KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Indera ini berfungsi untuk mengenali setiap perubahan lingkungan, baik yang terjadi
di dalam maupun di luar tubuh. Indera yang ada pada makhluk hidup, memiliki sel-sel
reseptor khusus. Sel-sel reseptor inilah yang berfungsi untuk mengenali perubahan
lingkungan yang terjadi. Berdasarkan fungsinya, sel-sel reseptor ini dibagi menjadi dua,
yaitu interoreseptor dan eksoreseptor.
Alat indera adalah organ yang berfungsi untuk menerima jenis rangsangan
tertentu. Semua organism memiliki reseptor sebagai alat penerima informasi.
Informasi tersebut dapat berasal dari dalam dirinya atau datang dari luar. Reseptor
diberi nama berdasarkan jenis rangsangan yang diterimanya, seperti kemoreseptor
(penerima rangsang zat kimia), fotoreseptor (penerima rangsang cahaya),
aodioreseptor (penerima rangsang suara), dan mekanoreseptor (penerima rangsang
fisik, seperti tekanan, sentuhan, dan getaran). Selain itu dikenal pula beberapa
reseptor yang berfungsi mengenali perubahan lingkungan luar yang dikelompokkan
sebagai eksoreseptor. Sedangkan kelompok reseptor yang berfungsi untuk mengenali
lingkungan dalam tubuh disebut interoreseptor. Interoreseptor terdapat diseluruh
tubuh manusia. Eksoreseptor yang kita kenal ada lima macam, yaitu indera
penglihat(mata), pendengar (telinga), peraba (kulit), pengecap (lidah), dan pembau
(hidung). Untuk lebih memahami kelima eksoreseptor tersebut, maka kami akan
membahasnya dalam Sistem Indera. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas
lebih dalam mengenai sistem indera pembau (hidung).
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum:
Secara umum tenaga kesehatan dapat menjadikan makalah ini sebagai sumber
pembelajaran mengenai sistem indera pada tubuh manusia, terutama sistem indera
pembau.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk Pembaca Untuk menambah pengetahuan tentang sistem indera pembau.
b. Untuk Penulis Menambah pengetahuan tentang sistem indera pembau.
c. Untuk menyelesaikan tugas KKPMT III tentang patofisiologi dan terminologi medis
Panca Indera ( Indera Pembau/penghidu).
1.4 Manfaat
Setelah mempelajari makalah ini pembaca dapat memperoleh pengetahuan
tentang anatomi indera pembau, fisiologi indera pembau, apa itu sinus paranasal, proses
perdarahan pada hidung, sistem persyarafan pada hidung, dan proses histologi hidung
yang dapat menambah wawasan pembaca maupun penyusun tentang sistem indera
pembau.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan pangkal hidung dibagian atas dan
puncaknya berada dibawah. Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat. Kerangka tulang terdiri dari
sepasang os nasal, prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis osfrontal,
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago lateralis
inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago septumnasi. Otot-otot ala
nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator, terdiri dari muskulus dilator
nares (anterior dan posterior), muskulus proserus, kaputangular muskulus kuadratus
labii superior dan kelompok konstriktor yang terdiri dari muskulus nasalis dan
muskulus depressor septi (Dhingra, 2007).
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu:
Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang penyusun hidung luar
terdiri dari:
Lubang hidung dan puncak hidung dibentuk oleh kartilago ala mayor, yang
berbentuk tipis dan fleksibel. Sedangkan kolumela yang memisahkan kedua lubang
hidung dibentuk oleh tepi bawah kartilago septum. Hidung luar menonjol pada garis
tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian
yaitu :
1. Yang paling atas, kubah tulang yang tidak dapat digerakkan. Belahan bawah
aperture piriformis kerangka tulang saja, memisahkan hidung luar dengan hidung
dalam. Disebelah superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus maxilla
yang berjalan keatas dan kedua tulang hidung semuanya disokong oleh prosesus
nasalis os frontalis dan suatu bagian lamina perpendikularis os etmoidalis. Spina
nasalis anterior merupakan prosesus maksilaris medial.
2. Dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dibentuk
oleh kartilago lateralis superior yang saling berfusi digaris tengah dan tepi atas
kartilago septum kuadrangularis.
3. Yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan dan
dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus menutup
vestibulum nasi dan dibatasi sebelah medial oleh kolumela. Sebelah lateral oleh
ala nasi dan anterosuperior oleh ujung hidung. Mobilitas lobulus hidung penting
untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus dan besin. Otot ekspresi wajah yang
terletak subkutan diatas tulang hidung, pipi anterior dan bibir atas menjamin
mobilitas lobulus. Jaringan ikat subkutan dan kulit juga ikut menyokong hidung
luar. Jaringan lunak diantara hidung luar dan dalam dibatasi disebelah inferior
oleh kripta piriformis dengan kulit penutupnya, dimedial oleh septum nasi dan tepi
bawah kartilago lateralis superior sebagai batas superior dan lateral.
2. Hidung Dalam / Rongga Hidung / Cavum Nasi Cavum nasi
1. Vestibulum
- Paling anterior, sejajar dengan ala nasi.
- Bagian yang masih dilapisi kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang (vibrise)
2. Septum
- Merupakan dinding medial hidung, bagi cavum nasi sama besar, lurus mulai dan
anterior sampai posterior (koana).
- Dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, yaitu:
Bagian tulang :
Terletak antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung, tempat bermuara duktus nasoakrimalis.
b. Meatus medius
Celah yang terletak konka media dengan dinding lateral rongga hidung.
Terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris, dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan celah sempit melengkung dimana terdapat
muara sinus frontal, maxilla, dan etmoid anterior.
c. Meatus superior
Terletak antara konka superior dan konka media. Disini terdapat muara
sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid. Kerangka tulang tampaknya
menentukan diameter yang pasti dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang
menutupi hidung dalam cenderung bervariasi tebalnya juga mengubah resistensi.
Akibatnya tekanan dan volume aliran udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter
yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa., perubahan
badan vascular yang dapat mengembang pada konka dan septum atas. Ujung-
ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan lateral
dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur
demekian pula penebalan atau oedem mukosa berlebihan dapat mencegah aliran
udara untuk mencapai daerah olfaktorius dan dengan demikian dapat sangat
mengganggu penghidu. Konka umumnya dapat mengkompensasi kelainan
septum ( bila tidak terlalu berat ), dengan memperbesar ukurannya pada sisi yang
konkaf dan mengecil pada sisi lainnya sedemikian rupa agar dapat
mempertahankan lebar rongga udara yang optimum. Jadi meskipun septum nasi
bengkok, aliran udara masih akan ada dan masih normal. Daerah jaringan erektil
pada kedua sisi septum berfungsi mengatur ketebalan dalam berbagai kondisi
atmosfer yang berbeda.
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung. Epitel organ
pernapasan biasanya berupa epitel torak bersilia, bertingkat palsu (pseudo stratified
columnae ephitelium), berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada
tekanan dan kecepatan aliran udara, suhu, dan derajat kelembaban udara. Lapisan
mukus yang sangat kental dan lengket menangkap debu, benda asing dan bakteri yang
terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda ini diangkut ke faring, selanjutnya
ditelan dan dihancurkan. Lisozim dan IgA ditemukan pula dalam laapisan mukus, dan
melindungi lebih lanjut terhadap patogen. Lapisan mukus hidung diperbaharui 3-4
kali dalam 1 jam. Silia begerak serempak secara cepat kearah aliran lapisan, kemudian
membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat. Kecepatan pukulan silia kira-
kira 700 – 1000 siklus per menit. Dalam keadaan normal, mukosa berwarna merah
muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dari sel-sel goblet.
Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga hidung
didaerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga hidung, hanya lebih tipis
dan pembluh darahnya lebih sedikit. Tidak ditemukan rongga-rongga vaskuler yang
besar. Sel-sel goblet dan kelenjar lebih sedikit dan terutama ditemukan dekat ostium.
Palut lendir didalam sinus dibersihkan oleh silia dengan gerakan menyerupai spiral
kearah ostium. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka
superior,dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis
semu dan tidak bersilia (pseudo stratified columnar non ciliated ephitelium. Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal, dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Silia Silia terbentuk
dari dua mikrotubulus sentral tungal yang dikelilingi sembilan pasang mikro tubulus,
semuanya terbungkus dalam membran sel berlapis tiga yang tipis dan rapuh. Silia
mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir
didalam cavum nasi akan didorong kearah nasofaring. Dengan demikian mukosa
mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan
benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan
menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan,
radang, sekret kental dan obat-obatan. Area Olfaktorius Epitel penghidu bertingkat
torak terdiri dari tiga jenis sel:
Sejumlah sel basal yang kecil. Merupakan sel induk dari sel sustentakular Sel-
sel penghidu ini merupakan satu-satunya bagian sistem saraf pusat yang mencapai
permukaan tubuh. Pembuluh Darah Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai
susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propia
dan tersusun secara pararel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan
pada anyaman kapiler periglandular dan subepitelial. Pembuluh eferen dari anyaman
kapler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh
jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter
otot. Selanjutnya sinusoid akan mengaliskan darahnya ke pleksus vena yang lebih
dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai suatu
jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengambang dan mengerut.
Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi saraf otonom. Suplai
Saraf Yang terlibat langsung saraf kranial pertama untuk penghiduan, divisi
oftalmikus dan maxillaris dari saraf trigeminus untuk impuls afferen sensorik lainnya,
saraf fasialis untuk gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar, dan system saraf
otonom. Sistem Limfatik Suplai limfatik hidung amat kaya dimana terdapat jaringan
pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara
di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju ke leher. Jaringan ini mengurus hampir
seluruh bagian anterior hidung-vestibulum dan daerah prekonka. Jaringan limfatik
posterior mengurus mayoritas anatomi hidung, menggabungkan ketiga saluran utama
di daerah hidung belakang-saluran superior, media, dan inferior. Kelompok superior
berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan,
berjalan di atas eustachius dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok
media, berjalan dibawah tuba eustachius, mengurus konka inferior, meatus inferior,
dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok
inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar
limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun kebawah ke nasofaring sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian lain
kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring. Hidung dengan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip
katup dari jaringan erektil konka dan septum, menghaluskan dan membentuk aliran
udara, mengatur volume dan tekanan udara yang lewat, dan menjalankan berbagai
aktivitas penyesuaian udara (filtrasi, pengaturan suhu dan kelembaban udara).
Perubahan tekanan udara didalam hidung selama siklus pernafasan telah diukur
memakai rinomanometri. Selama respirasi tenang, perubahan tekanan udara dalam
hidung adalah minimal dan normalnya tidak lebih dari 10-15 mmH2O, dengan
kecepatan aliran udara bervariasi antara 0-140 ml/menit. Pada inspirasi, terjadi
penurunan tekanan; udara keluar dari sinus sementara pada ekspirasi tekanan sedikit
meningkat; udara masuk ke dalam sinus. Secara keseluruhan, pertukaran udara sinus
sangat kecil, kecuali pada saat mendengus, suatu mekanisme dimana hantaran udara
ke membrana olfaktorius yang melapisi sinus meningkat. Pengatur kondisi udara (air
conditioning) Fungsi ini untuk menyiapkan udara yang akan masuk kedalam alveolus
paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban dan mengatur suhu.
