Anda di halaman 1dari 26

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Religiusitas

a. Pengertian Religiusitas

Secara etimologi, religiusitas berasal dari kata religi, religion

(Inggris), religie (Belanda), religio (Latin) dan ad-Dien (Arab). Menurut

Drikarya (dalam Widiyanta 2005: 80) kata Religi berasal dari bahasa

latin religio yang akar katanya religare yang berarti mengikat.

Maksudnya adalah suatu kewajiban kewajiban atau aturan-aturan yang

harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan

mengukuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam

hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam

sekitarnya.

Secara esensial agama merupakan peraturan-peraturan dari Tuhan

Yang Maha Esa berdimensi vertikal dan horizontal yang mampu

memberi dorongan terhadap jiwa manusia yang berakal agar

berpedoman menurut peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri,

tanpa dipengaruhi untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan

kebahagiaan di akhirat kelak (Sudarsono 2008: 119).

Nasution (1986: 57) menyatakan bahwa agama mengandung arti

ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang

11
12

dimaksud berasal dari salah satu kekuatan yang lebih tinggi daripada

manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan

panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap

kehidupan manusia sehari-hari. Agama sangat mendorong pemeluknya

untuk berperilaku baik dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya

serta giat berusaha untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik.

Menurut Glock & Strak (dalam Ancok & Suroso 1995: 76)

mendefinisikan agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan,

sistem nilai dan system perilaku yang terlambangkan yang semuanya

itu berpusat pada persoalan persoalan yang dihayati sebagai yang paling

maknawi (ultimate meaning. Hawari (dalam Ancok, 1995: 76)

menyatakan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan

atau kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan

ibadah sehari-hari, berdoa dan membaca kitab suci. Religiusitas

diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan berupa aktivitas yang

tampak dan dapat dilihat oleh mata, serta aktivitas yang tidak tampak

yang terjadi dalam hati seseorang.

Religiusitas perlu dibedakan dengan agama, karena konotasi

agama biasanya mengacu pada kelembagaan yang bergerak dalam

aspek-aspek yuridis, aturan dan hukuman sedangkan religiusitas lebih

pada aspek ’lubuk hati’ dan personalisasi dari kelembagaan tersebut

( Shadily,1986: 16 ).
13

Senada dengan Shadily, Ansori (dalam Ghufron, 2010: 167)

membedakan istilah religi atau agama dengan religiusitas. Jika agama

menunjuk pada aspek-aspek formal yang berkaitan dengan urutan dan

kewajiban, maka religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah

dihayati oleh seseorang dalam hati.

Religiusitas dan agama memang merupakan satu kesatuan yang

tidak dapat dipisahkan. Menurut Mangunwidjaya (dalam Andisti &

Ritandiyono 2008: 172) bila dilihat dari kenampakannya, agama lebih

menunjukkan kepada suatu kelembagaan yang mengatur tata

penyembahan manusia kepada Tuhan, sedangkan religiusitas lebih

menunjuk pada aspek yang ada di lubuk hati manusia. Religiusitas lebih

menunjuk kepada aspek kualitas dari manusia yang beragama. Agama

dan religiusitas saling mendukung dan saling melengkapi karena

keduanya merupakan konsekuensi logis dari kehidupan manusia yang

mempunyai dua kutub, yaitu kutub kehidupan pribadi dan kutub

kebersamaannya di tengah masyarakat.

Religiusitas pada umumnya terdapat sesuatu yang dirasakan

sangat dalam dan bersentuhan dengan keinginan seseorang,

membutuhkan ketaatan dan memberikan imbalan atau mengikat

seseorang dalam suatu masyarakat (Nashori , 2002: 69).

