Anda di halaman 1dari 7

ESSAY TENTANG DEPRESI DAN STIGMA NEGATIF PADA MASYARAKAT

YANG TERDIAGNOSA TUBERCULOSIS (TBC)

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Keperawatan berbasis masyarakat pendekatan


keilmuan dasar dan komunitas dan jiwa

OLEH :

MAULUDINA ZAHROH
2134008

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN
TAHUN 2021
ESSAY TENTANG DEPRESI DAN STIGMA NEGATIF PADA MASYARAKAT
YANG TERDIAGNOSA TUBERCULOSIS (TBC)

TBC adalah infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri penyebab TBC ini


umumnya menyerang paru-paru. Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang
menempati urutan kedua di dunia sebagai penyakit infeksi dan jumlah individu yang sakit
akibat terinfeksi bakteri ini meningkat setiap tahunnya. Kondisi tersebut menjadikan
tuberculosis sebagai masalah global dan menjadi salah satu agenda dari program Sustainable
Development Goals 2030, dengan target pada tahun 2030 dunia bebas dari penyakit ini.
Berdasarkan data dari WHO melalui Global Tuberculosis Report (2016) pada tahun 2015
terdapat 10,4 juta kasus tuberculosis diseluruh dunia. Jumlah tersebut meningkat dibanding
tahun 2014 dengan jumlah kasus 9.6 juta. Di Indonesia tuberkulosis paru merupakan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan, serta
menempati urutan pertama penyebab kematian untuk penyakit infeksi. Setiap tahunnya
ditemukan 61.000 kematian akibat penyakit ini (Kemenkes RI, 2015). Berdasarkan data
Kemenkes RI (2015) tahun 2014 terdapat 460.000 kasus baru tuberkulosis paru pertahunnya,
dan jumlah ini meningkat ditahun 2015 menjadi satu juta kasus baru pertahunnya (kemenkes
RI, 2016). Kondisi ini menjadikan Indonesia berada di urutan kedua dengan jumlah kasus
tuberkulosis terbanyak setelah India, dan menyumbang 10% dari total kasus tuberkulosis di
dunia.
Penyakit TBC kerap dialami oleh mereka yang tinggal di lingkungan padat yang
seringkali terjadi pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Sehingga sering muncul
anggapan bahwa TBC adalah penyakit orang dengan tingkat sosialekonomi rendah. Maka
lebih tepat dikatakan bahwa kemiskinan dapat menjadi salah satu faktor yang mempermudah
penularan penyakit TBC. Sebab, kemiskinan menjadi hambatan bagi seseorang untuk bisa
membangun rumah yang sehat, yaitu dengan sanitasi air bersih yang cukup dan ventilasi serta
pencahayaan yang memadai. Meski demikian, tidak mudah mengubah stigma dan
diskriminasi terhadap pasien TBC karena pemahaman masyarakat mengenai penyakit ini
yang juga masih terbilang minim.
Secara spesifik, stigma terbagi menjadi stigma eksternal dan stigma internal atau biasa
dikenal dengan istilah stigma diri. Pasien TBC yang memiliki stigma diri cenderung memiliki
pikiran dan perasaan takut akan dihakimi oleh orang lain serta rasa malu dan bersalah
terhadap diri sendiri. Bila tidak diatasi, stigma diri dapat menyebabkan terisolasi dari
lingkungan sosial, ketidakpatuhan pasien untuk berobat, hingga tak jarang putus menjalani
pengobatan. Perlu dipahami bahwa TBC dapat disembuhkan melalui pengobatan rutin hingga
tuntas. Hanya saja, stigma dan diskriminasi pada pasien TBC dapat menjadi hambatan bagi
mereka untuk menjalani pengobatan. Maka, menjadi peran kita untuk mendukung mereka
yang terinfeksi, untuk dapat menjalani pengobatan hingga selesai tanpa ada stigma dan
diskriminasi.
Adaanya stigma negatif terhadap penyakit ini juga menambah depresi pasien.
Menurut Courthwright, dan Turner (2010) dalam jurnal penelitiannya menjelaskan bahwa
stigma negatif ini muncul karena adanya persepsi bahwa tuberkulosis adalah penyakit yang
sangat menular, berbahaya, kotor dan terkait dengan kemiskinan. Stigma negatif sangat
berpengaruh pada program pengobatan tuberkulosis paru.
Dalam jurnal yang berjudul The stigma of tuberculosis (Davis, & Juniati, 2010)
terdapat dua masalah utama dalam pengobatan tuberkulosis paru, yaitu keterlambatan dalam
pengobatan dan putus obat, salah satu penyebab dari masalah ini adalah adanya penghindaran
pasien tuberkulosis paru untuk berobat karena stigma negatif. Kondisi depresi akibat proses
penyakit tuberkulosis dan pengobatannya, serta stigma negatif terhadap penyakit tuberculosis
