Anda di halaman 1dari 28

PELAKSANAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT OLEH

TENAGA FARMASI DI RUMAH SAKIT UMUM


BETHESDA GUNUNGSITOLI-NIAS

PROPOSAL

Oleh :

YANTONIUS HALAWA
NIM : 160205067

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan kepada penulis,
sehingga dapat menyelesaikan proposal yang berjudul “Pelaksanaan Pelayanan
Informasi Obat Oleh Tenaga Farmasi Di Rumah Sakit Umum Bethesda
Gunungsitoli-Nias”yang disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan program S1 Farmasi di Universitas Sari Mutiara Indonesia Tahun
2020.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian...................................................................3
1.3 Hipotesis Penelitian.................................................................................3
1.4 Tujuan Penelitian.....................................................................................4
1.5 Manfaat Penelitian...................................................................................4
1.6 Kerangka Pikir Penelitian........................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................6


2.1 Pengertian Rumah Sakit...........................................................................6
2.2 Pelayanan Kesehatan...............................................................................6
2.2.1 Pelayanan Kesehatan Promotif....................................................7
2.2.2 Pelayanan Kesehatan Preventif....................................................7
2.2.3 Pelayanan Kesehatan Kuratif.......................................................7
2.2.4 Pelayanan Kesehatan Rehabilitatif..............................................7
2.2.5 Pelayanan Kesehatan Tradisional................................................7
2.3 Pelayanan Kefarmasian............................................................................8
2.4 Apoteker...................................................................................................8
2.5 Pharmaceutical Care................................................................................9
2.6 Pelayanan Informasi Obat........................................................................10
2.6.1 Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit..................12
2.6.2 Metode Pelayanan Informasi Obat...............................................13
2.6.3 Kegiatan Pelayanan Informasi Obat............................................14
2.7 Sumber Instrumen Yang Digunakan........................................................14
2.8 Evaluasi sumber Yang Digunakan...........................................................15
2.8.1 Evaluasi Pustaka Primer..............................................................15
2.8.2 Evaluasi Pustaka Sekunder..........................................................17
2.8.3 Evaluasi Pustaka Tersier..............................................................17

BAB III METODE PNELITIAN......................................................................18


3.1 Jenis Penelitian.........................................................................................18
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian..................................................................18
3.2.1 Tempat Penelitian........................................................................18

ii
3.2.2 Waktu penelitian..........................................................................18
3.3 Variabel Penelitian...................................................................................18
3.4 Bahan atau Materi Penelitian...................................................................18
3.5 Alat dan Instrumen Penelitian..................................................................19
3.6 Tahap Pengolahan Data...........................................................................19
3.7 Pengolahan Data......................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................21

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian................................................................5

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

rawat inap, rawat jalan, dan rawat darurat. Pelayanan farmasi rumah sakit adalah

bagian yang tak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang

utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien . sebagai upaya untuk menjamin

mutu pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang berorientasi pada kesehatan

pasien dikeluarkan Perarturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58

Tahun 2014 (1). Dalam struktur kesehatan, rumah sakit termasuk salah satu pilar

penunjang yang sering menjadi korban ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan

kefarmasian yang menganggap rumah sakit hanya mementingkan usaha komersial

dan melupakan fungsi sosialnya. Pelayanan kefarmasian di rumah sakit hendaknya

memiliki tujuan pokok agar pasien mendapatkan obat yang bermutu baik dengan

informasi yang selengkap-lengkapnya Pelayanan kefarmasian adalah pengelolaan dan

penggunan obat secara rasional, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

sistem pelayanan kesehatan secara menyeluruh, yang dilaksanakan secara langsung

dan bertanggung jawab demi tercapainya peningkatan kualitas hidup manusia (2).

Salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian yang mengacu pada konsep

pharmaceutical care secara nyata dapat dilihat dari kualitas pelayanan informasi

obat di apotek (3). Obat adalah produk khusus yang memerlukan pengamanan bagi

pemakainya, sehingga pasien sebagai pemakai perlu dibekali informasi yang

memadai untuk mengkonsumsi suatu produk obat. ldealnya petugas apotek baik

1
diminta ataupun tidak harus selalu pro aktif memberikan pelayanan informasi obat

sehingga dapat membuat pasien merasa aman dengan obat yang dibeli. lnformasi ini

meliputi dosis, cara pakai tentang cara dan waktu menggunakan obat, jumlah

pemakaian dalam sehari, cara menyimpan perbekalan farmasi di rumah (kantor), cara

mengatasi efek samping yang mungkin akan terjadi (4).