Menurut Jalaluddin (2001: 89) mendefinisikan religiusitas

merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang

mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya


14

terhadap agama. Religiusitas merupakan perilaku yang bersumber

langsung atau tidak langsung kepada Nash.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas

adalah suatu gambaran keadaan dalam diri seseorang yang

mendorongnya bertingkah laku (baik tingkah laku yang tampak maupun

tak tampak), bersikap, dan bertindak sesuai dengan ajaran-ajaran agama

yang dianutnya

b. Dimensi Religiusitas

Glock dan Stark (dalam Ancok 1995: 77) membagi dimensi atau

aspek religiusitas menjadi lima, kelima aspek atau dimensi tersebut

yaitu :

1) Religious Belief (The Ideological Dimension)

Religious belief (the idiological dimension) atau disebut juga

dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang

menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, misalnya

kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga dan neraka. Meskipun

harus diakui setiap agama tentu memiliki seperangkat kepercayaan

yang secara doktriner berbeda dengan agama lainnya, bahkan

untuk agamanya saja terkadang muncul paham yang berbeda dan

tidak jarang berlawanan. Pada dasarnya setiap agama juga

menginginkan adanya unsur ketaatan bagi setiap pengikutnya.

Adapun dalam agama yang dianut oleh seseorang, makna yang

terpenting adalah kemauan untuk mematuhi aturan yang berlaku


15

dalam ajaran agama yang dianutnya. Jadi dimensi keyakinan lebih

bersifat doktriner yang harus ditaati oleh penganut agama. Dimensi

keyakinan dalam agama Islam diwujudkan dalam pengakuan

(syahadat) yang diwujudkan dengan membaca dua kalimat

syahadat, Bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan nabi

Muhammad itu utusan allah. Dengan sendirinya dimensi keyakinan

ini menuntut dilakukannya praktek-praktek peribadatan yang

sesuai dengan nilai-nilai Islam.

2) Religious Practice (The Ritual Dimension)

Religious practice (the ritual dimension) yaitu tingkatan sejauh

mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam

agamanya. Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan,

kultur serta hal-hal yang lebih menunjukkan komitmen seseorang

dalam agama yang dianutnya. Wujud dari dimensi ini adalah

prilaku masyarakat pengikut agama tertentu dalam menjalankan

ritus-ritus yang berkaitan dengan agama. Dimensi praktek dalam

agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah shalat,

puasa, zakat, haji ataupun praktek muamalah lainnya.

3) Religious Feeling (The Experiental Dimension)

Religious Feeling (The Experiental Dimension) atau bisa disebut

dimensi pengalaman, adalah perasaan-perasaan atau pengalaman

yang pernah dialami dan dirasakan. Misalnya merasa dekat dengan

Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan,


16

diselamatkan oleh Tuhan, dan sebagainya. Ancok dan Suroso

(1995) mengatakan kalau dalam Islam dimensi ini dapat terwujud

dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan

bertawakal (pasrah diri dalam hal yang positif) kepada Allah.

Perasaan khusyuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa,

perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al

Qur’an, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat

peringatan atau pertolongan dari Allah.

4) Religious Knowledge (The Intellectual Dimension)

Religious Knowledge (The Intellectual Dimension) atau dimensi

pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa

jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya,

terutama yang ada di dalam kitab sucinya atau dimensi

pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa

jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya,

terutama yang ada di dalam kitab suci manapun yang lainnya.

paling tidak seseorang yang beragama harus mengetahui hal-hal

pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritusritus, kitab suci dan

tradisi. Dimensi ini dalam Islam menunjuk kepada seberapa tingkat

pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran

agamanya terutama mengenai ajaran pokok agamanya,

sebagaimana yang termuat di dalam kitab sucinya.


17

5) Religious Effect (The Consequential Dimension)

Religious effect (the consequential dimension) yaitu dimensi yang

mengukur sejauh mana prilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-

ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah ia

mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan,

mendermakan hartanya, dan sebagainya.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Thouless (1971: 34) membedakan faktor-faktor yang

mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat macam, yaitu:

1) Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial

Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan

keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi

sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri

dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan

itu.

2) Faktor pengalaman

Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap

keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik

moral dan pengalaman emosional keagamaan. Faktor ini umumnya

berupa pengalaman spiritual yang secara cepat dapat mempengaruhi

perilaku individu.
18

3) Faktor kehidupan

Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat,

yaitu:

a) Kebutuhan akan keamanan atau keselamatan,

b) Kebutuhan akan cinta kasih,

c) Kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan

d) Kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian.

4) Faktor intelektual

Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau

rasionalisasi.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa setiap

individu berbeda-beda tingkat religiusitasnya dan dipengaruhi oleh

dua macam faktor secara garis besarnya yaitu internal dan eksternal.

