Anda di halaman 1dari 11

Ke satu

Hidangan Jepang

Masakan Jepang (日本料理 nihon ryōri, nippon ryōri) adalah makanan yang
dimasak dengan cara memasak yang berkembang secara unik di jepang dan
menggunakan bahan makanan yang diambil dari wilayah Jepang dan sekitarnya.
Dalam bahasa Jepang, makanan Jepang disebut nihonshoku atau washoku.
Susyi, tempura, shabu-shabu, dan sukiyaki adalah makanan Jepang yang populer di
luar Jepang, termasuk di Indonesia.

Masakan dan makanan Jepang tidak selalu harus berupa "makanan yang sudah
dimakan orang Jepang secara turun temurun." Makanan orang Jepang berbeda-
beda menurut zaman, tingkat sosial, dan daerah tempat tinggal. Cara memasak
masakan Jepang banyak meminjam cara memasak dari negara-negara Asia
Timur dan negara-negara Barat. Di zaman sekarang, definisi makanan Jepang
adalah semua makanan yang dimakan orang Jepang dan makanan tersebut bukan
merupakan masakan asal negara lain.

Dalam arti sempit, masakan Jepang mengacu pada berbagai berbagai jenis
makanan yang khas Jepang. Makanan yang sudah sejak lama dan secara turun
temurun dimakan orang Jepang, tetapi tidak khas Jepang tidak bisa disebut
makanan Jepang.

Makanan seperti gyudon atau nikujaga merupakan contoh makanan Jepang karena
menggunakan bumbu khas Jepang seperti shōyu, dashi dan mirin. Makanan yang
dijual rumah makan Jepang seperti penjual soba dan warung makan kappō juga
disebut makanan Jepang.
Makanan yang mengandung daging sapi sering dianggap bukan masakan Jepang
karena kebiasaan makan daging baru dimulai sejak Restorasi Meiji sekitar 130 tahun
lalu. Menurut orang di luar Jepang, berbagai masakan dari daging sapi
seperti sukiyaki dan gyudon juga termasuk makanan Jepang. Dalam arti luas, bila
masakan yang dibuat dari bahan makanan yang baru dikenal orang Jepang ikut
digolongkan sebagai makanan Jepang, maka definisi masakan Jepang adalah
makanan yang dimasak dengan bumbu khas Jepang.
Masakan Jepang sering merupakan perpaduan dari berbagai bahan makanan dan
masakan dari berbagai negara. Parutan lobak yang dicampur saus sewaktu
memakan bistik atau hamburg steak, dan salad dengan dressing
parutan lobak merupakan contoh perpaduan makanan Barat dengan penyedap khas
Jepang. Saus spaghetti yang dicampur mentaiko, tarako, natto,
daun shiso atau umeboshi merupakan contoh makanan Barat yang dinikmati
bersama bahan makanan yang memiliki rasa yang sudah akrab dengan lidah orang
Jepang.

Bistik dengan parutan lobak sebenarnya tidak dapat disebut sebagai makanan
Jepang melainkan bistik ala Jepang (wafū steak). Berdasarkan aturan ini,
istilah wafū (和風 ala Jepang) digunakan untuk menyebut makanan yang lazim
ditemukan dan dimakan di Jepang, tetapi dimasak dengan cara memasak dari luar
Jepang.

Berdasarkan aturan wafū, beberapa jenis makanan sulit digolongkan sebagai


makanan Jepang karena merupakan campuran antara makanan Jepang dan
makanan asing:

• Makanan Barat yang dicampur bahan makanan yang unik Jepang,


seperti sarada udon (salad adalah makanan Barat tetapi dicampur udon yang
khas Jepang), kari, dan anpan (roti berasal dari Barat berisi ogura yang khas
Jepang).
• Makanan khas Jepang yang berasal dari luar negeri tetapi dibuat dengan resep
yang sudah diubah sesuai selera lokal, seperti ramen dan gyōza.
• Makanan yang berdasarkan bahan dan cara memasak sulit diputuskan harus
dimasukkan ke dalam kategori makanan Barat atau makanan Jepang,
misalnya pork ginger dan butashōgayaki keduanya menunjuk pada makanan
yang sama.

