Anda di halaman 1dari 13

EFEKTIVITAS LARANGAN PENGGUNAAN BAHASA GAUL

TERHADAP KENYAMANAN BERKOMUNIKASI

Fundra Rangga
2110611256
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pembangunan Veteran Jakarta

ABSTRAK
Bahasa gaul, apa sih itu bahasa gaul? Dan bagaimana cara kita
menggunakannya dengan tepat ,agar lawan bicara kita nyaman ketika berbicara
dengan kita? Karena tidak semua orang suka atau nyaman ketika berbicara
menggunakan bahasa gaul, atau mendengarkan orang berbicara kepadanya
dengan menggunakan bahasa tersebut.
Sebenarnya bahasa gaul atau bahasa prokem sudah lama muncul di Indonesia,
yaitu sekitar tahun 1980 – an dan seiring perkembangan zaman bahasa gaul
memiliki banyak arti atau makna yang semakin luas, sehingga menimbulkan
keresahan terhadap sebagian orang yang tidak mengerti apa itu artinya.
Namun kebanyakan orang terutama kalangan anak muda lebih menyukai
menggunakan bahasa gaul, karena menurut mereka itu lebih asik dan membuat
mereka nyaman dalam berkomunikasi satu sama lain. Tetapi tidak banyak juga
sebagai orang yang tidak mengerti apa itu bahasa gaul, mereka lebih sering dan
suka menggunakan bahasa baku Indonesia yang sudah ada jelas di KBBI dan
kita sebagai orang yang bijak tidak bisa memaksa orang yang tidak menyukai
tersebut untuk menggunakan bahasa gaul yang dia tidak mengerti.
Kita juga harus menyesuaikan dengan siapa lawan bicara kita, dan di mana kita
berbicara ketika menggunakan bahasa gaul tersebut. Intinya, jika lawan bicara
kita menyukai dan sering serta mengerti apa itu bahasa gaul kita boleh
berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa tersebut. Tetapi, jika lawan
bicara kita sama sekali tidak tahu apa itu bahasa gaul dan dia risih ketika
berkomunikasi dengan seseorang yang menggunakan bahasa tersebut sebaiknya
kita tidak menggunakannya, lebih baik kita menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti saja dan familiar agar lawan bicara kita nyaman ketika mengobrol
dengan kita.
PENDAHULUAN
Bahasa Gaul atau bahasa Indonesia gaul adalah laras informal dari bahasa
Indonesia yang muncul pada dekade 1980-an dan berkembang hingga saat ini.
Dasar bahasa gaul adalah bahasa Betawi. Bahasa ini mulanya digunakan di
wilayah Jakarta, tetapi lambat laun tersebar ke seluruh Indonesia melalui media
massa, khususnya televisi dan internet. Bahasa ini menggantikan bahasa prokem
yang sebelumnya ramai digunakan pada 1970-an. Selain meneruskan pengaruh
sejumlah kosakata bahasa prokem, ragam bahasa Indonesia gaul ini juga
menerima pengaruh dari bahasa Binan dan bahasa daerah.
Menurut Ben Anderson, bahasa Indonesia berkembang ke dua arah yang
berbeda, yakni bahasa Indonesia baku dan bahasa Indonesia gaul. Ia
mengibaratkan bahasa baku sebagai bahasa krama yang “tinggi” dan bahasa
gaul sebagai bahasa ngoko yang “rendah”. Bahasa Indonesia yang “rendah” ini
mengambil banyak pengaruh dari Bahasa Betawi. Penjenjangan bahasa yang
diglosik ini sesungguhnya merupakan penggunaan dua dialek yang berbeda dari
satu bahasa induk, yaitu bahasa Melayu.
Pengaruh bahasa Betawi terhadap bahasa gaul tidak terlepas dari kehadiran
