Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

Disusun oleh:
dr. Salim

Konsulen Pembimbing:
Dr. Rajasa Herwanda, Sp.U

Pembimbing:
Dr. Irwan

DISUSUN DALAM RANGKA MEMENUHI TUGAS


PROGRAM KEMENKES DOKTER INTERNSIP
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
TAHUN 2021
BERITA ACARA DISKUSI / PRESENTASI LAPORAN KASUS

Pada hari ini, tanggal September 2021, telah dipresentasikan kasus, oleh:
Nama : dr. Salim
Judul : Benign Prostatic Hyperplasia
Nama Wahan : RSUD KARAWANG
No Nama Peserta Tanda tangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya :

Konsulen
Pembimbing

Dr. Rajasa Herwanda, Sp.U

DAFTAR ISI

Berita Acara ...............................................................................................................................i

i
Daftar Isi ....................................................................................................................................ii
Kata Pengantar...........................................................................................................................iii

BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................2
LAPORAN KASUS........................................................................................................................2
BAB III..........................................................................................................................................10
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................................10
3.1. Definisi.............................................................................................................................10
3.2. Epidemiologi....................................................................................................................10
3.3. Etiologi.............................................................................................................................11
3.4. Patofisiologi.....................................................................................................................12
3.5. Gejala Klinis....................................................................................................................14
3.6. Diagnosis..........................................................................................................................15
3.7. Penatalaksanaan ..............................................................................................................17
3.8. Pencegahan.......................................................................................................................25
BAB IV..........................................................................................................................................27
ANALISA KASUS........................................................................................................................27
BAB IV..........................................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................29

KATA PENGANTAR

ii
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan Laporan kasus “Benign Prostatic
Hyperplasia”. Laporan kasus ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas
internsip.

Dalam proses penyusunan laporan kasus ini tidak terlepas dari campur tangan teman Para
pembimbing. Oleh karenanya, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dokter Konsulen
Pembimbing Dr. Rajasa Herwanda, Sp.U dan dokter pembimbingnya Dr irwan.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki kekurangan, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak agar laporan
kasus ini dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga pembuatan laporan kasus ini dapat memberikan
manfaat, yaitu menambah ilmu pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk rekan-rekan
kedokteran maupun paramedis lainnya dan masyarakat pada umumnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Karawang, September 2021

(Penulis)

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Pembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai BPH (Benign Prostatic
Hyperplasia) merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma
dan sel-sel epitel kelenjar prostat. BPH dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia
60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.
BPH merupakan salah satu keadaan yang menyebabkan gangguan miksi yaitu retensio
urin yang mengakibatkan supersaturasi urin, sehingga rentan untuk terbentuknya batu
buli. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH diantaranya
teori dihidrotestosteron, teori ketidak seimbangan antara estrogen-testosteron, teori
interaksi stroma-epitel, teori berkurangnya kematian sel prostat, serta teori sel stem.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower
urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun
iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia,
pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas
sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Ny. R
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Usia : 73 Tahun 8 bulan
Tempat, Tanggal Lahir : Karawang, 04 September 1947
Alamat : Maluya, karawang
Agama : Islam
Status Pernikahan : Sudah menikah
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Buruh Tani
Tanggal Masuk RS : 05 September 2021

II. ANAMNESA

a. Keluhan utama

Tidak bisa BAK.

b. Riwayat penyakit sekarang

Seorang laki-laki berusia 73 tahun datang dengan keluhan tidak bisa


buang air kecil kurang lebih 14 hari sebelum masuk rumah sakit. 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sulit buang air kecil (BAK).
Pasien mengaku sulit untuk memulai BAK, dan terkadang harus disertai dengan
mengedan untuk BAK, pancaran kencing lemah, kadang terhenti kemudian
lancar kembali. Pasien juga mengeluh sering berkalikali ke kamar mandi pada
malam hari saat tidur malam karena ingin BAK namun saat BAK hanya

2
menetes dan merasa kurang puas. BAK tidak keluar batu, tidak berdarah,
demam tidak ada, nyeri pinggang tidak ada, buang air besar biasa.

Pasien sudah 4 kali ke praktek dokter terdekat untuk dipasang kateter.


Kurang lebih 14 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh tidak bisa
BAK. Kemudian pasien dirawat inap pada 05 September 2021. Saat itu pada
pasien terpasang kateter, air kencing dapat keluar, darah tidak ada.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien menyangkal adanya keluhan serupa sebelumnya. Pasien mengatakan


memiliki riwayat darah tinggi dan tidak rutin minum obat. Penyakit kencing
manis, keganasan, penyakit paru, atau penyakit lain disangkal. Tidak ada riwayat
alergi obat dan tidak ada riwayat operasi sebelumnya.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengidap penyakit seperti ini. Tidak ada
riwayat keluarga yang mengalami penyakit kencing manis, darah tinggi dan
riwayat alergi dalam keluarga.

e. Riwayat Sosioekonomi

Pasien bekerja sebagai buruh tani, pasien mengaku sering mengangkat beban
yang berat.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Kesan sakit : Sakit sedang
Kesadaran : CM, GCS E4V5M6

3
IMT : 17,3 kg/m2, underweight.

Tanda Vital
Tekanan Darah : 160 / 100 mmHG
Frekuensi nadi : 87 x/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi napas : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36,3 C
VAS skor :7

Kepala / leher
Mata : Ca -/-, Si -/-
Hidung : I: edema (-/-), deformitas (-/-)
Tenggorokan :
Tonsil : T1/T1
Dinding faring : hiperemis (-), post nasal drip (-)
Leher :
Kelenjar liimfe : tidak terdapat pembesaran
Tyroid : tidak terdapat pembesaran