Faktor internal yang dapat mempengaruhi religiusitas seperti adanya

pengalaman-pengalaman emosional keagamaan, kebutuhan individu

yang mendesak untuk dipenuhi seperti kebutuhan akan rasa aman,

harga diri, cinta kasih dan sebagainya. Sedangkan pengaruh

eksternalnya seperti pendidikan formal, pendidikan agama dalam

keluarga, tradisi-tradisi sosial yang berlandaskan nilai-nilai

keagamaan, tekanan-tekanan lingkungan sosial dalam kehidupan

individu.
19

2. Kecemasan

a. Pengertian

Salah satu dari bentuk simtom neurotis yang paling umum adalah

keadaan takut terus-menerus, meliputi ketakutan biasa yaitu respon

terhadap rangsang menakutkan yang terjadi sekarang dan ketakutan

neurotis yaitu respon terhadap kesukaran-kesukaran yang belum terjadi.

Ketakutan neurotis inilah yang seringkali disebut dengan kecemasan

atau anxietas (Mahmud, 1990: 235).

Hal ini sesuai dengan pendapat Nevid (2003: 163) yang

menyatakan bahwa kecemasan merupakan suatu keadaan aprehensi atau

keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan

terjadi.

Sobur (2003: 345) mengatakan bahwa kecemasan adalah

ketakutan yang tidak nyata, suatu perasaan terancam sebagai

tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam.

Daradjat (1996: 17) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan

manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang

terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan

pertentangan batin (konflik). Daradjat menyebutkan bahwa kecemasan

mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya,

rasa berdosa atau bersalah, terancam, dan sebagainya, juga segi-segi

yang terjadi di luar kesadaran dan tidak bisa menghindari perasaan yang

tidak menyenangkan itu.


20

Ghufron (2010: 142) menyatakan bahwa kecemasan merupakan

pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan mengenai

kekhawatiran atas ketegangan berupa perasaan cemas, tegang dan

emosi yang dialami oleh seseorang. Kecemasan ada ketika seseorang

tidak dapat meramalkan atau menguasai (mengendalikan) suatu

situasi/objek sehingga terdapat ketakutan terhadap objek itu.

Kecemasan berkaitan dengan kesiapan pengantisipasian terhadap suatu

objek tertentu.

Berdasarkan uraian pendapat para tokoh di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang

ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam

dan berkelanjutan ketika seseorang tidak dapat meramalkan atau

menguasai (mengendalikan) suatu situasi/objek sehingga terdapat

ketakutan atau kekhawatiran terhadap situasi/objek tersebut.

b. Gejala-gejala Kecemasan

Daradjat (1996: 28) mengklasifikasikan gejala kecemasan

sebagai berikut:

1) Gejala fisik (fisiologis)

Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala-

gejala fisik, terutama pada fungsi sistem syaraf, ciri-cirinya: ujung

jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung cepat,

keringat bercucuran, tekanan darah meningkat, tidur tidak nyenyak,

nafsu makan menghilang, kepala pusing dan sesak nafas.


21

2) Gejala mental (psikologis)

Kecemasan sebagai gejala-gejala kejiwaan, ciri-cirinya; takut,

tegang, bingung, khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak

berdaya, rendah diri, tidak tenteram, ingin lari dari kenyataan hidup,

perubahan emosi, turunnya kepercayaan diri dan tidak mempunyai

motivasi.

c. Jenis-jenis Kecemasan

Freud (dalam Alwisol 2006: 26) membedakan tiga macam

kecemasan berdasarkan sumbernya, yaitu:

1) Kecemasan realistik (realistic anxiety)

Kecemasan realistik adalah rasa takut akan bahaya-bahaya nyata di

dunia luar, kecemasan realistik menjadi asal mula timbulnya

kecemasan neurotik dan kecemasan moral.

2) Kecemasan neurotik (neurotic anxiety)

Kecemasan neurotik adalah ketakutan terhadap hukuman yang akan

diterima dari orang tua atau figur penguasa lainnya jika individu

memuaskan insting dengan caranya sendiri, yang diyakini akan

mendapat hukuman. Hukuman dan figur pemberi hukuman dalam

kecemasan neurotik bersifat khayalan.