bahasa ini dalam beragam saluran budaya populer Indonesia. Terpaparnya
masyarakat Indonesia dengan tayangan-tayangan berbahasa Betawi pada 1970-
an menjadi salah satu faktor yang mendukung perkembangan dan penggunaan
bahasa gaul secara nasional. Salah satu karya yang paling berkontribusi adalah
film-film Benyamin Sueb yang mengangkat budaya dan bahasa Betawi sebagai
bagian dari budaya populer nasional.
Pada 1990-an, karya perfilman penting lainnya yaitu Si Doel Anak Sekolahan
yang juga dibawakan dengan bahasa Betawi. Bahasa Betawi di sini kemudian
bukan lagi milik orang Betawi saja, melainkan telah menjadi ekspresi
kebahasaan bagi orang-orang Jakarta secara umum, terlepas dari suku mana
mereka berasal. Banyak orang keliru menyamakan antara bahasa Betawi dan
“bahasa gaul” Jakarta karena kedekatan keduanya.
Bahasa Betawi dan bahasa gaul merupakan dua bahasa yang berbeda dan
memiliki identitas penutur yang berbeda pula. Dikatakan bahwa orang Betawi
di Jakarta mampu beralih dari bahasa Betawi ke bahasa gaul ketika berhadapan
dengan penutur non-Betawi. Hal ini menandakan adanya batasan dan perbedaan
antara keduanya sekalipun merupakan bahasa yang berdekatan.
Meski bahasa gaul menggantikan bahasa prokem, bahasa prokem masih
memberikan pengaruh signifikan bagi perbendaharaan bahasa gaul. Awal mula
bahasa prokem dapat ditelusuri hingga paruh kedua dasawarsa 1950-an yang
banyak dituturkan di kalangan bramacorah, preman dan anak jalanan. Pada
dasawarsa berikutnya, bahasa prokem mulai populer di kalangan pemuda
perkotaan ibukota. Puncaknya terjadi pada tahun 1970-an ketika Teguh Esha,
seorang pengarang dan wartawan, menerbitkan novelnya Ali Topan Anak
Jalanan (1972) dan sekuelnya Ali Topan Detektip Partikelir (1973) yang
digandrungi kalangan muda waktu itu. Dalam novelnya, Teguh Esha
melampirkan senarai kosakata bahasa prokem yang dapat digunakan selayaknya
kamus. Film populer seperti Catatan Si Boy juga semakin membuat bahasa
prokem-bahasa gaul dikenal secara nasional.
Pada 1980-an hingga 1990-an, ragam bahasa non-baku yang agak berbeda
mulai digunakan oleh kalangan kelas menengah Jakarta. Bahasa ini kemudian
diberi nama ‘bahasa gaul’. Sementara itu, unsur-unsur bahasa prokem mulai
melebur ke dalam perbendaharaan bahasa gaul. Di sisi lain, bahasa Binan yang
dituturkan oleh kalangan pria homoseksual dan waria juga menyumbangkan
pengaruh besar terhadap bahasa gaul nasional. Pasca berakhirnya Orde Baru,
meresapnya bahasa Binan ke bahasa Indonesia gaul didorong dari tampilnya
bahasa ini di berbagai media massa, khususnya televisi. Terbitnya Kamus Gaul
oleh Debby Sahertian yang memuat perbendaharaan bahasa Binan juga
merupakan lompatan besar yang kian mendorong masuknya banyak kosakata
Binan ke dalam perbendaharaan bahasa gaul di tataran nasional.
Bahasa gaul menjadi umum digunakan di berbagai lingkungan sosial bahkan
dalam media-media populer seperti TV, radio, dan dunia perfilman nasional.
Seringkali pula bahasa gaul digunakan dalam bentuk pengumuman-
pengumuman yang ditujukan untuk kalangan remaja oleh majalah-majalah
