BAB I....................................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN................................................................................................................................. 2
BAB II...................................................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................................ 3
A. Definisi Trauma kepala....................................................................................................... 3
B. Kalasifikasi Taruma Kepala............................................................................................... 6
C. Epidemiologi........................................................................................................................... 8
D. Etiologi....................................................................................................................................... 8
E. Diagnostik................................................................................................................................. 8
F. Penatalaksanaan................................................................................................................. 16
G. Komplikasi............................................................................................................................. 18
H. Prognosis dan Edukasi...................................................................................................... 19
BAB III................................................................................................................................................. 20
KESIMPULAN.................................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma kepala yang menyebabkan cedera otak adalah salah satu bentuk
cedera otak non degenerative yang disebabkan oleh benturan, pukulan, ataupun
hentakan mendadak pada kepala atau suatu luka tembus di kepala yang mengganggu
fungsi otak normal. Cedera otak karena trauma pada anak-anak adalah salah satu dari
penyebab kematian terbanyak. Data dari riskesdas tahun 2013 menunjukan angka
kejadian cedera kepala pada anak sekitar 0.5% populasi dari angka cidera lain. Pada
usia kurang dari 1 tahun, tersering adalah jatuh dari gendongan, tempat tidur dan
tempat bermain, trauma kepala ini relatif ringan dan jarang memerlukan tindakan
spesifik. Trauma kepala yang lebih berat dapat disebabkan oleh guncangan pada
kepala yang berakibat fatal yang dikenal dengan Shaken baby syndrome dan
kekerasan dalam rumah tangga yang dapat menyebabkan perdarahan subdural dan
membutuhkan penanganan yang spesifik. Pada usia yang lebih besar, insiden jatuh
Perbedaan yang nyata dengan trauma kepala pada dewasa adalah pada anak
masih terjadi proses perkembangan otak sehingga trauma kepala yang berlanjut
menjadi cedera otak merupakan proses kronis progresif yang berisiko menyebabkan
gangguan tumbuh kembang dari berbagai aspek berdasarkan hal tersebut perlu
Trauma kepala merupakan suatu kondisi di mana bagian kepala mengalami gangguan
baik berupa fungsi maupun strukturnya, setelah mengalami trauma tumpul atau penetrasi.
Trauma kepala menimbulkan kelainan struktural dan atau fungsional pada jaringan otak,
bahkan dapat mengganggu kesadaran dan menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fisik. Trauma kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat kongenital maupun
degeneratif, tetapi disebabkan benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi dan mengubah
kesadaran serta menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fisik.
beberapa kondisi pasien dengan trauma kepala dapat diukur menggunakan Glasgow
Come Scale (GCS). Kasus trauma kepala yang parah biasanya memiliki nilai GCS kurang
dari atau sama dengan 8, mengalami kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari
24 jam, dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi , atau hematoma intrakranial.
B. Anatomi Kepala
Salah satu organ yang penting dalam tubuh adalah kepala, di mana di dalam rongga
kepala terdapat organ yang mengatur dan berfungsi sebagai pusat koordinasi tubuh, yaitu
otak. Otak dilindungi oleh rambut, kulit kepala, dan tulang. Otak sendiri juga dilindungi oleh
beberapa lapisan, yaitu lapisan meningen yang terdiri atas durameter, arachnoid, dan
piameter.
Gambar : Tengkorak
Tengkorak merupakan pelindung otak yang tersusun dari dua bagian cranium yang terdiri atas
tulang oksipital, parietal, frontal, temporal, etmoid, dan kerangka wajah terdiri atas tulang
hidung, palatum, lakrimal, zigomaticum, vomer, turbinatum, maksila, dan mandibular.
Rongga tengkoran memiliki permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, yang
licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam ditandai dengan lekukan supaya dapat
sesuai dengan isi otak dan pembuluh darah.