3) Kecemasan moral (moral anxiety)

Kecemasan moral adalah kecemasan yang timbul ketika individu

melanggar standar nilai orang tua. Kecemasan moral dan kecemasan

neurotik tampak mirip, tetapi memiliki perbedaan prinsip, yakni


22

pada tingkat kontrol ego. Pada kecemasan moral, individu tetap

rasional dalam memikirkan masalahnya berkat energi superego,

sedangkan pada kecemasan neurotik individu dalam keadaan distres-

terkadang panik sehingga individu tidak dapat berpikir jelas dan

energi id menghambat penderita kecemasan neurotik untuk

membedakan antara khayalan dengan kenyataan.

Freud (dalam Notowidagdo, 2002: 203) membagi kecemasan

dalam tiga macam, yaitu:

1) Kecemasan obyektif (objective anxiety) adalah reaksi terhadap

pengenalan akan adanya bahaya dari luar atau adanya kemungkinan

bahaya dari luar atau adanya kemungkinan bahaya yang

disangkanya akan terjadi. Jadi dapat dikatakan bahwa kecemasan

ini timbul akibat melihat dan mengetahui adanya bahaya yang

mengancam dirinya. Kecemasan jenis ini dapat disebut sebagai

reality anxiety (kecemasan nyata), true anxiety (kecemasan

sebenarnya), atau normal anxiety (kecemasan yang wajar).

2) Kecemasan penyakit (neurotic anxiety) adalah suatu ketakutan

yang mungkin terjadi. Kecemasan neurotik ini sudah merupakan

penyakit. Terdapat tiga bentuk dalam kecemasan neurotik, antara

lain:

a) Kecemasan secara umum, kecemasan ini merupakan yang

paling sederhana, karena tidak berhubungan dengan sesuatu hal


23

tertentu. Individu merasa takut yang samar dan umum serta

tidak menentu.

b) Kecemasan neurotik yang obyeknya benda-benda atau hal-hal

tertentu, misalnya takut melihat darah, atau serangga.

c) Kecemasan dalam bentuk ancaman, kecemasan ini adalah

dalam bentuk cemas yang menyertai gejala gangguan kejiwaan

seperti histeria. Individu yang menderita gejala tersebut

kadang-kadang merasa cemas, yang akhirnya menjadikan

adanya perasaan takut.

3) Kecemasan moral (moral anxiety) adalah kecemasan yang timbul

akibat dari dorongan perasaan, rasa dosa, dan kecemasan yang

berhubungan dengan gejala gangguan kekecewaan itu sendiri

Kecemasan dalam pengertian yang lebih mendalam seringkali

digolongkan ke dalam beberapa pengertian.

Sinambela (dalam Marsal, 2008: 13) membagi kecemasan menjadi:

1) Manifest Anxiety, yaitu suatu tingkat kecemasan yang merupakan

suatu pengungkapan seseorang pada saat-saat tertentu.

2) Test anxiety, yaitu kecemasan yang dihubungkan dengan

pengambilan keputusan dengan melalui proses evaluasi.

3) State anxiety, yaitu suatu predisposisi untuk kecemasan.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bentuk

kecemasan ada tiga, yaitu kecemasan obyektif (objective anxiety),


24

kecemasan penyakit (neurotic anxiety), kecemasan moral (moral

anxiety), manifest anxiety, test anxiety, dan state anxiety.

Berdasarkan jenis-jenis kecemasan tersebut, kecemasan

menghadapi dunia kerja termasuk ke dalam kelompok kecemasan

realitas karena kecemasan menghadapi dunia kerja bersumber dari

peristiwa yang terjadi dalam menghadapi dunia kerja. Selain dari

sumbernya, kecemasan menghadapi dunia kerja dapat digolongkan

sebagai state anxiety berdasarkan respon yang muncul. Kecemasan

menghadapi dunia kerja adalah kecemasan yang sifatnya sementara,

karena kecemasan hanya muncul pada situasi tertentu.

d. Tingkat Kecemasan

Kecemasan diidentifikasi menjadi 4 tingkat (level) yaitu;

ringan, sedang, berat, dan panik (Frisch, Stuart & Laraia, 1998,

disadur dari Peplau, 1963).

1) Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan

menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan

lapang persepsinya. Individu melihat, mendengar, dan memegang

secara lebih dibanding sebelumnya. Kecemasan jenis ini dapat

memotivasi belajar dan menghasilkan perkembangan dan

kreativitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah

kelelahan, iritabel, lapang presepsi meningkat, kesadaran tinggi,


25

mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai

situasi.

2) Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang hanya berfokus pada

persoalan yang sedang, melibatkan penyempitan dari lapangan

persepsi sehingga individu kurang melihat, mendengar dan

menggenggam. Individu menahan beberapa area terpilih tetapi

dapat menyelesaikan jika diarahkan. Manifestasi yang terjadi pada

tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung

dan pernafasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat

dengan volume tinggi, lahan presepsi menyempit, mampu belajar

tapi tidak maksimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian

selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah

kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah

dan menangis.

3) Kecemasan Berat

Kecemasan berat ditandai oleh penurunan lapang persepsi. Individu

cenderung berfokus pada sesuatu yang khusus dan detail dan tidak

berfikir tentang hal-hal lain. Semua tingkahlaku pada pengurangan

kecemasan, dan memerlukan banyak bimbingan untuk berfokus

pada area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini

adalah mengeluh pusing, sakit kepala, tidak dapat tidur, sering

kencing, diare, palpilasi, lahan presepsi menyempit, tidak mau


26

belajar secara efektif, berfokus pada diri sendiri dan keinginan

untuk menghilangkan kecemasan sangat tinggi, perasaan tidak

berdaya, binggung dan disorientasi.

4) Panik

Panik berhubungan dengan perasaan takut, ketakutan, dan teror.

Karena kehilangan kontrol/kendali secara lengkap, individu tidak

dapat melakukan sesuatu, walaupun dengan bimbingan. Panik

melibatkan disorganisasi kepribadian. Terjadi peningkatan aktivitas

motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan dengan orang

lain, persepsinya menyimpang, dan kehilangan pikiran yang

rasional. Panik adalah pengalaman yang menakutkan dan

melemahkan. Seseorang yang panik tidak dapat berfungsi atau

berkomunikasi secara efektif. Manifestasi pada orang yang panik

adalah susah bernafas, dilantasi pupil, palpilasi, pucat, diaphoresis,

pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah

yang sederhana, berteriak, menjerit mengalami halusinasi dan

delusi. Tingkat kecemasan ini tidak dapat berlangsung dalam

jangka waktu yang tidak terbatas sebab pertentangan dengan

kehidupan. Panik dalam jangka waktu yang lama dapat

menyebabkan kelelahan dan kematian.


27

3. Kecemasan menghadapi dunia kerja

Kerja adalah dunia yang akan segera dimasuki oleh mahasiswa

semester akhir yang sudah menyelesaikan studinya di sebuah perguruan

tinggi. Dunia kerja memiliki banyak bidang dan cakupan dunia kerja

sangatlah luas. Disetiap bidang dunia kerja dituntut adanya kemampuan,

keahlian, ketrampilan khusus profesionalisme dan usaha untuk terus maju

berkembang. Mengatasi permasalahan dan tuntutan tersebut, maka

diperlukan kesesuaian antara jenis pekerjaan dengan kemampuan yang

dimiliki.

Mahasiswa semester akhir dituntut memiliki kesiapan mental

dalam masa persiapan untuk memasuki dunia kerja. Apabila ia merasa

tidak mampu mempersiapkan diri dengan baik, ia cenderung akan

memiliki kecemasan untuk memasuki dunia kerja. Kecemasan menghadapi

dunia kerja adalah perasaan khawatir yang dialami seseorang ketika

memasuki dunia kerja. Kecemasan itu dapat disebabkan oleh banyak

faktor yaitu lemahnya keimanan atau kepercayaan mereka terhadap Allah

SWT , Selalu bergantung pada diri sendiri dan sesama manusia dalam

urusan rezeki sehingga lupa menggantungkan hidupnya kepada Allah,

Tuhan yang telah menciptakan dan memberinya rezeki dan konsepsi

mereka bahwa, rezeki itu juga ditentukan oleh tingkat pendidikan dan

ijazah seseorang, artinya bila seseorang berijazah tinggi setinggi itu pula

rezekinya (Aziz : 22).


