Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KAFALAH DAN ISTISNA’


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu: Dr. Ibi Syatibi, S.Hi., M.Si

Disusun Oleh:
Luthfia Chairunnisa 21108040024
Fitriani Syahrir 21108040025

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Kafalah dan Istishna’” ini tepat pada waktunya. Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah.
Penulis mengucapkan terima kasih semua pihak yang sudah membantu
menyelesaikan penulisan makalah ini karena tanpa adanya bantuan dari pihak lain
penulis tidak bisa menyelesaikan makalah ini sendiri.
Penulis menyadari bahwa makalah yang ditulis masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, Penulis menantikan kehadiran kritik dan saran yang
membangun untuk meningkatkan kualitas dalam pembuatan makalah. Dengan
demikian penulis berharap dengan kehadiran makalah ini bisa bermanfaat bagi semua
pihak.

Yogyakarta, 11 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................... 2
1.3 Tujuan....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 3
2.1 KAFALAH................................................................................ 3
2.1.1 Pengertian Kafalah........................................................... 3
2.1.2 Dasar Hukum.................................................................... 4
2.1.3 Rukun dan Syarat-Syarat tentang Kafalah....................... 5
2.1.4 Macam-Macam Kafalah................................................... 5
2.2 ISTISNA’.................................................................................. 7
2.2.1 Pengertian Istishna’.......................................................... 7
2.2.2 Dasar Hukum.................................................................... 8
2.2.3 Rukun dan Syarat Istishna’.............................................. 10
2.2.4 Jenis-Jenis Istishna’.......................................................... 11
BAB III PENUTUP........................................................................................ 12
3.1 Kesimpulan............................................................................... 12
3.2 Saran.......................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan
orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat
beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan
harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara manusia satu dengan
manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan
hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan.1 Proses untuk membuat
kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan
proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakan fitrah yang
sudah ditakdirkan oleh Allah, karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak
manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang universal
memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan
dalam setiap masa. Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan
bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan
yang ada.2
Lembaga keuangan yang berdasarkan pada prinsip syariat Islam, merupakan
metode baru yang dijadikan alternatif atau solusi untuk mengatasi permasalahan yang
timbul dalam ekonomi. Dimana lembaga keuangan ini beroperasional sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syariat Islam, yang didalamnya menyangkut tata cara
bermuamalah yang jauh dari unsur-unsur riba, gharar, maisir, haram, dan zalim.
Di zaman yang serba maju sekarang inipun banyak sekali jenis usaha yang
bermunculan dan dapat berkembang dengan pesat, bukan hanya perusahaan-
perusahaan konvensional akan tetapi perusahaan yang berbasis Islam pun sekarang

1
Ichsan, Nurul. "Akad Bank Syariah." Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan
Hukum 50.2 (2016), hlm. 399
2
Ibid, hlm. 400

1
ini tidak kalah berkembangnya dalam meramaikan dunia bisnis negeri kita. Hal ini
dapat dilihat dari menjamurnya berbagai bisnis yang ada di negara kita, sehingga
melahirkan para pembisnis yang berebut tander atau proyek. Hingga dalam setiap
hubungan bisnis melahirkan perikatan-perikatan atau perjanjian-perjanjian diantara
pelaku bisnis.
Pembiayaan istishna’ adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi
barang atau komoditas tertentu untuk pembeli/pemesan. Istishna’ merupakan salah
satu bentuk jual beli dengan pemesan yang mirip dengan salam yang merupakan
bentuk jual beli forward kedua yang dibolehkan oleh syariah.
Dalam dunia usaha, modal merupakan sesuatu yang sangat penting. Modal
tersebut dapat bersifat material atau immaterial. Untuk memenuhi kebutuhan modal,
seorang pengusaha bisa menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pihak
lain seperti bank dengan akad Qardhun. Untuk melakukan pinjaman tersebut
biasanya diperlukan beberapa syarat, diantaranya kelayakan usaha, adanya
kepercayaan, dan adanya jaminan. Berkaitan dengan islam dikenal dengan konsep
kafalah yang termasuk juga didalam jenis dhamman. Untuk itu makalah ini akan
membahas dan mengupas tentang kafalah dan istisna’.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah:
1. Apa pengertian dari kafalah dan istishna’?
2. Apa saja landasan hukum kafalah dan istishna’?
3. Apa saja rukun dan syarat kafalah dan istishna’?
4. Apa jenis-jenis kafalah dan istishna’?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari kafalah dan istishna’
2. Untuk mengetahui landasan hukum kafalah dan istishna’