Selain itu, bagi apoteker, pelayanan informasi obat dapat digunakan untuk

mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah terjadinya masalah yang

berhubungan dengan obat (drug related problems) sehingga tujuan terapi yaitu

kesembuhan pasien dapat tercapai (5).

Belum semua pasien tahu dan sadar akan apa yang harus dilakukan tentang

obat-obatnya. Oleh sebab itu untuk mencegah kesalahgunaan, penyalagunaan, dan

adanya interaksi obat yang tidak di kehendaki. Pelayanan informasi obat dirasa sangat

diperlukan. Farmasi dapat berkontribusi untuk meningkatkan hasil dari farmakoterapi

dengan cara memberikan edukasi dan konseling pada pasien untuk menyiapkan dan

memotivasi pasien agar menaati aturan farmakoterapi dan kegiatan monitori. Edukasi

dan konseling merupakan hal yang paling efektif ketika diselenggarakan di dalam

ruangan tempat yang menjamin privasi dan memiliki kesempatan untuk menjaga

rahasia komunikasi (6)

Dalam pelayanan informasi obat ini, peran apoteker sangatlah penting.

Bila peran dan tanggung jawab ini dijalankan dengan benar, akan membentuk

suatu penilaian di mata masyarakat. Salah satu bentuk penilaian tersebut dapat

dilihat dari tingkat kepuasan pasien yang dapat dijadikan sebagai indikator dalam

evaluasi mutu pelayanan, khususnya pelayanan informasi obat (7).

2
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

ppenelitian ini yang bertujuan untuk mengevaluasi pelayanan informasi obat yang

diberikan petugas apotek terhadap pasien di Rumah Sakit Umum Bethesda

Gunungsitoli-Nias sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh

instansi untuk meningkatkakn kualitas pelayanan informasi obat.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Dari latar belakang diatas dapat di simpulkan rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Apakah pelayanan penyampain informasi obat di Rumah Sakit Umum

Bethesda Gunungsitoli-Nias dapat dipahami oleh pasien?

2) Apakah pelayanan penyampain informasi obat di Rumah Sakit Umum

Bethesda Gunungsitoli-Nias sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No. 58 Tahun 2014?

1.3 Hipotesis Penelitian

Dari rumusan masalah di atas dapat disimpulkan hipotesis dari penelitian

adalah sebagai berikut :

1) Pelayanan penyampain informasi obat di Rumah Sakit Umum Bethesda

Gunungsitoli-Nias dapat dipahami dan dimengerti oleh pasien.

2) Pelayanan penyampain informasi obat di Rumah Sakit Umum Bethesda

Gunungsitoli-Nias dapat dipahami sesuai dengan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun 2014.

3
1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Untuk memberikan pelayanan informasi obat yang dapat mudah di

mengerti oleh pasien

2) Untuk dapat memberikan pelayanan yang sesusai dengan aturan yang

berlaku dalam instalasi rumah sakit tersebut

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini adalah mampu memberikan gambaran

tentang pelayanan penyampaian informasi obat dengan benar sesuai dengan

peratuaran yang berlaku, supaya pasien dapat mengerti dan tidak akan terjadi

masalah dalam peggunaan obat yang telah diberikan pada pasien.

4
1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Intervensi Kepatuhan dan Observasi


Pelayanan pemahaman terhadap pasien
Kefarmasian pasien

Pemberian
Informasi Obat
pada pasien

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Rumah Sakit

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

rawat inap, rawat jalan, dan rawat darurat. Pelayanan farmasi rumah sakit adalah

bagian yang tak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang

utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien . sebagai upaya untuk menjamin

mutu pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang berorientasi pada kesehatan

pasien dikeluarkan Perarturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58

Tahun 2014 (1).

2.2 Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang digunakan dalam

memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Defenisi pelayanan kesehatan

menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo adalah sebuah sub system pelayanan

kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan

promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat (8) Sedangkan

menurut Levey dan Loomba (1973), pelayanan ksehatan adalah upaya yang

diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan

penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau

masyarakat (9).

