*E-mail: enienovieastari@gmail.com
Abstrak
Seorang perawat dituntut untuk memiliki kompetensi kultural sehingga memiliki kepekaan terhadap kebutuhan budaya pasien.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran peningkatan kompetensi kultural perawat yang masih rendah melalui
program Pelatihan Asuhan Keperawatan Peka Budaya pada Pasien dengan Gangguan Respirasi. Desain yang digunakan
adalah quasi eksperimen dengan pre dan post test tanpa kelompok kontrol. Program pelatihan ini berlangsung selama 4
minggu melibatkan 93 orang perawat pelaksana dan manajer asuhan keperawatan di sebuah rumah sakit di Jakarta Timur yang
dipilih secara purposif. Instrumen kompetensi kultural yang digunakan adalah instrumen yang dikembangkan oleh peneliti
pada penelitian sebelumnya. Hasil pengukuran kompetensi kultural perawat sebelum dan setelah pelatihan menunjukkan
perbedaan yang bermakna. Kompetensi kultural ditinjau dari aspek pengetahuan budaya memiliki nilai p< 0,001 (α= 0,05),
dari sikap budaya nilai p< 0,01 (α= 0,05), dan dari aspek keterampilan budaya nilai p< 0,001 (α= 0,05). Kesimpulan yang
dapat diambil adalah bahwa kegiatan Pelatihan Asuhan Keperawatan Peka Budaya efektif meningkatkan kompetensi kultural
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Rekomendasi untuk kegiatan selanjutnya adalah perlunya mensosialisasikan
model Asuhan Keperawatan Peka Budaya yang digunakan dalam pelatihan ini kepada seluruh perawat agar dapat diterapkan
kepada seluruh pasien dengan berbagai gangguan kesehatan.
Kata kunci: kompetensi kultural, pelatihan perawat, asuhan keperawatan, peka budaya
Abstract
Culturally-sensitive nursing care trainings effectively improve nurses’ cultural competency. Nurses are required to
have cultural competency in order to provide culturally sensitive nursing care for their patients. The purpose of this
study was to improve nurse cultural competences through A Training Program of Culturally Sensitive Nursing Care for
Patients with Respiratory Health Problems. The study utilized quasi-experiments design without control. The four-week
training program was organized involving 93 nurses at Persahabatan Hospital Jakarta who were selected using
purposive sampling. The nurse cultural competency instruments modified by the author from her previous work was
used. The results of this study showed that after the training program, the nurse cultural competency increased
significantly (p< 0.001 for cultural knowledge, p= 0.003 for cultural attitude, and p< 0.001 for cultural skills). It was
found that the training program was effective to increase every aspect of nurse cultural competency. In conclusion, the
nursing care training program was effective to increase nurse’s cultural competency. Further programs are needed to
improve the program outreach for all nurses and to be applied to the patients with a variety of health problems.
Berdasarkan hasil observasi peneliti selama tional (JCI, 2010) menuliskan bahwa institusi
penelitian yang dilakukan pada 2012–2013, pelayanan kesehatan seperti rumah sakit ber-
perawat yang belum memiliki kompetensi kul- karya untuk mewujudkan rasa percaya pasien,
tural banyak menghadapi masalah dalam ber- menjalin komunikasi terbuka dengan mereka
interaksi dengan pasien. Banyak keluhan yang serta untuk memahami dan melindungi nilai-
muncul sebagai akibat kurangnya kepedulian nilai budaya, psikososial, dan spiritual mereka.
dan kepekaan perawat terhadap keragaman ke- Hasil perawatan akan lebih baik jika pasien dan
butuhan dan kebudayaan pasien yang dirawat. keluarganya dilibatkan dalam pengambilan ke-
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Zander putusan dan proses perawatan pasien sesuai
(2007) bahwa respon perawat dalam berinterak- dengan budaya mereka. Artinya setiap individu
si dengan pasien seperti marah ketika tidak pasien perlu dihormati dan dilindungi nilai-nilai
mampu berkomunikasi, mengkritik secara ter- dan kebudayaannya sesuai dengan keragaman
buka, atau tidak berminat berinteraksi dengan dan keunikannya sebagai individu.