ini akan semakin memperberat kondisi pasien, baik fisik dan psikis. Kondisi fisik dan psikis
ini akan sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien, karena keduanya merupakan domain
dari kualitas hidup (Nursalam, 2015), sehingga tidak jarang pasien dengan penyakit
tuberkulosis mempunyai nilai kualitas hidup yang rendah dikarenakan depresi yang dialami
pasien, serta diperberat denganstigma negatif terhadap penyakit. Kualitas hidup yang rendah
akibat adanya depresi dan sigma tentunya akan mempengaruhi bagaimana pasien tuberkulosis
paru menjalani proses penyakitnya serta proses pengobatannya yang secara keseluruhan akan
berpengaruh terhadap berhasil atau tidaknya pengobatan.
Gangguan depresi pada penderita TB paru dapat timbul akibat berbagai faktor baik
internal maupun eksternal, seperti dukungan keluarga yang kurang, adanya halangan bagi
penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta halangan untuk berinteraksi dengan
masyarakat. Hal ini juga bisa disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti adanya perasaan
menolak kenyataan mengenai penyakit TB paru dan akibat dari stigma masyarakat yang
negative mengenai tuberkulosis.
Pada beberapa orang yang mengalami atau menderita penyakit kronik seperti TBC
dan dengan pengobatan yang lama maka sangat mungkin penderita mengalami depresi maka
diperlukan pengobatan secara medis dan diperlukan dukungan social dari keluarga maupun
orang sekitar (Marselia, Wilson dan Pratiwi, 2017). Resiko depresi dapat diperburuk oleh
adanya masalah sosial ataupun hubungan dengan masyarakat dan buruknya tingkat kesehatan
yang dirasakan penderita. Depresi yang kebanyakan dialami oleh para penderita TBC
seringkali menyebabkan halangan dalam proses pengobatan. Salah satu penyebab terjadinya
depresi adalah karna banyaknya tiap obat yang dikonsumsi setiap hari serta terapi dalam
waktu lama dan kompleks, serta banyak stigma masyarakat menimbulkan potensi gejala
depresi (Muastaqin, Suryawati dan Priyanto, 2017). Pengobatan pada penyakit TBC
memerlukan waktu yang panjang. Pasien yang positif menderita TBC minimal harus
menjalani pengobatan selama enam bulan dan jika minum obat tidak teratur maka penyakit
TBC tidak akan sembuh bahkan menjadi lebih kuat (Putri, Kholis dan Ngestiningsih, 2018).
Beberapa program yang telah dikembangkan dan dilakukan oleh pemerintah belum
ada program yang bertujuan untuk mengatasi masalah psikososial yang dihadapi penderita
TB paru, padahal dampak psikososial ini sangat besar pengaruhnya terhadap kepatuhan
berobat dan prognosa penyakit penderitanya. Dampak psikososial antara lain adalah adanya
masalah emosional berhubungan dengan penyakitnya seperti merasa bosan, kurang motivasi,
sampai kepada gangguan jiwa yang cukup serius seperti depresi berat. Masalah psikososial
lainnya adalah adanya stigma di masyarakat, merasa takut akan penyakitnya yang tidak dapat
disembuhkan, merasa dikucilkan dan tidak percaya diri, serta masalah ekonomi.
Bagi penderita yang mengalami depresi dan putus asa terhadap penyakitnya, mereka
tidak mau minum obat, resikonya adalah penderita tidak sembuh dan tentu akan menularkan
penyakit mereka pada orang lain disekitarnya. Pada penelitian kami sebelumnya sudah
ditemukan kebutuhan psikososial penderita TB paru (Suryani et al. 2014), sehingga
diperlukan upaya intervensi untuk mengatasinya. Psikoedukasi adalah pendidikan kesehatan
pada pasien baik yang mengalami penyakit fisik maupun gangguan jiwa yang bertujuan untuk
mengatasi masalah psikologis yang dialami mereka. Penyakit fisik disini bisa berupa
hipertensi, kanker, penyakit kulit, TBC dan sebagainya. Sedangkan gangguan jiwa bias
berupa depresi, kecemasan dan skizofrenia. Terapi psikoedukasi ini bisa berupa pasif
psikoedukasi seperti pemberian informasi dengan leaflet atau melalui email atau website dan
juga bias berupa aktif psikoedukasi berupa konseling atau pemberian pendidikan kesehatan
secara individu atau kelompok.
Stigma masyarakat memiliki sejumlah dampak negatif dan dapat merusak hubungan
sosial individu. Hal ini kemudian mendorong terjadinya isolasi sosial yang justru lebih
memungkinkan penyebaran virus/bakteri ketimbang upaya pencegahannya. Dikutip dari