Toraks
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 5 linea midclavicula kiri
Perkusi : Batas jantung kanan: ICS 4 linea parasternal kanan
Batas jantung kiri: ICS 5 linea midclavikula kiri
Auskultasi : S1S2 reguler, bising jantung(-)
Paru
Inspeksi : gerakan pernafasan simetris kiri = kanan
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : suara pernafasan vesikuler, Ronki -/-, Wheezing -/-

4
Abdomen
Inspeksi : Flat (+) distended (-)
Palpasi : Supel (+) Hepar dan lien tidak teraba. Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani (+) Asites (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal

Ekstremitas

Akral hangat, sianosis (-), edema (-) pada kedua tungkai, CRT <2 detik

Genital
Terpasang kateter urine ukuran 16F, di dalam urine bag, terdapat 300 cc urine
berwarna kuning jernih dan tidak terlihat adanya darah.

Anus: Rectal toucher didapatkan tonus sphincter ani kuat, mukosa rektum licin,
tidak ada massa, ampulla recti intak, serta prostat teraba membesar, batas atas
teraba, konsistensi kenyal, permukaan licin, nodul tidak ada, dan nyeri tekan
tidak ada, tidak ada darah dan feses pada handscoen.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
Tanggal 01/09/2021

5
Parameter Hasil Nilai Rujukan

6
Hemoglobin 10,9 g/Dl 13,2-17,3 g/dL
Eritrosit 4,12 x10^6/Ul 4,50 – 5,90 x10^6/uL
Leukosit 6,97 x10^3/uL 4,40-11,30 x10^3/uL
Trombosit 243 x10^3/Ul 150-400 x10^3/uL
Hematokrit 34,5 % 40,0-52,0 %
Basofil 0% 0-1 %
Eosinofil 5% 2-4 %
Neutrofil 58 % 50-70 %
Limfosit 29 % 25-40 %
Monosit 8% 2-8 %
MCV 84 Fl 80-100 fL
MCH 27 pg 26-34 pg
MCHC 32 g/dL 32-36 g/dL
RDV-CV 13,4 % 12,2-15,3 %
GDS 86 mg/Dl 70-110 mg/dL
Masa perdarahan 2 Menit 1 – 3 Menit
(BT)
Masa Pembekuan 9 Menit 5 – 11 Menit
(CT)

Urinalisa
Parameter Hasil Nilai Rujukan

Eritrosit Banyak < 1 /lpb


Kristal Negatif
Silinder Negatif
Bakteri Negatif
Berat jenis 1,010 1,010 – 1,025
Ph 6,0 4,80 – 7,50
Protein Positif 1 Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif

7
Darah / Hb Positif 3 Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen 0.2 0,2 – 1,0 E.U/dl
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit esterase Positif 2 Negatif

Tanggal 06/09/2021

PCR SARS CoV-2 NEGATIF NEGATIF

Radiologi
02/09/2021

8
Kesan: Chronic Bronchitis Pulmonary Emphysema mengarah gambaran Chronic
Pulmonary Disease. Radiologi cor pada saat ini dalam batas normal.

USG Urologi

Ginjal kanan: tidak mebesar, echocortex normal, batas cortex modula baik, system
pelviocalyceal tidak ectasis, tak tampak batu/masa.
Ginjal kiri: tidak mebesar, echocortex normal, batas cortex modula baik, system
pelviocalyceal tidak ectasis, tak tampak batu/masa.
Buli – buli: dinding tidak menebal, tak tampak batu/massa, tampak balon kateter (+)
Prostat: uk +/- 4,4x3,4x4 cm, estimasi volume +/- 32 cc. IPP +/- 0,5 cm, echostruktur
homogeny, permukaan regular, tak tampak kalsifikasi maupun lesi patologis.

Kesan : Prostat enlargement dengan estimasi volume +/- 32 cc, IPP +/- 0,5 cm.
Kedua ginjal dan buli-buli tak tampak kelainan.

V. RESUME

Seorang laki-laki berusia 73 tahun datang dengan keluhan tidak bisa buang air
kecil kurang lebih 14 hari sebelum masuk rumah sakit. 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit pasien mengeluh sulit buang air kecil (BAK). Pasien mengaku sulit untuk

9
memulai BAK, dan terkadang harus disertai dengan mengedan untuk BAK, pancaran
kencing lemah, kadang terhenti kemudian lancar kembali. Pasien juga mengeluh sering
berkalikali ke kamar mandi pada malam hari saat tidur malam karena ingin BAK
namun saat BAK hanya menetes dan merasa kurang puas. Pasien menyangkal adanya
keluhan serupa sebelumnya. Pasien mengatakan memiliki riwayat darah tinggi dan
tidak rutin minum obat.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan Darah: 160 / 100 mmHG, nadi :87
x/menit. frekuensi napas: 20 x/menit, reguler. Suhu : 36,3 C. VAS skor : 7. Genital:
Terpasang kateter urine ukuran 16F, di dalam urine bag, terdapat 300 cc urine
berwarna kuning jernih dan tidak terlihat adanya darah. Anus: Rectal toucher
didapatkan tonus sphincter ani kuat, mukosa rektum licin, tidak ada massa, ampulla
recti intak, serta prostat teraba membesar, batas atas teraba, konsistensi kenyal,
permukaan licin, nodul tidak ada, dan nyeri tekan tidak ada, tidak ada darah dan feses
pada handscoen. Pemeriksaan penunjang urinalisa ditemukan leukosit esterase positif 2,
pada pemeriksaan USG ditemukan Prostat enlargement dengan estimasi volume +/- 32
cc, IPP +/- 0,5 cm.

