Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

BAB I....................................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN................................................................................................................................. 2
BAB II...................................................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................................ 3
A. Definisi Trauma kepala....................................................................................................... 3
B. Kalasifikasi Taruma Kepala............................................................................................... 6
C. Epidemiologi........................................................................................................................... 8
D. Etiologi....................................................................................................................................... 8
E. Diagnostik................................................................................................................................. 8
F. Penatalaksanaan................................................................................................................. 16
G. Komplikasi............................................................................................................................. 18
H. Prognosis dan Edukasi...................................................................................................... 19
BAB III................................................................................................................................................. 20
KESIMPULAN.................................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma kepala yang menyebabkan cedera otak adalah salah satu bentuk

cedera otak non degenerative yang disebabkan oleh benturan, pukulan, ataupun

hentakan mendadak pada kepala atau suatu luka tembus di kepala yang mengganggu

fungsi otak normal. Cedera otak karena trauma pada anak-anak adalah salah satu dari

penyebab kematian terbanyak. Data dari riskesdas tahun 2013 menunjukan angka

kejadian cedera kepala pada anak sekitar 0.5% populasi dari angka cidera lain. Pada

usia kurang dari 1 tahun, tersering adalah jatuh dari gendongan, tempat tidur dan

tempat bermain, trauma kepala ini relatif ringan dan jarang memerlukan tindakan

spesifik. Trauma kepala yang lebih berat dapat disebabkan oleh guncangan pada

kepala yang berakibat fatal yang dikenal dengan Shaken baby syndrome dan

kekerasan dalam rumah tangga yang dapat menyebabkan perdarahan subdural dan

membutuhkan penanganan yang spesifik. Pada usia yang lebih besar, insiden jatuh

dari ketinggian ataupun kecelakaan akan meningkat.

Perbedaan yang nyata dengan trauma kepala pada dewasa adalah pada anak

masih terjadi proses perkembangan otak sehingga trauma kepala yang berlanjut

menjadi cedera otak merupakan proses kronis progresif yang berisiko menyebabkan

gangguan tumbuh kembang dari berbagai aspek berdasarkan hal tersebut perlu

pemantauan jangka panjang.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
C. A. Definisi Trauma kepala

Trauma kepala merupakan suatu kondisi di mana bagian kepala mengalami gangguan
baik berupa fungsi maupun strukturnya, setelah mengalami trauma tumpul atau penetrasi.
Trauma kepala menimbulkan kelainan struktural dan atau fungsional pada jaringan otak,
bahkan dapat mengganggu kesadaran dan menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fisik. Trauma kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat kongenital maupun
degeneratif, tetapi disebabkan benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi dan mengubah
kesadaran serta menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fisik.
beberapa kondisi pasien dengan trauma kepala dapat diukur menggunakan Glasgow
Come Scale (GCS). Kasus trauma kepala yang parah biasanya memiliki nilai GCS kurang
dari atau sama dengan 8, mengalami kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari
24 jam, dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi , atau hematoma intrakranial.

B. Anatomi Kepala
Salah satu organ yang penting dalam tubuh adalah kepala, di mana di dalam rongga
kepala terdapat organ yang mengatur dan berfungsi sebagai pusat koordinasi tubuh, yaitu
otak. Otak dilindungi oleh rambut, kulit kepala, dan tulang. Otak sendiri juga dilindungi oleh
beberapa lapisan, yaitu lapisan meningen yang terdiri atas durameter, arachnoid, dan
piameter.

Gambar : Tengkorak

Tengkorak merupakan pelindung otak yang tersusun dari dua bagian cranium yang terdiri atas
tulang oksipital, parietal, frontal, temporal, etmoid, dan kerangka wajah terdiri atas tulang
hidung, palatum, lakrimal, zigomaticum, vomer, turbinatum, maksila, dan mandibular.
Rongga tengkoran memiliki permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, yang
licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam ditandai dengan lekukan supaya dapat
sesuai dengan isi otak dan pembuluh darah.

