Anda di halaman 1dari 7

Makalah Paper

Pengaruh Pluralisme Politik Terhadap Kalangan Elit di Indonesia

Disusun untuk memenuhi tugas dari


Mata Kuliah : Perbandingan Sistem Politik
Dosen Pengampu : Prayetno, S.IP., M.Si dan
Windawati Pinem, S.Sos., M.IP
Disusun Oleh :

KELOMPOK 1

1. Aldian Wijaya (3182111002)


2. Amelia Hakim Lubis ()
3. Dede
4. Isabella Margaretta Manullang (3181111011)
5. Geby M Hutabalian (3183111047)
6. Monalisa (3183111030)
7. Olan Mangondi Simbolon (3183311017)
8. Suci Indriati (3182111006)

JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL - UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
OKTOBER 2021

2
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa
dengan Kasih dan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah
Paper yang mengangkat topik “Pengaruh Pluralisme Politik Terhadap
Kalangan Elit di Indonesia”. Paper ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas dari ke-enam tugas di perguruan tinggi yaitu tugas dari Mata Kuliah
Perbandingan Sistem Politik.

Dalam penulisan Makalah Paper ini tidak terlepas dari berbagai


kelemahan, namun berkat bantuan, bimbingan, dan motivasi baik secara moral,
material maupun spritual dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat menuliskan
makalah ini dengan selesai.

Untuk itu penulis dalam kesempatan iini mengucapkan terima kasih


kepada ibu dan bapak : Prayetno,S.IP., M.Si, dan Windawati Pinem, S.Sos, M.IP
selaku dosen pengampu Mata Kuliah Perbandingan Sistem Politik yang telah
mengajarkan penulis tentang berbagai materi selama pertemuan di perkuliahan.

Dan yang ter-istimewa kepada kedua orang tua tercinta yang telah
membesarkan dan mendidik serta banyak memberikan doa, dukungan, semangat,
motivasi, nasehat, serta dukungan material sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Kepada teman-teman kami, dan juga kelas A mata kuliah PSP yang
telah membantu penulis dalam menjalankan aktivitas dunia kampus di Universitas
Negeri Medan.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagai
bahan literatur yang baik bagi penulis dan pembaca lainnya untuk itu semua,
penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 17 Oktober 2021

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................

Daftar Isi ...............................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................

A. Latar Belakang Masalah ..............................................................


B. Rumusan Masalah ........................................................................
C. Tujuan Penulisan .........................................................................

BAB II PEMBAHAN ........................................................................................

BAB III PENUTUP ...........................................................................................

A. Kesimpulan ...............................................................................................
B. Saran .........................................................................................................

Daftar pustaka ....................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan kekuasaan negara tidak terpisahkan dan bahkan berhubungan


secara langsung dengan kekuasaan rakyat. Penyaluran kekuasaan rakyat dari
berbagai jalur pada akhirnya bermuara pada dua jalur inti yaitu jalur partai politik
dan non partai politik. Hierarki nilai demokrasi pada puncak tertinggi adalah
pluralisme politik. Menurut Ronald H Chilcote (ahli perbandingan politik), bahwa
dalam pluralisme politik, nilai demokrasi disandarkan pada keragaman
kepentingan dan penyebaran kekuasaan. Inti dari teori ini merujuk pada konsep
dasar demokrasi di mana rakyat dengan berbagai kelompok dan beragam
kepentingannya diperkenankan untuk menguasai negara melalui berbagai jalur
kekuasaan yang telah dibentuk dan dimiliki oleh negara. Seluruh jalur kekuasaan
yang telah membentuk kekuatan negara pada prinsipnya paralel dengan jalur
kekuasaan yang dimiliki rakyat.
Pluralisme politik adalah ruang demokrasi yang mampu membuka
sumbatan-sumbatan agar kekuasaan dari berbagai kelompok rakyat dapat
mengalir dengan bebas menuju penguasaan rakyat terhadap negara. Demokrasi
telah menjamin bahwa pluralisme politik dalam sebuah negara tidak akan
melahirkan negara totaliter, tidak akan menciptakan sentra kekuasaan pada
golongan tertentu (seperti pada masa orde lama dan orde baru Indonesia). Tidak
boleh ada niat apa lagi tindakan dari kelompok rakyat tertentu untuk mendominasi
kelompok rakyat yang lain dalam sebuah sistem kekuasaan negara, baik
kekuasaan negara di tingkat nasional (pemerintah pusat) atau kekuasaan negara di
daerah (pemda). Dalam dimensi pluralisme politik, seluruh rakyat melalui
berbagai jalur “entitas” dan komunitasnya harus diberi jalan untuk
mengendalikan kekuasaan atau mempengaruhi kekuasaan. Melalui jalan tersebut
rakyat dapat mengirim orang-orang yang telah dipilih untuk masuk ke lembaga
legislatif dan eksekutif.