2
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat kafalah dan istishna’
4. Untuk mengetahui jenis-jenis kafalah dan istishna’
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KAFALAH
2.1.1 Pengertian Kafalah
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga yang memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam
pengertian lain kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang
dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.3
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan
za‟mah (tanggungan). Menurut Sayyid Sabiq yang di maksud dengan al-kafalah
adalah proses penggabungan tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntutan
dengan benda (materi) yang sama baik utang barang maupun pekerjaan. Menurut
Iman Taqiyyudin yang dimaksud dengan kafalah adalah mengumpulkan satu beban
dengan beban lain. Menurut Hasbi Ash Shidiqi al-kafalah ialah menggabungkan
dzimah kepada dzimah lain dalam penagihan. Menurut al-jaziri yang dikutip oleh
ismail, bahwa otoritas tindakan (kafalah) ialah orang yang diperbolehkan bertindak
(berakal sehat) berjanji menunaikan hak yang wajib di tunaikan orang lain atau
berjanji menghadirkan hak tersebut dari pengadilan.4
Menurut syariah, kafalah adalah suatu tindak penggabungan tanggungan orang
yang menanggung dengan tanggungan penanggungan utama terkait tuntutan yang
berhubungan dengan jiwa, hutang, barang, atau pekerjaan. Kafalah terlaksana dengan

Ichsan, Nurul. "Akad Bank Syariah." Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan


3

Hukum 50.2 (2016), hlm. 412


4
Halilah, M. Syaikhul Arif Siti. "Kafalah Dalam Pandangan Islam." Siyasah: Jurnal
Hukum Tata Negara 2.2 (2019), hlm. 55

3
adanya penanggung, penanggung utama, pihak yang ditanggung haknya, dan
tanggungan.
2.1.2 Dasar Hukum
1. Dasar hukum menurut al-Quran:
‫ا َل‬JJَ‫قَا َل لَ ْن اُرْ ِسلَهٗ َم َع ُك ْم َح ٰتّى تُ ْؤتُوْ ِن َموْ ثِقًا ِّمنَ هّٰللا ِ لَتَأْتُنَّنِ ْي بِ ٖ ٓه آِاَّل اَ ْن ي َُّحاطَ بِ ُك ۚ ْم فَلَ َّمٓا ٰاتَوْ هُ َموْ ثِقَهُ ْم ق‬
‫هّٰللا ُ ع َٰلى َما نَقُوْ ُل َو ِك ْي ٌل‬
Artinya: “Dia (Ya’qub) berkata, “Aku tidak akan melepaskannya (pergi) bersama
kamu, sebelum kamu bersumpah kepadaku atas (nama) Allah, bahwa kamu pasti
akan membawanya kembali kepadaku, kecuali jika kamu dikepung (oleh musuh).”
Setelah mereka memberikan janji kepadanya, dia (Ya’qub) berkata, “Allah adalah
saksi terhadap apa yang kita ucapkan.” (QS. Yusuf:66)
2. Dasar hukum menurut as-Sunnah
Rasulullah SAW banyak menyebutkan mekanisme al-kafalah dalam beberapa
sabdanya. Sabda Beliau adalah sebagai berikut:
“Bahwa Nabi SAW tidak mau shalat mayit pada mayit yang masih punya hutag,
maka berkata Abu Qatadah: “shalatlah atasnya ya Rasulullah, sayalah yang
menanggung hutangnya, kemudian Nabi menyalatinya.” (HR. Bukhari)
3. Ijma’ Ulama
Syaikh Musthofa Al-Khin dan Syaikh Mustofa Al-Bugha menyebutkan dalam
kitabnya, Al-Fiqh Al-Manhaji, bahwa ulama dan seluruh kaum muslimin di
seluruh tempat dan zaman telah bersepakat (berijma’) atas bolehnya akad al-
kafalah (Al-Khin., et all., 2012). Hal ini dibuktikan oleh kutipan dan pembahasan
tentang al-kafalah dalam semua kitab-kitab fikih baik yang tradisional maupun
kontemporer. Aplikasi al-kafalah juga telah lama diterapkan oleh kaum muslimin
di berbagai lembaga keuangan, maupun dalam transaksi sederhana dalam
kehidupan sehari-hari.5