6
Menurut undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang

kesehatan ada beberapa jenis pelayanan kesehatan

2.2.1 Pelayanan Kesehatan Promotif

Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat

promosi kesehatan

2.2.2 Pelayanan Kesehatan Preventif

Pelayanan Kesehatan Preventif adalah suatu kegiaatan pencegahan

terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.

2.2.3 Pelayanan Kesehatan Kuratif

Pelayanan Kesehatan Kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

kegiatan pengobatan yang ditunjukan untuk penyembuhan penyakit, mengurangi

penderitaan akibat penyakit, pengedalian penyakit, atau pengedalian kecacatan

agar kualitas penderita dapat terjadi seoptimal mungkin.

2.2.4 Pelayanan Kesehatan Rehabilitatif

Pelayanan Kesehatan Rehabilitatif adalah kegiatan dan dan/atau

serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita kedalam masyarakat

sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk

dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuia dengan kemampuannya.

2.2.5 Pelayanan Kesehatan Tradisional

Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan

dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun-

7
temurun secara empiris yang dapat dipertanggung jawabkan dan diterapkan sesuai

dengna norma yang berlaku dimasyarakat. (10)

2.3 Pelayanan Kefarmasian

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 10 tahun 2004, Pelayanan

kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah bentuk pelayanan dan tanggungjawab

langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan

kualitas hidup pasien. Salah satu bentuk pelayanan kefarmasian adalah pemberian

informasi obat kepada pasien. Pemberian informasi merupakan salah satu tahap

pada proses pelayanan resep (11). Manfaat dari pemberian informasi antara lain

untuk menghindari masalah yang berkaitan dengan terapi obat (Drug Therapy

Problem) yang dapat mempengaruhi terapi obat dan dapat mengganggu hasil yang

diinginkan oleh pasien (12).

2.4 Apoteker

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan

telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan

berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. (20)

Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk

merealisasikan perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk

menjadi orientasi pasien. Untuk itu kompetensi Apoteker perlu ditingkatkan

secara terus menerus agar perubahan paradigma tersebut dapat

diimplementasikan. Apoteker harus dapat memenuhi hak pasien agar terhindar

dari hal-hal yang tidak diinginkan termasuk tuntutan hukum. Dengan demikian,

8
para Apoteker Indonesia dapat berkompetisi dan menjadi tuan rumah di negara

sendiri. (20)

2.5 Pharmaceutical Care

Pharmaceutical Care adalah pratek kefarmasian yang di berikan secara

langsung (Directly Provided) dan bertanggung jawab (responsibility) oelh

apoteker kepada pasien terkait dengan pengobatan (medication related), yang

menghasilkan outcome sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien

(Quality of live) (21).

Medication Related Pharmaceutical Care tidak hanya menyediakan terapi

obat namun juga mengambil keputusan mengenai penggunaan obat pada pasien.

sedangkan yang dimaksud dengan care yaitu, apoteker tidak hanya melayani jual

beli obat namun juga harus peduli pada pasiennya seperti menggali informasi

tentang kebiasaan pasien dalam menjaga kesehatan serta cara penggunaan obat

(21).

Apoteker harus memiliki komitmen dan tanggung jawab berupa

kefarmasian yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi klinis pasien, dengan cara

menjamin semua terapi yang diterima oleh pasien adalah terapi yang aman, paling

efektif, paling sesuai dan praktis. Selain itu, Apoteker harus memberikan

pelayanan secara berkesinambugan, artinya apoteker selalu siap mengidentifikasi,

mencegah dan memecahkan permasalahan terkait terapi yang diberikan pada

pasien (21).

Seluruh tahap kefarmasian ini dilakukan suatu proses konseling dan

penyuluhan pada pasien yang terkait penyakit yang sedang diderita.

9
Pharmaceutical Care dapat menurunkan kejadian yang merugikan pasien dalam

penggunaan obat, terutama dalam pengobatan jangka panjang dan dapat

meningkatkan kesadaran pasien akan efek yang merugikan dari obat (21).