pasien menunjukkan perawat kurang memiliki
kompetensi kultural. Selain itu, perawat yang Pemahaman perawat bahwa kepercayaan yang
kurang memiliki kompetensi kultural akan mu- dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan etio-
dah merasa frustrasi dan tidak nyaman dalam logi dari suatu penyakit (illness) yang diderita-
berinteraksi. Mereka tidak dapat dengan leluasa nya akan membantu perawat untuk dapat mem-
berkomunikasi dengan pasien sesuai dengan bantu pasien mengatasi penyakitnya. Andrews
tuntutan profesi keperawatan karena mereka dan Boyle (2003) menjelaskan bahwa sejumlah
kurang memahami nilai, keyakinan dan ke- masalah kesehatan yang dialami oleh pasien
biasaan dari budaya pasien yang mereka hadapi dewasa dipengaruhi oleh faktor budaya. Selain
setiap hari. faktor penyebab penyakit, aspek-aspek yang
terkait perubahan kebiasaan, gaya hidup dan
Hasil penelitian sebelumnya yang telah peneliti sistem keluarga sebagai faktor-faktor kebuda-
lakukan pada 2012, menemukan bahwa pasien yaan merupakan faktor penting dalam pena-
yang memperoleh asuhan keperawatan dari pe- nganan penyakit kronis.
rawat yang telah dilatih kompetensi kulturalnya
kepuasannya lebih tinggi sebanyak 5,2 kali di- Pasien dengan masalah penyakit kronis ter-
bandingkan dengan pasien yang dirawat oleh masuk penyakit respirasi kronis memiliki ko-
perawat yang tidak dilatih (Novieastari, 2013). notasi kebudayaan karena faktor penyebab ter-
Ada perbedaan bermakna antara kompetensi jadinya penyakit dan proses penyembuhan atau
kultural perawat sebelum dan sesudah pelatih- pengendalian penyakit berhubungan dengan
an, serta ada perbedaan kompetensi kultural kebudayaan pasien. Asuhan keperawatan harus
perawat yang dilatih dan yang tidak dilatih memperhatikan latar belakang kebudayaan,
menggunakan model Asuhan Keperawatan Peka nilai-nilai, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan
Budaya. Pelatihan ini terbukti efektif mening- yang memengaruhi kemampuan pasien dan
katkan kompetensi kultural perawat, dimana keluar-ganya. Perawat harus dapat membantu
perawat yang telah dilatih mempunyai peluang pasien mengatasi penyakit, dan memberikan
12,8 kali untuk kompeten kultural dibanding-kan intervensi yang sesuai dengan kebudayaan
dengan kelompok perawat yang tidak me-ngikuti mereka sehing-ga pasien dapat beradaptasi
pelatihan. dengan perubahan kebiasaan atau kebudayaan
mereka apabila diperlukan (Novieastari,
Keperawatan meyakini bahwa setiap individu Murtiwi, & Wiarsih, 2012).
pasien itu adalah unik, berbeda satu dengan yang
lainnya. Setiap pasien memiliki nilai-nilai dan Asuhan Keperawatan Peka Budaya merupakan
keyakinan serta kebudayaan yang beragam dan asuhan keperawatan yang menggunakan kom-
berbeda-beda. Joint Commission Interna- petensi budaya dalam membantu pasien me-
Novieastari, et al., Pelatihan Asuhan Keperawatan Peka Budaya Efektif Meningkatkan Kompetensi Kultural Perawat 29
menuhi kebutuhan sesuai dengan kebutuhan agama Islam (83,87%), dan berasal dari suku
budayanya (Leininger & McFarland, 2002a; Jawa (48,39%). Perawat berusia antara 22–56
Leininger & McFarland, 2002b). Seorang pera- tahun dengan rerata 41 tahun (SD= 9 tahun).
wat yang memiliki kompetensi kultural diha- Rerata perawat telah bekerja di rumah sakit ter-
rapkan dapat memberikan asuhan keperawatan sebut selama 18 tahun (SD= 10 tahun), dengan
yang lebih bermakna bagi kehidupan pasien rentang lama kerja berkisar antara 1–35 tahun.