VI. DIAGNOSA
Retensio urine ec Susp. BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
Infeksi Saluran Kemih
Hipertensi grade II

VII. PENATALAKSANAAN
Tindakan Operatif:
Cytoscopy + TURP (Transurethral resection of the prostate)s

Medikamentosa:
IVFD RL 20 Tpm
Inj. Ceftazidine 1 gr/8 jam
Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam

10
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
Inj. Kalnex 500mg/8 jam (post op)
Po: Amlodipin 1x10 mg
Candesartan 1x10 mg

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
Ad Sanasionam : ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Hiperplasia prostat jinak atau BPH (benign prostatic hyperplasia) merupakan
sebuah diagnosis histologik yang merujuk kepada proliferasi jaringan epitel dan otot
halus di dalam zona transisi prostatika. Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah
histopatologis, yaitu adanya hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat.

11
Pembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai BPH (benign prostatic
hyperplasia) merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma
dan sel-sel epitel kelenjar prostat. BPH merupakan salah satu keadaan yang
menyebabkan gangguan miksi yaitu retensio urin yang mengakibatkan supersaturasi
urin, sehingga rentan untuk terbentuknya batu buli. Benign Prostat Hiperplasi adalah
kelenjar prostat yang mengalami pembesaran, yang dapat menyumbat uretra pars
prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari bulibuli.

3.2. Epidemiologi
BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka kejadian BPH di
Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence
di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013 ditemukan
3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 66,61 tahun. BPH dapat dialami
oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada
pria berusia di atas 80 tahun.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2018 memperkirakan


sekitar 59 pria dari 100.000 penduduk menderita BPH atau sekitar 70 juta diseluruh
dunia. Di Indonesia, BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih,
dan secara umum, diperkirakan hampir 50% pria di Indonesia yang berusia di atas 50
tahun ditemukan menderita BPH atau diperkirakan sebanyak 2,5 juta orang.

3.3. Etiologi
Penyebab yang pasti dari benigne prostat hyperplasia sampai sekarang belum
diketahui secara pasti, namun ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya benigne prostat
hyperplasia yaitu usia dan hormonal menjadi prediposisi terjadinya BPH. usia lanjut.

12
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa benigna prostat hiperplasia sangat erat kaitannya
dengan:
1. Peningkatan Dihidrotestosteron (DHT)
Dihidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat
oleh enzim 5α reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah
terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-
RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah
reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal. Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor
androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estroge–testoteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan testosteron relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas
sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).
Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya sel-
sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan,
pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormon testosteron.
Hal ini memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat.
3. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh
sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel
stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis

13
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri
secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.
Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
Peningkatan kadar epidermal gorwth factor atau fibroblas gorwth factor dan
penurunan transforming gorwth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan
epitel, sehingga akan terjadi BPH.
4. Berkurangnya kematian sel
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi
untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis
akan difagositosis oleh sel-sel disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim
lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga menyebabkan pertambahan massa prostatEstrogen yang meningkat
menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu
terjadinya BPH.

3.4. Patofisologi

Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia,


jila prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersulit saluran
uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan
intravesika. Sebagai kompensasi terhadap tekanan prostatika, maka otot detrusor dan
buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang
terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa: hipertropi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selua, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan

14
struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian
bawah atau Lower Urinary Symptom / LUTS.

Pada fase awal dari prostat hiperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor
berhasil dalam sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak berubah. Pada fase
ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan
kompensasi menjadi berkurang dan kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya
kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisa urine di dalam
buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali prostat hyperplasia menambah
kompensasi dengan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga
timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak
berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut
sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata.
Fase dekompensasi yang masih akut menimbulkn rasa nyeri dan dalam beberapa
hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir
sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh
karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan
kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi
urine. Retensi urine yang kronis dapat menimbulkan kemunduran dungsi ginjal.
Penyakit BPH ini merupakan penyakit bedah, jika keluhan masih ringan, maka
observasi diperlukan dengan pengobatan simptomatis untuk mengevaluasi
perkembangan klien. Namun, jika telah terjadi obstruksi/ retensi urine, infeksi,
insufisiensi ginjal, maka harus dilakukan tindakan (Prabowo & Andi, 2014). Pada klien
dengan BPH salah satunya adalah TURP, setelah tindakan TURP dipasang kateter
threeway. Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilakukan untuk mencegah
pembekuan darah. Rasa nyeri dapat dikarenakan adanya pembekuan darah yang banyak
di kandung kencing, sumbatan kateter, berlubangnya kandung kencing akibat operasi
atau analgetik yang tidak adekuat.

3.5. Gejala Klinis


Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa lower urinary
tract symptoms (LUTS), yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms), gejala

15
iritasi (storage symptoms), dan gejala pasca berkemih. Gejala obstruksi meliputi
pancaran kemih lemah dan terputus (intermitensi), merasa tidak puas sehabis berkemih.
Gejala iritasi meliputi frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia. Gejala pasca
berkemih berupa urine menetes (dribbling); hingga gejala yang paling berat adalah
retensi urine.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigna Prostat Hyperplasia disebut
sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme menurut Jitowiyono & Weni
(2010) dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intravesika
sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.

