Anda di halaman 1dari 12

Amwaluna: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol. 1 No.

2 (Juli, 2017), Hal 166-177


Online ISSN : 2540-8402 | Print ISSN : 2540-8399

KONSEP PAJAK DALAM HUKUM ISLAM


Maman Surahman, Fadilah Ilahi
Universitas Islam Bandung, Uin Sunan Gunung Djati Bandung
Jl. Ranggagading No.8 Kota Bandung, Jl. A.H. Nasution No.105 Kota Bandung,
Indonesia
mamansurahman@unisba.ac.id, fadilah.ilahi@uinbdg.com

Abstrak
Pajak dalam hukum Islam yang menjadi sumber pendapatan negara tidak dikenal. Oleh
karena itu, para ulama berbeda bendapat mengenai status hukum pajak ditinjau dari
konsep hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan ialah yuridis normatif, dan
teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa; pertama, dalam konsep hukum Islam pajak adalah kewajiban yang
dapat secara temporer, diwajibkan oleh Ulil Amri sebagai dharibah, karena kekurangan
baitul mal, dan dapat dihapus jika keadaan baitul mal sudah terisi kembali, diwajibkan
hanya kepada kaum Muslim yang kaya, dan harus digunakan untuk kepentingan mereka
(kaum Muslim), bukan kepentingan umum, sebagai bentuk jihad kaum Muslim untuk
mencegah datangnya bahaya yang lebih besar jika hal itu tidak dilakukan. Kedua,
Terdapat dua pendapat dalam hal ini, pihak yang berpendapat bahwa pajak dibolehkan
dalam Islam setelah kewajiban zakat. Pihak lain berpendapat pajak tidak dibolehkan
dalam Islam, karena dalam Islam kewajiban seorang Muslim dalam harta hanya pada
zakat.

Kata Kunci: Pajak, Hukum Islam, Dharibah.

Abstract
Taxes in Islamic law are an unknown source of state income. Therefore, the scholars
differed on the status of tax law in terms of the concept of Islamic law. The research
method used is normative juridical, and data collection techniques by means of library
research. The results of this study indicate that; first, in the Islamic legal concept tax is
an obligation that can be temporary, required by Ulil Amri as a dharibah, because it
lacks baitul mall, and can be removed if the state of baitul mall has been replenished, is
required only for Muslims who are rich, and must be used for they (Muslims), not the
public interest, as a form of Muslim jihad to prevent greater danger from occurring if it
is not done. Second, there are two opinions in this regard, those who argue that tax is
permissible in Islam after the obligation of zakat. Others argue that tax is not
permissible in Islam, because in Islam the obligation of a Muslim in property is only on
zakat.

Keyword: Tax, Islamic Law, Dharibah

I. PENDAHULUAN
Menurut (Rasyid, 2007) pada
A. Latar Belakang Masalah
dasarnya, pajak (dharibah) sebagai sumber
pendapatan negara, dalam Al-Quran dan

166
Received : 2017-05-22 | Reviced : 2017-07-31 | Accepted: 2017-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i2.2538
Maman Surahman, Fadilah Ilahi, Konsep Pajak Dalam Konsep Islam…