Sebagian besar ahli kuliner berpendapat masakan Jepang mudah sekali dibedakan
dari masakan negara tetangga seperti masakan Korea dan masakan Cina.
Walaupun demikian, sejumlah makanan Korea juga mendapat pengaruh dari
masakan Jepang. Di Korea juga dikenal kimbab (futomakizushi), sup miso,
dan takuan (asinan lobak) yang merupakan makanan khas Jepang.
Bahan makanan

Pada umumnya, bahan-bahan masakan Jepang berupa: beras, hasil pertanian


(sayuran dan kacang-kacangan), dan makanan laut. Bumbu berupa dashi yang
dibuat dari konbu, ikan dan shiitake, ditambah miso dan shōyu. Berbeda dengan
masakan negara-negara lain, makanan Jepang sama sekali tidak menggunakan
bumbu berupa rempah-rempah dari biji-bijian (merica) atau penyedap yanng
mengandung biji (seperti cabai) yang harus ditumbuk atau dihaluskan. Masakan
Jepang juga tidak menggunakan bumbu yang berbau tajam seperti bawang putih.
Kacang kedelai merupakan bahan utama makanan olahan. Penyedap biasanya
berupa sayur-sayuran beraroma harum yang dipotong-potong halus atau diparut.
Masakan Jepang umumnya rendah lemak, tetapi mengandung kadar garam yang
tinggi.

Bumbu
Masakan Jepang mengenal 5 bumbu utama yang harus dimasukkan secara
berturutan sesuai urutan sa-shi-su-se-so yang merupakan singkatan dari:

• gula pasir (satō)


• garam (shio)
• cuka (su)
• shōyu (seuyu: ejaan zaman dulu untuk shōyu)
• miso (miso).
Sesuai dengan peraturan sa-shi-su-se-so, gula pasir adalah bumbu yang
dimasukkan pertama kali, diikuti garam, cuka, kecap asin, dan miso.

Penyajian makanan
Makanan utama di Jepang terdiri dari nasi (kadang-kadang
dicampur palawija), sup dan lauk. Lain halnya dari masakan Cina atau masakan
Eropa, masakan Jepang tidak mengenal tahapan (course) dalam penyajian. Dalam
budaya makan Eropa atau Cina, makanan disajikan secara bertahap, mulai
dari hidangan pembuka, sup, hidangan utama, dan diakhiri dengan hidangan
penutup. Masakan Jepang dihidangkan semuanya secara sekaligus. Dalam hal
penyajian hidangan, dalam masakan Jepang tidak dikenal perbedaan antara tata
cara penyajian di rumah dengan tata cara penyajian di restoran. Jamuan makan dan
kaiseki merupakan pengecualian karena makanan disajikan secara bertahap.
Dalam hal menikmati makanan, masakan Jepang bisa dengan mudah dibedakan
dari masakan Eropa atau masakan Cina. Rasa dicampur sewaktu makanan Jepang
berada di dalam mulut. Asinan sayur-sayuran mungkin terasa terlalu asin kalau
dimakan begitu saja, namun asinan terasa lebih enak ketika dimakan dengan nasi
putih. Dalam masakan Jepang, bahan makanan tidak diolah secara berlebihan.
Makanan harus mempunyai rasa asli bahan makanan tersebut. Cara memasak atau
penyiapan makanan hanya bertujuan menampilkan rasa asli dari bahan makanan.
Makanan juga sama sekali tidak dimasak dengan bumbu yang berbau tajam.
Masakan Jepang tidak mengenal teknik memasak yang bisa merusak penampilan
bahan dan kesegaran bahan makanan.
Juru masak masakan Jepang dituntut serba bisa dalam berbagai bidang. Mereka
dituntut memiliki keahlian dalam pengolahan bahan makanan, pengetahuan tentang
alat-alat makan, serta pemilihan suasana yang tepat untuk menikmati makanan.
Masakan Jepang sangat berbeda dari masakan Prancis yang sangat maju dalam
pembagian keahlian di dapur dan pelayanan terhadap tamu di ruang makan.
Peralatan makan untuk masakan Jepang umumnya dibuat dari keramik, porselen,
atau kayu yang dipernis dengan urushi. Di rumah keluarga Jepang, setiap anggota
keluarga memiliki mangkuk nasi dan sumpit sendiri, dan tidak saling dipertukarkan
dengan milik anggota keluarga yang lain. Sumpit yang dipakai bisa berupa sumpit
kayu, sumpit bambu, atau sumpit sekali pakai. Sebelum teknik pembuatan keramik
dikenal di Jepang, sebagian besar alat makan dibuat dari kayu yang dipernis. Alat
makan dari porselen umumnya diberi hiasan gambar-gambar yang berfungsi
sebagai penghias hidangan.
Masakan Jepang memiliki aturan yang sangat longgar menyangkut bentuk alat
makan dari keramik. Piring bisa saja berwarna gelap atau berbentuk persegi empat,
sehingga sangat mencolok dibandingkan piring makanan Eropa atau Amerika. Alat
makan untuk makanan Jepang terlihat sangat berbeda dengan alat makan untuk
masakan Cina atau Korea. Masakan Cina menggunakan piring bundar dari porselen
dengan hiasan sederhana, sementara masakan Korea memakai porselen putih
tanpa hiasan atau alat makan dari logam.