28

Muchlas (dalam Megawati, 1999: 12) menyebutkan faktor yang

mempengaruhi kecemasan, yaitu : diantaranya Pendidikan dan Agama,

kurangnya ilmu yang didapat dari perguruan tinggi dirasa sangat

berpengaruh karena membuat mahasiswa kurang percaya diri dalam

bersaing di dunia kerja yang semakin kompetitif dan sempit. Selain itu

kurangnya keyakinan bahwa Allah telah mengatur tentang semua rezeki

kepada hambanya juga membuat mahasiswa semakin cemas dalam

menghadapi fenomena dunia kerja saat ini.

Mahasiswa tingkat akhir adalah mahasiswa yang sedang dalam

proses mengerjakan tugas akhir (skripsi) di perguruan tinggi atau

universitas. Mahasiswa tingkat akhir merupakan calon lulusan yang

selanjutnya akan melanjutkan masa depannya ke dunia kerja.

Bagi mahasiswa semester akhir dunia kerja adalah dunia yang

belum pernah mereka masuki, namun itu adalah dunia yang sudah sangat

dekat dengan mereka. Karena setelah lulus nanti mereka pasti akan masuk

ke dalam dunia kerja. Bagi mereka hal ini belum bisa dipahami

sepenuhnya karena mereka belum bisa merasakan bagaimana kehidupan di

dunia kerja sesungguhnya. Namun inilah kenyataan yang harus mereka

alami setelah mereka lulus nanti. Jadi, dalam hal ini dapat dilihat bahwa

kecemasan mahasiswa semester akhir bisa diakibatkan oleh permasalahan

akademis dan permasalahan ketika mereka dihadapkan pada permasalahan

tentang dunia kerja yang segera akan mereka masuki. Ketika gejala

kecemasan itu muncul, perasaan tidak mengenakkan menyertai rutinitas


29

mereka dan disertai perubahan fisik, perilaku serta gejala-gejala lainnya

yang dapat dikatakan sebagai gejala kecemasan.

4. Hubungan antara Religiusitas dengan Kecemasan Menghadapi Dunia

Kerja

Kecemasan menghadapi dunia kerja adalah perasaan khawatir yang

dialami seseorang ketika menghadapi atau memasuki dunia kerja.

Kecemasan dapat disebabkan oleh banyak hal diantaranya peluang kerja

yang semakin sempit, persaingan yang semakin ketat, pengalaman yang

sedikit dan dibutuhkannya kompetensi seperti pengetahuan, keterampilan

serta sikap atau perilaku. Biasanya kecemasan ini dialami oleh mereka

yang baru saja menyelesaikan studinya (pendidikan) atau fresh graduate

dan adanya keinginan untuk mencari pekerjaan sesuai dengan latar

belakang pendidikan yang dimiliki.

Kecemasan terjadi karena tidak terpenuhinya rasa aman dalam diri

individu. Rasa aman tersebut dapat diperoleh melalui beberapa kegiatan

yang berhubugan dengan agama, karena didalam individu, baik krisis fisik

maupun krisis psikologi membuat mencari jalan atau terapis masalah

yang dihadapi dan disinilah agama berperan (Yusuf, 2002 : 107).

Hambaly (dalam Marsal. 2008: 210) mengatakan salah satu faktor yang

dapat menurunkan atau mengurangi kecemasan adalah religiusitas.

Kedekatan individu dengan sang pencipta dapat membuat seseoang aman


30

sehingga rasa cemas dapat dihindari. Makin religius seseorang,

kemungkinan mengalami kecemasan makin rendah.

Ghufron (2010: 167) mengemukakan bahwa religiusitas menunjuk

pada tingkat keterikatan individu terhadap agamanya. Hal ini menunjukan

bahwa individu telah menghayati dan menjalankan ajaran agamanya

sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya.

Latar belakang kehidupan keagamaan mahasiswa dan ajaran agama

memainkan peran penting dalam menentukan ketenangan dan kemantapan

hati mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja. Jalaludin (2005: 234)

mengatakan bahwa pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah

memberikan kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses

dan rasa puas. Perasaan positif ini selanjutnya akan memotivasi dalam

mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan

yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai

mempunyai unsur kesucian serta ketaatan.