Pada Kulit kepala terdri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu
(1) Skin atau kulit, Sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar keringat
(Sebacea)
(2) Connective Tissue atau jaringan subkutis, Merupakan jaringan kat lemak yang memiliki
septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama di atas Galea. Pembuluh darah tersebut
merupakan anastommistis antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan
arteri karotis eksterna

(3) Aponeurosis galea, Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat
pada tiga otot, yaitu :
a. ke anterior – m. frontalis
b. ke posterior – m. occipitslis
c. ke lateral – m. temporoparietalis
Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (N. VII)

(4) Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar,


Lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup (valveless vein),
yang menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial (misalnya Sinus
sagitalis superior). Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan muda menyebar ke intrakranial.
Hematoma yang tebentuk pada lapisan ini disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma
yang paling sering ditemukan setelah cedera kepala.

(5) Pericranium (perikranium)


Merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat terutama pada sutura
karena melalui sutura ini periosteum akan langsung berhubngan dengan endosteum (yang
melapisi permukaan dalam tulang tengkorak).
Gambar 1: Lapisan SCALP

6. Durameter
Membran luar yang semi elastis. Durameter melekat erat dengan permukaan dengan
permukaan dalam tengkorak. Durameter memiliki suplai darah yang kaya akan oksigen.
Bagian tengah dan posterior disuplai oleh arteri meningea media yang bercabang dari arteri
karotis dan menyuplai fosa anterior. Durameter berfungsi untuk melindungi otak, menutupi
sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Di antara durameter dan
arachnoid terdapat rongga yang disebut subdural yang merupakan ruang potensial terjadi
perdarahan. Pada perdarahan subdural dapat menyebar bebas dan hanya terbatas sawar falks
serebri dan tentorium. Vena yang melewati rongga ini hanya memiliki sedikit jaringan
penyokong oleh karena mudah terjadi cedera dan robek yang menandakan adanya trauma
kepala.

7. Arachnoid
Arachnoid terletak tepat di bawah durameter. Lapisan ini merupakan avaskuler (tidak
terdapat pembuluh darah di dalamnya), mendapat nutrisi dari cairan serebro spinal. Di antara
arachnoid dan piameter terdapat rongga yang disebut subarachnoid. Ruangan ini melebar dan
mendalam pada tempat tertentu dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal.
8. Piameter
Membran halus yang sangat kaya akan pembuluh darah. Piameter merupakan satu-
satunya lapisan meningen yang masuk ke girus. Pada beberapa fisura dan suklus di sisi
hemisfer, piameter membentuk sawar antara ventrikel dan suklus atau fisura. Sawar
merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus pada setiap ventrikel.

Otak merupakan salah satu organ tubuh yang paling penting. Fungsi utamanya, yaitu sebagai
pusat koordinasi dari semua organ tubuh. Otak terletak di dalam rongga tengkorak (cranium)
yang dilindungi oleh selapat otak (meningen) yang kuat. Otak terdiri atas beberapa lobus,
yaitu lobus frontalis, parietalis, temporalis, dan oksipitalis.

D. Kalasifikasi Taruma Kepala

Klasifikasi trauma kepala dilakukan untuk menentukan tatalaksana dan meramalkan hasil

luarannya. Klasifikasi terdiri dari beberapa jenis tergantung aspek yang mendasarinya.

Berdasarkan derajat keberatannya, trauma kepala diklasifikasikan menjadi trauma kepala

ringan, sedang dan berat. Klasifikasi trauma kepala berdasarkan etiologinya dibagi menjadi

cedera primer dan cedera sekunder. Klasifikasi lain berdasarkan dari tingkat keparahan

trauma kepala, adanya luka diluar kepala, gangguan kesadaran atau memori pasca trauma,

trauma kepala dibagi menurut GCS yang sudah dimodifikasi (Malec, 2007).
Berdasarkan dari nilai GCS saat kejadian akut serta gejala penyerta, maka cedera otak

pada anak oleh Brasure et al (2012) terbagi menjadi:

Derajat Trauma kepala


Kriteria Ringan sedang Berat
Pencitraan Normal Normal atau Normal atau

abnormal abnormal
Hilang kesadaran <30 menit 30 menit hingga > 24 jam

24 jam
Amnesia pasca trauma 0-1 hari > 1 hari dan < 7 > 7 hari

hari
Skala koma Glascow 13-15 9-12 3-8
abbreviated injury scale 1-2 3 4-6
score: kepala

E. Epidemiologi

Insiden tahunan cedera kepala di Amerika Serikat telah diperkirakan sebanyak

180.220 kasus per 100.00 perduduk. Di Amerika Serikat dengan populasi hamper 300

juta, sekitar 600.000 trauma kepala baru terjadi setiap tahun. Sebanyak 10 % dari trauma
berakibat fatal, sehingga hamper 550.000 orang dirawat dirumah sakit setiap tahun di

Amerika Serikat dengan trauma kepala.

Menurut Riskesdas 2018, pravalensi kejadian cedera kepala di Indonesia berada pada

angka 11,9% cedeara pada bagia kepala menepati posisi ketiga setalahcedera pada

anggota gerak bawah dan bgaian anggota gerak atas dengan pravalensi masing-masing

67,9% dan 32,7%.

F. Etiologi

Mekanisme trauma kepala pada anak berupa :

 Penumpang kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan

 Perjalan kaki yang ditabrak kendaraan

 Tabrakan atau jatuh dari sepeda

 Jatuh ditanah karena berjalan, berdiri, atau berlari

 Jatuh dari ketinggian

 Jatuh dari tangga

 Berhubungan dengan olahraga

 Kepala terkena objek

G. Diagnostik

Untuk menegakan diagnostic, tatalaksana dan menentukan prognosa, memelurkan

serangkaian anamnesa, pemeriksaan fisik umum dan neurologis dan pemeriksaan

penunjang jika diperlukan.

1. Anamnesis

 Mekanisme trauama, ketinggian jatuh, alas saat jatuh dan posisi tubuh saat jatuh.

Jika trauma kepala akibat kecelakaan lain perlu ditanayakan apakah aanak

menggunakan pelindung kepala, apakah anak apakah anak terlempar ? jika ya,

terjadi sampai setinggi apa, jika terseret posisi kepala dimana, apakah jatuh pada

posisi lepala dibwah atau tidak.


 Kesadarab anak setelah kejadian trauma kepala, apakah anak sadar baik, enangis

atau tidak, untuk anak yang sudah bisa bicara apakah anak masih merespon

pertanyaan atau tidak dan jika terjadi gangguan kesadaran berapa lama terjadi.

 Apakah ada cedear ganda dibagian tubuh yang lain dan seberapa parah dan apakah

terjadi perdarahan massif. Setelah kejadian trauma apakah anak masih mengingat

orang tuanya, lokasi kecelakaan dan pada anak yang relative sudah besar apakah

masih mengingat mekanisme kecelakaan.

 Apakah ada muntah spontan yang terjadi tanpa sebab lainnya

 Nyeri kepala hebat

 Perdarahan dari hidung, telinga atau mulut.

 Kejang spontan saat trauma atau beberapa saat setelah trauma kepala.

 Apakah terjadi perubahan perilaku anak yang bermakna setelah trauma dan apakah

ada gangguan pola tidur pasca trauma.

 Riwayat tumbuh kembang anak hingga saat trauma kepala terjadi untuk

menentukan potensi awal anak.

Keseluruhan anamnesa perlu digali dengan cermat disamping juga perlu dipikirkan

kemungkinan penyebab child abuse yang memunculkan gejala serupa.

2. Pemeriksaan Fisik

 Pemeriksaan tanda vital, tekanan darah, nadi respirasi dan derajat kesadaran sesuai

dengan skala koma glasgow pediatrik untuk stabilisasi segera untuk kelangsungan

hidup dasar.