remaja populer. Bahasa gaul kemudian menjadi hal tidak terpisahkan dari
budaya pop Indonesia dan identitas pemuda perkotaan di Indonesia. Karena
jamaknya, bahasa gaul (di samping bahasa daerah masing-masing) merupakan
bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi lisan oleh setiap orang dalam
kehidupan sehari-hari di Indonesia, kecuali untuk keperluan formal atau acara
resmi. Karena itu pula, seseorang mungkin akan merasa canggung untuk
berkomunikasi secara verbal dengan orang lain menggunakan bahasa Indonesia
formal.
Bahasa gaul bukanlah bahasa Indonesia baku meskipun bahasa ini digunakan
secara luas dalam kehidupan sehari-hari orang Indonesia. James Sneddon,
bahasawan yang dikenal dengan penelitian terhadap bahasa Indonesia,
mengungkapkan adanya gejala diglosia terhadap bahasa Indonesia. Ragam
bahasa tinggi ditempati oleh bahasa Indonesia baku yang telah memiliki
standardisasi, sedangkan ragam bahasa rendah ditempati oleh bahasa gaul
Jakarta yang hingga saat ini tidak memiliki standardisasi.
Gejala penjenjangan bahasa Indonesia ini oleh Ben Anderson disebut sebagai
gejala kramanisasi. Bahasa Indonesia yang mulanya egaliter karena tidak
mengenal tingkatan bahasa, perlahan berubah menjadi bahasa yang terbagi
menjadi dua laras, yakni bahasa krama yang “halus” dan bahasa ngoko yang
“kasar”. Bahasa Indonesia baku diandaikan sebagai bahasa krama yang tinggi,
sopan dan formal, sedangkan bahasa gaul Jakarta diandaikan sebagai bahasa
ngoko yang apa adanya, lugu, dan santai.
Batas antara bahasa baku dan bahasa gaul tidak selalu kentara. Ada kalanya
dalam suasana semi-formal, unsur-unsur bahasa gaul muncul dalam sebuah
pembicaraan berbahasa baku. Misalkan dalam sebuah presentasi yang dihadiri
oleh mitra kerja seumuran, pembicaraan mungkin hampir sepenuhnya dilakukan
dalam bahasa baku, tetapi unsur bahasa gaul kadang akan muncul pada
beberapa bagian supaya pembicaraan tidak terkesan terlalu kaku.
Sebaliknya, unsur bahasa baku dapat juga hadir dalam pembicaraan santai
berbahasa gaul. Hal ini berlaku selayaknya sebuah kontinum bahasa,
penuturnya bisa memilih untuk berbicara pada titik mana antara ujung ekstrem
bahasa baku dan ujung ekstrem bahasa gaul. Hal ini bergantung sepenuhnya
pada pilihan pribadi penutur dalam menghadapi sebuah situasi sosial. Dalam
tulisan bahasa baku, umumnya unsur-unsur bahasa gaul ditulis miring
sebagaimana menulis unsur bahasa asing seperti bahasa Inggris. Ada kalanya,
penulis juga menyertakan terjemahan atau padanannya dalam bahasa baku.
Pemerintah melalui Badan Bahasa sering kali melarang atau tidak
menganjurkan penggunaan bahasa gaul, dan mempromosikan bahasa Indonesia
baku atau bahasa baku yang baik dan benar sebagai satu-satunya ragam bahasa
Indonesia yang sah. Bahasa baku merupakan bahasa utama yang disokong
pemerintah untuk penyelenggaraan pemerintahan, pendidikan, media massa,
sastra, administrasi, dan hukum di Indonesia. Hal ini membuat bahasa Indonesia
baku dianggap sebagai bahasa yang mekanis dan birokratis, kadang juga dikritik
sebagai bahasa yang tidak punya jiwa atau tidak kaya rasa yang berjarak dengan
penuturnya.