yang berasal dari beragam kebudayaan dan se-
cara tidak langsung dapat meningkatkan kua- Kompetensi Kultural Perawat. Hasil analisis
litas hidup pasien dengan pendekatan budaya data menunjukkan terjadi peningkatan rerata
yang diberikan oleh perawat. Penelitian ini ber- pengetahuan, sikap dan keterampilan perawat
tujuan untuk mengidentifikasi bagaimanakah sebelum dan setelah pelatihan Asuhan Kepera-
pengaruh Pelatihan Asuhan Keperawatan Peka watan Peka Budaya (Tabel 1). Komponen pe-
Budaya pada pasien dengan Gangguan Respi- ngetahuan budaya ada 25 pertanyaan, rerata
rasi terhadap kompetensi kultural perawat? jawaban responden sebelum mendapatkan pela-
tihan hanya mampu menjawab 10 pertanyaan
Metode dengan benar (SD= 3,75). Namun, setelah men-
dapatkan pelatihan, rerata jawaban benar res-
Studi ini menggunakan desain kuasi eksperi-men ponden meningkat menjadi 18 (SD= 2,64). Total
dengan pre-post tanpa kelompok kontrol. Teknik nilai maksimal untuk komponen sikap budaya
purposive sampling digunakan untuk memilih adalah 80, rerata responden mampu mencapai
sampel yang berjumlah 92 orang pera-wat nilai 63,10 (SD= 6,47) sebelum intervensi dan
pelaksana dan manajer asuhan keperawatan di sedikit meningkat menjadi 65,05 (SD= 6,77)
ruang rawat inap. Instrumen yang digunakan setelah intervensi. Sedangkan dari total nilai
adalah instrumen kompetensi kultural yang maksimal 140 untuk keterampilan budaya pera-
dikembangkan oleh peneliti berdasarkan hasil wat, rerata responden mampu mencapai nilai
modifikasi dari instrumen dan konsep yang 104,05 (SD= 14,20) sebelum intervensi, dan
terkait dengan keperawatan transkultural. Ins- meningkat menjadi 113,70 (SD= 13,49) setelah
trumen telah dipergunakan dalam penelitian intervensi.
sebelumnya (α Cronbach= 0,926). Instrumen
terdiri atas 3 bagian yaitu pengetahuan budaya Perbedaan Kompetensi Kultural Perawat
(25 pertanyaan), sikap budaya (20 pertanyaan) Sebelum dan Setelah Pelatihan. Berdasarkan
dan keterampilan budaya (35 pertanyaan) meng- hasil analisis data yang disajikan dalam Tabel 2,
gunakan skala Likert (Novieastari, 2013). rerata nilai pengetahuan perawat setelah
pelatihan (M= 17,51; SD= 2,64) 8 poin lebih
Sebelum dilakukan intervensi berupa program tinggi daripada sebelum pelatihan (M= 9,95;
pelatihan, perawat mengisi kuesioner pre tes SD= 3,75). Analisis selanjutnya menunjukkan
dan setelah 1 bulan mengikuti pelatihan, pera- bahwa terdapat perbedaan yang sangat bermak-
wat mengisi kuesioner post-test. Intervensi be- na antara pengetahuan budaya perawat sebelum
rupa program pelatihan Asuhan Keperawatan dan setelah pelatihan Asuhan Keperawatan Peka
Peka Budaya pada Pasien dengan Gangguan Budaya (t(92)= -17,57; p< 0,001).
Respirasi berlangsung sebanyak 10 sesi (5 sesi
teori @ 3 jam dan 4 sesi praktik @ 4 jam serta Rerata nilai sikap perawat setelah pelatihan (M= 65,05;
1 sesi evaluasi dan rencana tindak lanjut). SD= 6,77) juga menunjukkan pe-ningkatan sebanyak 2
poin dibanding dengan sebelum pelatihan (M= 63,09;
SD= 6,47). Ana-lisis selanjutnya menunjukkan bahwa
Hasil terdapat perbedaan yang bermakna antara sikap
budaya perawat sebelum dan setelah pelatihan Asuhan
Karakteristik Perawat. Dalam studi ini mayo-
ritas perawat adalah perempuan (95,7%), ber-
30 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 21, No. 1, Maret 2018, hal 27-33
Tabel 1. Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan Perawat
Keperawatan Peka Budaya (t(92)= -3,08; p< kebutuhan yang sesuai dengan kebudayaannya.