kedua
Awal sejarah tertulis nihon shoki adalah literatur klasik yang memuat sejarah
tertua tentang masakan Jepang. Di dalamnya dikisahkan tentang nenek moyang
klan Takahashi bernama Iwakamutsukari-no-mikoto. Makanan yang dihidangkannya
berupa namasu ikan cakalang dan potongan kerang (hamaguri) yang diacar
dengan cuka. Hidangan istimewa tersebut dibuatnya untuk Kaisar Keiko yang
sedang mengunjungi Provinsi Awa ketika bersedih atas kematian Yamato Takeru.
Iwakamutsukari-no-mikoto bertugas sebagai juru masak istana dan kemudian
dimuliakan sebagai dewa masakan.

Asal usul masakan[sunting | sunting sumber]


Orang Jepang mulai makan nasi sejak zaman Jomon. Lauknya berupa bahan
makanan yang direbus (nimono), dipanggang, atau dikukus. Cara mengolah
makanan dengan menggoreng mulai dikenal sejak zaman Asuka, dan berasal
dari Semenanjung Korea dan Cina. Teh dan masakan biksu diperkenalkan di
Jepang bersamaan dengan masuknya agama Buddha, namun hanya berkembang di
kalangan kuil. Makanan biksu adalah masakan vegetarian yang disebut shōjin ryōri.
Hewan peliharaan dan binatang buas seperti monyet dilarang untuk dijadikan bahan
makanan. Di dalam literatur klasik Engishiki juga diceritakan tentang ikan hasil
fermentasi yang disebut narezushi yang dipakai sebagai persembahan di Jepang
bagian barat.

Masakan zaman Nara[sunting | sunting sumber]


