Anda di halaman 1dari 6

HIGHEST BEST USES (HBU) ANALYSIS

TUGAS MATA KULIAH:


DASAR TEKNIK VALUASI DAN TEKNIK EVALUASI

1. Konsep Highest and Best Uses


Highest And Best Uses Analysis selanjutnya ditulis analisis HBU merupakan sebuah konsep yang
sangat dikenal dalam bidang manajemen aset real property, baik dalam hal optimalisasi aset maupun
penilaian aset. Beberapa literatur menyebutkan bahwa analisis HBU adalah analisis terhadap kegunaaan
terbaik dan tertinggi dari suatu bidang tanah kosong (vacant land) ataupun tanah yang dianggap kosong
(land as vacant). Analisis ini meliputi empat hal pokok yaitu, analisis kelayakan secara fisik (physically
feasible), analisis kelayakan secara peraturan (legally permissible), analisis kelayakan secara keuangan
(financially feasible), dan analisis produktivitas yang maksimal (maximally productive). Sebuah properti
dikatakan telah memenuhi kriteria HBU bilamana secara fisik dimungkinkan, diijinkan secara peraturan,
layak secara finansial, dan dapat memberikan hasil yang paling maksimal.

Analisis kelayakan secara fisik berkaitan dengan apakah suatu properti (bangunan) atau alternatif
properti layak untuk didirikan di atas satu bidang tanah tertentu dengan karakteristik tanah yang tertentu
pula. Karakteristik fisik tanah berupa lokasi, luas, bentuk, kontur, ataupun sifat tanah sangat berpengaruh
terhadap alternatif property yang dapat dikembangkan di atasnya. Secara sederhana, sebuah hotel
berbintang tidak layak dibangun di atas tanah yang luasnya hanya 3.000 m2. Namun, tanah dengan luas
3.000 m2 terlalu berlebihan untuk dibangun sebuah rumah tinggal. Sebuah mall tidak mungkin dibangun
di luar kota yang sepi dari konsumen. Sebuah pabrik kayu misalnya, tidak layak didirikan di pusat kota.
Pengembangan properti yang tidak memperhitungkan karakteristik fisik tanah yang akan dikembangkan
dapat menyebabkan properti yang dihasilkan menjadi tidak optimal.

Analisis kelayakan secara peraturan berkaitan dengan apakah suatu properti ataupun alternatif
properti yang akan dikembangkan di atas suatu bidang tanah tertentu didukung atau diizinkan oleh
ketentuan peraturan yang ada. Ketentuan peraturan berupa zoning (peruntukan tanah), KDB (Koefisisen
Dasar Bangunan), KLB (Koefisisen Luas Bangunan), ketinggian maksimal bangunan, sempadan jalan
dan ketentuan tentang Rencana Umum Tata Ruang/Wilayah (RUTR/W) lainnya serta peraturan berkaitan
dengan lalu lintas dan lingkungan hidup sangat berpengaruh terhadap alternatif properti yang dapat
dikembangkan.

Analisis kelayakan secara keuangan berkaitan  dengan apakah properti ataupun alternatif properti
dapat memberikan keuntungan atau pendapatan bersih (net income) yang positif. Analisis ini biasanya
dilakukan setelah dua analisis yang pertama tersebut di atas dilakukan. Untuk menentukan kelayakan
secara keuangan, perlu diestimasi dan diekspektasikan dari setiap potensial kegunaan terbaik dan
tertinggi. Prospek masa depan dapat diestimasi dengan cara membandingkan dengan properti sejenis
yang sudah berjalan. Analisis pasar, mikro dan makro ekonomi sangat diperlukan. Selanjutnya, hal-hal
yang juga harus diperhatikan adalah mengenai pendapatan potensial (potential income), tingkat
kekosongan (vacancy rate), biaya operasi (operating cost), pendapatan bersih (net income), dan tingkat
pengembalian (discount rate/capitalization rate). Sebuah properti dikatakan layak secara keuangan
bilamana dapat memberikan pendapatan bersih yang positip. Seberapa besar pendapatan bersih yang
dapat dikatakan layak sangat tergantung pada preferensi masing-masing investor.