hadis tidak dibenarkan, karena Islam sudah selain zakat, karena zakat merupakan
mewajibkan zakat bagi orang-orang yang bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah
sudah terpenuhi ketentuan mengenai zakat. Swt, sehingga berkonsekwensi pada
Namun bisa saja terjadi suatu kondisi di keimanan seorang hamba.
mana zakat tidak lagi mencukupi Dalam penelitian (Turmudi, 2015)
pembiayaan negara, maka pada saat itu, bahwa tujuan pajak dan zakat pada
dibolehkan memungut pajak (dharibah) dasarnya sama, yaitu sebagai sumber dana
dengan ketentuan-ketentuan yang sangat untuk mewujudkan suatu masyarakat yang
tegas dan diputuskan oleh ahlil halli wal adil dan makmur yang merata dan
aqdi. berkesinambungan anata material dan
Pajak (dharibah) merupakan salah satu spiritual. Hal ini didukung oleh (Sari,
bentuk mu’âmlâh dalam bidang ekonomi, 2010) dalam penelitiannya Pajak
sebagai alat pemenuhan kebutuhan negara merupakan salah satu kewajiban negara
dan masyarakat untuk membiayai berbagai dalam sebuah negara muslim dengan
kebutuhan bersama (kolektif). Dengan alasan dana pemerintah mencukupi untuk
tidak adanya nash yang secara eksplisit membiayai pengeluaran yang oleh karena
mengatur mengani pajak (dharibah) dalam itu pajak tidak boleh dipungut secara paksa
syariat Islam, berimplikasi pada terjadinya dan kekuasaan semata. Melainkan karena
perbedaan pendapat di kalangan para adanya kewajiban kaum muslim yang
fukaha mengenai status dan hukum dipikulkan kepada negara, seperti memberi
memungut pajak (dharibah). rasa aman, kelaparan dan bencana lainnya
Pihak yang pro berpendapat bahwa Berdasarkan uraian singkat di atas,
pajak (dharibah) diperbolehkan penulis mencoba mendeskripsikan secara
berdasarkan ijtihad yang bersumber dari singkat mengenai konsep pajak dalam
dalil-dalil yang menyatakan bahwa ada syariat Islam serta perbedaan para ulama
keweajiban lain pada harta seorang mengani pajak. Karena pembahasan
Muslim selain zakat. Pihak kontra mengenai pajak sangat komprehensif dan
mengatakan bahwa pajak (dhraribah) tidak luas, maka rumusan masalah dalam
ada atau tidak diperbolehkan menurut penelitian ini ialah ; pertama,
hukum Islam, argumentasi pihak yang bagaimanakah konsep pajak menurut
kontra terhadap kewajiban pajak ini hukum islam ?, kedua, bagaimanakah
berlandaskan pada dalil-dalil bahwa tidak perbedaan pendapat para ulama mengenai
ada kewajiban pada harta kaum Muslimin pajak?. Tujuan penulisan ialah untuk
167