Religiusitas yang tinggi pada mahasiswa menjadikan mahasiswa

memiliki kesiapan dalam menghadapi dunia kerja. Keinginan dalam

mendapatkan pekerjaan bagi mahasiswa yang religius, selalu di ikuti

dengan kesiapan untuk gagal. Keberhasilan atau kegagalan adalah bagian

dari cinta Allah kepada umatNya dan tergantung dari bagaimana

mahasiswa mampu menyiapkan atau tidak. Selain berusaha

mempersiapkan dengan baik, hendaknya mahasiswa juga bersungguh

sungguh dan berikhtiar.


31

Peranan kehidupan religius berpengaruh dalam mengurangi

kecemasan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja. Kecemasan dengan

religiusitas menjadi dua faktor penting yang berpengaruh pada efek

psikologi mahasiswa yang akan menghadapi dunia kerja. Agama dapat

memantapkan kembali jiwa mahasiswa yang mengalami kebimbangan

kebimbangan. Jesild (dalam Subandi. 1998: 2) mengatakan bahwa agama

akan memberikan kepastian dan kepercayaan diri pada mahasiswa, agama

juga dapat meningkatkan rasa aman dan mencegah rasa cemas atau panik

pada mahasiswa.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan jika mahasiswa memiliki

tingkat religiusitas tinggi maka kecemasan dalam menghadapi dunia kerja

akan berkurang, sehingga diduga religiusitas mempengaruhi kecemasan

mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian yang relevan yaitu penelitian terdahulu yang dilakukan

oleh Ernia Yunita Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Tahun 2014, Hubungan Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Menghadapi

Dunia Kerja Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah

Surakarta. Hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan negatif yang

sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan kecemasan menghadapi

dunia kerja. Hal ini ditunjukkan dari analisis korelasi product moment sebesar

- 0.434 dengan p = 0,000 (p < 0,01) dan didapatkan sumbangan efektif


32

kepercayaan diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja sebesar 18,8%.

Hipotesis dalam penelitian ini diterima.

Selanjutnya penelitian dari Rizki Larinta Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

Jogjakarta Tahun 2006 dengan judul Hubungan Religiusitas dengan

Kecemasan dalam Menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) 2006 pada

Siswa SMU. Dari hasil analisis korelasi yang dilakukan diperoleh nilai

korelasi antara religiusitas dan kecemasan menghadapi UAN adalah sebesar -

0,391 dengan tingkat signifikansi (p) = 0,000 (p < 0,05). Berdasarkan hasil

analisis korelasi yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa ada

hubungan yang negatif antara religiusitas dengan kecemasan menghadapi

UAN pada siswa SMA, dimana semakin tinggi religiusitas pada siswa maka

semakin rendah kecemasan menghadapi UAN dan sebaliknya semakin rendah

religiusitas pada siswa semakin tinggi kecemasan menghadapi UAN.

Selanjutnya penelitian dari Hasna Amania Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Tahun 2013 dengan judul

Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Efikasi Diri dengan Kecemasan

Menghadapi Dunia Kerja pada Penyandang Tuna Daksa Dari hasil analisis

regresi linier berganda diperoleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,648;

p=0,000 (p<0,05) dan Fhitung 22,028 > Ftabel 3,148. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan

sosial dan efikasi diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada

penyandang tuna daksa. Secara parsial menunjukkan terdapat hubungan


33

negatif yang signifikan antara dukungan sosial dengan kecemasan

menghadapi dunia kerja pada penyandang tuna daksa dengan koefisien

korelasi (r) sebesar -0,183; serta terdapat hubungan negatif yang signifikan

antara efikasi diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada

penyandang tuna daksa yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi (r)

sebesar -0,518.