 Status mental dievaluasi apakah anak masih menangis, responsif atau diam, gaduh

gelisah hingga agitasi.

 Status lokalis trauma perlu diperinci dengan cermat misalnya jika ada benjolan,

lokasi, besar, rasa nyeri, berdenyut atau tidak (pulsatif).

 Kepala:
a. Jejas trauma apakah ada hematoma, lacerasi, luka terbuka, depresi tulang, gigi

patah atau tanggal

b. Cairan yang keluar melalui telinga, hidung dan mulut, battle sign, racoon eyes.

c. Wajah asimetris atau tidak.

d. Refleks pupil isokor atau anisokor, diameter pupil dan refleks cahaya. e.

Evaluasi nervi cranialis apakah ada lateralisasi atau tidak.

 Leher:

a. Jejas trauma, lokasi, jika ada secepatnya harus dilakukan stabilisasi dan

imobilisasi untuk mencegah cedera baru akibat perlakuan.

b. Kaku kuduk jika dicurigai terjadi kebocoran cairan serebrospinal tetapi terdapat

jejas diseputar leher maka pemeriksaan meningeal sign dapat dilakukan ditempat

lain misalnya memeriksa tanda kerniq atau laseque.

 Pemeriksaan jejas diluar kepala yang berpotensi menyebabkan perdarahan baik yang

nyata atau perdarahan internal.

 Pemeriksaan sensorimotor untuk menilai pergerakan apakah masih spontan, simetris

dan terkoordinasi dengan baik atau tidak. Pemeriksaan refleks fisiologis, patologis

untuk menilai keterlibatan parenkim otak.

 Pengukuran Skala nyeri pada anak

Nilai 0 : nyeri tidak dirasakan oleh anak

Nilai 1 : Nyeri dirasakan sedikit saja

Nilai 2 : Nyeri dirasakan agak oleh anak

Nilai 3 : Nyeri dirasakan oleh anak lebih banyak

Nilai 4 : Nyeri dirasakan oleh anak secara keseluruhan


Nilai 5 : Nyeri sekali dan anak menjadi menangis

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang diindikasikan pada trauma kepala derajat sedang

berat. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium yang terdiri dari

pemeriksaan darah lengkap, serum elektrolit, gula darah dan S100B/calcium-binding

protein B (biomarker yang menunjukkan kerusakan sel otak). Pemeriksaan penunjang

lainnya adalah radiologis yang terdiri dari CT Scan kepala atau MRI kepala dan

pemeriksaan EEG.

a) Pemeriksaan darah lengkap untuk mengevaluasi penurunan kadar Hb dan PCV

(Packed Cell Volume) terutama pada trauma kepala dengan perdarahan masif.

Kondisi anemia harus diwaspadai mengingat hemoglobin sebagai molekul

pengangkut oksigen harus dijaga kecukupannya untuk mencegah terjadinya

hipoksia yang akan menyebabkan cedera otak sekunder akibat kerusakan

mekanisme autoregulasi pembuluh darah otak yang menyebabkan tekanan darah

diotak akan sangat tergantung pada tekanan darah sistemik (Brain Trauma

Foundation, 2007). Keterkaitan antara jumlah lekosit darah tepi dengan berbagai

penyakit pada sistem saraf pusat yang berkaitan dengan proses inflamasi.

Menghitung rasio Netrofil terhadap limfosit (RNL) adalah salah satu petanda

yang mudah dilakukan. Penelitian secara umum mendapatkan adanya

peningkatan jumlah netrofil yang besamaan dengan penurunan jumlah limfosit

segera setelah terjadi cedera jaringan termasuk pada cedera otak. Peningkatan

jumlah lekosit merupakan akibat dari peningkatan kortisol dan katekolamin yang

terjadi pada trauma kepala dan semakin tinggi jumlah lekosit pada saat pasien

masuk RS merupakan presenden keburukan prognosis. Evaluasi trombosit juga

menunjukkan hubungan yang erat dengan derajat trauma kepala, skor GCS, hasil

luaran klinis dan lama tinggal di RS. penurunan jumlah rata rata trombosit secara

