KELOMPOK 1
2
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa
dengan Kasih dan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah
Paper yang mengangkat topik “Pengaruh Pluralisme Politik Terhadap
Kalangan Elit di Indonesia”. Paper ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas dari ke-enam tugas di perguruan tinggi yaitu tugas dari Mata Kuliah
Perbandingan Sistem Politik.
Dan yang ter-istimewa kepada kedua orang tua tercinta yang telah
membesarkan dan mendidik serta banyak memberikan doa, dukungan, semangat,
motivasi, nasehat, serta dukungan material sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Kepada teman-teman kami, dan juga kelas A mata kuliah PSP yang
telah membantu penulis dalam menjalankan aktivitas dunia kampus di Universitas
Negeri Medan.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagai
bahan literatur yang baik bagi penulis dan pembaca lainnya untuk itu semua,
penulis ucapkan terima kasih.
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ...............................................................................................
B. Saran .........................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Dewasa ini Indonesia telah memberi hak kepada rakyatnya untuk dapat
masuk ke dalam lembaga pemerintahan baik melalui jalur parpol dan non parpol.
Di samping rakyat parpol, rakyat non parpol bisa masuk parlemen sebagai
anggota DPD RI, dan rakyat non parpol juga bisa jadi gubernur, bupati/walikota
melalui jalur independen. Kedua kelompok rakyat ini telah diberi hak yang sama
oleh negara untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan. Perwakilan kekuasaan
rakyat di negara kita disebar (di distribusi) ke dalam dua lembaga; legislatif dan
eksekutif. Kekuatan kedua lembaga ini begitu besar karena mereka tergabung
bersama dalam membuat berbagai keputusan negara/undang-undang untuk
dijalankan oleh eksekutif; artinya dibahas bersama, diputuskan bersama, baru
kemudian dijalankan oleh eksekutif. Sistemdistribution of power yang dianut di
Indonesia telah membangun fungsi legislatif dan eksekutif sebagai Pemerintah
bersama bukan sebagai musuh bebuyutan yang saling ingin menjatuhkan. Jika pun
semangat ingin “berkonflik” ini mau diteruskan, maka rubah dulu UUD 45 yang
mengatur sistem politik Indonesia dengan pola pembagian kekuasaan antara
legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi pola pemisahan kekuasaan dari ketiga
lembaga tersebut.
Kondisi ini berbeda dengan negara-negara yang menganut konsep
separation of power (pemisahan kekuasaan) antara legislatif, eksekutif dan
yudikatif, seperti di Eropa dan Amerika, ada ketegasan fungsi tugas yang jelas
pada masing-masing lembaga tersebut. Fungsi legislatif sebagai pembuat
kebijakan, dan eksekutif sebagai eksekutor (pelaksana kebijakan). Sistem politik
Indonesia dengan pola distribusi kekuasaan telah membangun hubungan rumit
antara legislatif dan eksekutif. Mengutip pendapat guru besar ilmu politik
Universitas Indonesia, Prof. Dr. Nazaruddin Syamsuddin yang menyatakan bahwa
sistem politik Indonesia adalah “abu-abu”; maksudnya sistem politik negara kita
tidak jelas, diumpamakan bukan sebagai A dan juga bukan sebagai B. Akibat dari
sistem “abu-abu” ini maka kedua lembaga ini di Indonesia tidak pernah berdiri
kokoh dalam menjalankan fungsinya. Hubungan kedua lembaga ini menjadi
semakin rumit jika dikaitkan dengan konsep pluralisme politik di mana nilai
demokrasi disandarkan pada keragaman kepentingan dan penyebaran kekuasaan.
2
Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai bentuk hubungan “rumit” antara
legislatif dan eksekutif yang dipertontonkan oleh para elit politik parlemen dan
elit politik eksekutif baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Dalam
membahas anggaran misalnya, yang terlihat dominan adalah hubungan negatif
(kolaborasi kepentingan) dan hubungan konflik (saling memaksa
mempertahankan kepentingan).
Dalam 3 era Demokrasi yang berlangsung di Indonesia, yaitu Demokrasi
Liberal I (1953 – 1957), Demokrasi Pancasila (selama Orde Baru), dan Demokrasi
Liberal II (pasca reformasi 1998), proses integrasi seolah belum selesai. Pola tetap
hubungan pusat-daerah seperti belum terbangun sempurna, sementara keterlibatan
warganegara di dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat (juga daerah)
seolah tersekat oleh elitisme politik yang terbentuk oleh oligarki partai politik.
Keresahan politik yang dialami pada level warganegara seperti mengalami distorsi
manakala telah dimobilisasi oleh partai politik, sehingga perundang-undangan
yang kemudian muncul kerap bukan merupakan jawaban paralel atas tuntutan
yang masuk dari level warganegara. Perundang-undangan yang terbentuk justru
merupakan penyesuaian kepentingan elit politik yang mereka terjemahkan ke
dalam bentuk undang-undang. Sesuai dengan penjelasan diatas, penulis akan
membahas topik yang diangkat diatas dengan judul Pengaruh Pluralisme Politik
Terhadap Kalangan Elit di Indonesia dengan dilakukan analisis referensi buku
dan jurnal-jurnal penelitian yang relevan terdahulu.