2.6 Pelayanan Informasi Obat

Menurut Keputusan Menkes RI No. 1197/MENKES/SK/X/2004

pelayanan informasi obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan

oleh apoteker untuk memberi informasi secara akurat, tidak bias dan terkini

kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. (15)

Pelayanan informasi obat berupa konseling ditujukan untuk meningkatkan

hasil terapi dengan memaksimalkan penggunaan obat-obatan yang tepat (16).

Salah satu manfaat dari konseling adalah meningkatkan kepatuhan pasien dalam

penggunaan obat, sehingga angka kematian dan kerugian (baik biaya maupun

hilangnya produktivitas) dapat ditekan (18). Selain itu pasien memperoleh

informasi tambahan mengenai penyakitnya yang tidak diperolehnya dari dokter

karena tidak sempat bertanya, malu bertanya, atau tidak dapat mengungkapkan

apa yang ingin ditanyakan (18).

Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka

memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan bermutu bagi

pasien. Kualitas hidup dan pelayanan bermutu dapat menurun akibat adanya

ketidakpatuhan terhadap program pengobatan. Penyebab ketidakpatuhan tersebut

salah satunya disebabkan kurangnya informasi tentang obat. Selain itu, cara

pengobatan yang kompleks dan kesulitan mengikuti cara pengobatan yang

diresepkan merupakan masalah yang mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap

10
pengobatan. Selain masalah kepatuhan, pasien juga dapat mengalami efek yang

tidak diinginkan dari penggunaan obat. Dengan diberikannya informasi obat

kepada pasien maka masalah terkait obat seperti penggunaan obat tanpa indikasi,

indikasi yang tidak terobati, dosis obat terlalu tinggi, dosis subterapi, serta

interaksi obat dapat dihindari (19).

Pelaksanaan pelayanan informasi obat merupakan kewajiban farmasis

yang didasarkan pada kepentingan pasien, dimana salah satu bentuk pelayanan

informasi obat yang wajib diberikan oleh tenaga farmasis adalah pelayanan

informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien

dan penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat

(20).

Indicator keberhasialan pelayanan informasi obat mengarah kepada

pencapaian penggunaan obat secara rasional di rumah sakit itu sendiri. Indicator

dapat digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan penerapan pelayanan

informasi obat antara lain :

a) Meningkatnya jumlah pertanyaan yan diajukan

b) Menurunnya jumlah pertanyaan yang tidak dapat di jawab

c) Menignkatnya kualitas kinerja pelayanan

d) Menignkatnya jumlah produk yang dihasilkan (leaflet, bulletin, teramah).

e) Meningkatnya pertanyaan berdasarkan jenis pertanyaan dan tingkat

kesulitan

f) Menurunnya keluhan atas pelayanan (depkes RI, 2006)

11
2.6.1 Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit

Pelayanan informasi obat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam

pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Tujuan umum dari pedoman

pelayanan informasi obat di rumah sakityaitu tersedianya pedoman untuk

pelayanan informasi obat yang bermutu dan berkesinambungan dalam rangka

mendukung upaya penggunaan obat yang rasional di rumah sakit .

Tujuan khusus dari pedoman pelayanan informasi obat di rumah sakit

antara lain:

a) Tersedianya acuan dalam rangka pelayanan informasi obat di rumah sakit.

b) Tersedianya landasan hokum dan operasional penyediaan dan pelayanan

informasi obat di rumah sakit

c) Terlaksananya penyediaan dan pelayanan informasi obat di rumah sakit.

d) Terlaksananya pemenuhan kompetensi apoteker Indonesia dalam hal

pelayanan kefarmasian

Pedoman pelayanan informasi obat di rumah sakit dimaksudkan utnuk

dapat dimanfaatkan oleh etugas kesehatan terkait provider, pasien dan

keluarganya, masyarakat umum, serta institusi yang memerlukan. (Depkes RI,

2009) (21)

Berdasarkan ketentuan Depkes (2004) pelayanan informasi obat terhadap

pasien bertujuan untuk :

a) Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga

kesehatan lain dilingkungan rumah sakit

12
b) Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang

berhubungan dengan obat, terutama bagi Panitia/Komite Farmasi dan

Terapi

c) Meningkatkan profesionalisme apoteker Menunjang terapi obat yang

rasional. (22)