paralel terjadi sesuai dengan derajat trauma kepala. Hal tersebut terjadi akibat

karena terjadi peningkatan konsumsi trombosit secara bermakna pada tempat


migrasi lekosit segera setelah trauma kepala. Komplikasi sistemik terutama

disebabkan oleh kondisi hipoksemia, hipotensi, hipertensi, hiperglikemia dan

hipoglikemia. Diantara komplikasi sekunder tersebut, hiperglikemia merupakan

salah satu hal yang sering terjadi dan berhubungan dengan derajat cedera dan

hasil luaran pasien. Mekanisme yang memicu terjadinya hiperglikemia setelah

trauma kepala adalah respon akibat strees fisik, respon inflamasi, diabetes

mellitus, disfungsi kelenjar pituitary dan atau hipothalamus, pembedahan dan

anestesia. Pasien trauma kepala dengan hiperglikemia memiliki peningkatan

risiko perburukan hasil luaran dan kematian lebih nyata dengan kondisi

hiperglikemia persisten dibanding dengan hiperglikemia sesaat setelah trauma.

Efek langsung lainnya akibat hiperglikemia adalah asidosis laktat, gangguan

keseimbangan elektrolit, inflamasi, penyakit pembuluh darah, kerusakan SDO

dan hiperpermeabilitas Gangguan keseimbangan elektrolit yang terjadi setelah

trauma kepala merupakan salah satu hal yang harus dimonitor.

Natrium adalah elektrolit utama yang harus dimonitor disamping Kalium,

Caksium dan fosfat. Berdasarkan dari hasil CT Scan kepala beberapa kasus

trauma kepala berhubungan dengan berbagai gangguan keseimbangan elektrolit

yang secara khusus terjadi dalam 24 jam pertama setelah resusitasi. Elektrolit

yang sering mengalami kekacauan adalah kadar Natrium dan kalium serum yang

terjadi secara sekunder akibat resusitasi dan terapi farmakologi (penggunaan

furosemid dan manitol). Penggantian volume dengan cairan isotonik tidak hanya

memiliki efek terapi yang terbatas tetapi dapat memperberat edema otak pasca

trauma kepala. Peningkatan ekskresi urine terjadi akibat inhibisi dari proses

reabsorbsi natrium di ginjal. Pasien dengan truma kepala berat juga memiliki

risiko tinggi terjadi hipokalemia, hal ini diduga berkaitan dengan peningkatan

pengeluaran urine. Perubahan kalsium serum menyebabkan beberapa manifestasi

klinis yang pada awalnya menyebabkan tetani hingga kejang. Hal ini akibat

respon abnormal neuron terhadap akumulasi kalsium intraseluler pada trauma


kepala. Keseluruhan gangguan keseimbangan elektrolit harus dipantau untuk

mencegah terjadinya gangguan otak sekunder.

b) Pemeriksaan S100B dianjurkan untuk mengurangi penggunaan CT Scan kepala

untuk menurunkan risiko radiasi yang berbahaya untuk perkembangan otak anak

S100B adalah protein yang bersifat neurotropik, dan kadar dalam serum secara

umum meningkat pada populasi anak yang masih mengalami perkembangan otak.

Peningkatan kadar serum S100B ditemukan pada trauma kepala berat sehingga

hasil tersebut dapat digunakan sebagai faktor prediktor keburukan hasil luaran.