5
Asra, Moh. "Implementasi Aplikasi al-Kafâlah di Lembaga Keuangan Syari’ah di
Indonesia." Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam 4.2 (2020), hlm. 79

4
2.1.3 Rukun dan Syarat-Syarat tentang Kafalah
Rukun kafalah terdiri atas 5 komponen,6 yaitu sebagai berikut:

a. Kafil atau za’im, yaitu orang yang menjamin. Dalam hal ini orang yang menjamin
disyaratkan sudah baliqh, berakal, tidak dicegah menjalankan hartanya (mahjur)
dan dilakukan dengan kehendak sendiri.
b. Madmun ‘alayh (orang yang berpiutang), syarat-syarat orang yang berpiutang
diketahui oleh orang yang menjamin. Orang yang menjamin disebut juga makful
lahu, orang yang berpiutang disyaratkan dikenal oleh penjamin karena manusia
tidak sama dalam hal tuntunan, hal ini dilakukan demi kemudahan dan
kedisiplinan.
c. Madmum ‘anhu atau makful ‘anhu (orang yang berutang). Dalam hal ini orang
yang berutang disyaratkan baligh, berkal, memiliki niat yang baik dan berbuat baik
untuk memenuhi tangung jawabnya kepada orang yang menjamin.
d. Madmun bih atau makful bih (benda/barang atau orang). Benda atau orang
disyaratkan dapat diketahui dab tetap keadaanya.
e. Sight atau lafal, disyaratkan keadaan lafal itu dengan kata-kata menjamin, tidak
digantungkan pada susunan atau tidak jelas dan tidak berarti sementara.

2.1.4 Macam-Macam Kafalah


Pada umumnya kafalah dibagi menjadi 2 (dua) bagian,7 yaitu:
1. Kafalah dengan jiwa
Kafalah dengan jiwa ini dikenal juga dengan kafalah al-wajhi, yaitu adanya
keharusan pada pihak penjamin (kafl, damin atau za’im) untuk menghadirkan
orang yang ia tanggung pada yang ia janjikan tanggungannya.
Jaminan yang bekaitan dengan manusia hukumnya diperbolehkan. Orang yang
ditanggung tidak pasti mengetahui permasalahanya, karena kafalah mengangkut
bahan/manusia bukan benda/harta penanggungan tentang hak allah swt. Seperti
hukuman meminum khamer dan hukum zina tidak boleh ada orang yang menganti