2. Gejala Iritasi yaitu :


a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

3.6. Diagnosis

16
Diagnosa BPH dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang dan pencitraan (Imaging).
a. Anamnesa Perhatian khusus pada fitur berikut ini penting untuk membuat diagnose
yang benar:
- Onset dan durasi gejala
- Masalah kesehatan umum (termasuk riwayat seksual)
- Kebugaran untuk beberapa kemungkinan intervensi operasi
- Keparahan gejala dan bagaimana gejala mempengaruhi kualitas hidup
-Medikamentosa
-Usaha pengobatan sebelumnya.
LUTS dievaluasi menggunakan International Prostate Symptoms Score (IPSS).
Berdasarkan IPSS, LUTS dikategorikan menjadi ringan dengan skor antara 0 - 7,
sedang dengan skor antara 8 - 19, dan berat dengan skor antara 20 -35 (Yelselet al.,
2015). Gejala yang sering dikaitkan dengan BPH bisa disebabkan oleh proses penyakit
lain. Jadi, anamnesa dan pemeriksaan fisik dibutuhkan untuk mengesampingkan etiologi
LUTS lainnya.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur merupakan bagian integral dari evaluasi pria yang diduga
mengalami BPH. Selama pemeriksaan ini, ukuran prostat dan kontur dapat dinilai,
nodul dapat dievaluasi, dan area sugestif keganasan dapat dideteksi. Prostat diperiksa
menggunakan jari telunjuk tangan yang dominan. Jari ditempatkan melalui anus setelah
sfingter anus relaksasi, dan prostat diraba secara melingkar. Hasil BPH biasanya
merupakan pembesaran prostat yang lembut, tegas dan elastis.(Deters, 2015).
Volumetrik yang lebih tepat dapat dibuat dengan menggunakan transrectal
ultrasonography (TRUS) prostat. Penurunan tonus sfingter anus atau kurangnya refleks
otot bulbokavernosus mungkin mengindikasikan gangguan neurologis yang
mendasarinya (Deters, 2015).

c. Pemeriksaan Penunjang

17
- Urinalisis – periksa urin dengan menggunakan metode dipstick atau via evaluasi
sedimen yang disentrifugasi untuk menilai adanya darah, leukosit, bakteri, protein atau
glukosa.
- Kultur Urin – hal ini mungkin berguna untuk menyingkirkan penyebab infeksi dari
gejala iritatif dan biasanya dilakukan jika ditemukan indikasi abnormal pada urinalisis.
- Prostate-Specific Antigen (PSA) - meskipun BPH tidak menyebabkan kanker prostat,
pria dengan risiko BPH juga berisiko terhadap kanker prostat dan seharusnya
diskrining. Pasien dengan prostat yang membesar mungkin memiliki kadar PSA sedikit
lebih tinggi.
- Elektrolit, BUN, dan Kreatinin – evaluasi ini merupakan alat skrining yang berguna
untuk pasien gagal ginjal kronis dengan volume Post voiding residual urine (PVR)
tinggi. Pengukuran serum kreatinin rutin tidak diindikasikan untuk evaluasi awal
terhadap pria dengan LUTS yang disebabkan oleh BPH.
- Uroflowmetry – pemeriksaan pancaran urin selama proses berkemih. Pemeriksaan ini
ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran Kemih.(Deters, 2015).

d. Pencitraan (Imaging)
- Ultrasonography (abdomen, renal, transrektal) dan intravenous urography berguna
untuk membantu menentukan ukuran kandung kemih dan ukuran prostat dan derajat
hidronefrosis (jika ada) pada pasien retensi urin atau dengan gejala gagal ginjal. Secara
keseluruhan, pemeriksaan ini tidak diindikasikan untuk evaluasi awal uncomplicated
LUTS.
- Transrectal ultrasonography (TRUS) prostat direkomendasikan pada pasien tertentu,
untuk menentukan dimensi dan volume kelenjar prostat. Pada pasien dengan
peningkatan kadar PSA, mungkin diindikasikan biopsy TRUS-guided.
- Foto pada saluran atas diindikasikan pada pasien dengan dijumpainya hematuria
bersamaan riwayat urolitiasis, peningkatan kadar kreatinin atau riwayat infeksi saluran
kemih atas.
- Pemeriksaan foto lain seperti CT scanning dan MRI tidak memiliki peran penting
terhadap evaluasi dan terapi uncomplicated BPH (Deters, 2015).

3.7. Penatalaksanaan

18
1. Medikamentosa
Terapi medikamentosa atau farmakologis digunakan pada pasien BPH
yang memiliki gejala mengganggu atau skor IPSS > 7. Algoritma pemilihan tipe
obat menurut gejala yang ditemukan dapat dilihat pada bagan berikut.1,4
Adapun beberapa golongan obat yang kerap digunakan sebagai terapi
medikamentosa BPH meliputi:
A. α1-blocker
Obat golongan α1-blocker bekerja dengan cara menghambat kontraksi
lapisan otot polos dinding prostat. Hal ini dapat mengurangi tahanan leher vesica
urinaria dan uretra sehingga mampu mengurangi keluhan iritatif (storage),
ditandai dengan peningkatan frekuensi urinasi, dan obstruktif (voiding), ditandai
dengan kencing mengejan, sekaligus. Beberapa obat meliputi terazosin,
doksazosin, alfazosin, dan tamsulosin yang dinimum sekali sehari dengan dosis
yang perlu dititrasi. Sekitar 30-45% pasien yang diberikan obat ini memiliki
penurunan skor IPSS. Bahkan, pada sekitar 15-30% pasien, skor tersebut turun 4
hingga 6 poin.
Setiap α1-blocker memiliki efek samping yang berbeda-beda. Meski
demkian, efek samping tersebut biasanya termanifestasi pada sistem
kardiovaskular dan neurologi sehingga muncul gejala hipotensi, asthenia,
vertigo, dan intraoperative floppy iris syndrome (IFIS).4 IFIS umumnya
disebabkan oleh tamsulosin dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan
dilasi pupil, miosis progresif, gas dalam iris, dan prolaps iris pada operasi
katarak. Meski demikian, obat golongan ini sangat direkomendasikan pada kasus
BPH dengan gejala sedang menuju berat.