Received : 2017-05-22, Revisions Required : 2017-07-31, Accept Submission : 2017-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i2.2538
mengetahui pajak menurut hukum islam Dalam Al-Quran, kata dengan akar
dan perbedaan pendapat para ulama kata da-ra-ba terdapat di beberapa ayat,
mengenai pajak. Metode penelitian antara lain pada Q.S Al-Baqarah (2): 61.:
menggunakan pendekatan yuridis (Abd al-baqi, 2008)
normatif, yaitu dengan mengkaji atau ‫وضربت عليهم الذلة والمسكنة‬
menganalisis data sekunder yang berupa Lalu ditimpakanlah kepada mereka
bahan-bahan hukum sekunder. Sifat nista dan kehinaan…..
penelitian ini adalah penelitian deskriptif Dharaba adalah bentuk kata kerja
analitis, yaitu penelitian untuk (fi’il), sedangkan bentuk kata bendanya
menggambarkan masalah yang ada pada (isim) adalah dharibah (‫) ضريبة‬, yang
masa sekarang (masalah yang aktual), dapat berarti beban. Dharibah adalah isim
dengan mengumpulkan data, menyusun, mufrad (kata benda tunggal) dengan
mengklasifikasikan, menganalisis, dan bentuk jamaknya adalah dharaib (‫) ضرائب‬.
menginterpretasikan. Berdasarkan jenis Ia disebut beban, karena merupakan
data yang akan dipergunakan dalam kewajiban tambahan atas harta setelah
penelitian ini, yaitu data sekunder yang zakat, sehingga dalam pelaksanaannya
bersifat kualitatif, maka teknik akan dirasa sebagai sebuah beban (pikulan
pengumpulan data yang akan ditempuh yang berat). Dalam contoh pemakaian,
adalah dengan cara studi kepustakaan. jawatan perpajakan disebut dengan
Teknis analisis data yang digunakan dalam maslahah adh-daraaib (‫(مسلحة الضرائب‬.
penelitian ini adalah metode kualitatif (Gusfahmi, 2007)
normatif. Secara bahasa maupun tradisi,
dharibah dalam penggunaannya memang
II. PEMBAHASAN
mempunyai banyak arti, namun para ulama
A. Konsep Pajak Dalam Hukum Islam
memakai ungkapan dharibah untuk
1. Pengertian Pajak Menurut Syariat
membayar harta yang dipungut sebagai
Secara etimologi, pajak dalam bahasa kewajiban. Hal ini tampak jelas dalam
Arab disebut dengan istilah Dharibah, ungkapan bahwa jizyah dan kharaj
yang berasal dari kata ‫ ضربا‬,‫ يضرب‬,‫ضرب‬ dipungut secara dharibah, yakni secara
yang artinya: mewajibkan, menetapkan, wajib.( (Gusfahmi, 2007)Bahkan
menentukan, memukul, menerangkan atau sebagaian ulama menyebut kharaj
membebankan, dan lain-lain, (Munawwir, merupakan dharibah. (Gusfahmi, 2007)
2002)
168
Received : 2017-05-22, Revisions Required : 2017-07-31, Accept Submission : 2017-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i2.2538
Maman Surahman, Fadilah Ilahi, Konsep Pajak Dalam Konsep Islam…