Pada Kulit kepala terdri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu
(1) Skin atau kulit, Sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar keringat
(Sebacea)
(2) Connective Tissue atau jaringan subkutis, Merupakan jaringan kat lemak yang memiliki
septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama di atas Galea. Pembuluh darah tersebut
merupakan anastommistis antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan
arteri karotis eksterna
(3) Aponeurosis galea, Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat
pada tiga otot, yaitu :
a. ke anterior – m. frontalis
b. ke posterior – m. occipitslis
c. ke lateral – m. temporoparietalis
Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (N. VII)
6. Durameter
Membran luar yang semi elastis. Durameter melekat erat dengan permukaan dengan
permukaan dalam tengkorak. Durameter memiliki suplai darah yang kaya akan oksigen.
Bagian tengah dan posterior disuplai oleh arteri meningea media yang bercabang dari arteri
karotis dan menyuplai fosa anterior. Durameter berfungsi untuk melindungi otak, menutupi
sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Di antara durameter dan
arachnoid terdapat rongga yang disebut subdural yang merupakan ruang potensial terjadi
perdarahan. Pada perdarahan subdural dapat menyebar bebas dan hanya terbatas sawar falks
serebri dan tentorium. Vena yang melewati rongga ini hanya memiliki sedikit jaringan
penyokong oleh karena mudah terjadi cedera dan robek yang menandakan adanya trauma
kepala.
7. Arachnoid
Arachnoid terletak tepat di bawah durameter. Lapisan ini merupakan avaskuler (tidak
terdapat pembuluh darah di dalamnya), mendapat nutrisi dari cairan serebro spinal. Di antara
arachnoid dan piameter terdapat rongga yang disebut subarachnoid. Ruangan ini melebar dan
mendalam pada tempat tertentu dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal.
8. Piameter
Membran halus yang sangat kaya akan pembuluh darah. Piameter merupakan satu-
satunya lapisan meningen yang masuk ke girus. Pada beberapa fisura dan suklus di sisi
hemisfer, piameter membentuk sawar antara ventrikel dan suklus atau fisura. Sawar
merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus pada setiap ventrikel.
Otak merupakan salah satu organ tubuh yang paling penting. Fungsi utamanya, yaitu sebagai
pusat koordinasi dari semua organ tubuh. Otak terletak di dalam rongga tengkorak (cranium)
yang dilindungi oleh selapat otak (meningen) yang kuat. Otak terdiri atas beberapa lobus,
yaitu lobus frontalis, parietalis, temporalis, dan oksipitalis.
Klasifikasi trauma kepala dilakukan untuk menentukan tatalaksana dan meramalkan hasil
luarannya. Klasifikasi terdiri dari beberapa jenis tergantung aspek yang mendasarinya.
ringan, sedang dan berat. Klasifikasi trauma kepala berdasarkan etiologinya dibagi menjadi
cedera primer dan cedera sekunder. Klasifikasi lain berdasarkan dari tingkat keparahan
trauma kepala, adanya luka diluar kepala, gangguan kesadaran atau memori pasca trauma,
trauma kepala dibagi menurut GCS yang sudah dimodifikasi (Malec, 2007).
Berdasarkan dari nilai GCS saat kejadian akut serta gejala penyerta, maka cedera otak
abnormal abnormal
Hilang kesadaran <30 menit 30 menit hingga > 24 jam
24 jam
Amnesia pasca trauma 0-1 hari > 1 hari dan < 7 > 7 hari
hari
Skala koma Glascow 13-15 9-12 3-8
abbreviated injury scale 1-2 3 4-6
score: kepala
E. Epidemiologi
180.220 kasus per 100.00 perduduk. Di Amerika Serikat dengan populasi hamper 300
juta, sekitar 600.000 trauma kepala baru terjadi setiap tahun. Sebanyak 10 % dari trauma
berakibat fatal, sehingga hamper 550.000 orang dirawat dirumah sakit setiap tahun di
Menurut Riskesdas 2018, pravalensi kejadian cedera kepala di Indonesia berada pada
angka 11,9% cedeara pada bagia kepala menepati posisi ketiga setalahcedera pada
anggota gerak bawah dan bgaian anggota gerak atas dengan pravalensi masing-masing
F. Etiologi
G. Diagnostik
1. Anamnesis
Mekanisme trauama, ketinggian jatuh, alas saat jatuh dan posisi tubuh saat jatuh.
