Anda di halaman 1dari 13

HUKUM KETATANEGARAAN

NAMA : DOROTHEA PASCALISTA ROSALIA WEGO

NIM : 1902010562

KELAS :D

SEMESTER :IV

DOSEN PA : DAVID YOHANES MEYNERS S.H.,M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

2021

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Mahkama Konstitusi adalah lembaga negara baru dalam
struktur Kelembagaan Negara Republik Indonesia yang dibentuk
berdasarkan amanat pasal 24C jo pasal III aturan peralihan
perubahan UUD 1945. Mahkama Konstitusi adalah lembaga
negara yang termasuk salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
yang melakukan fungsi peradilan dalam menangani
permasalahan ketatanegaraan berdasarkan otoritas UUD 1945.
Secara normatif, putusan Mahkama Konstitusi Nomor
138/PUU-VII/2009 mengandung konsekuensi dua hal. Pertama,
perlindungan hukum terhadap perpu yang dinilai bertentangan
dengan konstitusi dapat menempuh dua jalur yaitu diuji di MK
atau melapor DPR dengan mekanisme persetujuan perppu pada
masa sidang berikutnya. Kedua, putusan MK di atas berdampak
perluasan kewenangan MK yang diatur di dalam pasal 24C
UUD 1945 yaitu tidak hanya menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, namun juga perpu terhadap Undang-
Undang Dasar. Dengan demikian, terdapat perluasan
kewenangan melalui putusan MK.
Kekuasaan negara pada umumnya diklasifikasikan
menjadi tiga cabang, walaupun kelembagaan negara saat ini
mengalami perkembangan yang sangat pesat dan tidak
sepenuhnya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga cabang
kekuasaan itu. Namun demikian, cabang kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif adalah tiga cabang kekuasaan yang
selalu terdapat dalam organisasi negara. Cabang kekuasaan
yudikatif diterjemahkan sebagai kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan
kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkama Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah
Mahkama Konstitusi [pasal 24 ayat (2) UUD 1945].
Dengan demikian, kedudukan MK adalah sebagai salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping MA. MK adalah
lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan
keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan
MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku
kekuasaan kehakiman lain, yaitu MA, serta sejajar pula dengan
lembaga negara lain dari cabang kekuasaan yang berbeda
sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan
pemisahan atau pembagian kekuasaan.
Pada 21 September 2009 Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia (Perppu) Nomor 4 Tahun
2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perpu itu
memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengangkat
anggota sementara pimpinan KPK bila terjadi kekosongan
keanggotaan pimpinan KPK sehingga pimpinannya kurang dari
tiga orang.
Perppu Nomor 4 Tahun 2009 diterbitkan melalui
pertimbangan: a) bahwa terjadinya kekosongan keanggotaan
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengganggu
kinerja serta berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi; b)
bahwa pengaturan mengenai pengisian kekosongan keanggotaan
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memerlukan waktu yang
cukup lama, sehingga untuk menjaga keberlangsungan dan
kesinambungan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi diperlukan percepatan dalam pengisian
kekosongan keanggotaan Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
MK dalam putusannya terdahulu memang menyatakan,
penerbitan perpu adalah hak subjektif Presiden. Ini sesuai
dengan pasal 22 UUD 1945 yang memberikan kewenangan
kepada Presiden jika ada kegentingan memaksa. Namun, tidak
ada satu ketentuan pun mengenai kriteria kegentinga memaksa
baik di UUD 1945 maupun Undang-Undang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang yang telah
dikemukakan, maka yang menjadi maslah dari makalah ini
adalah:
1.2.1 Bagaimana wewenang Mahkama Konstitusi dalam
menguji Perppu?
1.2.2 Dapatkah Mahkama Konstitusi melakukan Judicial Review
terhadap Perppu?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui secara jelas kewenangan Mahkama
Konstitusi dalam menguji Perppu.
1.3.2 Untuk mengetahui kewenangan Mahkama Konstitusi
dalam melakukan Judicial Review terhadap Perppu sebagai
produk hukum buatan Presiden.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kewenangan Mahkama Konstitusi dalam Menguji Perppu