Jadi, dharibah adalah harta yang bukan warga negara khilafah, baik Muslim
dipungut secara wajib oleh Negara untuk maupun zimmi, dan bukan mu’ahad.
selain jizyah dan kharaj, sekalipun Sebab ‘ushr hanyalah tindakan balasan
keduanya secara awam bisa dikategorikan atas tindakan negara mereka. Oleh karena
dharibah. itu, besaranya ‘ushr sama dengan besaran
yang dipungut oleh negara mereka dari
2. Istilah Pajak Hanya Tepat untuk
warga negara khilafah ketika mengimpor
Dharibah
komoditas dari negara tersebut atau
Dalam kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyah mengekspor komoditas ke negara tersebut.
karya Imam al-Mawardi, kharaj (Gusfahmi, 2007)
diterjemahkan dengan kata pajak (pajak Ada sebuah hadis yang berbunyi,
tanah), sedangkan jizyah tidak “Tidak masuk surga petugas pajak”. Para
diterjemahkan dengan pajak, melainkan ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud
disebut jizyah, (Al-Hasan, Muhammad, & dengan petugas pajak ini adalah “Orang
Muhammad, 2002). Namun dalam kitab yang mengambil ‘ushrdari harta kaum
Shahih Abu Daud, seorang pemungut Muslimin secara paksa yang melampaui
jizyah diterjemahkan dengan seorang batas, sehingga dikhawatirkan dosa dan
pemungut pajak, padahal yang dimaksud sanksi baginya. Petugas pemungut ‘ushr
adalah petugas jizyah. (Muhammad dalam hadis ini juga diterjemahkan sebagai
Nashiruddin al-Bani, 2005). Dalam kitab petugas pajak, padahal maksudnya adalah
al-Umm karya Imam Syafi’I, jizyah petugas pemungut ‘ushr. (Gusfahmi, 2007)
diterjemahkan dengan pajak, (Syafi'i, Dalam sistem ekonomi konvensional
2007) (non-Islam), kita juga mengenal adanya
Dari berbagai penerjemahan ini istilah pajak (taz), seperti dalam definisi
tampaknya pengertian jizyah, kharaj, dan pajak yang dikemukakan oleh Prof.
lain-lain disatukan ke dalam istilah pajak. Rahmat Soemitro atau Prof. Adriani. Pajak
Padahal seharusnya tidak sama, masing- (tax) di sini maknanya adalah sebuah
masing berbeda subjek atau objeknya, pungutan wajib; berupa uang yang harus
(Gusfahmi, 2007). dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan
Istilah pajak (dharibah) juga tidak bisa wajib kepada negara atau pemerintah
untuk menyebut ‘ushr (bea cukai), yakni sehubungan dengan pendapatan,
pungutan yang dipungut dalam besaran pemilikan, harga beli barang, dan lain-lain.
tertentu dari importir atau eksportir yang Jadi, pajak (tax) adalah harta yang
169
Received : 2017-05-22, Revisions Required : 2017-07-31, Accept Submission : 2017-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i2.2538
dipungut dari rakyat untuk keperluan
pengaturan negara. Tabel 1
Ringkasan Pajak
Pengertian ini adalah realitas dari
dharibah sebagai harta yang dipungut Nama/Sebutan Objek Subjek
secara wajib dari rakyta untuk keperluan Pajak Harta Selain Zakat Kaum
pembiayaan negara. Dengan demikian, (Dharibah) Muslim
dharibah bisa kita artikan dengan pajak Jizyah Jiwa (An Nafs) Non Muslim
(Muslim). Istilah dharibah dalam arti Kharaj Tanah Taklukan Non Muslim
pajak (tax) secara syar’i dapat kita pakai Sumber : (Gusfahmi, 2007)
sekalipun istilah ‘pajak’ (tax) itu berasal
B. Pendapat Para Ulama Tentang Pajak
dari Barat, karena realitasnya ada dalam
siste ekonomi Islam. Adakah kewajiban kaum muslim atas
Untuk menghindari kerancuan makna harta selain zakat? Menjawab pertanyaan
antara pajak menurut syariah dengan pajak ini, timbul perbedaan pendapat di kalangan
(tax) non-Islam, maka dipilihlah padanan fukaha (ahli hukum Islam). Sebagain
kata bahasa Arab yaitu dharibah. berpendapat mengatakan ada, dan sebagian
Dharibah adalah pajak tambahan dalam lain berpendapat tidak ada. Berikut uraian
Islam yang sifat dan karakteristiknya kedua pendapat tersebut.
berbeda dengan pajak (tax) menurut teori
1. Ulama yang Berpendapat bahwa
eknomi non-Islam.
Pajak Itu Boleh
Bagaimana dengan kharaj dan jizyah?
Oleh karena objek dari kharaj adalah Untuk memenuhi kebutuhan negara
tanah, maka jika dipakai istilah pajak akan berbagai hal, seperti menanggulangi
untuk kharaj dalam sistem ekonomi Islam kemiskinan, menggagi tentara, dan lain-
akan rancu dengan istilah pajak atas lain yang tidak terpenuhi dari zakat dan
penghasilan atau pendapatan. Untuk itu, sedekah, maka harus muncul alternatif
biarkanlah pajak atas tanah disebut dengan sumber baru.
kharaj saja. Demikian pula dengan jizyah, Pilihan kewajiban pajak ini sebagai
objeknya adalah jiwa, tidak sama dengan solusi telah melahirkan perdebatan di
dharibah. Oleh sebab itu, biarkanlah kalangan para fukaha dan ekonom Islam,
disebut jizyah saja. Ringkasannya adalah ada yang menyatakan pajak itu boleh dan
sebagai berikut: sebaliknya. Sejumlah fukaha dan ekonom
Islam yang menyatakan bahwa
170
Received : 2017-05-22, Revisions Required : 2017-07-31, Accept Submission : 2017-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i2.2538
Maman Surahman, Fadilah Ilahi, Konsep Pajak Dalam Konsep Islam…