Mengatur kelembaban udara dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara
hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim
dingin akan terjadi keadaan sebaliknya. Mengatur suhu dimungkinkan karena
banyaknya pembuluh darah dibawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum
yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara melalui hidung ± 37 ° C. Penyaringan dan pelindung Fungsi ini berguna untuk
membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh: Rambut
(vibrise) pada vestibulum nasi Silia Palut lendir (mucous blanket) debu dan bakteri
akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan reflek bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
Lisozym : enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri. Transport benda
asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring di sebelah posterior, dimana
kemudian akan ditelan atau diekspektoran, merupakan kerja silia yang menggerakkan
lapisan mukus dengan partikel yang terperangkap. Kerja silia yang efektif dapat
terganggu oleh udara yang sangat kering, seringkali terjadi dirumah pada bulan-bulan
musim dingin dengan pemanasan. Juga penting untuk mempertahankan PH Netral 7.
Polusi udara mengganggu efektivitas silia dalam berbagai cara. Nitrogen dioksida dan
sulfur dioksida, komponen lazim dari asam mengganggu kesehatan hidung. Mukus
hidung disamping berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari
udara inspirasi, juga memindahkan panas. Normalnya mukus menghangatkan udara
inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta melembabkan udara inspirasi
dengan lebih dari 1 liter uap setiap harinya. Lapisan mukus, disamping menangkap
dan mengeluarkan partikel lemah, juga merupakan sawar terhadap alergen, virus,
bakteri. Walaupun organisme hidup mudah dibiak dari segmen hidung anterior, sulit
untuk mendapat suatu biakan postnasal yang positif. Lisozim yang terdapat pada
lapisan mukus, bersifat destruktif terhadap dinding sebagian bakteri. Fagositosis aktif
dalam membran hidung merupakan bentuk proteksi di bawah permukaan. Membran
sel pernafasan juga memberikan imunitas induksi selular. Sejumlah immunoglobulin
dibentuk dalam mukosa hidung, sebagian oleh plasma yang normal terdapat dalam
jaringan tersebut. Sesuai kebutuhan fisiologik, telah diamati adanya Ig G, Ig A, dan Ig
E. Indra penghidu Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai bagian ini denagn cara difusi dengan palut
lender atau bila menarik nafas dengan kuat. Bila kita ingin mengenali suatu bau,
biasanya kita mengendus yaitu menambah tekanan negative guna menarik aliran
udara yang masuk ke area olfaktorius. Pada sumbatan hidung yang patologis, pasien
sering mengeluh anosmia sebelum mengemukakan bahwa ia juga bernafas lewat
mulut. Lebih lanjut kita membedakan berbagai makanan lewat rasa dan bau, keluhan
pasien dapat pula berupa makanan tidak pas rasanya. Resonansi suara Resonansi oleh
hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar suara sengau-
sengau (rinolalia). Proses bicara Hidung membantu proses kata-kata. Kata dibentuk
oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng)
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
Secara umum, bicara yang abnormal akibat perubahan rongga-rongga hidung dapat
digolongkan sebagai hipernasal atau hiponasal. Hipernasal terjadi bila insufisiensi
velofaringeal menyebabkan terlalu banyak bunyi beresonansi dalam rongga hidung.
Pasien – pasien palatoskisis yang tidak diperbaiki secara khas mewakili gangguan
bicara ini. Hiponasal timbul bila bunyi-bunyi yang normalnya beresonansi dalam
rongga hidung menjadi terhambat. Sumbatan hidung dapat menimbulka kelainan ini
dengan berbagai penyebab seperti infeksi saluran pernafasan atas, hipertrofi adenoid,
atau tumor hidung. Reflek nasal Mukosa hidung merupakan reseptor reflek yang
berhubungan dengan saluran cerna , kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi
mukosa hidung menyebabkan reflek bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah
lebih 37°C.
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh :
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran
udara.