2.6.2 Metode Pelayanan Informasi Obat

Menurut Ditjen Kefarmasian dan alat Kesehatan (2006), terdapat 5 metode

yang dapat digunakan untuk melakukan pelayanan informasi obat yaitu:

a) Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on

call.

b) Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang

diluar jam kerja dilayani oelh apotekerinstalasi farmasi yang sedang tugas

jaga.

c) Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak

dan tidak ada pelayanan informasi obat diluar jam kerja

d) Tidak ada petugas khusus pelayanan informasi obat, dilayani oleh semua

apoteker instalasi farmsi baik pada jam kerja maupun diluar jam kerja.

e) Tidak ada apoteker khusus, pelayanan informasi obat dilayani oleh

apoteker semua instalsi farmasi di jam kerja dan tidak ada pelayanan

informasi obat diluar jam kerja (23)

13
2.6.3 Kegiatan Pelayanan Informasi Obat

Menurut Permenkes No. 58 Tahun 2014, kegiatan pelayanan informasi

obat meliputi:

a) Menjawab pertanyaan

b) Menerbitkan bulletin, Leaflet, poster, newslatter.

c) Menyediakan informasi bagi Tim Farmasi dan Terapi sehubungan dengan

penyusunan Formularium Rumah Sakit

d) Bersama dengan tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)

melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap.

e) Melakukan pendidikan kelanjutan bagi tenaga kefarmasian danbagi tenaga

kesehatan lainnya.

f) Melakukan penelitian (24)

2.7 Sumber Informasi yang Digunakan

Menurut Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2006), semua

sumber informasi yang digunakan diusahakan terbaru dan disesuaikan dengan

tingkat dan tipe pelayanan. Pustaka digolongkan ke dalam 3 kategori, yaitu:

a) Pustaka primer adalah artikel asli yang dipublikasikan penulis atau

peneliti, informasi yang terdapat didalamnya berupa hasil penelitian yang

diterbitkan dalam jurnal ilmiah. Contoh pustaka primer, antara lain

laporan hasil penelitian, laporan kasus, studi evaluatif, serta laporan

deskriptif.

b) Pustaka sekunder yaitu berupa sistem indeks yang umumnya berisi

kumpulan abstrak dari berbagai macam artikel jurnal. Sumber informasi

14
sekunder sangat membantu dalam proses pencarian informasi yang

terdapat dalam sumber informasi primer. Sumber informasi ini dibuat

dalam berbagai database, contoh: medline yang berisi abstrak-abstrak

tentang terapi obat, International Pharmaceutical Abstract yang berisi

abstrak penelitian kefarmasian.

c) Pustaka tersier yaitu berupa buku teks atau database, kajian artikel,

kompendia dan pedoman praktis. Pustaka tersier umumnya berupa buku

referensi yang berisi materi yang umum, lengkap dan mudah dipahami

(23).

2.8 Evaluasi Sumber informasi yang digunakan

Menurut Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2006),

evaluasi sumber informasi dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu:

2.8.1 Evaluasi Pustaka Primer

Untuk mengevaluasi pustaka primer tidak mudah meskipun hasil suatu

studi atau makalah penelitian sudah absah dan telah dipublikasikan. Hal yang

harus diperhatikan dalam melakukan evaluasi terhadap pustaka primer adalah

sebagai berikut:

a) Bagian bahan dan metode (bagian dari suatu artikel yang menguraikan

cara peneliti melakukan studi tersebut).

b) Sampel (mewakili populasi yang hasilnya akan dapat diterapkan).

c) Desain studi (atau bagian yang memerlukan penelitian yang seksama) (23)

15
2.8.2 Evaluasi Pustaka Sekunder

Pustaka sekunder terdiri dari pustaka sekunder berisi pengindeksan

(kepustakaan) dan pustaka sekunder berisi abstrak yang berguna sebagai pemandu

ke pustaka primer. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih pustaka

sekunder, antara lain:

a) Waktu (jarak waktu artikel itu diterbitkan dalam majalah ilmiah dan dibuat

abstrak atau indeks)

b) Jurnal pustaka cakupan (jurnal pustaka ilmiah yang mendukung tiap

pustaka sekunder)

c) Selektivitas pengindeksan/pengabstrakan (bentuk dari sistem: cetak

standar, mikrofis, terkomputerisasi. Dikaitkan dengan keperluan dan

kebutuhan pengguna)

d) Harga (perbedaan harga terjadi untuk sumber yang tersedia dalam bentuk

yang berbeda) (23)