panduan mencegah dan mengatasi stigma sosial oleh WHO, berikut tiga dampak stigma
sosial pada orang dengan penyakit menular:
1. Mendorong orang untuk menyembunyikan penyakitnya untuk menghindari
diskriminasi
2. Mencegah orang segera mencari perawatan kesehatan
3. Mencegah mereka mengadopsi perilaku sehat
Dalam beberapa kasus, stigma masyarakat juga dapat menyebabkan orang dengan TBC
yang diusir dari rumah, komunitas, dan pekerjaan mereka, bahkan kehilangan rasa aman,
sistem pendukung, dan sarana pendapatan. Stigma tidak hanya merugikan pasien, tetapi juga
mengikis komitmen petugas kesehatan untuk perawatan berkualitas tinggi. Oleh karena itu,
pendekatan yang efektif harus melindungi hak setiap orang sebagai landasan perawatan yang
berpusat pada pasien.
Upaya mengatasi stigma masyarakat terbukti telah menghambat respon penanganan
epidemi maupun pandemi. Dalam kondisi tersebut perlu dilakukan upaya membangun
kepercayaan pada layanan dan sarana kesehatan yang terpercaya, mampu menunjukkan
empati kepada mereka yang terkena dampak, memiliki pengetahuan yang memadai mengenai
penyakit tersebut, serta mengambil langkah-langkah efektif untuk membantu menjaga diri
mereka dan orang di sekeliling agar tetap aman.
Adapun kemampuan kita mengkomunikasikan informasi mengenai penyakit TBC, Cara
mengkomunikasikan juga dapat mendukung mereka yang terdampak untuk dapat melawan
penyakit tersebut serta menghindari ketakutan dan stigma. Dalam panduan mencegah dan
mengatasi stigma sosial yang dirilis WHO, dirumuskan tiga hal yang perlu dilakukan untuk
mengatasi stigma:
1. Menggunakan kata-kata dan bahasa yang non-diskriminatif
Penggunaan kata dan Bahasa juga tidak jarang memicu sikap stigmatisasi, seperti
contohnya kasus suspek, isolasi, dll. Penggunaan kata-kata yang kurang tepat tidak jarang
dapat menguatkan stereotip atau asumsi negatif, memperkuat kaitan yang salah antara
penyakit dan faktor lain, seperti menciptakan ketakutan, atau merendahkan martabat orang
yang mengidap penyakit tersebut.
Penggunaan kata-kata atau bahasa yang kurang tepat justru dapat membuat orang
menghindari untuk melakukan pemeriksaan, pengujian, dan karantina. Dalam panduan ini,
direkomendasikan untuk menggunakan bahasa yang fokus pada subyek dan memberdayakan
orang di semua kanal komunikasi, termasuk media.
2. Setiap orang memiliki peran untuk dapat menghapus stigmatisasi
Setiap orang memiliki peran yang sama dalam mencegah dan menghentikan stigma. Cara kita
berkomunikasi melalui media sosial maupun platform lain harus hati-hati dan bijaksana
dengan tidak fokus pada subyek namun lebih kepada informasi seputar penyakitnya.
Masyarakat dan petugas kesehatan untuk dapat membantu mencegah stigma:
 Menjaga privasi dan kerahasiaan pasien yang mencari perawatan kesehatan dan yang
mungkin menjadi bagian dari penyelidikan kontak apa pun.
 Mengkomunikasikan dengan cepat risiko, atau kurangnya risiko, dari kontak dengan
produk, orang, dan tempat.
 Memperbaiki bahasa negatif yang dapat menimbulkan stigma dengan membagikan
informasi akurat tentang bagaimana virus menyebar.
 Menentang perilaku dan pernyataan negatif, termasuk yang ada di media sosial.
 Memastikan bahwa gambar yang digunakan dalam komunikasi menunjukkan
komunitas yang beragam dan tidak memperkuat stereotip.
 Menyarankan sumber daya virtual untuk kesehatan mental atau layanan dukungan
sosial lainnya bagi orang yang pernah mengalami stigma atau diskriminasi.
 Komunikasi yang baik dan efektif
Stigma dapat berdampak negatif pada kesehatan emosional, mental, dan fisik kelompok
yang terstigma dan komunitas tempat mereka tinggal. Orang yang terstigma mungkin
mengalami isolasi, depresi, kecemasan, atau rasa malu di depan umum. Menghentikan stigma
penting untuk membuat semua komunitas dan anggota komunitas lebih aman dan sehat.
Setiap orang dapat membantu menghentikan stigma terkait TBC dengan mengetahui fakta
dan membagikannya kepada orang lain di komunitas mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Bagod Asturyno Wijaya, Joko Prasetyo, Shelfi Retnani Putri Santoso. (2021). Hubungan Tingkat
Kecemasan Dan Depresi Pada Pengobata Tuberculosis (TBC). Jurnal EDUNursing. 5(1). 10-22.