Jika trauma kepala akibat kecelakaan lain perlu ditanayakan apakah aanak
menggunakan pelindung kepala, apakah anak apakah anak terlempar ? jika ya,
terjadi sampai setinggi apa, jika terseret posisi kepala dimana, apakah jatuh pada
atau tidak, untuk anak yang sudah bisa bicara apakah anak masih merespon
pertanyaan atau tidak dan jika terjadi gangguan kesadaran berapa lama terjadi.
Apakah ada cedear ganda dibagian tubuh yang lain dan seberapa parah dan apakah
terjadi perdarahan massif. Setelah kejadian trauma apakah anak masih mengingat
orang tuanya, lokasi kecelakaan dan pada anak yang relative sudah besar apakah
Kejang spontan saat trauma atau beberapa saat setelah trauma kepala.
Apakah terjadi perubahan perilaku anak yang bermakna setelah trauma dan apakah
Riwayat tumbuh kembang anak hingga saat trauma kepala terjadi untuk
Keseluruhan anamnesa perlu digali dengan cermat disamping juga perlu dipikirkan
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda vital, tekanan darah, nadi respirasi dan derajat kesadaran sesuai
dengan skala koma glasgow pediatrik untuk stabilisasi segera untuk kelangsungan
hidup dasar.
Status mental dievaluasi apakah anak masih menangis, responsif atau diam, gaduh
Status lokalis trauma perlu diperinci dengan cermat misalnya jika ada benjolan,
Kepala:
a. Jejas trauma apakah ada hematoma, lacerasi, luka terbuka, depresi tulang, gigi
b. Cairan yang keluar melalui telinga, hidung dan mulut, battle sign, racoon eyes.
d. Refleks pupil isokor atau anisokor, diameter pupil dan refleks cahaya. e.
Leher:
a. Jejas trauma, lokasi, jika ada secepatnya harus dilakukan stabilisasi dan
b. Kaku kuduk jika dicurigai terjadi kebocoran cairan serebrospinal tetapi terdapat
jejas diseputar leher maka pemeriksaan meningeal sign dapat dilakukan ditempat
Pemeriksaan jejas diluar kepala yang berpotensi menyebabkan perdarahan baik yang
dan terkoordinasi dengan baik atau tidak. Pemeriksaan refleks fisiologis, patologis
3. Pemeriksaan penunjang
lainnya adalah radiologis yang terdiri dari CT Scan kepala atau MRI kepala dan
pemeriksaan EEG.
(Packed Cell Volume) terutama pada trauma kepala dengan perdarahan masif.
diotak akan sangat tergantung pada tekanan darah sistemik (Brain Trauma
Foundation, 2007). Keterkaitan antara jumlah lekosit darah tepi dengan berbagai
penyakit pada sistem saraf pusat yang berkaitan dengan proses inflamasi.
Menghitung rasio Netrofil terhadap limfosit (RNL) adalah salah satu petanda
segera setelah terjadi cedera jaringan termasuk pada cedera otak. Peningkatan
jumlah lekosit merupakan akibat dari peningkatan kortisol dan katekolamin yang
terjadi pada trauma kepala dan semakin tinggi jumlah lekosit pada saat pasien
menunjukkan hubungan yang erat dengan derajat trauma kepala, skor GCS, hasil
luaran klinis dan lama tinggal di RS. penurunan jumlah rata rata trombosit secara
paralel terjadi sesuai dengan derajat trauma kepala. Hal tersebut terjadi akibat
salah satu hal yang sering terjadi dan berhubungan dengan derajat cedera dan
trauma kepala adalah respon akibat strees fisik, respon inflamasi, diabetes
risiko perburukan hasil luaran dan kematian lebih nyata dengan kondisi
Caksium dan fosfat. Berdasarkan dari hasil CT Scan kepala beberapa kasus
yang secara khusus terjadi dalam 24 jam pertama setelah resusitasi. Elektrolit
yang sering mengalami kekacauan adalah kadar Natrium dan kalium serum yang
furosemid dan manitol). Penggantian volume dengan cairan isotonik tidak hanya
memiliki efek terapi yang terbatas tetapi dapat memperberat edema otak pasca
trauma kepala. Peningkatan ekskresi urine terjadi akibat inhibisi dari proses
reabsorbsi natrium di ginjal. Pasien dengan truma kepala berat juga memiliki
risiko tinggi terjadi hipokalemia, hal ini diduga berkaitan dengan peningkatan
klinis yang pada awalnya menyebabkan tetani hingga kejang. Hal ini akibat
untuk menurunkan risiko radiasi yang berbahaya untuk perkembangan otak anak
S100B adalah protein yang bersifat neurotropik, dan kadar dalam serum secara
umum meningkat pada populasi anak yang masih mengalami perkembangan otak.