Ibid, hlm. 76
6

Halilah, M. Syaikhul Arif Siti. "Kafalah Dalam Pandangan Islam." Siyasah: Jurnal


7

Hukum Tata Negara 2.2 (2019), hlm. 56

5
sebagai jaminannya, tetapi hukuman itu harus dilaksanakan oleh oranya sendiri. Di
samping itu, mengugurkan dan menolak had adalah masalah syubhat. Oleh
karenanya, tidak ada kekuatan jaminan yang dapat dijadikan acuan dalam masalah
syubhat dan tidak mungkin had (hukuman) dapat dilaksanakan kecuali orang yang
melakukan perbuatan.
Menurut mazhab Syafi’i bahwa kafalah dinyatakan sah dengan menghadirkan
orang yang dimaksud (penjamin) karena berkaitan dengan hak manusia, seperti
hukuman qisas (sepadan) dan qadf (menuduh zina). Kedua macam hukuman
tersebut menurut Syafi‟iyah termasuk hak yang biasa berlaku, apabila terkait
dengan hukuman had (yang sudah di tetapkan), maka masalah seperti ini tidak sah
dengan kafalah.
2. Kafalah dengan harta
Kafalah dengan harta yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh damin atau kafil
(penjamin) dengan pembayaran (pemunahan) berupa harta. Kafalah harta dibagi
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Kafalah bin al-dayn (jaminan utang), yaitu keharusan membayar utang yang
menjadi beban orang lain. Dalam hadis salamah bin adwa bahwa nabi saw.
Tidak menyalatkan mayat yang mempunyai kewajiban membayar utang,
kemduian Qatadah ra. berkata: “shalatkanlah dia dan saya akan membayar
utangnya, rasulullah kemudian menyalatkannya”. Dalam kafalah utang
disyaratkan sebagai berikut:
a) Hendaknya nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi
jaminan, seperti uang qirad, upah danmahar, seperti seorang berkata;
“juallah benda itu kepada A dan aku berkewajiban menjamin
pembayarannya dengan harga sekian”. Sehingga harga penjualan benda
tersebut jelas. Sementara Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bependapat boleh
menjamin sesuatu yang nilainya belum ditentukan.
b) Hendaknya barang yang dijamin diketahui, menurut Mazhab Syafi’i dan Ibn
Hazm bahwa seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui.

6
Sebab perbuatan tersebut adalah gharar (tipuan). Sementar Abu Hanifah,
Malik dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boeh menjamin sesuatu
yang tidak diketahui.
2) Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyarahkan benda-benda
tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang di
ghasab (pinjam tidak memberitahu) dan menyerahkan barang jualan kepada
pembeli, disyaratkan materi tersebut dijamin untuk asil, seperti dalam ghasab.
Namun, bila bukan berbentuk jaminan, kafalah batal.
3) Kafalah dengan ‘aib (cacat), maksudnya bahwa barang yang didapati berupa
harta terjual dan dapat bahaya (cacat) karena waktu yang terlalu lama atau
karena hal-hal lainnya, sehingga ia (pembawa barang) sebagai jaminan untuk
hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti barang yang dijual adalah milik
orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai.

2.2 ISTISNA’
2.2.1 Pengertian Istishna’
Istishna’ adalah bentuk transaksi yang menyerupai jual beli salam8 jika ditinjau
dari sisi bahwa objek (barang) yang dijual belum ada. Barang yang akan dibuat
sifatnya mengikat dalam tanggungan pembuat (penjual) saat terjadi transaksi.
Dalam istilah para fuqaha, istishna’ didefinisikan sebagai akad meminta
seseorang untuk membuat sebuah barang tertentu dalam bentuk tertentu. Atau dapat
diartikan sebagai akad yang dilakukan dengan seseorang untuk membuat barang
tertentu dalam tanggungan. Maksudnya akad tersebut merupakan akad membeli
sesuatu yang akan dibuat oleh seseorang. Dalam istishna’ bahan baku dan pembuatan
dari pengrajin. Jika bahan baku berasal dari pemesan, maka akad yang dilakukan
adalah akad ijaroh (sewa) buka istishna’.
8
Mujiatun, Siti. "Jual Beli dalam Perspektif Islam: Salam dan Istisna’." Jurnal Riset
Akuntansi dan Bisnis 13.2 (2014), hlm. 212

7
Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan
seperti transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah
dimana barang diserahkan dimuka sedangkan uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli
istishna’ barang diserahkan dibelakang, walaupun uangnya sama-sama dibayar
cicilan.
Seperti halnya praktik salam, secara praktis pelaksanaan kegiatan istshna’
dalam perbankan syariah cenderung dilakukan dengan format istishna’ paralel. 9 Hal
ini dapat dipahami karena pertama, kegiatan istishna’ oleh bank syariah merupakan
akibat dari adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua bank syariah
bukanlah produsen dari barang dimaksud. Secara umum tahapan praktik istishna’
diperbankan syariah adalah sama dengan tahapan praktik salam. Perbedaanya terletak
pada cara pembayaran yang tidak dilakukan secara sekaligus, tetapi dilakukan secara
bertahap (angsuran).