B. Penghambat 5α-reduktase
Obat golongan penghambat 5αreduktase bekerja dengan cara
menginduksi apoptosis pada sel-sel penyusun jaringan epitel prostat melalui
inhibisi isoenzim 5α-reduktase, enzim yang dapat mengkonversi testosteron
menjadi dihidrotestosteron (DHT). Oleh sebab itu, obat-obat golongan ini
mampu mengecilkan volume prostat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa

19
dampak pengecilan ini mampu mencapai 30% ukuran pembesarannya. Ada dua
jenis obat golongan penghambat 5αreduktase, yaitu finasteride dan dutasteride.
Keduanya baru akan menghasilkan efek setelah lewat 6 bulan.
Indikasi penggunaan dutasteride adalah jika volume prostat > 30 cc,
sementara indikasi finasteride bila volume > 40 cc. Dutasteride digunakan
dengan dosis 0,5 mg, sementara finasteride dengan dosis lebih tinggi yaitu 5 mg.
Penggunaannya sangat direkomendasikan oleh AUA dan IAUI untuk kasus BPH
yang lebih berat, meski tidak didukung oleh literatur selengkap α1-blocker.
Beberapa efek samping yang dapat diakibatkan penggunaan penghambat 5α-
reduktase meliputi disfungsi ereksi, penurunan libidio, ginekomastia, dan
muncul bercak-bercak kemerahan di kulit. Selain itu, penghambat 5αreduktase
dapat menurunkan kadar PSA sampai setengah dari nilai awalnya sehingga dapat
menimbulkan negatif palsu dalam deteksi kanker prostat. Meski demikian, efek
samping tersebut tidak begitu besar dan minimal.
C. Antagonis reseptor muskarinik
Cara kerja obat-obatan antagonis reseptor muskarinik adalah dengan
menginhibisi stimulasi reseptor muskarinik. Hal ini menyebabkan berkurangnya
kontraksi jaringan otot polos pada vesica urinaria. Oleh sebab itu, antagonis
reseptor muskarinik, seperti fesoterodine fumarate, propiverine HCl, tolterodine
l-tartrate, dan solifenacin succinate, kerap digunakan jika α1-blocker tidak
berhasil mengurangi gejala iritatif BPH.
Antagonis reseptor muskarinik diduga sangat bermanfaat dalam
penurunan gejala iritatif BPH pada pasein dengan volume prostat yang belum
begitu besar. Di sisi lain, penggunaan antagonis muskarinik dapat menimbulkan
kekeringan mulut, konstipasi, pusing, nasofaringitis, dan kesulitan berkemih.
Efek samping yang cukup banyak dan masih minimnya literatur mengenai
efektivitas antagonis reseptor muskarinik, membuat IAUI tidak begitu
merekomendasikan penggunaannya kecuali pada gejala iritatif yang tidak dapat
disembuhkan α1- blocker.
D. Penghambat fosfodiesterase-5

20
Penghambat fosfodiesterase-5, atau penghambat PDE-5, merupakan
golongan obat dengan kemampuan meningkatkan konsentrasi dan aktivitas
cyclic guanosine monophosphate (cGMP) intraselular. Oleh sebab itu, obat ini
mampu mengurangi tonus otot polos pada dinding m. detrusor, prostat, dan
uretra. Meski tersedia dalam bentuk sildenafil, vardenafil, dan tadalafil, IAUI
hanya merekomendasikan penggunaan tadalafil.
Dosis yang direkomendasikan oleh IAUI adalah tadalafil 5 mg perhari.
Obat golongan ini dapat menurunkan skor IPSS hingga sebesar 37% dari nilai
semula. Alasan pemilihan tadalafil ketimbang 2 jenis obat lainnya adalah karena
tadalafil tidak menyebabkan gangguan visual dan flushing akibat cross-reaction
berlebihan dengan PDE6. Meski demikian, tadalafil dapat menyebabkan nyeri
punggung pada beberapa penggunanya. Salah satu efek lain yang dimiliki oleh
seluruh golongan penghambat PDE-5 adalah kemampuannya mengobati
disfungsi ereksi.6 Sebuah studi Cochrane menyebutkan bahwa penggunaan
penghambat PDE-5 sama efektifnya dengan penggunaan α1-blocker pada BPH
sedang hingga berat.7 Konsensus IAUI juga merekomendasikan penggunaan
penghambat PDE-5 sebagai alternatif α1-blocker yang sederajat.
E. Terapi kombinasi
Kombinasi α1-blocker dan penghambat 5α-reduktase dapat
menghasilkan efek sinergis yang mampu mengkombinasikan keuntungan dari
kedua golongan obat tersebut. Salah satu keuntungannya adalah dengan
mempercepat efek klinis obat karena obat golongan penghambat 5αreduktase
membutuhkan waktu berbulan-bulan sebelum perubahan klinis terlihat.
Selain itu, efek sinergis hasil kombinasi kedua golongan obat yang
ditemukan pada terapi kombinasi juga lebih efektif dalam mengurangi
kemungkinan retensi urin dan progresi ke arah kanker yang membutuhkan terapi
bedah. Meski demikian, kombinasi ini turut memperbesar risiko terjadinya efek
samping. Oleh sebab itu, pengobatan ini hanya dikhususkan bagi pasien dengan
keluhan sedang-berat dan risiko progresi tinggi. Selain itu, obat ini hanya
digunakan pada rencana jangka panjang atau lebih dari 1 tahun.

