dengan

kelemahan karena aktivita sklien masih dibantu dan kekuatan otot

ekstremitas atas 3/3 sedangkan ekstremitas bawah 0/0.

63
64

64
65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan

Myeloradiculopathy(cedera medulla spinalis) dapat disimpulkan :

1. Konsep dasar teori dan asuhan keperawatan secara teoritis tentang

Myeloradiculopathy (cedera medulla spinalis) seperti pengertian, anatomi

dan fisiologi, etiologi, menifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan

penunjang, penatalaksanaan, komplikasi, dan pengamatan kasus dilapangan

pada Ny. A di Ruang Fresia 2 RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun

2021 dapat dipahami dengan baik oleh penulis.

2. Pengkajian asuhan keperawatan pada klien dengan Myeloradiculopathy

(cedera medulla spinalis) di Ruang Fresia 2 RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung tahun 2021 dapat dilakukan dengan baik dan tidak mengalami

kesulitan dalam mengumpulkan data.

3. Pada diagnosa asuhan keperawatan dengan klien Myeloradiculopathy

(cedera medulla spinalis) di Ruang Fresia 2 RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung tahun 2021 dapat dirumuskan 5 diagnosa pada tinjaun kasus.

4. Pada perencanna asuhan keperawatan dengan klien Myeloradiculopathy

(cedera medulla spinalis) di Ruang Fresia 2 RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung tahun 2021 semua perencanaan dapat diterapkan pada tinjaun

65
66

kasus.

5. Pada implemetasi asuhan keperawatan dengan klien Myeloradiculopathy

(cedera medulla spinalis) di Ruang Fresia 2 RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung tahun 2021 hampir semua dapat dilakukan, namun ada beberapa

rencana tindakan yang penulis tidak lakukan tetapi dilakukan oleh perawat

ruangan tersebut.

6. Evaluasi pada klien dengan Myeloradiculopathy (cedera medulla spinalis)

di Ruang Fresia 2 RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2021 dapat

dilakukan dengan baik.

7. Pendokumentasian pada klien Myeloradiculopathy (cedera medulla spinalis)

di Ruang Fresia 2 RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2021 dapat

dilakukan dengan baik.

B. Saran

1. Bagi mahasiswa

Diharapkan bagi mahasiswa agar dapat mencari informasi dan

memperluas wawasan mengenai klien dengan Myeloradiculopathy

(cedera medulla spinalis) karena dengan adanya pengetahuan dan

wawasan yang luas mahasiswa akan mampu mengembangkan diri

dalam masyarakat dan memberika pendidikan kesehatan bagi

masyarakat mengenai Myeloradiculopathy (cedera medulla spinalis),

dan faktor – faktor pencetus serta bagaimana pencegahan untuk

kasus tersebut.

66
67

2. Bagi Rumah Sakit

Bagi institusi pelayanan kesehatan, memberikan pelayanan dan

mempertahan kan hubungan kerja yang baik antara tim kesehatan

dan klien yang ditujukan untuk meningkatkan mutu asuhan

keperawatan yang optimal. Dan adapun untuk klien yang telah

mengalami kasus Myeloradiculopathy (cedera medulla spinalis)

maka harus segera dilakukan perawatan, agar tidak terjadi

komplikasi dari Myeloradiculopathy (cedera medulla spinalis).

3. Bagi Institusi Pendidikan.

Peningkatan kualitas dan pengembangan ilmu mahasiswa

melalalui studi kasus agar dapat menerapkan asuhan keperawatan

pada klien dengan Myeloradiculopathy (cedera medulla spinalis)

secara komprehensif.

67
68

DAFTAR PUSTAKA

PUTRI HAYU NANDANI, D. E. V. I. T. A. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN


PADA LANSIA YANG MENGALAMI GANGGUAN AKTIVITAS DENGAN
MASALAH KEPERAWATAN HAMBATAN MOBILITAS FISIK (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Ponorogo).
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta : PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI

68

Anda mungkin juga menyukai