Pengaruh kuat kebudayaan Cina pada zaman Nara ikut memengaruhi masakan
Jepang pada zaman Nara. Makanan dimasak sebagai hidangan upacara dan ketika
ada perayaan yang berkaitan dengan musim. Sepanjang tahunnya selalu ada
perayaan dan pesta makan. Teknik memasak dari Cina mulai dipakai untuk
mengolah bahan makanan lokal. Penyesuaian cara memasak dari Cina dengan
keadaan alam di Jepang akhirnya melahirkan masakan yang khas Jepang.
Masakan zaman Heian[sunting | sunting sumber]
Pada zaman Heian, masakan Jepang terus berkembang dengan pengaruh dari
daratan Cina. Orang Jepang waktu itu mulai mengenal makanan
seperti karaage dan kue-kue asal Dinasti Tang (tōgashi), dan natto. Aliran memasak
dan etiket makan berkembang di kalangan bangsawan. Atas perintah kaisar
Kōkō, Fujiwara no Yamakage menyunting buku memasak aliran Shijō yang
berjudul Shijōryū Hōchōshiki. Sampai saat ini, rumah makan tradisional Jepang
masih sering memiliki altar pemujaan untuk Fujiwara no Yamakage dan
Iwakamutsukari-no-mikoto.
Masakan zaman Kamakura[sunting | sunting sumber]
Makanan olahan dari tahu yang disebut ganmodoki mulai dikenal bersamaan
dengan makin populernya tradisi minum teh dan ajaran Zen. Pada zaman
Kamakura, makanan dalam porsi kecil untuk biksu yang menjalani latihan
disebut kaiseki. Pendeta Buddha bernama Eisai memperkenalkan teh yang
dibawanya dari Cina untuk dinikmati dengan hidangan kaiseki. Masakan ini nantinya
berkembang menjadi makanan resepsi yang juga disebut kaiseki, tetapi ditulis
dengan aksara kanji yang berbeda.
Masakan zaman Muromachi[sunting | sunting sumber]
Memasuki zaman Muromachi, kalangan samurai ikut dalam urusan masak-memasak
di istana kaisar. Tata krama sewaktu makan juga semakin berkembang. Aliran etiket
Ogasawara yang masih dikenal sekarang bermula dari etiket kalangan samurai dan
bangsawan zaman Muromachi.
Chūnagon bernama Yamakage no Masatomo mendirikan aliran memasak Shijōryū.
Aliran ini menerbitkan buku memasak berjudul Shijōryū Hōchōsho (Buku Memasak
Aliran Shijō). Sementara itu, klan Ashikaga mendirikan aliran memasak Ōkusaryū.
Orang mulai menjadi cerewet soal cara memasak dan menghidangkan makanan.
Makanan gaya honzen (honzen no seishiki) dan gaya kaiseki merupakan dua aliran
utama masakan Jepang zaman Muromachi. Dalam gaya honzen, makanan
dihidangkan secara individu di atas meja pendek yang disebut ozen. Porsi yang
dihidangkan cukup untuk dimakan satu orang. Dalam gaya kaiseki, makanan
dihidangkan dalam porsi kecil seperti makanan yang dihidangkan dalam upacara
minum teh.
Namban adalah istilah orang Jepang zaman dulu untuk "luar negeri",
khususnya Portugal dan Asia Tenggara. Dari kata namban dikenal
istilah nambansen (kapal dari luar negeri). Kedatangan kapal-kapal dari luar negeri
dari zaman Muromachi hingga zaman Sengoku membawa serta berbagai jenis
masakan yang disebut namban ryōri (masakan luar negeri) dan nambangashi (kue
luar negeri). Kue kastela yang menggunakan resep dari Portugal adalah salah satu
contoh dari nambangashi.
Masakan zaman Edo[sunting | sunting sumber]
Kebudayaan orang kota berkembang pesat pada zaman Edo. Makanan penduduk
kota seperti tempura dan teh gandum (mugicha) banyak dijual di kios-kios pasar
kaget. Pada masa itu, di Edo mulai banyak dijumpai rumah makan
khusus soba dan nigirizushi. Ōrusuichaya adalah sebutan untuk rumah makan
tradisional (ryōtei) yang digunakan samurai sewaktu menjamu tamu dengan pesta
makan. Makanan dinikmati secara santai sambil meminum sake, dan tidak mengikuti
tata cara makan formal seperti masakan kaiseki atau masakan Honzen. Masakan
Ōrusuichaya disebut masakan kaiseki (会席料理 kaiseki ryōri, masakan jamuan
makan), dan ditulis dengan aksara kanji yang berbeda dari "kaiseki" untuk upacara
minum teh.
Teknik pembuatan kue-kue tradisional Jepang (wagashi) berkembang pesat berkat
tersedianya gula yang sudah menjadi barang yang lumrah. Alat makan
dari keramik dan porselen mulai banyak digunakan dan diberi hiasan berupa
gambar-gambar artistik yang dikerjakan secara serius. Daging ternak mulai
dikonsumsi orang Jepang dan daging sapi dimakan sebagai obat. Sejak
pertengahan zaman Edo mulai dikenalnya teknik seni ukir sayur, dan makanan mulai
dihias dengan hiasan dari lobak (wachigai daikon). Pada waktu itu juga mulai dikenal
telur rebus aneh dengan kuning telur berada di luar dan putih telur di dalam
(kimigaeshi tamago).
Masakan Kanto[sunting | sunting sumber]
Masakan Jepang zaman modern adalah hasil penyempurnaan masakan zaman
Edo. Daimyo dari seluruh penjuru Jepang mengenal kewajiban sankin kōtai. Mereka
wajib datang ke Edo untuk menjalankan tugas pemerintahan bersama shogun.
Kedatangan daimyo dari seluruh pelosok negeri membawa serta cara memasak dan
bahan makanan khas dari daerah masing-masing. Bahan makanan yang dibawa
rombongan daimyo dari seluruh pelosok Jepang menambah keanekaragaman