21
Kombinasi α1-blocker dan antagonis reseptor muskarinik dapat
melakukan inhibisi reseptor jaringan otot polos saluran perkemihan bagian
bawah dalam jumlah yang lebih besar dari monoterapi salah satu penyusunnya.
Hal ini dapat terjadi karena kombinasi ini mampu memblok baik reseptor α1
maupun reseptor muskarinik M2 dan M3.
Dengan demikian, pasien yang memiliki keluhan iritatif dan
overaktivitas detrusor mampu mengalami penurunan keluhan secara signifikan.
Pengobatan dengan kombinasi obat ini dapat mengurangi frekuensi urinasi,
gejala nokturia, urgensi, inkontinensia, dan skor IPSS. Dalam menatalaksana
pasien dengan pengobatan ini, dibutuhkan pemeriksaan residu urin secara
berkala untuk mengamati proses penyembuhan dengan baik.

22
Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Konservatif dan Medikamentosa BPH.

2. Pembedahan
Pembedahan merupakan suatu tindakan tatalaksana BPH yang bersifat
invasif. Oleh sebab itu, indikasi yang jelas perlu ditemukan sebelum seorang
klinisi memutuskan untuk melakukan pembedahan. Indikasi-indikasi tersebut,
meliputi retensi urin akut, infeksi saluran kemih berulang, hematuria
makroskopik, sistolitiasis, penurunan fungsi ginjal, gagal berkemih setelah
melepaskan kateter, perubahan patologis pada vesica urinaria, keluhan telah
memberat, tidak adanya perbaikan setelah terapi konservatif dan

23
medikamentosa, serta pasien menolak terapi selain bedah. Adapun berikut
merupakan beberapa pilihan terapi pembedahan yang dapat dilakukan.

Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Intervensi BPH

A. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)


TURP merupakan suatu pembedahan invasif minimal yang kerap digunakan pada
pasien BPH dengan volume prostat 30-80 cc. Meski demikian, TURP dapat digunakan
pada kondisi prostat apapun tergantung pada pengalaman dan ketersediaan peralatan
seorang ahli bedah urologi. Pada umumnya, TURP memiliki efektivitas dalam

24
perbaikan gejala BPH yang mencapai 90% sehingga metode ini merupakan salah satu
baku emas tatalaksana invasif BPH.
Prosedur TURP merupakan prosedur yang sangat direkomendasikan oleh IAUI.
Akan tetapi, tingkat keberhasilan TURP dapat menurun bila terjadi retensi bekuan
darah, retensi urin akut, maupun infeksi saluran kemih. Selain itu, terdapat pula angka
mortalitas 30 hari pertama pascaoperasi sebesar 0,1% serta kemungkinan terjadinya
komplikasi yang meliputi ejakulasi retrograd, disfungsi ereksi, dan stenosis leher vesica
urinaria.

Gambar 3. Prosedure TURP

B. Laser Prostatektomi
Laser rostatektomi merupakan penembakan sinar berenergi untuk
menghancurkan jaringan hiperplastik prostat. Jenis-jenis laser yang kerap digunakan
meliputi laser Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser,
Thulium:YAG, dan Diode. Penggunaan laser dalam tatalaksana invasif
direkomendasikan bila pasien sedang dalam terapi antikoagulan yang tidak dapat
dihentikan karena risiko mengidap emboli yang tinggi. Pada prosedur ini, prostat akan

25
mengalami koagulasi ketika temperatur telah mencapai 600C hingga 650C. Pada
temperatur 1000C, prostat akan mengalami vaporisasi dan ukurannya mengecil.
C. Transurethral Insicion of the Prostate (TUIP)
Termoterapi merupakan tindakan memanaskan jaringan prostat menggunakan
transurethral microwave, transurethral needle ablation, atau high intensity focused
ultrasound hingga suhu 450C untuk menimbulkan nekrosis dan koagulasi jaringan
tersebut. Dampak dari termoterapi adalah penggunaan kateter yang berkepanjangan
meski tanpa perlu melakukan perawatan inap di rumah sakit. Dari ketiga metode
pemberian panas, metode transurethral needle ablation memiliki angka rekurensi BPH
terrendah dengan kisaran 20-50% pada 20 bulan pertama pascatindakan.
D. Termoterapi Kelenjar Prostat
Stent merupakan alat medis yang dapat dipasang di dalam lumen saluran antara
leher vesica urinaria dan area proksimal dari colliculus seminalis. Dengan memasang
alat bantu ini, dapat membuka jalur aliran urin di lumen uretra pars prostatika sehingga
urinasi dapat berjalan lancar kembali. Stent dapat dipasang secara temporer hingga
kondisi kembali normal atau secara permanen. Beberapa efek samping dari pemasangan
stent adalah obstruksi, disuria, dan nyeri perineal.
E. Pemasangan Stent Intraluminal
Stent merupakan alat medis yang dapat dipasang di dalam lumen saluran antara
leher vesica urinaria dan area proksimal dari colliculus seminalis. Dengan memasang
alat bantu ini, dapat membuka jalur aliran urin di lumen uretra pars prostatika sehingga
urinasi dapat berjalan lancar kembali. Stent dapat dipasang secara temporer hingga
kondisi kembali normal atau secara permanen. Beberapa efek samping dari pemasangan
stent adalah obstruksi, disuria, dan nyeri perineal.

F. Operasi Terbuka
Terdapat dua jenis pembedahan terbuka, yaitu metode Freyer melalui
transvesikal dan metode Millin secara retropubik. Pembedahan dengan operasi terbuka
baru dianjurkan ketika volume prostat telah mencapai angka melebihi 80 cc. Hal ini
disebabkan oleh fakta bahwa operasi terbuka merupakan cara operasi yang sangat
invasif dengan angka morbiditas tinggi. Perdarahan dapat menjadi penyulit dini di

26
tengah operasi dan meningkatkan risiko mortalitas atau komplikasi pascatindakan.
Beberapa komplikasi yang kerap terjadi meliputi striktur uretra pada 6% kasus dan
inkontinensia urin pada 10% kasus.