7. Refleks nasal
atap rongga hidung terdapat olfactory epithelium yang sangat sensitif terhadap
molekul-molekul bau, karena pada bagian ini ada bagian pendeteksi bau (smell
receptors). Reseptor ini jumlahnya sangat banyak ada sekitar 10 juta. Ketika partikel
bau tertangkap oleh reseptor, sinyal akan di kirim ke the olfactory bulb melalui saraf
olfactory. Bagian inilah yang mengirim sinyal ke otak dan kemudian di proses oleh
otak, bau apakah yang telah tercium oleh hidung kita, apakah itu harumnya bau sate
c. Sinus etmoid
d. Sinus sphenoid
Terletak dalam os sphenoid di belakang sinus etmoid posterior. Batas-
batasnya: sebelah superior adalah fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferior adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan fosa serebri
posterior di daerah pons.
2. 7 Disfungsi pembauan
Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di
sepanjang jalur olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan
pendengaran yaitu berupa defek konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif
(transport) terjadi gangguan transmisi stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius.
Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang lebih sentral.
Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama adalah penyakit pada
rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas karena
virus; dan trauma kepala.
1. Defek konduktif
a. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan.
Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe,
termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain).
Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa yang progresif dan
seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan
intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.
b. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi
aliran odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling
sering), inverting papilloma, dan keganasan.
c. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat
menyebabkan obstruksi.
d. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia karena
berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak
dengan trakheotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam
jangka waktu yang lama kadang tetap menderita gangguan pembauan meski telah
dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak adanya stimulasi sistem
olfaktorius pada usia yang dini.
2. Defek sentral/sensorineural
a. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi
sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel),
sarkoidosis (mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis
multipel.
b. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome
ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan
hipogonadisme hipogonadotropik. Salahsatu penelitian juga menemukan bahwa
pada Kallman syndrome tidak terbentuk VNO.
c. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada
fungsi pembauan.
d. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan
regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan
mengakibatkan anosmia.
e. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan
sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan
senyawa yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin,
bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung.
f. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi
pembauan.
g. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.
Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena
berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi
proses kognitif di susunan saraf pusat.
h. Proses degeneratif, pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer
disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus
Alzheimer disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama
dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi
pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana penurunannya nampak
paling menonjol selama usia dekade ketujuh. Walau dahulu pernah dianggap
sebagai defek konduktif murni akibat adanya edema mukosa dan pembentukan
polip, rhinosinusitis kronik nampaknya juga menyebabkan kerusakan neuroepitel
disertai hilangnya reseptor olfaktorius yang pemanen melalui upregulated
apoptosis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita tarik beberapa kesimpulan yaitu. Alat indra
merupakan organ yang berfungsi untuk menerima jenis rangsangan tertentu. Alat
indera manusia diantaranya ada mata ( indera penglihatan), telinga ( indera
pendengaran), kulit ( indera peraba ), lidah ( indera pengecap ) dan hidung ( indera
pembau). Bagian-bagian indra penciuman terdiri dari lubang hidung, batang hidung,
rongga hidung yang terdiri dari : rambut hidung, dan lapisan lendir.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis mengharapkan kepada para pembaca
setelah membaca, mempelajari serta memahami seluruh isi makalah ini dapat
menerapkan dalam lingkungan masyarakat.Seorang pemula dalam menulis
mengalami berbagai kesulitan dalam menuangkan fikirannya dalam bentuk coretan,
dengan membaca makalah ini penulis mengharapkan pembaca mudah dalam
menuangkan fikirannya dalam bentuk tulisan. Untuk penulis, saran yang ingin
disampaikan adalah, lakukan penulisan dengan objektif dan gunakan bebagai macam
referensi yang ada agar tulisan benar-benar terbukti validitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adams Boeis Higler. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta 1997.
Boeis, Higler, Priest. Fundamental of Otolaryngology, “ A textbook of Ear, Nose, and Throat
Disease”, fourth Edition. Dr.H.Efiaty Soepardi, Sp.THT dan Prof.Dr.H.Nurbaiti
Iskandar,Sp.THT. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi
ke Lima, Balai penerbit FKUI, Jakarta. 2002.