Analisis yang terakhir dalam analisis HBU adalah analisis produktifitas yang maksimal. Sebuah
properti atau alternatif properti dikatakan memiliki produktivitas yang maksimal bilamana memiliki tolok
ukur finansial yang lebih baik dibanding properti atau alternatif properti lainnya. Tolok ukur finansial
yang biasanya digunakan adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Payback
Period, Return on Investment (ROI), Benefit Cost Ratio. Bilamana dua atau lebih alternatif properti sama-
sama menunjukan hasil analisis layak secara fisik, diijinkan secara peraturan, dan layak secara keuangan,
maka alternatif properti yang memenuhi kriteria HBU adalah alternatif properti yang memiliki tolok ukur
finansial yang lebih baik dibanding alternatif properti lainnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana penerapan analisis HBU dalam praktek baik dalam
konteks optimalisasi aset maupun penilaian aset? Dalam konteks optimalisasi aset, analisis HBU
dilaksanakan dengan sangat detail. Berbagai alternatif properti yang dapat dikembangkan dikaji dan
dianalisis secara mendalam sebelum akhirnya dipilih satu alternatif yang terbaik dan dianggap telah
memenuhi kriteria HBU. Analisis pasar, mikro dan makro ekonomi menjadi bahasan yang wajib. Dapat
dikatakan, analisis HBU merupakan pre feasibility study sebelum studi kelayakan yang sesungguhnya
dijalankan.

Dalam konteks penilaian aset,  analisis HBU biasanya dilakukan dengan lebih sederhana. Dalam
hal ini, lazimnya analisis HBU lebih ditekankan pada analisis kelayakan secara fisik dan analisis
kelayakan secara peraturan. Dua analisis lainnya yaitu, analisis kelayakan secara keuangan dan analisis
produktifitas yang maksimal sangat jarang dibahas secara mendalam. Selanjutnya, observasi dan
pengamatan langsung di lapangan biasanya lebih dominan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan
apakah properti yang dinilai telah memenuhi kriteria HBU ataukah tidak. Sederhananya, bilamana
properti yang dinilai adalah sebuah ruko dan properti yang banyak berdiri di sekitar properti yang dinilai
adalah juga ruko, maka hampir dipastikan penilai akan mengambil kesimpulan bahwa ruko adalah HBU
dari kawasan tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa analisis HBU merupakan bahasan yang dapat
dikatakan wajib dalam manajemen aset real property, baik dalam hal optimalisasi aset maupun penilaian
aset. Analisis HBU meliputi empat hal pokok yaitu, analisis kelayakan secara fisik (physically feasible),
analisis kelayakan secara peraturan (legally permissible), analisis kelayakan secara keuangan (financially
feasible), dan analisis produktivitas yang maksimal (maximally productive). Lazimnya, analisis HBU
dalam konteks optimalisasi aset dilaksanakan lebih detail dibandingkan dalam konteks penilaian aset
(Suprapno, 2010).

2. Tujuan HBU Analysis


Menurut Siregar (2004), Highest and Best Use Analysis (HBU Analysis) memiliki tujuan untuk
mengetahui produk pengembangan terbaik dan optimal di atas tanah atau tanah dan bangunan yang di
anggap memiliki potensi untuk dikembangkan atau yang dirasakan belum optimal pemanfaatannya.
Sedangkan menurut Robert, dkk (dalam Prijatno, 2010), tujuan dari Highest and Best Use Analysis (HBU
Analysis) ini adalah untuk menetapkan pemanfaatan yang paling optimal dari aset-aset yang belum
optimal, akan tetapi mempunyai potensi untuk di kembangkan, sehingga dapat memberikan hasil yang
maksimal bagi pemilik aset tersebut. Berdasarkan definisi di atas dapat di tarik kesimpulan, bahwa tujuan
dari Highest and Best Use Analysis (HBU Analysis) adalah untuk mengoptimalkan aset yang belum
optimal, akan tetapi mempunyai potensi untuk dikembangkan sehingga dapat memberikan hasil yang
maksimal untuk pemilik atau pengelola aset tersebut. Dengan Highest and Best Use Analysis (HBU
Analysis) ini, akan diketahui metode pengembangan yang paling tepat untuk aset yang belum optimal
tersebut.

3. Proses HBU Analysis


Dalam melakukan Highest and Best Use Analysis (HBU) ada proses yang harus dilewati oleh
penilai aset. Menurut Prijatno (2010), proses dari studi HBU yaitu dengan melakukan beberapa studi
kelayakan, diantaranya sebagai berikut:

1. Kelayakan Secara Peraturan dan Hukum


a. Private Restriction/Contract
b. Zoning
c. Building Code
d. Ketinggian Bangunan
e. Kontrol terhadap benda sejarah
f. Aturan Keselamatan Lingkungan
g. Aturan Kesehatan dan Keamanan Hunian