G. Kateterisasi
Kateterisasi merupakan tindakan pemasangan kateter dengan tujuan
memudahkan rilis urin. Kateterasi kerap digunakan untuk menangani retensi urin kronik
pada pasien yang tidak dapat menerima operasi. Kateterisasi dapat bersifat intermiten,
atau clean intermittent catheterization (CIC), maupun menetap. CIC biasanya dikerjakan
sebelum pemasangan kateter menetap dan dilakukan dalam lingkungan steril secara
periodik.
Bila kateterisasi ingin dihentikan, perlu dilakukan evaluasi selama 3-7 hari
bersamaan dengan pemberian obatobatan α1-blocker. Evaluasi ini bertujuan untuk
melihat pancaran dan sisa urin ketika pasien berkemih tanpa pemberian kateter. Di sisi
lain, bila kateterisasi melalui uretra tidak dapat dilakukan, prosedur alternatif yang dapat
dipilih adalah sistostomi. Sistosomi merupakan prosedur pemasangan kateter khusus
secara supravesika melalui dinding abdomen.

3.8. Pencegaan
BPH sejatinya merupakan kondisi yang tidak dapat dicegah karena merupakan
kejadian yang akan menimpa hampir semua laki-laki di masa tua. Akan tetapi, beberapa
kebiasaan dan pilihan gaya hidup dapat mengurangi faktorfaktor induktor BPH
sehingga mampu meringankan gejala-gejala yang muncul. Faktor-faktor tersebut
meliputi riwayat pemakaian obat-obatan, perilaku merokok, berat badan, aktivitas fisik,
dan diet yang dimiliki seseorang.
Obat-obatan tertentu diduga dapat menimbulkan risiko munculnya BPH dan
memperparah gejala yang terjadi. Obatobatan ini meliputi obat golongan antidepresan,
antihistamin, dan bronkodilator. Selain itu, obat-obatan pilek yang bekerja sebagai
αsimpatomimetik juga dapat memperparah gejala BPH karena efeknya pada otot polos
vesica urinaria.

27
Merokok dapat meningkatkan kadar testosteron dan estrogen tubuh akibat
dampak nikotin yang terkandung di dalamnya. Kadar hormon yang tinggi ini dapat
dikompensasi oleh tubuh dengan mengubah ekses testosteron menjadi DHT. Oleh sebab
itu, merokok diduga dapat menginduksi dan berpengaruh positif terhadap
perkembangan BPH. Beberapa penelitian mengaitkan riwayat merokok dengan
berkurangnya volume urin serta munculnya efek iritatif dan obstruktifnya. Akan tetapi,
pengaruhnya dirasa tidak begitu besar.
Berat badan dan aktivitas fisik merupakan dua hal yang saling berkaitan satu
sama lain. Aktivitas fisik yang mumpuni didukung dengan indeks massa tubuh yang
ideal merupakan faktor protektif dari pembentukan gejala BPH. Hal ini diduga
merupakan akibat dari eksistensi jaringan adiposa yang tinggi dalam diri pengidap
obesitas. Jaringan adiposa yang tinggi menginduksi aromatisasi testosteron menjadi
estrogen sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan hormonal tubuh. Oleh sebab itu,
terjadi perubahan kadar testosteron menjadi DHT yang mampu meningkatkan risiko
BPH pada pasien dengan obesitas.
Faktor diet juga dapat mempengaruhi risiko terjadinya BPH. Diet rendah lemak
dan rendah daging merah yang dikombinasikan dengan peningkatan jumlah nutrisi
praotein dan sayur-sayuran dapat menurunkan kemungkinan terjadinya gejala-gejala
BPH. Di sisi lain, studi yang sama juga mengasosiasikan konsumsi alkohol secara
berkala dengan penurunan risiko terjadinya BPH. Meski demikian, asosiasi antara
alkohol dan risiko BPH ini perlu dicermati dengan bijak karena alcohol memiliki
banyak dampak negatif bagi berbagai penyakit lainnya.

28
BAB IV
ANALISA KASUS

Seorang laki-laki berusia 73 tahun datang dengan keluhan tidak bisa buang air
kecil kurang lebih 14 hari sebelum masuk rumah sakit. 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit pasien mengeluh sulit buang air kecil (BAK). Pasien mengaku sulit untuk memulai
BAK, dan terkadang harus disertai dengan mengedan untuk BAK, pancaran kencing
lemah, kadang terhenti kemudian lancar kembali. Pasien juga mengeluh sering
berkalikali ke kamar mandi pada malam hari saat tidur malam karena ingin BAK namun
saat BAK hanya menetes dan merasa kurang puas.
Skor hasil pengisian kuesioner IPSS pasien adalah 32, hal ini menunjukkan
bahwa pasien mengalami gejala berat. Perinciannya adalah sebagai berikut: incomplete
emptying (5), frequency (4), intermittency (4), urgency (4), weak stream (5), straining
(5), nocturia (5). IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
LUTS yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35 dan
satu pertanyaan mengenai kualitas hidup (Quality of Life atau QoL) yang terdiri atas
tujuh kemungkinan jawaban. LUTS dibagi atas ringan (IPSS 0-7), sedang (IPSS 8-19)
atau berat (IPSS 20-35) tergantung pada banyaknya gejala
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan Darah: 160 / 100 mmHG. VAS
skor: 7. Genital: Terpasang kateter urine ukuran 16F, di dalam urine bag, terdapat 300
cc urine berwarna kuning jernih dan tidak terlihat adanya darah. Anus: Rectal toucher
didapatkan tonus sphincter ani kuat, mukosa rektum licin, tidak ada massa, ampulla
recti intak, serta prostat teraba membesar, batas atas teraba, konsistensi kenyal,
permukaan licin, nodul tidak ada, dan nyeri tekan tidak ada, tidak ada darah dan feses
pada handscoen. Pemeriksaan penunjang USG ditemukan Prostat enlargement dengan
estimasi volume +/- 32 cc, IPP +/- 0,5 cm. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang di atas pasien diagnosa Benign Prostatic Hyperplasia
dengan retensio urine dan Hipertensi grade II tidak terkontrol.
Pemeriksaan colok dubur merupakan bagian integral dari evaluasi pria yang
diduga mengalami BPH. Selama pemeriksaan ini, ukuran prostat dan kontur dapat
dinilai, nodul dapat dievaluasi, dan area sugestif keganasan dapat dideteksi. Prostat