Pasien cedera kepala berat dengan kadar Protein S100B 120 jam pasca trauma

yang tinggi, memiliki hasil keluaran yang buruk.

c) Beberapa modalitas pemeriksaan pencitraan saat ini banyak dilakukan pada kasus

trauma kepala pada anak misalnya CT scan Kepala dan MRI Kepala. Tentunya

ada banyak pertimbangan untuk melakukan pemeriksaan tersebut mengingat

risiko radiasi yang dapat mengganggu proses perkembangan otak untuk anak usia

< 2 tahun. CT scan adalah salah satu pemeriksaan radiologis yang masih sering

dipakai sampai sekarang. Penggunaan MRI saat ini lebih banyak digunakan

karena menunjukkan hasil yang lebih sensitif daripada CT scan, namun karena

faktor alat dan biaya, CT scan masih menjadi alat bantu penegakan diagnosa yang

utama. CATCH (Canadian Assessment of Tomography for Childhood Head

injury) dan PECARN (Pediatric Emergency Care Applied Research Network)

adalah beberapa algoritma yang dipakai untuk menentukan penggunaan CT scan

pada pasien dengan cedera otak ringan Kegunaan EEG yang terutama untuk

menegakkan diagnosis status epileptikus non konvulsivus yang dapat mengikuti

kejadian trauma kepala. Berdasarkan Scottish Intercollegiate Guidelines Network

(SIGN2009), CT Scan kepala harus dilakukan pada anak dengan trauma kepala

bila Skala Koma Glasgow ≤ 13 pada evaluasi awal:

 hilang kesadaran lebih dari lima menit

 Dicurigai adanya fraktur tengkorak atau ubun-ubun yang tegang ,


 Adanya kelainan neurologis adan adanya tanda-tanda fraktur dasar tengkorak.

CT Scan dipertimbangkan dalam 8 jam pasca trauma bila terdapat:

 kemerahan/bengkak/laserasi lebih dari 5 cm di kepala ,

 Kejang pasca trauma tanpa riwayat epilepsi ,

 Amnesia lebih dari 5 menit, kecurigaan trauma kepala bukan karena

kecelakaan,

 Jatuh yang bermakna,

 iga atau lebih episode muntah, pusing atau respon lambat,

 Usia kurang dari satu tahun dengan Skala Koma Glasgow <15
Keterangan* Risiko terjadi cedera otak traumatik
Keterangan** Untuk kondisi di atas dapat dipertimbangkan langsung melakukan CT scan
kepala atau observasi terlebih dahulu tergantung dari :
1. Apakah hanya satu atau lebih dari kondisi-kondisi di atas yang ditemukan.
2. Saat diobservasi di ruang emerjensi nampak perburukan (perubahan kesadaran,
sakit kepala, muntah).
3. Pengalaman dokter yang merawat.
4. permintaan orang tua
5. usia kurang dari 3 bulan

 Untuk semua anak, apabila diputuskan akan diobservasi terlebih dahulu, dapat dipilih

untuk diobservasi di rumah (rawat jalan) atau di rumah sakit, tergantung apakah dokter

yakin bahwa orang tua cukup kompeten untuk mengobservasi anak di rumah.

 Lama observasi minimal adalah 24 jam.

 Perhatikan apakah ada gejala/tanda gangguan intrakranial. Apabila ditemukan harus

segera konsultasi dengan spesialis yang sesuai, CT scan kepala segera dan rujuk ke

pusat kesehatan dengan fasilitas bedah syaraf.


H. Penatalaksanaan

Pada semua kasus trauma kepala pada anak, lakukan terlebih dahulu survei primer
dengan prinsip berikut:
A: Penilaian terhadap jalan nafas dan imobilisasi pada trauma leher.
B: Penilaian jalan nafas, pemberian oksigen apabila dibutuhkan.
C: Penilaian sirkulasi, pemasangan jalur intravena dan resusitasi cairan apabila
dibutuhkan.
D: Penilaian derajat kesadaran anak menggunakan Skala Koma Glasgow Pediatrik.
E: Penilaian kadar glukosa darah.
Evaluasi diagnosis dilakukan secara simultan atau segera setelah survei primer untuk
menentukan tatalaksana pada pasien.
Prinsip penatalaksanaan trauma kepala adalah stabilisasi tanda vital, mempertahankan

tekanan intrakranial yang fisiologis dan melakukan koreksi defisit elektrolit, dan

parameter-parameter dari hasil pemeriksaan darah lengkap serta mengevaluasi trauma

ditempat lain. Stabilisasi tekanan intrakranial dilakukan disamping untuk tatalaksana akut

juga untuk mencegah cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder terjadi akibat
hipoperfusi jaringan otak dan menyebabkan penumpukan hasil metabolisme. Hal ini

menyebabkan edema otak dan meningkatkan tekanan intra kranial. Apabila terdapat

kondisi di bawah ini, maka harus diberikan tatalaksana sesuai dengan kondisi masing-

masing secara lebih spesifik pada pusat layanan kesehatan yang sesuai:

 Ada trauma multipel.