pemungutan pajak itu diperbolehkan, mengecualikan kepada siapa pun sekalipun


antara lain: petugasmu sendiri atau kawan akrabmu
atau pengikutmu. Dan jangan kamu
a. Abu Yusuf, dalam kitabnya al-
menarik pajak dari orang melebihi
Kharaj, menyebutkan bahwa:
kemampuan membayarnya. (Chapra,
Semua khulafa ar-rasyidin, terutama
2000)
Umar, Ali dan Umar bin Abdul Aziz
c. Marghinani dalam kitabnya al-
dilaporkan telah menekankan bahwa pajak
Hidayah, berpendapat bahwa:
harus dikumpulakan dengan keadilan dan
Jika sumber-sumber negara tidak
kemakmuran, tidak diperbolehkan
mencukupi, negara harus menghimpun
melebihi kemampuan rakyat untuk
dana dari rakyat untuk memenuhi
membayar, juga jangan sampai membuat
kepentingan umum. Jika manfaat itu
mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan
memang dinikmati rakyat, kewajiban
pokok mereka sehari-hari. (Chapra, 2000)
mereka membayar ongkosnya. (Chapra,
Abu Yusuf mendukung hak penguasa
2000)
untuk meningkatkan atau menurunkan
d. M. Umer Chapra, dalam Islam
pajak menurut kemampuan rakyat yang
and The Economic Challenge
terbebani. (Chapra, 2000)
menyatakan:
b. Ibn Khaldun dalam kitabnya
Hak negara Islam untuk meningkatkan
Muqaddimah, dengan cara yang sangat
sumber-sumber daya lewat pajak di
bagus merefleksikan arus pemikiran para
samping zakat telah dipertahankan oleh
sarjana Muslim yang hidup pada
sejumlah fukaha yang pada prinsipnya
zamannya berkenaan dengan distribusi
telah mewakili semua mazhab fikih. Hal
beban pajak yang merata dengan mengutip
ini disebabkan karena dana zakat
sebuah surat dari Thahir Ibn Husain
dipergunakan pada prinsipnya untuk
kepada anaknya yang menjadi seseorang
kesejahteraan kaum miskin, padahal
gubernur di salah satu provinsi:
negara memerlukan sumber-sumber dana
Oleh karena itu, sebarkanlah pajak
yang lain agar dapat melakukan fungsi-
oada semua orang dengan keadilan dan
fungsi alokasi, distribusi, dan stabiliasi
pemerataan, perlakuan semua orang sama
secara efektif. Hak ini dibela para fukaha
dan jangan memberi perkecualian kepada
berdasarkan hadis, “Pada hartamu ada
siapa saja pun karena kedudukannya di
kewajiban lain selain zakat, (Chapra,
masyarakat atau kekayaan, dan jangan
2000)
171
Received : 2017-05-22, Revisions Required : 2017-07-31, Accept Submission : 2017-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i2.2538
Hasan al-Bana, dalam bukunya f. Sayyid Rasyid Ridha, yang
Majmuatur Rasail, mengatakan: pernah ditanya mengenai pungutan orang
Melihat tujuan keadilan sosial dan Nasrani (Inggris) di India terhadap tanah,
distribusi pendapatan yang merata, maka ada yang separo dan ada yang seperempat
sistem perpajakan progresif tampaknya dari tanah tersebut. Bolehkan hal itu
seirama dengan sasaran-sasaran Islam. dianggap sebagai kewajiban zakat, seperti
(Chapra, 2000) 1/10 atau 1/20? Beliau menjawab:
Ibn Taimiyah, dalam Majmuatul Sesungguhnya yang wajib dari 1/10
Fatawa, mengatakan: atau 1/20 itu dari hasil bumi adalah harta
Larangan penghindaran pajak zakat yang wajib dikeluarkan pada delapan
sekalipun itu tidak adil berdasarkan sasaran (delapan ashnaf) menurut nash.
argumen bahwa tidak membayar pajak Apabila dipungut oleh Amil dari Imam
oleh mereka yang berkewajiban akan dalam negara Islam, maka bebaslah
mengakibatkan beban yang lebih besar pemilik tanah itu dari keajibannya dan
bagi kelompok lain. (Chapra, 2000) imam atau Amilnya wajib membagikan
e. Abdul Qadim, dalam Al-Amwal fi zakat itu kepada mustahiknya. Apabila
Daulah al-Khilafah, mengatakan: tidak dipungut oleh Amil, maka wajb
Berbagai pos pengeluaran yang tidak kepada pemilik harta untuk
tercukupi oleh baitul mal adalah menjadi mengeluarkannya, sesuai dengan perintah
kewajiban kaum Muslimin. Jika berbagai Allah. Harta yang dipungut oleh Nashrani
kebutuhan pos-pos pengeluaran itu tidak tadi, dianggap sebagai pajak dan tidak
dibiayai, maka akan timbul kemudharatan menggugurkan kewajiban zakat. Orang itu
atas kaum Muslimin, padahal Allah juga tetap mengeluarkan zakat. Hal ini berarti
telah mewajibkan negara dan umat untuk bahwa pajak tidak dapat dianggap sebagai
menghilangkan kemudharatan yang zakat, (Hasan, 2000)
menimpa kaum Muslimin. Jika terjadi 2. Ulama yang Berpendapat bahwa
kondisi tersebut, negara mewajibkan kaum Pajak Itu Haram
Muslimin untuk membayar pajak, hanya
Di samping sejumlah fukaha
untuk menutupi (kekurangan biaya
menyatakan pajak itu boleh dipungut,
terhadap) berbagai kebutuhan dan pos-pos
sebagian lagi fukaha mempertanyakan
pengeluaran yang diwajibkan, tanpe
(menolak) hak negara untuk meningkatkan
berlebihan. (Abdul Qadim Zallum, T.Th)

172
Received : 2017-05-22, Revisions Required : 2017-07-31, Accept Submission : 2017-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i2.2538
Maman Surahman, Fadilah Ilahi, Konsep Pajak Dalam Konsep Islam…