Peningkatan kadar serum S100B ditemukan pada trauma kepala berat sehingga
hasil tersebut dapat digunakan sebagai faktor prediktor keburukan hasil luaran.
Pasien cedera kepala berat dengan kadar Protein S100B 120 jam pasca trauma
c) Beberapa modalitas pemeriksaan pencitraan saat ini banyak dilakukan pada kasus
trauma kepala pada anak misalnya CT scan Kepala dan MRI Kepala. Tentunya
risiko radiasi yang dapat mengganggu proses perkembangan otak untuk anak usia
< 2 tahun. CT scan adalah salah satu pemeriksaan radiologis yang masih sering
dipakai sampai sekarang. Penggunaan MRI saat ini lebih banyak digunakan
karena menunjukkan hasil yang lebih sensitif daripada CT scan, namun karena
faktor alat dan biaya, CT scan masih menjadi alat bantu penegakan diagnosa yang
pada pasien dengan cedera otak ringan Kegunaan EEG yang terutama untuk
(SIGN2009), CT Scan kepala harus dilakukan pada anak dengan trauma kepala
kecelakaan,
Usia kurang dari satu tahun dengan Skala Koma Glasgow <15
Keterangan* Risiko terjadi cedera otak traumatik
Keterangan** Untuk kondisi di atas dapat dipertimbangkan langsung melakukan CT scan
kepala atau observasi terlebih dahulu tergantung dari :
1. Apakah hanya satu atau lebih dari kondisi-kondisi di atas yang ditemukan.
2. Saat diobservasi di ruang emerjensi nampak perburukan (perubahan kesadaran,
sakit kepala, muntah).
3. Pengalaman dokter yang merawat.
4. permintaan orang tua
5. usia kurang dari 3 bulan
Untuk semua anak, apabila diputuskan akan diobservasi terlebih dahulu, dapat dipilih
untuk diobservasi di rumah (rawat jalan) atau di rumah sakit, tergantung apakah dokter
yakin bahwa orang tua cukup kompeten untuk mengobservasi anak di rumah.
segera konsultasi dengan spesialis yang sesuai, CT scan kepala segera dan rujuk ke
Pada semua kasus trauma kepala pada anak, lakukan terlebih dahulu survei primer
dengan prinsip berikut:
A: Penilaian terhadap jalan nafas dan imobilisasi pada trauma leher.
B: Penilaian jalan nafas, pemberian oksigen apabila dibutuhkan.
C: Penilaian sirkulasi, pemasangan jalur intravena dan resusitasi cairan apabila
dibutuhkan.
D: Penilaian derajat kesadaran anak menggunakan Skala Koma Glasgow Pediatrik.
E: Penilaian kadar glukosa darah.
Evaluasi diagnosis dilakukan secara simultan atau segera setelah survei primer untuk
menentukan tatalaksana pada pasien.
Prinsip penatalaksanaan trauma kepala adalah stabilisasi tanda vital, mempertahankan
tekanan intrakranial yang fisiologis dan melakukan koreksi defisit elektrolit, dan
ditempat lain. Stabilisasi tekanan intrakranial dilakukan disamping untuk tatalaksana akut
juga untuk mencegah cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder terjadi akibat
hipoperfusi jaringan otak dan menyebabkan penumpukan hasil metabolisme. Hal ini
menyebabkan edema otak dan meningkatkan tekanan intra kranial. Apabila terdapat
kondisi di bawah ini, maka harus diberikan tatalaksana sesuai dengan kondisi masing-
masing secara lebih spesifik pada pusat layanan kesehatan yang sesuai:
Penyalahgunaan obat atau alkohol. Apabila tidak ada kondisi di atas, nilai apakah
penderita:
Apabila ditemukan harus segera dilakukan konsultasi dengan spesialis yang sesuai,
pemeriksaan CT scan kepala segera dan rujuk ke pusat kesehatan dengan fasilitas bedah
syaraf.