2. Kelayakan Secara Fisik


a. Ukuran tanah
b. Bentuk tanah
c. Luas
d. Frontage
e. Ketinggian dari paras jalan
f. Kontur/Topografi
g. Lokasi Tanah
h. Letak Tanah
i. Aksesibilitas

3. Kelayakan Secara Keuangan


a. Net operating income (NOI), yaitu pendapatan bersih yang diterima atas operasional perusahaan.
NOI dapat dihitung sebagai berikut:

b. Pay back period, yaitu periode waktu dimana investasi yang dilakukan perusahaan sudah bisa
pulih atau kembali melalui cash flow yang masuk ke perusahaan. Dalam hal ini tidak
diperhitungkan bunga atau inflasi.
c. Benefit-cost ratio, yaitu rasio pembanding antara keuntungan dan beban.
d. Net Present Value (NPV) adalah nilai sekarang dari uang atau cash flow di masa mendatang
dengan mempertimbangkan faktor bunga atau interest rate.

e. Internal Rate of Return (IRR),


IRR dalam persen muncul ketika NPV = 0. Berlaku aturan, IRR yang dihasilkan suatu proyek
harus lebih besar dari biaya sumberdayanya. Sebagai contoh, jika suatu perusahaan meminjam
dana dengan bunga sebesar 18% per tahunnya untuk membiayai suatu proyek, dan IRR yang
dicapai proyek adalah 16%, maka proyek tersebut tidak layak karena biaya sumberdayanya lebih
besar dari IRR. Rumus untuk menentukan IRR sangat kompleks, sebagai konsekuensinya maka
cara yang paling sesuai untuk memperoleh IRR adalah dengan merata-ratakan suatu financial
calculator atau spreadsheet dengan menggunakan fungsi IRR. Jika pilihan ini tidak tersedia, maka
IRR dapat dikembangkan melalui trial and error dengan mendefinisikan NPV dari proyek,
menggunakan beragam suku bunga, hingga diperoleh hasil NPV nol (mendekati nol). Dengan
alternatif, dua atau tiga NPV dapat dikembangkan dan diplot dalam suatu grafik dan dihubungkan
dengan garis lurus. Ketika garis memotong sumbu x (NPV=R0), akan diperoleh persentase IRR.
IRR tertinggi adalah yang paling diinginkan. Cara lain untuk menentukan IRR adalah dengan
menggunakan ratarata dalam grafik.

4. Produktivitas yang Maksimal


a. NPV positif dan terbesar
b. IRR positif dan terbesa
c. Pay back period paling cepat
d. B/C Ratio terbesar dan >1
e. Sesuai dengan kelayakan fisik dan peraturan

4. Contoh Kasus
Terdapat suatu lahan bekas pasar sentral milik Pemerintah Kota Bulukumba, Prov. Sulawesi
Selatan dengan posisi yang strategis, seluas 11.440 m2 yang dibatasi oleh Jl. A. Mappijalan, Jl.H.A.
Sultan, Jl. S. Parman, dan Jl. Moh. Noor. Setelah dilakukan analisis persepsi konsumen terdapat 3
alternatif yaitu membangun pusat perbelanjaan, membangun gedung serbaguna, atau membangun hotel.
Sebagai masukan kepada Pemerintah digunakan tambahan analisis, yaitu analisis HBU dengan
melakukan Uji Kelayakan Hukum (pembatasan secara pribadi, penetapan daerah, aturan tentang
bangunan dan peraturan lingkungan), Uji Kelayakan Fisik (bentuk, ukuran, kedataran, ketersediaan
fasilitas publik, Uji Kelayakan Finansial (analisis permintaan dan penawaran perbelanjaan dan hotel serta
analisis tingkat pengembalian modal pusat perbelanjaan), Uji Produktivitas Maksimum (tingkat
kapitalisasi, hasil uji kelayakan finansial dan estimasi nilai pasar lahan).
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diperoleh dua nilai pasar lahan. Kedua nilai pasar
tersebut adalah Rp. 238.000,-/m2 jika lahan dibiarkan kosong dan Rp. 2.000.000,-/m2 jika di atasnya
dibangun pusat perbelanjaan. Oleh karena itu, penggunaan tertinggi dan terbaik pada lahan bekas lokasi
pasar sentral di Kota Bulukumba, Prov. Sulawesi Selatan adalah membangun fasilitas Pusat
Perbelanjaan.1

1
Agus Wijaya dan Putu Rudy Setiawan, “Prinsip Penggunaan Tertinggi dan Terbaik untuk Menentukan Jenis Pemanfaatan Lahan
Pasar”, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 19 No. 2, Agustus 2008, hlm.71-87

Anda mungkin juga menyukai