sumber-sumber daya melalui pajak selain mal, baik dalam kondisi ada harta maupun
zakat. Antara lain: tidak.
Dr. Hasan Turabi dari Sudan, dalam b. Maliki berpendapat(Abdul
bukunya Principle of Governance, Almalukum, 2002)
Freedom, and Responsibility in Islam, Karena menjaga kemaslahatan umat
menyatakan: melalui berbagai sarana-ssarana seperti
Pemerintah yang ada di dunia Muslim keamanan, pendidikan dan kesehatan
dalam sejarah yang begitu lama “pada adalah wajib, sedangkan kas negara tidak
umumnya tidak sah”. Karena itu, para mencukupi, maka pajak itu menjadi
fukaha khawatir jika diperbolehkan “wajib”. Walaupun demikian, Syara’
menarik pajak akan disalahgunakan dan mengharamkan negara menguasai harta
menjadi suatu alat penindasan. (Chapra, benda rakyat dengan kekuasaannya. Jika
2000) negara mengambilnya dengan
menggunakan kekuatan dan cara paksa,
3. Alasan Ulama Membolehkan Pajak
berarti itu merampas, sedangkan
a. Zallum berpendapat: (Abdul
merampas hukumnya haram.
Qadim Zallum, Tth)
c. Umer Chapra berpendapat:
Anggaran belanja negara pada saat ini
(Chapra, 2000)
sangat berat dna besar, stelah meluasnya
Sungguh tidak realistis bila sumber
tanggng jawab ulil amri dan bertambahnya
perpajakan (pendapatan) negara-negara
perkara-perkara yang harus disubsidi.
Muslim saat ini harus terbatas hanya pada
kadangkala pendapatan umum yang
lahan pajak (pos-pos penerimaan) yang
merupakan hak baitul mal seperti fa’i,
telah dibahas oleh para fukaha. Situasi
jizyah, hkaraj, ‘ushr, dan khumus tidak
telah berubah dan mereka perlu
memadai untuk anggaran belanja negara,
melengkapi sistem pajak (baru) dengan
seperti yang pernah terjadi di masa lalu,
menyertakan realitas perubahan, terutama
yatu masa Rasulullah, masa Khulafa ar-
kebutuhan masal terhadap infrastruktur
Rasyidin, masa Mu’awiyah, masa
sosial dan fisik bagi sebuah negara
Abasiyah, sampai masa Utsmaniyah, di
berkembang dan perekonomian modern
mana sarana kehidupan semakin
yang efisien serta komitmen untuk
berkembang. Oleh karena itu, negara harus
merealisasikan maqashid dalam konteks
mengupayakan cara lain yang mampu
hari ini. Sambil melengkapi sistem pajak,
menutupi kebutuhan pembelanjaan baitul
perlu kita memikirkan bahwa sistem
173
Received : 2017-05-22, Revisions Required : 2017-07-31, Accept Submission : 2017-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i2.2538
tersebut tidak saja harus adil, tetapi juga rasa aman, pengobatan dan pendidikan
harus menghasilkan, tanpa berdampak dengan pengeluaran seperti nafkah untuk
buruk pada dorongan untuk bekerja, para tentara, gaji para pegawai, guru,
tabungan dan investasi, serta penerimaan hakim dan sebagainya, atau kejadian-
yang memadai sehingga memungkinkan kejadian yang tiba-tiba, seperti kelaparan,
negara Islam melaksanakan tanggung banjir, gempa bumi, dan sejenisnya.
hawabnya secara kolektif. (Gusfahmi, 2007)
4. Pajak Dibolehkan karena Alasan Mereka ini wajib diberi nafkah, baik di
Kemaslahatan Umat baitul mal ada harta ataupun tidak.
Bahkan, jika dikhawatirkan timbul bahaya
Jika kita ikuti pendapat ulama yang
sejak menunggu diwajibkannya pajak
membolehkan, maka pajak saat ini
sehingga diperoleh harta, maka negara
memang merupakan sudah menjadi
wajib mengambil utang untuk diinfakan
kewajiban warga negara dalam sebuah
kepada mereka yang dikhawatirkan
negara Muslim, dengan alasan dana
tertimpa bahaya. Negara berkewajiban
pemerintah tidak mencukupi untuk
untuk memenuhi kebutuhan primer bagi
membiayai berbagai “pengeluaran”, yang
rakyatnya secara keseluruhan secara
jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka
langsung, sebagaimana hadis Rasulullah
akan timbul kemudharatan. Sedangkan
Saw: (Ahmad Ibn Hanbal Abu Abdullah
mencegah suatu kemudaratan adalah juga
al-Syaibani,Tth)
kewajiban, sebagaimana kaidah ushul fikih
‫اإلمام راع وهو مسؤول عن رعيت‬
mengatakan: (Al-Amidi Abu Al-Hasan,
“Seorang imam (khalifah) adalah
1440 H)
pemelihara dan pengatur urusan (rakyat),
‫ما ال يتم الواجب إال به فهو واجب‬
dan dian akan dimintai
Segala sesuatu yang tidak bisa
pertanggungjawaban terhadp
ditinggalkan demi terlaksananya
kepemimpinannya terhadap rakyatnya”.
kewajiban selain harus dengannya, maka
Di antara tanggung jawab adalah
sesuatu itu pun wajib hukumnya.
mengatur pemenuhan kebutuhan-
Oleh karena itu, pajak itu tidak boleh
kebutuhan primer bagi rakyat secara
dipungut dengan cara paksa dan kekuasaan
keseluruhan. Adapun yang termasuk
semata, melainkan karena adanya
kebutuhan primer secara keseluruhan
kewajiban kaum Muslimin yang
adalah keamanan, pengobatan, dan
dipikulkan kepada negara, seperti memberi
pendidikan, sebagaimana hadis:
174
Received : 2017-05-22, Revisions Required : 2017-07-31, Accept Submission : 2017-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i2.2538
Maman Surahman, Fadilah Ilahi, Konsep Pajak Dalam Konsep Islam…