Medikamentosa
tekanan intrakranial seperti Manitol 20% 0,5 – 1 gram/kg tiap 8 jam atau NaCl 3%
dengan dosis inisial 2-6 ml/kgBB dilanjutkan dengan infus kontinyu 0.1-1
diberikan dengan dosis inisial 5 ml/ kgBB dilanjutkan dengan dosis 2 ml/kgBB tiap
6 jam.
Pemantauan kadar elektrolit dan diuresis diperlukan jika pasien diberikan cairan
hipertonis. Hindari / seminimal mungkin tindakan invasif dan hal-hal yang dapat
hasil luaran baik yang bersifat fisik dan disabilitas intelektual. Perlu ditekankan protokol yang
memfasilitasi kelancaran transisi dari perawatan di rumah hingga anak dapat bersekolah
kembali. Perlu dikembangkan komunikasi yang intensif dan berkesinambungan antara dokter
sepesialis rehabilitasi medik, anggota keluarga dan tenaga pendidik. Kolaborasi tersebut
memerlukan kejelasan kelainan fungsi yang terjadi akibat trauma kepala sebelumnya dan
diharapkan meningkatkan potensi positif anak pada waktu yang akan datang. Pemeriksaan
Neuroimaging merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam tatalaksana trauma kepala
berat pada anak. Pemeriksaan MRI dan H-Magnetic resonance spectroscopy dapat digunakan
untuk menentukan beberapa parameter sensitif yang dapat digunakan sebagai faktor prediktor
gangguan fungsi neurologi yang bersifat kronik Pada sebagian besar kasus trauma kepala
ringan pada anak tidak menyebabkan efek ikutan jangka panjang, tetapi masalah jangka
panjang pada fungsi psikososial mungkin terjadi terutama pada usia prasekolah.
I. Komplikasi
Faktor yang menentukan prognosis adalah usia, mekanisme cedera, skor GCS
pediatrik pasca resusitasi, reaktivitas pupil, tekanan darah, tekanan intrakranial pasca
resusitasi, durasi gangguan kesadaran, gangguan keseimbangan tubuh dan ukuran dan
Trauma kepala atau cedera otak merupakan masalah kesehatan utama yang sering
menjadi penyebab kematian dan kecacatan. Trauma kepala dapat menyebabkan kerusakan
otak primer maupun sekunder. Trauma yang disengaja adalah penyebab utama kematian pada
anak-anak. Dari semua cedera traumatis, cedera otak adalah yang paling mungkin
menyebabkan kematian atau cacat permanen.
Terdapat berbagai mekanisme cedera kepala pada anak yaitu hatuh dari kendaraan
bermotor, ketinggian, kekerasan dalam rumah tangga, dan terkait olahraga.
Tatalaksana yang dilakukan pada pasien anak dengan cedera kepala bertujuan untuk
menguragi volume otak untuk menghindari terjadinya deficit neurologis pada pasien. Prinsip
penatalaksanaan trauma kepala adalah stabilisasi tanda vital, mempertahankan
tekanan intrakranial yang fisiologis dan melakukan koreksi defisit elektrolit, dan
parameter-parameter dari hasil pemeriksaan darah lengkap serta mengevaluasi trauma
ditempat lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA, et al, 2003. Guidelines for the acute medical
severe traumatic brain injury. Pediatr Crit Care Med, 4(3 Suppl): S19-24.
[PMID:12847341]
2. Aquino L, Kang CY, Harada MY, Ko A, DoNguyen A, Ley EJ, et al, 2017. Is Routine
3. Berksoy EA and Anil M, 2019. Effectiveness of complete blood count parameters for
Predicting intracranial injury in children with minor head trauma. Sanamed, 14(1): 59-65
5. Schutzman SA, Barnes P, Duhaime AC, Greenes D, Homer C, Jaffe D, dkk. Evaluation
and management of children younger than two years old with apparently minor head
6. Thelin EP, Nelson DW, Bellander BM, 2017. A review of the clinical utility of serum
S100B protein level in the assessment of traumatic brain injury. Act Neurochir, 159:209-
25