Debi Ariyanto, Muchlis Achsan Udji Sofro, Meidiana Dwidayani. (2020). Tingkat Depresi Pasien TB
MDR. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa. 3 (3), 277 – 290.

Devi alfiani. (2020). Hubungan Antara Pendampingan Patient Supporter Dengan Tingkat Depresi
Pada Pasien Tb-Mdr Di Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta : Universits Alma Ata.

Eli Kurniasih, Vina Jovitia Nurfajriani. (2021). Gambaran Tingkat Kecemasan Pasien Tb Paru
Telaah Literatur. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. 21(1), 78-91.

Mustaqin, Suryawati, Heri Priyanto. (2017). Hubungan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Anti
Tuberkulosis dengan Gejala Depresi pada Pasien TB Paru di RSUDZA Banda Aceh. Jurnal
Medisia. 2(2), 12-17.

Reni Marselia1, Wilson, Sari Eka Pratiwi. (2017). Hubungan antara Lama Terapi terhadap Tingkat
Gejala Depresi pada Pasien TB Paru di Unit pengobatan Penyakit Paru-Paru Pontianak. Jurnal
Cerebellum. 3(3), 831-841.

Rochman Basuki, Rihadini, Eko Budhiarti. (2020). Pengaruh Depresi Terhadap Kepatuhan Minum
OAT pada Penderita TB. Skripsi Semarang: Universitas Muhammaiyah.

Sulistiyani, Lamria Situmeang, Qoriah Nur. (2021). Psikologis Pasien Multi Drug Resistan
Tuberkulosis Selama Pengobatan Di Papua: Studi Fenomenologi. Jurnal Keperawatan Tropis
Papua. 4(1),11-21.

Suryani, Efri Widianti, Taty Hernawati, Aat Sriati. (2016). Psikoedukasi Menurunkan Tingkat
Depresi, Stres Dan Kecemasan Pada Pasien Tuberkulosis Paru. Jurnal Ners. 11(1), 128-133.

Verra Widhi Astuti, Astuti Yuni Nursasi, Sukihananto. (2019). Edukasi Kesehatan
Terstruktur Dan Stigma Masyarakat Pada Klien TB Paru. Jurnal Kesehatan Poltekkes
Palembang. 14(2),85-90.

Anda mungkin juga menyukai