“Diriwayatkan dari Salamah Ibn Satu hal lain yang dikemukakan oleh
Abdullah bin Mahdhan Al-Khatami, dari Chapra, kenapa pajak dibolehkan adalah
ayahnya, bahwa ia mempunyai hubungan bahwa banyak negara-negara Muslim
dekat, bahwa Rasulullah Sae bersada, mengalami defisit anggaran. Anehnya,
“Barangsiapa di antaramu yang bagun di negara-negara Muslim bukannya
pagi hari dalam kegembiraan, sehat badan, melakukan reformasi dalam sistem
dan mempunyai bahan makanan pada hari perpajakan dan program pengeluaran
itu, maka ia seolah-olah diberikan seluruh mereka, justru mereka mencari jalan pintas
dunia ini, (Akram Khan, 1996) dengan mengandalkan pada ekspansi
Oleh sebab itu, pajak memang moneter dan pinjaman. Cara ini
merupakan kewajiban warga negara dalam mengakibatkan kelonggaran finansial yang
sebuah negara Islam, tetapi negara tidak dapat dikendalikan sehingga tidak
berkewajiban pula untuk memenuhi dua dapat dipertahankan dalam jangka
kondisi (syarat): Gusfahmi,tth) panjang. Akibatnya, inflansi relatif tinggi
sementara utang domestik dan luar negeri
a. Penerimaan hasil-hasil pajak harus
serta beban cicilan meningkat sangat cepat.
dipandang sebagai amanah dan
Proses ini cenderung mengekalkan dirinya,
dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk
sehingga menimbulkan tingkat inflansi
merealisasikan tujuan-tujuan pajak;
lebih tinggi, depresiasi nilai tukar, difisit
b. Pemerintah harus mendistribusikan
neraca pembayaran yang tidak
beban pajak secara merata di antara
berkesinambungan dan bahkan beban
mereka yang wajib membayarnya.
cicilan utang lebih berat. Hal ini lebih jauh
Selama para pembayar pajak itu tidak akan menekankan sumber-sumber daya
memiliki jaminan bahwa dana yang bagi pembangunan, memperlambat
mereka sediakan kepada pemerintah akan pertumbuhan, memperparah
digunakan secara jujur dan efektif untuk pengangguran, dan ketegangan sosial.
mewujudkan maqashid (tujuan syariat), (Chapra, 2000)
mereka tidak akan bersedia sepenuhnya Mengikuti pendapat ulama yang
bekerja sama dengan pemerintah dalam mendukung perpajakan, maka harus
usaha pengumpulan pajak dengan ditekankan bahwa mereka sebenarnya
mengabaikan berapapun kewajiban moral hanya mempertimbangkan sistem
untuk membayar pajak. perpajakan yang adil, yang seirama dengan
spirit Islam. Menurut mereka, sistem
175
Received : 2017-05-22, Revisions Required : 2017-07-31, Accept Submission : 2017-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i2.2538
perpajakan yang adil apabila memenuhi kewajiban tambahan sesudah zakat (jadi
tiga kriteria: (Umar Chapra,tth) (a) Pajak dharibah bukan zakat), karena
dikenakan untuk membiayai pengeluaran kekosongan/kekurangan baitul mal, dapat
yang benar-benar diperlukan untuk dihapus jika keadaan baitul mal sudah
merealisasikan maqashid; (b) beban pajak terisi kembali, diwajibkan hanya kepada
tidak boleh terlalu kaku dihadapkan pada kaum Muslim yang kaya, dan harus
kemampuan rakyat untuk menanggung dan digunakan untuk kepentingan mereka
didistribusikan secara merata terhadap (kaum Muslim), bukan kepentingan
semua orang yang mampu membayar; (c) umum, sebagai bentuk jihad kaum Muslim
dana pajak yang terkumpul dibelanjakan untuk mencegah datangnya bahaya yang
secara jujur bagi tujuan yang karenanya lebih besar jika hal itu tidak dilakukan.
pajak diwajibkan.
Oleh karena pajak dalam Islam
Dari berbagai pendapat di atas dapat
merupakan hasil bentuk ijtihad dari
kita simpulkan, bahwa para ulama dan
para ulama maka hal ini berimplikasi
ekonom Islam membolehkan pajak karena
kepada terjadinya ikhtilâf perbedaan
adanya kondisi tertentu, dan juga syarat
pendapat dikalangan para ulam
tertentu, misalnya harus adil, merata, tidak
mengenai konsep pajak dalam Islam.
membebani rakyat, dan lain-lain.
Terdapat dua pendapat dalam hal ini,
Jika melanggar ketiga hal di atas, maka
pihak yang berpendapat bahwa pajak
pajak seharusnya dihapus, dan pemerintah
dibolehkan dalam Islam setelah
mencukupkan diri dengan sumber-sumbert
kewajiban zakat. Pihak lain
pendapatan yang jelas adanya nashnya
berpendapat bahwa pajak tidak
serta kembali kepada sistem anggaran
dibolehkan dalam Islam, karena dalam
berimbang (Balance Budget).
Islam kewajiban seorang Muslim
III. SIMPULAN dalam hal harta hanya ada pada zakat.
A. Kesimpulan
B. Saran
Dari paparan di atas, maka dapat
Dari uraian di atas, maka penulis
disimpulkan bahwa Pajak dalam hukum
memberikan saran kepada Majelis Ulama
Islam merupakan hasil ijtihad para ulama.
Indonesia (MUI) untuk membuat fatwa
Dalam syariat Islam pajak adalah
bahwa pajak (dharibah) dibolehkan dalam
kewajiban yang dapat secara temporer,
Islam, berdasarkan Al-Quran dan hadis
diwajibkan oleh Ulil Amri sebagai
176
Received : 2017-05-22, Revisions Required : 2017-07-31, Accept Submission : 2017-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i2.2538
Maman Surahman, Fadilah Ilahi, Konsep Pajak Dalam Konsep Islam…