2.2.2 Dasar Hukum


Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara sayr'i di atas
petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin
1. Dasar hukum menurut al-Quran:
َ J ِ‫سِّ ٰذل‬
‫الُ ْٓوا‬JJَ‫اَنَّهُ ْم ق‬J ِ‫ك ب‬ ۗ ‫ي ْٰطنُ ِمنَ ْال َم‬J ‫الش‬َّ ُ‫اَلَّ ِذ ْينَ يَأْ ُكلُوْ نَ الر ِّٰبوا اَل يَقُوْ ُموْ نَ اِاَّل َك َما يَقُوْ ُم الَّ ِذيْ يَتَخَ بَّطُه‬
‫ا‬JJ‫هٗ َم‬JJَ‫ فَل‬J‫ا ْنتَ ٰهى‬JJَ‫ةٌ ِّم ْن َّرب ِّٖه ف‬Jَ‫ا َء ٗه َموْ ِعظ‬Jۤ J‫وا فَ َم ْن َج‬ ۗ ‫وا َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰب‬
ۘ ‫اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّر ٰب‬
ٰۤ ُ
َ‫ار ۚ هُ ْم فِ ْيهَا ٰخلِ ُدوْ ن‬
ِ َّ‫ك اَصْ ٰحبُ الن‬ َ Jِ‫ول ِٕٕى‬ ‫فَ َواَ ْمر ٗ ُٓه اِلَى هّٰللا ِ ۗ َو َم ْن عَا َد فَا‬ۗ َ‫َسل‬
Artinya: “Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat
berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan.
Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba.
Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun

9
Mujiatun, Siti. "Jual Beli dalam Perspektif Islam: Salam dan Istisna’." Jurnal Riset
Akuntansi dan Bisnis 13.2 (2014), hlm. 212

8
yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu
dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba),
mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-
Baqarah:275)
2. Dasar hukum menurut as-Sunnah
“Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab,
lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat
yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel
dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat
menyaksikan kemilau putih di tangan beliau" (HR. Muslim)
3. Dasar hukum al-Ijma’
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto
telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau
ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
melarangnya.

2.2.3 Rukun dan Syarat Istishna’


1. Rukun dan Syarat Jual Beli Isthisna
Rukun istishna’ menurut Hanafiyah adalah ijab dan qabul akan tetapi menurut
jumhur ulama, rukun istishna ada tiga, yaitu sebagai berikut:10
a) shani’ (orang yang membuat/produsen) atau penjual, dan mustashni’ (orang
yang memesan/konsumen), atau pembeli.

10
Upi, Upi. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Istishna Di Konveksi Rizky And
World di Kecamatan Majasari Kabupaten Pandeglang. Diss. Universitas Islam Negeri"
SMH" Banten, 2018, hlm. 44

9
b) Ma’qud ‘alaih, yaitu ‘amal (pekerjaan), barang yang dipesan atau objek yang
ditransaksikan. Mayoritas ulama Hanafiyah berpendapat bahwa objek transaksi
adalah barang produksi dan bagi orang yang memesan produk mempunyai hak
khiyar ru’yah. dan harga atau alat pembayaran.
c) Shighat (Ijab qabul) adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak
pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya
dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan
untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.
Pelafalan perjanjian dapat dilakukan dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa
bicara), tindakan maupun tulisan, bergantung pada praktik yang lazim di
masyarakat dan menunjukan keridhaan satu pihak untuk menjual barang
istishna’ dan pihak lain untuk membeli barang istishna’.
2. Syarat-syarat istishna’
Adapun syarat-syarat istishna’ adalah sebagai berikut:11
a) Produk yang dipesan jelas, yaitu dengan menjelaskan jenis, macam, dan
bilangan (jumlah).
b) Produk yang dipesan biasa berlaku di masyarakat karena sesuatau yang belum
biasa berlaku di masyarakat diqiyaskan kepada jual beli salam dengan
keseluruhan hukumnya.
c) Tidak dibatasi tenggang waktunya. Jika dibatasi tenggang waktu, maka menjadi
jual beli salam karena syarat tenggang waktu adalah salah satu syarat salam.
Tidak ada ketentuan mengenai waktu tempo penyerahan barang yang dipesan.
Apabila waktunya ditentukan, menurut Imam Abu Hanifah, akad berubah
menjadi salam dan akan berlaku syarat-syarat salam. Seperti penyerahan alat
pembayaran (harga) di majelis akad. Sedangkan menurut Imam Abu yusuf dan
Muhammad, syarat ini tidak diperlukan. Dengan demikian menurut mereka,
istishna’ itu hukumnya sah, baik waktunya ditentukan atau tidak, karena