1
Dewasa ini Indonesia telah memberi hak kepada rakyatnya untuk dapat
masuk ke dalam lembaga pemerintahan baik melalui jalur parpol dan non parpol.
Di samping rakyat parpol, rakyat non parpol bisa masuk parlemen sebagai
anggota DPD RI, dan rakyat non parpol juga bisa jadi gubernur, bupati/walikota
melalui jalur independen. Kedua kelompok rakyat ini telah diberi hak yang sama
oleh negara untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan. Perwakilan kekuasaan
rakyat di negara kita disebar (di distribusi) ke dalam dua lembaga; legislatif dan
eksekutif. Kekuatan kedua lembaga ini begitu besar karena mereka tergabung
bersama dalam membuat berbagai keputusan negara/undang-undang untuk
dijalankan oleh eksekutif; artinya dibahas bersama, diputuskan bersama, baru
kemudian dijalankan oleh eksekutif. Sistemdistribution of power yang dianut di
Indonesia telah membangun fungsi legislatif dan eksekutif sebagai Pemerintah
bersama bukan sebagai musuh bebuyutan yang saling ingin menjatuhkan. Jika pun
semangat ingin “berkonflik” ini mau diteruskan, maka rubah dulu UUD 45 yang
mengatur sistem politik Indonesia dengan pola pembagian kekuasaan antara
legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi pola pemisahan kekuasaan dari ketiga
lembaga tersebut.
Kondisi ini berbeda dengan negara-negara yang menganut konsep
separation of power (pemisahan kekuasaan) antara legislatif, eksekutif dan
yudikatif, seperti di Eropa dan Amerika, ada ketegasan fungsi tugas yang jelas
pada masing-masing lembaga tersebut. Fungsi legislatif sebagai pembuat
kebijakan, dan eksekutif sebagai eksekutor (pelaksana kebijakan). Sistem politik
Indonesia dengan pola distribusi kekuasaan telah membangun hubungan rumit
antara legislatif dan eksekutif. Mengutip pendapat guru besar ilmu politik
Universitas Indonesia, Prof. Dr. Nazaruddin Syamsuddin yang menyatakan bahwa
sistem politik Indonesia adalah “abu-abu”; maksudnya sistem politik negara kita
tidak jelas, diumpamakan bukan sebagai A dan juga bukan sebagai B. Akibat dari
sistem “abu-abu” ini maka kedua lembaga ini di Indonesia tidak pernah berdiri
kokoh dalam menjalankan fungsinya. Hubungan kedua lembaga ini menjadi
semakin rumit jika dikaitkan dengan konsep pluralisme politik di mana nilai
demokrasi disandarkan pada keragaman kepentingan dan penyebaran kekuasaan.

2
Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai bentuk hubungan “rumit” antara
legislatif dan eksekutif yang dipertontonkan oleh para elit politik parlemen dan
elit politik eksekutif baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Dalam
membahas anggaran misalnya, yang terlihat dominan adalah hubungan negatif
(kolaborasi kepentingan) dan hubungan konflik (saling memaksa
mempertahankan kepentingan).
Dalam 3 era Demokrasi yang berlangsung di Indonesia, yaitu Demokrasi
Liberal I (1953 – 1957), Demokrasi Pancasila (selama Orde Baru), dan Demokrasi
Liberal II (pasca reformasi 1998), proses integrasi seolah belum selesai. Pola tetap
hubungan pusat-daerah seperti belum terbangun sempurna, sementara keterlibatan
warganegara di dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat (juga daerah)
seolah tersekat oleh elitisme politik yang terbentuk oleh oligarki partai politik.
Keresahan politik yang dialami pada level warganegara seperti mengalami distorsi
manakala telah dimobilisasi oleh partai politik, sehingga perundang-undangan
yang kemudian muncul kerap bukan merupakan jawaban paralel atas tuntutan
yang masuk dari level warganegara. Perundang-undangan yang terbentuk justru
merupakan penyesuaian kepentingan elit politik yang mereka terjemahkan ke
dalam bentuk undang-undang. Sesuai dengan penjelasan diatas, penulis akan
membahas topik yang diangkat diatas dengan judul Pengaruh Pluralisme Politik
Terhadap Kalangan Elit di Indonesia dengan dilakukan analisis referensi buku
dan jurnal-jurnal penelitian yang relevan terdahulu.

Anda mungkin juga menyukai