serta ijma’ Sahabat. Namun pajak Gema Insani Press & Tazkiya
(dharibah) tersebut, tidak sama dengan
Intstitute.
pajak (tax) sebagaimana dipraktikan di
Gusfahmi. (2007). Pajak Menurut
Indonesia saat ini, yang belum bersumber
kepada Al-Quran dan hadis. Oleh karena Syariah. Jakarta: Raja Grafindo
itu, pajak-pajak di Indonesia perlu
Persada.
direformasi terlebih dahulu sebelum
Hasan, M. A. (2000). Masail Fiqhiyah
diperbolehkan.
; Zakat, Pajak, Asuransi dan

Daftar Pustaka Lembaga Keuangan. Jakarta: PT.


Abd al-baqi, M. F. (2008). Al-Mu'jam
Raja Grafindo Persada.
al-mufahras Li Alfads Al-qur'an Al-
Munawwir, A. W. (2002). Kamus ; Al-
Karim. Kairo: Dar Al-Hadits.
Munawwir. Surabaya: Pustaka
Akram Khan, M. (1996). Ajaran Nabi
Progresif.
Muhammad SAW Tentang
Rasyid, D. (2007).
Ekonomi; Kumpulan Hadis-hadis
Sari, D. R. (2010). Pemikiran Yusuf
Pilihan Tentang Ekonomi. Jakarta:
Qardhawi Tentang Pajak
PT. Bank Muamalat Indonesia.
(Dharibah). Skripsi , Universitas
Al-Amidi Abu Al-Hasan, M. A. (1440
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.
H). Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam.
Syafi'i, I. (2007). Pajak Menurut
Beirut: Dar Al- Kitab Al-Arabi.
Syariah. Jakarta: Pusata Azzam.
Al-Hasan, A., Muhammad, A. I., &
Turmudi, M. (2015). Pajak Dalam
Muhammad, I. (2002). Sistem
Perspektif Hukum Islam. Jurnal
Keuangan Di Negara Khilafah.
Al-'Adl , Vol. 8 No.1 128-142.
Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

Chapra, M. U. (2000). Islam dan

Tantangan Ekonomi. Jakarta:

177
Received : 2017-05-22, Revisions Required : 2017-07-31, Accept Submission : 2017-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i2.2538

Anda mungkin juga menyukai