masakan Jepang di Edo. Semuanya ditambah dengan makanan laut segar dan enak
dari Teluk Edo yang disebut Edomae. Hasil laut dari Samudera Pasifik seperti ikan
tongkol sudah dijadikan menu tetap sewaktu membuat sashimi.
Ikan dari familia Sparidae yang dikenal di Jepang sebagai ikan tai merupakan
lambang kemakmuran di Jepang. Ikan tai yang dipanggang utuh tanpa dipotong-
potong merupakan hidangan istimewa pada kesempatan khusus. Makanan yang
dihidangkan pada pesta makan terdiri dari dua jenis: makanan untuk dimakan di
tempat pesta, dan makanan yang berfungsi sebagai hiasan. Panggang ikan tai
termasuk dalam makanan hiasan yang boleh saja dimakan di tempat pesta. Namun,
ikan panggang di pesta sebenarnya lebih merupakan hiasan karena dimaksudkan
untuk dibawa pulang oleh para tamu sebagai oleh-oleh. Tradisi membawa pulang
makanan pesta sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah berasal dari zaman Edo
dan terus berlanjut hingga sekarang. Selain ikan panggang, tamu biasanya
dipersilakan membawa pulang kinton (biji berangan dan ubi jalar yang dihaluskan)
dan kamaboko.
Masakan yang lahir dari berbagai keanekaragaman di daerah Kanto disebut
masakan Edo atau masakan Kanto. Sebutan masakan Kanto digunakan untuk
membedakannya dari masakan Kansai yang sudah dikenal orang lebih dulu. Ciri
khas masakan Kanto adalah penggunaan kecap asin (shōyu) sebagai penentu rasa,
termasuk untuk makanan berkuah (shirumono) dan nimono. Tradisi membawa
pulang makanan pesta merupakan alasan penggunaan kecap asin dalam jumlah
banyak dalam masakan Kanto, maksudnya agar rasa tetap enak walaupun sudah
dingin. Berbeda dengan masakan Kanto, masakan Kansai justru tidak terlalu asin
walaupun mengandalkan garam dapur sebagai penentu rasa.
Masakan Kansai[sunting | sunting sumber]
Masakan Kansai adalah sebutan untuk masakan Osaka dan masakan Kyoto.
Berbeda dari budaya Edo yang gemerlap, masakan Kyoto mencerminkan budaya
Kyoto yang elegan. Masakan Kyoto dipengaruhi masakan kuil Buddha. Ciri khasnya
adalah penggunaan banyak sayur-sayuran, tahu, kembang tahu, namun
sedikit makanan laut karena letak geografis Kyoto yang jauh dari laut. Masakan
Kyoto melahirkan cara memasak dengan bumbu seminimal mungkin agar rasa asli
tahu atau kembang tahu (yang memang sudah "tipis") tidak hilang. Kepandaian
mengolah ikan kering seperti bodara (ikan cod kering)
dan migakinishin (ikan hering kering) menjadi hidangan yang enak merupakan
keistimewaan masakan Kyoto.
Osaka adalah kota tepi laut dengan hasil laut yang melimpah. Oleh karena itu,
masakan Osaka mengenal berbagai cara pengolahan hasil laut. Makanan laut diolah
agar enak untuk langsung dimakan di tempat dan tidak untuk dibawa pulang sebagai
oleh-oleh. Masakan Osaka tidak mementingkan rasa makanan kalau sudah dingin
karena pada prinsipnya "makanan yang habis dimakan". Prinsip masakan Osaka
bertolak belakang dengan prinsip masakan Kanto yang memikirkan rasa makanan
kalau sudah dingin.
Pengaruh masakan Barat[sunting | sunting sumber]
Pada awal zaman Meiji, masakan Eropa mulai dikenal orang Jepang yang
melakukan kontak sehari-hari dengan orang asing. Di kalangan rakyat tercipta
makanan gaya Barat (yōshoku) yang merupakan adaptasi masakan Eropa. Berbagai
aliran memasak mengalami kemunduran, dan aliran Hōchōshiki merupakan satu-
satunya aliran yang terus bertahan. Pelarangan makan daging dihapus sesuai
kebijakan Pemerintah Meiji tentang Haibutsu Kishaku dan Shinbutsu Bunri sehingga
tercipta sukiyaki. Sementara itu, honzen ryōri yang merupakan aliran utama
masakan Jepang mulai ditinggalkan orang. Hidangan kaiseki telah menjadi makanan
standar di rumah makan tradisional (ryōtei) dan penginapan tradisional (ryokan).
Masakan vegetarian (shōjinryōri) berlanjut sebagai tradisi kuil agama Buddha.
Hidangan porsi kecil yang disebut kaiseki ryōri (懐石料理) bertahan hingga kini
sebagai hidangan upacara minum teh. Di bidang pertanian, sawi dan spinacia mulai
ditanam secara besar-besaran. Di kota-kota mulai banyak dijumpai rumah yang
memiliki meja pendek yang disebut chabudai sebagai pengganti nampan berkaki
yang disebut ozen. Keberadaan chabudai yang bisa dipakai sebagai meja makan
untuk empat orang mengubah acara makan yang dulunya dilakukan sendiri-sendiri
dengan ozen pribadi menjadi acara berkumpul keluarga.
Akibat gempa bumi besar Kanto yang memakan korban jiwa besar-besaran, juru
masak pewaris tradisi masakan Edo ikut menjadi berkurang, dan tradisi
masakan honzen mulai memudar. Etiket makan mulai longgar, dan orang Jepang
semakin menyukai suasana santai sewaktu makan. Setelah Perang Dunia II,
kemudahan transportasi dan kemajuan bidang komunikasi menyebabkan tipisnya
perbedaan antardaerah soal bahan makanan dan cara memasak untuk makanan
yang sama. Walaupun demikian, perbedaan mendasar dalam soal bumbu dan
selera masih tersisa.