 Dicurigai atau diketahui adanya trauma servikal.

 Adanya gangguan neurologis sebelumnya.

 Adanya diatesis hemoragik.

 Trauma kepala yang disengaja.

 Adanya kendala bahasa antara pasien/orang tua dengan dokter

 Penyalahgunaan obat atau alkohol. Apabila tidak ada kondisi di atas, nilai apakah

penderita:

 Terdapat kelainan pada tulang tengkorak.

 Terdapat kelainan pada pemeriksaan mata.

 Terdapat kelainan pada pemeriksaan neurologis

Apabila ditemukan harus segera dilakukan konsultasi dengan spesialis yang sesuai,

pemeriksaan CT scan kepala segera dan rujuk ke pusat kesehatan dengan fasilitas bedah

syaraf.

Medikamentosa

 Dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri

 Tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial dan kejang (jika ada kejang)

 Bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan obat penurun

tekanan intrakranial seperti Manitol 20% 0,5 – 1 gram/kg tiap 8 jam atau NaCl 3%

dengan dosis inisial 2-6 ml/kgBB dilanjutkan dengan infus kontinyu 0.1-1

ml.kgBB/jam dengan monitoring tekanan intrakranial. NaCl 3% dapat juga

diberikan dengan dosis inisial 5 ml/ kgBB dilanjutkan dengan dosis 2 ml/kgBB tiap

6 jam.
 Pemantauan kadar elektrolit dan diuresis diperlukan jika pasien diberikan cairan

hipertonis. Hindari / seminimal mungkin tindakan invasif dan hal-hal yang dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.

 Lakukan pemantauan klinis yang ketat selama 12-48 jam.

Pemantauan Jangka panjang, Pemantauan jangka panjang diperlukan untuk mengevaluasi

hasil luaran baik yang bersifat fisik dan disabilitas intelektual. Perlu ditekankan protokol yang

bersifat komprehensif, rehabilitasi multidisiplin untuk mempercepat pemulihan dan

memfasilitasi kelancaran transisi dari perawatan di rumah hingga anak dapat bersekolah

kembali. Perlu dikembangkan komunikasi yang intensif dan berkesinambungan antara dokter

sepesialis rehabilitasi medik, anggota keluarga dan tenaga pendidik. Kolaborasi tersebut

memerlukan kejelasan kelainan fungsi yang terjadi akibat trauma kepala sebelumnya dan

diharapkan meningkatkan potensi positif anak pada waktu yang akan datang. Pemeriksaan

Neuroimaging merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam tatalaksana trauma kepala

berat pada anak. Pemeriksaan MRI dan H-Magnetic resonance spectroscopy dapat digunakan

untuk menentukan beberapa parameter sensitif yang dapat digunakan sebagai faktor prediktor

gangguan fungsi neurologi yang bersifat kronik Pada sebagian besar kasus trauma kepala

ringan pada anak tidak menyebabkan efek ikutan jangka panjang, tetapi masalah jangka

panjang pada fungsi psikososial mungkin terjadi terutama pada usia prasekolah.

I. Komplikasi

Early Complications Late Complications


Transient cortical blindness Post Traumatic Epilepsy
Kejang Aneurisme pasca trauma
Cranial Nerve Palsy Meningitis
Diabetes insipidus Hidrocefalus
Syndrome of inapproriet Memory loss
Cortical venous occlusiom Disabilitas
Hemiparesis Kontraktur Otot
J. Prognosis dan Edukasi

Faktor yang menentukan prognosis adalah usia, mekanisme cedera, skor GCS

pediatrik pasca resusitasi, reaktivitas pupil, tekanan darah, tekanan intrakranial pasca

resusitasi, durasi gangguan kesadaran, gangguan keseimbangan tubuh dan ukuran dan

macam lesi intrakranial.