0,01). Kompetensi kultural merupakan sekumpulan ke-
terampilan dan perilaku yang memungkinkan
Sama halnya dengan rerata nilai pengetahuan perawat bekerja secara efektif di dalam konteks
dan sikap budaya, rerata nilai keterampilan pe- kebudayaan pasien (Lampley, Little, Beck-Little,
rawat setelah pelatihan (M= 113,69; SD= 13, & Yu Xu, 2008). Menurut Shearer dan
48) juga mengalami peningkatan sebesar 10 poin Davidhizar (2003), bahwa kompetensi kultural
dibandingkan sebelum pelatihan (M= 104,05; merupakan suatu kemampuan untuk merawat
SD= 14,19). Analisis selanjutnya menunjukkan pasien secara peka budaya dan cara yang sesuai
bahwa terdapat perbedaan yang sangat bermak- dengan kebudayaan pasien. Kemampuan mem-
na antara keterampilan budaya perawat sebe-lum berikan asuhan keperawatan secara peka bu-daya
dan setelah pelatihan Asuhan Keperawatan Peka merupakan salah satu kompetensi yang wajib
Budaya (t(92)= -5.25, p< 0,001). dimiliki oleh seluruh perawat di dunia termasuk
di Indonesia (PP-PPNI, 2010).
Pembahasan
Kompetensi kultural merupakan suatu proses
Perawat perlu memiliki kompetensi kultural agar yang terus menerus perlu dilatih dan dikem-
dapat memberikan asuhan keperawatan yang bangkan kepada para perawat khsususnya dan
peka terhadap kebutuhan pasien termasuk tenaga kesehatan pada umumnya. Untuk dapat
Novieastari, et al., Pelatihan Asuhan Keperawatan Peka Budaya Efektif Meningkatkan Kompetensi Kultural Perawat 31
Hasil penelitian ini juga mendukung apa yang Scrimshaw, Fullilove, Fielding, dan Normand
telah dibahas oleh Maier-Lorentz (2008) dalam (2003) bahwa standar pertama dari perawatan
artikelnya yang menyatakan bahwa perawat yang kompeten secara budaya adalah institusi
harus memperoleh pengetahuan dan keteram- pelayanan kesehatan harus dapat menjamin se-
pilan dalam kompetensi kultural. Asuhan ke- mua pasien atau konsumen menerima layanan
perawatan yang kompeten secara budaya mem- dari semua tenaga secara efektif, dapat di-
bantu memastikan kepuasan pasien dan penca- pahami, dan menghormati pasien/konsumen
paian hasil yang positif. Pelayanan kesehatan dengan cara-cara yang sesuai dengan
yang kongruen secara budaya menurut Jeffreys keyakinan dan praktik kesehatan budayanya,
(2006) merupakan hak asasi manusia dan bukan serta meng-gunakan bahasa yang disukai. Hal
merupakan privilege, oleh karenanya setiap ini tentunya berkaitan dengan upaya
pasien perlu mendapatkannya dari pemberi pe- meningkatkan kepuas-an pasien terhadap
layanan kesehatan. Hal ini juga diamanahkan layanan yang diberikan ke-pada mereka.
oleh Code of Nurses dari International Council
of Nurses (ICN) dan juga Standar Kompetensi Pelatihan Asuhan Keperawatan Peka Budaya
Perawat Indoneisa (PP-PPNI, 2010). Kriteria kepada perawat dapat dijadikan sebagai salah
akreditasi rumah sakit secara internasional se- satu upaya peningkatan kemampuan kepera-
perti yang dikeluarkan oleh Joint Commission watan khususnya dalam meningkatkan kom-
on Accreditation of Healthcare Organizations petensi budaya agar dapat memberikan asuhan
(JCI, 2010) juga memasukkan pelayanan yang keperawatan yang peka budaya khususnya pada
harus diberikan oleh tenaga kesehatan yang pasien dengan gangguan respirasi. Namun de-
memiliki kompetensi kultural untuk mening- mikian pelatihan ini dapat dikembangkan juga
katkan kepuasan pasien. untuk asuhan keperawatan pada pasien lainnya.