Bahan dan bumbu[sunting | sunting sumber]


Bahan makanan sejak zaman kuno[sunting | sunting sumber]
• Palawija, sayuran, kacang-kacangan (kedelai), soba, buah-buahan, dan umbi.
• Tanaman liar, jamur, rumput laut
• Telur ayam, makanan laut
Bumbu sejak zaman kuno[sunting | sunting sumber]
• Garam
• Cuka
• Miso
• Shōyu
• Wasabi
• Jahe
• Andaliman (sanshō)
• Daun bawang (jenis daun bawang dengan lebih banyak bagian batang berwarna
hijau (aonegi) digunakan di daerah Kansai, sementara daun bawang dengan
lebih banyak bagian batang berwarna putih (nebukanegi) disenangi di
daerah Kanto)
• Daun shiso sebagai penyedap
• Cabai merah dalam jumlah sangat sedikit, terutama untuk campuran
bubuk shichimi
• Dashi
Bahan makanan sejak zaman Meiji[sunting | sunting sumber]
• Daging hewan ternak
• Sawi
• Bawang bombay
Bumbu dan rempah-rempah dari luar negeri[sunting | sunting sumber]
• Merica (dari Cina)
• Saus uster
• Mayones
• Bubuk kari

Kategori[sunting | sunting sumber]

Sebuah restoran Jepang di Johor, Malaysia.