 Edukasi untuk orang tua

 Trauma kepala ringan tanpa penurunan kesadaran dapat dirawat di rumah.


 Tirah baring selama 3 hari.
 Selama observasi di rumah anak sebaiknya tidak minum obat anti muntah, karena
dapat membuat gejala muntah tertutupi. Analgetik diberikan jika perlu.
 Pengawasan dilakukan dengan memeriksa anak setiap 2-3 jam per hari sampai 72
jam setelah jatuh.
 Anak segera dibawa ke rumah sakit, jika selama observasi didapatkan :
- Anak tampak tidur terus atau tidak sadar
- Anak menjadi gelisah, lebih rewel, bingung atau delirium
- Kejang pada wajah atau ekstremitas
- Anak mengeluh sakit kepala yang menetap dan bertambah berat, atau
adanya kekakuan di leher.
- Muntah yang menetap terutama pagi hari.
- Keluar cairan/darah dari lubang telinga atau hidung.
- Ubun-ubun besar yang membonjol.
- Terdapat gangguan gerak ekstremitas
BAB III
KESIMPULAN

Trauma kepala atau cedera otak merupakan masalah kesehatan utama yang sering
menjadi penyebab kematian dan kecacatan. Trauma kepala dapat menyebabkan kerusakan
otak primer maupun sekunder. Trauma yang disengaja adalah penyebab utama kematian pada
anak-anak. Dari semua cedera traumatis, cedera otak adalah yang paling mungkin
menyebabkan kematian atau cacat permanen.
Terdapat berbagai mekanisme cedera kepala pada anak yaitu hatuh dari kendaraan
bermotor, ketinggian, kekerasan dalam rumah tangga, dan terkait olahraga.
Tatalaksana yang dilakukan pada pasien anak dengan cedera kepala bertujuan untuk
menguragi volume otak untuk menghindari terjadinya deficit neurologis pada pasien. Prinsip
penatalaksanaan trauma kepala adalah stabilisasi tanda vital, mempertahankan
tekanan intrakranial yang fisiologis dan melakukan koreksi defisit elektrolit, dan
parameter-parameter dari hasil pemeriksaan darah lengkap serta mengevaluasi trauma
ditempat lain.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA, et al, 2003. Guidelines for the acute medical

management of severe traumatic brain injury in infants, children, and adolescents.

Chapter 5. Indications for intracranial pressure monitoring in pediatric patients with

severe traumatic brain injury. Pediatr Crit Care Med, 4(3 Suppl): S19-24.

[PMID:12847341]

2. Aquino L, Kang CY, Harada MY, Ko A, DoNguyen A, Ley EJ, et al, 2017. Is Routine

Continuous EEG for Traumatic Brain Injury Beneficial?. Am Surg, 83 (12):1433-1437

3. Berksoy EA and Anil M, 2019. Effectiveness of complete blood count parameters for

Predicting intracranial injury in children with minor head trauma. Sanamed, 14(1): 59-65

4. Mangunatmadja I. Trauma kepala. Dalam: Pediatric neurology and neuroemergency in

daily practice. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan

Anak XLIX. Jakarta : Balai Penerbit IDAI. 2006. h. 71-77.

5. Schutzman SA, Barnes P, Duhaime AC, Greenes D, Homer C, Jaffe D, dkk. Evaluation

and management of children younger than two years old with apparently minor head

trauma: Proposed guidelines. Pediatrics. 2001; 107: 983-93.

6. Thelin EP, Nelson DW, Bellander BM, 2017. A review of the clinical utility of serum

S100B protein level in the assessment of traumatic brain injury. Act Neurochir, 159:209-

25

Anda mungkin juga menyukai