Pelatihan asuhan keperawatan peka budaya
Menurut Bureau of Primary Health Care dapat diterapkan untuk mendukung pencapaian
(BPHC) USA dalam Seright (2007), konse- salah satu standar akreditasi internasional ru-
kuensi dari kompetensi kultural dapat diukur mah sakit sesuai standar JCI, mengingat salah
melalui beberapa capaian (outcomes) pelayan- satu aspek yang perlu dipenuhi dalam akreditasi
an yang diberikan yaitu mencakup: 1) adanya tersebut adalah perawat perlu memenuhi ke-
perbaikan dari diagnosis dan rencana terapi; 2) butuhan pasien sesuai dengan kebudayaannya.
perkembangan penanganan rencana tindakan Oleh karena itu pelatihan ini dapat dijadikan
yang diikuti oleh pasien dan didukung oleh salah satu program rumah sakit untuk mening-
keluarga; 3) penurunan angka keterlambatan katkan kemampuan perawat dalam memenuhi
dalam pencarian layanan; 4) peningkatan ko- kebutuhan pasien sesuai dengan kebudayaan-nya
munikasi secara menyeluruh; 5) peningkatan melalui peningkatan kompetensi kultural.
kompatibilitas antara praktik kesehatan ber-
basis budaya atau tradisional dengan barat. Kesimpulan
Kepuasan pasien merupakan suatu
konsekuensi dari asuhan atau pelayanan yang Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa
kompeten. Kepuasan praktisi, logikanya juga kegiatan Pelatihan Asuhan Keperawatan Peka
meningkat-kan kepatuhan pasien terhadap Budaya efektif meningkatkan kompetensi kul-
rencana pera-watan atau tindakan. Hal ini tural perawat dalam memberikan asuhan kepe-
dapat berarti bahwa berkurangnya rawat ulang rawatan pasien dengan gangguan respirasi yang
atau kekam-buhan pasien dan meningkatkan menerima asuhan keperawatan. Rekomendasi
kesehatan yang optimal. untuk kegiatan pengabdian masyarakat selan-
jutnya adalah perlunya mensosialisasikan mo-del
Standar nasional pelayanan yang sesuai secara Asuhan Keperawatan Peka Budaya kepada
kultural dan linguistik dinyatakan Anderson, seluruh perawat agar dapat diterapkan kepada
Novieastari, et al., Pelatihan Asuhan Keperawatan Peka Budaya Efektif Meningkatkan Kompetensi Kultural Perawat 33
seluruh pasien dengan berbagai gangguan ke- Leininger, M., & McFarland, M.R. (2002a).
sehatan (AF, NN, HR). Culture care theory: A major contribution
to advance transcultural nursing
knowledge and practice. Journal of
Ucapan Terima Kasih Transcultural Nursing, 13 (3), 189–192.
Diperoleh dari http://tcn.sagepub.com pada
Ucapan terima kasih disampaikan kepada 24 April, 2008.
Direktorat Riset dan Pengabdian Masayarakat
Universitas Indonesia melalui Program Com- Leininger, M., & McFarland, M.R. (2002b).
munity Engagement Grants (CEGS) 2014 Transcultural nursing: Concepts, theories,
yang telah memberikan dukungan dana untuk research, and practice (3rd Ed.). New York:
ter-laksananya studi ini. Demikian juga kepada Mc Graw Hill.
Pimpinan RS, Kepala Bidang Keperawatan
dan Kepala Bidang Diklat RSUP Persahabatan Maier-Lorentz, M. (2008). Transcultural Nursing:
Jakarta yang telah bekerjasama sebagai mitra Its importance in nursing practice. Journal
of Cultural Diversity, 15 (1), 37–43.
bagi terlaksananya kegiatan di RSUP Persaha- Diperoleh dari Proquest Nursing & Allied
batan Jakarta. Health Source pada Juni 2013.