2.8.3 Evaluasi Pustaka Tersier

Pustaka tersier banyak tersedia sebagai sumber informasi medik dan obat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih sumber pustaka tersier, antara

lain:

a) Penulis dan editor harus mempunyai keahlian dan kualifikasi menulis

tentang suatu judul atau bab tertentu dari suatu buku.

b) Tanggal publikasi dan edisi dari pustaka tersier terutama buku teks harus

tahun terbaru.

c) Penerbit mempunyai reputasi yang tinggi.

16
d) Daftar pustaka berisi daftar rujukan pendukung sesuai judul buku.

e) Format pustaka tersier harus didesain untuk mempermudah penggunaan.

f) Membaca kritik tertulis. (23)

17
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional, Rancangan penelitian

ini bersifat kualitatif dengan melakukan pengamatan langsung atau observasi,

wawancara dan dokumentasi. Pada penelitian observasional, observasi yang

dilakukan tanpa ada manipulasi maupun intervensi dari peneliti terhadap subyek

uji, subyek uji diobservasi menurut keadaan apa adanya (in nature) (Pratiknya,

2001) (25)

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Tempat penelitian ini adalah di Rumah Sakit Umum Bethesda

Gunungsitoli – Nias.

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dimulai pada bulan Mei-Juni 2020.

3.3 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah informasi-informasi saat konseling

yang disampaikan apoteker di instalasi farmasi rawat inap dan rawat jalan Rumah

Sakit Umum Bethesda Gunungsitoli – Nias.

3.4 Bahan atau Materi Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah Apoteker yang bertugas di instalasi

farmasi Rumah Sakit Umum Bethesda Gunungsitoli-Nias yang bersedia

18
diwawancara dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subyek penelitian

selanjutnya disebut responden. Kriteria inklusi adalah apoteker di instalasi farmasi

rawat inap dan rawat jalan Rumah Sakit Umum Bethesda Gunungsitoli-Nias yang

bersedia menjadi responden dengan menandatangani inform consent. Kriteria

eksklusi adalah Apoteker yang tidak bersedia menjawab pertanyaan atau tidak

menjawab semua pertanyaan yang diajukan berdasarkan panduan wawancara.

3.5 Alat dan Instrumen Penelitian

Alat pengumpulan data berupa daftar panduan wawancara yang disusun

berdasarkan pedoman pelayanan informasi obat di rumah sakit dengan mengacu

pada Permenkes No. 58 tahun 2014 (24)

3.6 Tahap Pengumpulan Data

Metode yang dilakukan untuk pengumpulan data adalah wawancara,

observasi dan dokumentasi. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara

mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah

disusun, serta melakukan pengamatan langsung dalam bentuk rekaman suara dan

mencatat pada saat apoteker memberikan pelayanan informasi obat pada pasien.

Hal-hal penting yang didapat saat wawancara dilakukan dokumentasi oleh

peneliti. Untuk menjamin kebenaran mengenai hasil wawancara, peneliti

membuat surat pernyataan kebenaran hasil wawancara yang ditandatangani oleh

responden. Pada saat peneliti meminta izin untuk melakukan wawancara dengan

apoteker

19
3.7 Pengolahan Data

Pengolahan data meliputi: editing, coding, dan tabulating. Editing yang

dilakukan meliputi pengeditan cuplikan wawancara menyesuaikan dengan ejaan

yang disempurnakan. Coding merupakan pemberian kode penamaan dari

responden untuk memudahkan pembahasan. Sedangkan tabulating yang dilakukan

meliputi pembuatan tabel dari hasil pengamatan untuk memudahkan pembahasan.