Ide untuk membentuk MK yang salah satu tugasnya antara
lain meninjau kembali keabsahan perundang-undangan sebagai
sarana untuk membatasi penggunaan kekuasaan pemerintah,
telah disuarakan oleh para hakim, pengacara dan kelompok
kelas menengah pada 1966-1967, hanya saja dominasi
pemerintah sangat kuat sehingga ide tersebut tidak dapat
terealisir.
MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan
konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan
wewenangnya sebagimana ditentukan dalam UUD 1945.
Wewenang MK sebagaimana tercantum dalam pasal 24C ayat
(1), ialah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertama dan
terakir dan putusan MK bersifat final, yaitu langsung
mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya
hukum untuk mengubahnya.
Selain itu, berdasarkan pasal 24C ayat (2), juncto pasal 7B
MK juga berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus
mengenai pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Salah satu pertimbangannya MK menyatakan bahwa pasal
22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang”. Dari
rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah
yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-
Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam
wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang
memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk
menetapkan perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR
untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang.
Selain itu, dengan disebutnya “Presiden berhak” terkesan
bahwa pembuatan Perppu menjadi sangat subjektif karena
menjadi hak dan tergantung sepenuhnya kepada Presiden.
Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya
tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, meskipun
demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada
penilaian subjektif Presiden karena penilaian subjektif Presiden
tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif.
Dalam hal dikeluarkannya Perppu No. 4 Tahun 2009
pemohon berpendapat bahwa pertimbangan Presiden Republik
Indonesia dalam Perppu No. 4 Tahun 2009 adalah pertimbangan
yang bertentangan dengan hukum karena tidak sesuai dengan
fakta yang sebenarnya.
Pada saat dikeluarkannya perpu No. 4 Tahun 2009 tanggal
21 September 2009, pimpinan KPK menjadi 8 (delapan) orang
yang terdiri dari 2 (dua) orang dengan status aktif, 3 (tiga) orang
dengan status non aktif dan 3 (tiga) orang dengan status
pimpinan sementara, sehingga bertentangan dengan pasal 21
ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 yang mengakibatkan tidak
adanya kepastian hukum bagi warga negara; karena tidak
adanya kepastian hukum, maka akan merugikan para pemohon
sebagai penegak hukum dan bertentangan dengan UUD 1945,
pasal 28D ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Mahkama berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo; para pemohon tidak mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo; pokok permohonan tidak dipertimbangkan.
2.2 Kewenangan Mahkama Konstitusi dalam Melakukan
Judicial Review Terhadap Perppu sebagai Produk Hukum
Buatan Presiden
Kewenangan judicial review oleh Mahkama Konstitusi
adalah kewenangan yang memang diberikan dalam rangka
menjaga Konstitusi (the guardian of the constitution),
perlindungan hak asasi manusia (the protector of human rights),
perlindungan hak konstitusional warga (the protector of the
citizen’s constitutional rights).
Perppu adalah produk hukum yang menjadi kewenangan
Presiden untuk membentuknya. Secara eksplisit belum ada
peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan kewenangan
melakukan judicial review perpu.
Dalam rangka menjaga konstitusi, hak-hak warga negara,
dan hak-hak asasi manusia, tidak seharusnya terdapat peraturan
Perundang-Undangan yang tidak dapat diuji secara yudisial.
Karena peraturan Perundang-Undangan adalah produk penguasa
pembuat Undang-Undang, dan syarat dengan muatan politik.
Sehingga ada kemungkinan peraturan Perundang-Undangan
yang dibuat oleh penguasa tersebut melanggar konstitusi, hak-
hak rakyat, maupun hak asasi manusia. Sehingga sepatutnya
segala peraturan Perundang-Undangan harus tetap diawasi oleh
kekuasaan diluar kekuasaan pembentuk peraturan Perundang-
Undangan. Kontrol ini juga sebagai bentuk kontrol terhadap
pejabat negara dengan kewenangannya.
Sejalan dengan lembaga peradilan yang akan mengenai
perkara pelanggaran/kezaliman penguasa terhadap rakyatnya,
dan melakukan kontrol/pengawasan terhadap pejabat negara.
Diharapkan tidak ada pelanggaran/kezaliman yang dilakukan
oleh penguasa terhadap rakyatnya, termasuk melalui kebijakan
politik atau peraturan Perundang-Undangan yang dibuatnya,
Mahkama Konstitusi pun demikian, kewenangan judicial review
(menguji Undang-Undang) yang diberikan adalah sebagai
bentuk penjagaan terhadap konstitusi, hak-hak warga negara,
dan hak asasi manusia.
Oleh sebab itu, tidak seharusnya dibiarkan adanya
kebijkan atau peraturan Perundang-Undangan yang mengikat
warga negara sebagai produk yang dihasilkan oleh penguasa
negara kemudian tidak dapat diuji/diawasi. Karena sangat
mungkin kewenangan membuat perturan Perundang-Undangan
akan terdapat pelanggaran terhadap Konstitusi, hak-hak warga
negara, dan hak asasi manusia melalui produk peraturan
Perundang-Undangan yang dibuat.
Oleh karena itu sepatutnya Mahkama Konstitusi
mempunyai wewenang untuk menguji/melakukan judicial
review Perpu terhadap UUD 1945.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3.1 SIMPULAN
Berdasrkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa,
Mahkama Konstitusi mempunyai kewenangan untuk melakukan
pengujian terhadap Perppu meskipun secara yuridis UUD 1945
tidak memberikan kewenangan secara tegas untuk mengujinya.
Mahkama Konstitusi melalui putusannya dapat menyatakan
bahwa materi rumusan dari suatu Undang-Undang tidak
mempunyai kekutan hukum karena bertentangan dengan UUD.
Begitupun terhadap suatu Undang-Undang. Mahkama
Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak
sesuai dan tidak berdasarkan UUD. Melalui
penafsiran/interpretasi terhadap UUD 1945, Mahkama
Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif
mengoreksi Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat bersama-sama Presiden dalam
penyelenggaraan negara yang berdasarkan hukum yang
mengatur perikehidupan masyarakat bernegara.
Kewenangan Mahkama Konstitusi dalam menguji
Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945
merupakan suatu proses di dalam menegakkan Negara Hukum
dan demokrasi sehingga untuk menciptakan hal yang demikian,
seiap putusan yang di tetapkan oleh Mahkama Konstitusi harus
dilaksanakan dan di realisasikan dengan sebaik-baiknya.

3.2 Saran
Dari kesimpulan diatas saran yang dapat saya berikan
adalah:
Dalam membuat Undang-Undang pemerintah dan DPR di
harapkan benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat, agar
penguasa atau pejabat negara tidak menyalahgunakan
kekuasaannya melalui kewenangan yang dimiliki. Kewenangan
yang dimilki ini termasuk dalam perbuatan kebijakan ataupun
pembuatan peraturan Perundang-Undangan.
DAFTAR PUSTAKA

https://journal.unpak.ac.id/index.php/palar/article/view/394

file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/3915-5660-1-PB-
1.pdf

Anda mungkin juga menyukai