29
diperiksa menggunakan jari telunjuk tangan yang dominan. Jari ditempatkan melalui
anus setelah sfingter anus relaksasi, dan prostat diraba secara melingkar. Hasil BPH
biasanya merupakan pembesaran prostat yang lembut, tegas dan elastis.
Lanjut usia (Lansia), pada umumnya mengalami perubahanperubahan pada
jaringan tubuh, yang disebabkan proses degenerasi, terjadi terutama pada organ-organ
tubuh, dimana tidak ada lagi perkembangan sel. Proses degenerasi menyebabkan
perubahan kemunduran fungsi organ tersebut, termasuk juga sistem traktus urinarius,
sehingga menyebabkan macam-macam kelainan atau penyakit urologis tertentu.
Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran,
baik jinak maupun ganas. Pembesaran prostat jinak atau Benign Prostatic Hiperplasia
yang selanjutnya disingkat BPH merupakan penyakit tersering kedua penyakit kelenjar
prostat di klinik urologi di Indonesia. Penelitian pada autopsi ditemukan 29% BPH
terdapat pada pria usia 41-50 tahun, 50% BPH pada usia 51-60 tahun, 65% BPH pada
pria usia 61-70 tahun, 80 % BPH pada usia 71-80 tahun, dan 90 % BPH pada pria usia
81-90 tahun.
Pembesaran prostat dapat mengakibatkan tertekannya uretra pars prostatika yang
dapat menyebabkan obstruksi leher kandung kemih sehingga aliran urin terhambat,
Terhambatnya aliran urin tersebut dapat menyebabkan terjadinya salah satu komplikasi
tersering dari BPH yaitu infeksi saluran kemih (ISK). Diketahui bahwa pada pria
risikonya meningkat dengan adanya obstruksi leher kandung kemih sehingga aliran urin
terhambat yang menyebabkan stasis urin, sehingga dapat terjadi infeksi dan perubahan
pH urin yang dapat apabila dibiarkan terlalu lama dapat menyebabkan terjadinya
penebalan pada dinding kandung kemih (Mochtar et al.,2015 ; Sukandar, 2015; Grover
et al., 2011).

30
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Bimandama MA, Kurniawaty E. Benign Prostatic Hyperplasia dengan Retensi Urin


dan Vesicolithiasis. J Agromedicine Unila. 2018; 5 (2); 655-61.
2. Sutanto RL. Hiperplasia prostat jinak: Manajemen Tatalaksana dan Pencegahan.
Tidak tercapainya cakupan
JIMKI. 2020; 8(3):90-7. penderita DM yang mengakses
pelayanan
3. McVary K, Roehrborn C. Management of benign prostatic hyperplasia kesehatan dasar di
[Internet].
Puskesmas Simpang Sungai
American Urological Associaton. 2014 [cited 2020 Aug 28]. Available from:pencapaian 41 %
Duren dengan
https://www.auanet.org/benignprostatic-hyperplasia. dari target 100%

4.Purnomo BB. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV Sagung Seto; 2011.


5. Brunicardi CF. Schwartz’s principles of surgery. Ninth edition. USA: McGraw-Hills.
2010.
6. Katzung BG, Trevor AJ, Masters SB. Benign prostatic hyperplasia. In: Katzung and
Trevor’s Pharmacology. Sixth edition. USA: McGraw-Hill. 2012. p.483-86.
7. Purnomo B. Dasar-dasar urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto. 2014.
8. Reksoprodjo S. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: Staf Pengajar Bagian Ilmu
Bedah FK UI. 2010.
9. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Bedah. Edisi ketiga. Jakarta: EGC. 2007; hlm. 899-903.
10. Strope SA. Evidence-based guidelines in lower urinary tract symptoms secondary to
benign prostatic hyperplasia and variation in care. Wolters Kluwer Health.
2018;28(00):1-5.
11. Abedi AR. Incidental prostate cancer: a 10-year review of a tertiary center, Tehran,
Iran. Dove Med Press. 2018;10:1-6.
12. Filipovski V. Androgen receptor expression in epithelial and stromal cells of
prostatic carcinoma and benign prostatic hsyperplasia. J Mac Med Sci. 2017; 5(5):608-
12.
13. Bellucci CH, Ribeiro WO, Hemerly TS. Increased detrusor collagen is associated
with detrusor overactivity and decreased bladder compliance in men with benign
prostatic obstruction. Prostate Int. 2017;5:70-74.

31
14. Rizki Amalia. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat. Program Pasca
Sarjana UNDIP Semarang, 2007;1-3.

Lampiran

32

Anda mungkin juga menyukai