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara tematik dengan membaca tabel-

tabel, grafik atau angka yang tersedia lalu dilakukan penguraian. Gambar dan

grafik menggambarkan tingkat kehadiran responden, ketersediaan, dan

kelengkapan pelayanan informasi obat berdasarkan Permenkes No. 58 tahun

2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit (24)

3.8

20
DAFTAR PUSTAKA

1) Depatermen Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia No. 58 tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kafarmasian di Rumah Sakit, Jakarta
2) Aziza, N, 2006. Falsafah dan tujuan Pelayanan Rumah Sakit. Infologkes 2
3) Handayani, Rini S, Retno G, Muktinigsih SR, Raharni. Eksplorasi
pelayanan informasi yang dibutuhkan konsumen apotek dan kesiapan
apoteker memberi informasi terutama untuk penyakit kronik dan
degeneratif. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2006. 3(1):38-46.
4) Ahaditomo, 2004, Standar Kompotensi Farmasis Indonesia, ISFI, Jakarta.
5) Nita Y, Umi A, I Nyoman W, Ratna KI, Merisya H. Kinerja Apotek dan
harapan pasien terhadap pemberian informasi obat pada pelayanan
swamedikasi di beberapa apotek di Surabaya. Majalah Farmasi Airlangga.
2008.
6) Yamada K., Nabeshima, T., 2015 Pharmacist-managed clinics for patient
education and counseling in Japan: current status and future perspective,
Journal of Pharmceutical healt Care and Sciences (JPHCS)
7) Depatermen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
RI No.1027/Menkes/SK/IX/2004. tentang standar pelayanan kefarmasian
di apotek. Jakarta. Depkes RI; 2004.
8) Notoatmodjo, Soekidjo, 2008. Sosiologi Untuk Kesehatan. Jakarta:
Salambe Medika.
9) Leevy dan Loomba dalam Stefanus, et.al Implementasi Kebijakan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Non Kuota (JAMKESDA) dan
SPM), (JUrnal Administrasi Publik)
10) Undang-undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan
11) Anonim, 2004. Permenkes No 1027 tantang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotik. Departemen Kesehatan RI. Jakarta

21
12) Cipolle, RJ, Strand, LM, Morley, PC. 1998. In Pharmacetical Care Partice,
identifying resolving and preventing drug therapy problem : The
pharmacist’s Responsibility.
13) Depatermen Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
14) Cipolle dkk. 2004, Pharmaceutical Care Practice: The Clinicalis Guide, 2
ed, Mc Graw Hill Companies, USA, pp. 2, 69-76, 252-256.
15) Kepmenkes No.1197/Menkes/SK/X/2004 Masduki. A., 1993. Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kepatuhan Berobat Penderita Kusta
di Kabupaten Kuningan Jawa Barat, Tesis Program Pascasarjana Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
16) Jepson, M.H., 1990. Patient Compliance and Counselling. In: D.M.
Collett and M.E. Aulton (Eds.). Pharmaceutical Practice, Edinburgh:
Churchill Livingstone, p.339-341.
17) Schnipper, JL, Jennifer, LK, Michael, CC, Stephanie, AW, Brandon, AB,
Emily, T, Allen, K, Mark, H, Christoper, LR, Sylvia, CM, David, WB.
2006. Role of Pharmacist Counseling in Preventing Adverse Drug Events
After Hospitalization. USA : Archives of Internal Medicine. Vol 166.565-
571.
18) Rantucci, M.J. 2007. Komunikasi Apoteker-Pasien : Panduan Konseling
Pasien (Edisi 2). Penerjemah : A.N. Sani. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.
19) Rantucci, JS. 2007. Pharmacist Talking With Patient. A Guide to Patient
Conseling. British Colombia. Canada..
20) Anief, Moh. 2007. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Gadjah Mada
University Press. The Mc Graw-Hill Companies, Inc, PP. 76 – 77.
21) Depatermen Kesehatan Republik Indonesia, 2009 Peraturan Pemerintah
Republik IndonesiaNo. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan Kefarmasian,
Jakarta.

22
22) Depatermen Kesehatan RI., 2004. Standar Pelayanan Rumah Sakit.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Rumah Sakit Umum dan
Pendidikan
23) Direktorat Bina Farmasi Komunitasndan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan, 2006, Pedoman Konseling Pelayanan Kfarmasian Di
Sarana Kesehatan. Depatermen Kesehatan RI, Jakarta.
24) Depatermen Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 58tahun 2014 tenatang standar
pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Jakarta.
25) Pratiknya, A.W., 2001, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran
dan Kesehatan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 10-13.

23

Anda mungkin juga menyukai