Masakan tradisional[sunting | sunting sumber]


• Honzenryōri (本膳料理)
Masakan yang mulai dikenal pada zaman Edo, dan mendapat pengaruh dari
masakan kalangan samurai tetapi akhirnya menghilang pada zaman Meiji.

• Shōjinryōri (精進料理)
Masakan tanpa daging di kuil agama Buddha.

• Kaisekiryōri (懐石料理, masakan Kaiseki)


Masakan yang dihidangkan dalam tahap-tahap penyajian dalam porsi kecil.
• Kaisekiryōri (会席料理, masakan jamuan makan)
Makanan jamuan pesta di rumah makan tradisional Jepang (ryōtei) yang
dinikmati sambil minum sake. Penyajian dilakukan secara bertahap seperti
masakan kaiseki.
Makanan sehari-hari[sunting | sunting sumber]
• Masakan nasi
o Nasi
▪ Nasi putih, nasi merah (sekihan), kowameshi
▪ Nasi dari beras yang belum disosoh
▪ Nasi bercampur gandum (mugimeshi)
▪ Onigiri
o Nasi berbumbu cuka
▪ Sushi
▪ Oshizushi
o Bubur (okayu), bubur dari nasi (zōsui atau ojiya)
o Ochazuke
o Takikomigohan (nasi yang ditanak dengan sedikit lauk)
o Donburi
o Kakegohan (nasi yang dituangi
sesuatu): mugitoro (gandum yang ditanak dan dituangi parutan
umbi yamaimo atau nagaimo).
o Mochi dan dango

• Makanan berkuah (shirumono)


o Sup miso
o Sumashijiru (suimono)

• Sashimi
o Tessa (sashimi ikan fugu)
o Tataki (potongan besar ikan yang digarang dengan api besar,
matang di bagian luar, mentah di bagian dalam)
o Tsuke (sashimi yang direndam dengan kecap asin)
• Tsukemono (sayuran yang diasin): takuan, umeboshi, shibazuke,
misozuke (fermentasi dengan miso), kasuzuke (fermentasi dengan
ampas sake), nukazuke (fermentasi dengan kulit ari beras),
wasabizuke (campuran sayuran dengan pasta wasabi)
• Mi: udon, soba, sōmen

• Nabe: oden, mizudaki, shabu-shabu, sukiyaki,


• Makanan goreng: tempura, satsuma-age, kakiage, karaage
• Makanan panggang: ikan panggang, teriyaki, yakitori, kabayaki
• Nimono: nikujaga, kinpira

• Makanan kukus: chawanmushi, sakamushi (tumis dengan sake)


• Nerimono: bentuk goreng-gorengan dari daging ikan yang
dihaluskan dan ditambah tepung.

• Aemono: sayur yang direndam saus berbahan cuka atau miso.

• Ohitasi: sayur rebus yang dibumbui dashi.


Masakan asal luar Jepang[sunting | sunting sumber]
• Nasi kari (curry rice)
• Furai: goreng-gorengan dengan tepung panir seperti ebi
furai, tonkatsu, dan kroket
• Hayashi rice: nasi berkuah daging yang dimasak dengan saus
tomat dan saus demiglace.
• Napolitan: spaghetti bumbu saus tomat
• Yakiniku: Daging panggang yang diciptakan orang Korea yang
tinggal di Jepang. Di Korea disebut sebagai daging panggang ala
Jepang.
• Yakisoba
• Ramen

Anda mungkin juga menyukai