11
Ibid, hlm. 45

10
menurut adat kebiasaan, penentuan waktu ini biasa dilakukan dalam akad
istishna’.

2.2.4 Jenis-Jenis Istishna’


jenis-jenis istishna’ antara lain sebagai berikut:
1. Istishna’ yang akad jual belinya dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli/mustashni') dan penjual (pembuat/shani').
2. Istishna’ paralel adalah suatu bentuk akad Istishna antara pemesan
(pembeli/mustashni’) dengan penjual (pembuat/shani’), kemudian untuk
memenuhi kewajibannya kepada mustashni’, penjual memerlukan pihak lain
sebagai shani’.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggug (kafil) kepada pihak
ketiga yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor (makful lahu) untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang berhutang/debitor atau yang ditanggung
(makful ‘anhu, ashil). Jenis-jenis kafalah pada umumnya ada 2 yaitu kafalah dengan

11
jiwa dan kafalah dengan harta (kafalah bin al-dayn, kafalah dengan penyerahan
modal, dan kafalah dengan ‘aib).
Pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan seperti transaksi
murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah dimana barang
diserahkan dimuka sedangkan uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli istishna’
barang diserahkan dibelakang, walaupun uangnya sama-sama dibayar cicilan. Akad
istishna’ adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar’i diatas peteunjuk Al-
Qur’an, As-Sunnah dan Al-Ijma’ di kalangan muslimin.
Jenis akad istishna’ antara lain: Istishna’ yang akad jual belinya dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni') dan penjual (pembuat/shani').
Istishna’ paralel adalah suatu bentuk akad Istishna antara pemesan
(pembeli/mustashni’) dengan penjual (pembuat/shani’), kemudian untuk memenuhi
kewajibannya kepada mustashni’, penjual memerlukan pihak lain sebagai shani’.

3.2 Saran
Dengan mengetahui lebih dalam tentang kafalah dan istishna’ diharapkan dapat
menjadi pribadi yang lebih beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
Allah Subhanahuwata’ala. Serta setiap menjadi pelopor dalam memajukan nilai-nilai
keislaman dalam perekonomian.

DAFTAR PUSTAKA

Asra, Moh. "Implementasi Aplikasi al-Kafâlah di Lembaga Keuangan Syari’ah di


Indonesia." Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam 4.2 (2020): 74-84.
Halilah, M. Syaikhul Arif Siti. "Kafalah Dalam Pandangan Islam." Siyasah: Jurnal
Hukum Tata Negara 2.2 (2019).
Ichsan, Nurul. "Akad Bank Syariah." Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan
Hukum 50.2 (2016): 399-423.

12
Kartika, Rini Fatma. "Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah (Kafalah dan
Rahn)." Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama
Islam 15.2 (2016): 229-252.
Upi, Upi. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Istishna Di Konveksi Rizky And
World di Kecamatan Majasari Kabupaten Pandeglang. Diss. Universitas
Islam Negeri" SMH" Banten, 2018.
Mujiatun, Siti. "Jual Beli dalam Perspektif Islam: Salam dan Istisna’." Jurnal Riset
Akuntansi dan Bisnis 13.2 (2014).

13

Anda mungkin juga menyukai