Selanjutnya penelitian Widhi Nugrahaningtyas Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebalas Maret Tahun 2014 dengan judul

Hubungan antara Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Keluarga dengan

Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja pada Siswa Kelas XII SMK

Muhammadiyah 1 Wedi Klaten Hasil analisis regresi ganda menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial keluarga

dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada siswa kelas XII SMK

Muhammadiyah 1 Wedi Klaten dengan Fhitung 42,911 > Ftabel 3,126 (p<0,05),

serta nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,740. Berdasarkan hasil analisis

korelasi parsial menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara efikasi

diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada siswa kelas XII SMK

Muhammadiyah 1 Wedi Klaten dengan koefisien korelasi (rx1y) sebesar -

0,392 (p=0,001); serta terdapat hubungan negatif antara dukungan sosial

keluarga dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada siswa kelas XII

SMK Muhammadiyah 1 Wedi Klaten dengan koefisien korelasi (rx2y) sebesar

-0,433 (p=0,000). Nilai R2 yang diperoleh adalah 0,547. Artinya, efikasi diri

dan dukungan sosial keluarga secara bersama-sama memberi sumbangan


34

pengaruh sebesar 54,7% terhadap kecemasan menghadapi dunia kerja,

dengan sumbangan efektif (SE) masing-masing 25,38% untuk efikasi diri,

dan 29,32% untuk dukungan sosial keluarga.

Selanjutnya penelitian Rahmat Sukoco mahasiswa Jurusan Tasawuf

dan Psikoterapi (TP) Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan

Kecemasan Moral Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo

Semarang Tahun 2010. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada

hubungan positif antara tingkat religiusitas dengan kecemasan moral dengan

nilai r hitung sebesar 0,505 dan Nilai signifikansi sebesar 0,01.

C. Kerangka Berfikir

Berikut gambaran dari kerangka berfikir penelitian mengenai hubungan

antara Religiusitas dengan kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa

tingkat akhir Jurusan Bimbingan Konseling Islam Fakultas Ushuluddin dan

Dakwah IAIN Surakarta:

Religiusitas Kecemasan
Menghadapi
Dunia Kerja

1. Religious Belief/keyakinan
2. Religious Practice/praktek
ibadah 1. Reaksi Fisik
3. Religious 2. Reaksi Mental/
Feeling/pengalaman psikologis
4. Religious
Knowledge/pengetahuan
5. Religious Effect/ konsekuensi

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir


35

Dari gambar kerangka berfikir tersebut dapat dijelaskan bahwa:

Religiusitas adalah suatu gambaran keadaan dalam diri seseorang yang

mendorongnya bertingkah laku (baik tingkah laku yang tampak maupun tak

tampak), bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang

dianutnya. Dimensi dimensinya adalah religious belief / keyakinan, religious

practice / praktik ibadah, religious feeling / pengalaman, religious knowledge

/ pengetahuan, religious effect / konsekuensi.

Kecemasan merupakan pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan

mengenai kekhawatiran atas ketegangan berupa perasaan cemas, tegang dan

emosi yang dialami oleh seseorang. Gejalanya terdiri dari reaksi fisik dan

mental /kognitif.

Tingkat religiusitas mahasiswa berpengaruh terhadap kecemasan

menghadapi dunia kerja mahasiswa akhir. Apabila Tingkat religiusitas

mahasiswa tinggi maka kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa

rendah. Begitu pula sebaliknya, apabila Tingkat religiusitas mahasiswa

rendah maka kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa akan tinggi.

D. Hipotesis

Arikunto (2006: 71) menyatakan bahwa hipotesis dapat diartikan

sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan

penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul

Bungin (2005: 85) yang dimaksud dengan hipotesis adalah kesimpulan

penelitian yang belum sempurna, sehingga perlu disempurnakan dengan


36

membuktikan kebenaran hipotesis itu melalui penelitian. Pembuktian itu

hanya dapat dilakukan dengan menguji hipotesis dimaksud dengan data di

lapangan.

Berdasarkan kerangka berpikir diatas maka dirumuskan hipotesis

sebagai berikut:

Ho = tidak ada hubungan antara religiusitas dengan kecemasan

menghadapi dunia kerja mahasiswa tingkat akhir Jurusan Bimbingan

Konseling Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta.

Ha= ada hubungan negatif antara religiusitas dengan kecemasan

menghadapi dunia kerja mahasiswa tingkat akhir Jurusan Bimbingan

Konseling Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta. Semakin

tinggi religiusitas mahasiswa maka semakin rendah kecemasan menghadapi

dunia kerja. Begitu sebaliknya, semakin rendah religiusitas mahasiswa maka

semakin tinggi kecemasan menghadapi dunia kerja.

Anda mungkin juga menyukai