Meskipun demikian pada tahun 1980-an, Anton Moeliono, mantan Kepala


Badan Bahasa dan salah satu tokoh kunci pengembangan bahasa Indonesia,
pernah mengakui secara pribadi tentang pentingnya bahasa gaul di samping
bahasa baku. Ia menyadari bahwa bahasa Indonesia baku tidak memiliki ragam
percakapan sehari-hari, sehingga bahasa gaul atau bahasa Jakarta dapat mengisi
kekosongan ini. Ia juga menghendaki bahwasanya bahasa Jakarta sebaiknya
tidak hanya digunakan di wilayah Jakarta saja, melainkan juga di berbagai
wilayah lain di Indonesia sebagai bahasa percakapansehari-hari antara orang
Indonesia. Pendapat senada juga datang dari Harimurti Kridalaksana, seorang
pakar bahasa dan sastra Indonesia, yang menyarankan pendekatan lebih positif
terhadap bahasa gaul dan mengakui potensi penggunaan bahasa gaul dan bahasa
baku yang melengkapi satu sama lain.
Bahasa Indonesia ragam gaul adalah bahasa pertama yang diajarkan kepada
anak-anak dalam keluarga penutur bahasa Indonesia. Orang tua tidak berbicara
dalam bahasa baku di rumah. Penguasaan bahasa Indonesia baku baru terjadi
ketika anak mempelajarinya di sekolah. Karena utamanya penguasaan bahasa
Indonesia baku terjadi dalam ranah pendidikan formal, orang yang tidak
mengenyam pendidikan atau tidak sepenuhnya turut serta dalam pendidikan
menjadi kesulitan menggunakan bahasa Indonesia baku. Tak jarang peserta
didik merasa kebingungan karena bahasa Indonesia yang mereka dapatkan di
sekolah (bahasa baku) dengan yang mereka jumpai sehari-hari (bahasa gaul)
cukup berbeda.
Bahasa gaul yang tidak terasosiasi dengan pendidikan formal di Indonesia
mengakibatkan pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing sedikit atau
sama sekali tidak menyertakan bahasa gaul. Bahasa gaul dianggap menyimpang
dari bahasa baku yang baik dan benar. Buku-buku kursus bahasa Indonesia pun
kebanyakan tidak mengajarkan laras bahasa gaul. Hal ini sering kali membuat
bingung orang asing yang sedang mempelajari bahasa Indonesia. Pertanyaan
semacam “Mengapa di kelas saya diajari ‘lelah’, tetapi orang-orang yang saya
temui menggunakan kata ‘capek’?” mungkin lumrah ditemui dalam kelas-kelas
bahasa Indonesia untuk penutur asing. Tidak jarang, meski telah menguasai
bahasa Indonesia (baku), penutur asing tetap kesulitan berkomunikasi dengan
orang Indonesia di lapangan yang sehari-harinya menggunakan bahasa gaul.
Pendapat ini diperkuat oleh André Möller, pemerhati bahasa Indonesia
berkebangsaan Swedia, yang menyatakan bahwa salah satu kesulitan penutur
asing dalam mempelajari bahasa Indonesia adalah perbedaan antara bahasa
resmi (bahasa baku) dan bahasa sehari-hari (bahasa gaul). Perbedaan ini sangat
kentara sehingga terkadang terasa seperti dua bahasa yang berlainan.

Dari sebuah wawancara semi-terstruktur yang dilakukan terhadap 11 siswa


BIPA UPI tahun ajaran 2013-2014 dari 6 negara yang berbeda (Australia,
Jepang, Korea Selatan, Thailand, Tiongkok, dan Vietnam) didapati bahwa
mayoritas siswa menganggap pengajaran bahasa gaul dapat menunjang
keterampilan bahasa Indonesia mereka. Para siswa merasa bahasa gaul adalah
bahasa komunikasi utama dalam percakapan sehari-hari di luar kelas. Selain itu,
pengajaran tentang perbedaan penggunaan bahasa baku dan bahasa gaul dalam
berbagai situasi sosial juga dianggap penting.
Dalam era globalisasi yang berkembang pesat saat ini tentu saja banyak
berdampak pada bahasa atau alat komunikasi lisan. Terutama bahasa Indonesia
yang menjadi bahasa nasional Negara Indonesia. Dengan jumlah penduduk
yang banyak mengakibatkan Bahasa Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh
era globalisasi. Baik pengaruh secara positif maupun pengaruh negatif.
Dampak positif globalisasi terhadap bahasa Indonesia :
1. Bahasa Indonesia mulai dikenal oleh dunia internasional. Terbukti ada
beberapa Universitas di luar negeri yang mempunyai fakultas Sastra
Bahasa Indonesia. Karena menurut mereka negeri kita ini adalah negeri
yang subur dan kaya raya. Yang mempunyai bermacam-macam budaya,
flora-fauna, serta potensi-potensi lainnya.
2. Meningkatnya pengetahuan masyarakat internasional tentang Bahasa
Indonesia.
3. Meningkatnya terjemahan buku-buku ke dalam Bahasa Indonesia.
Dampak negatif globalisasi terhadap bahasa Indonesia :
1. Masyarakat Indonesia tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar atau lebih sering menggunakan bahasa Indonesia populer.
Banyak masyarakat yang lebih bangga dan membangga-banggakan
menggunakan bahasa negeri orang lain. Atau malah mencampur-campur
bahasa Indonesia dengan bahasa asing.
2. Berkurangnya minat generasi muda untuk mempelajari Bahasa Indonesia.
Generasi muda cenderung untuk lebih menyukai sesuatu yang modern
atau maju. Dengan masuknya budaya-budaya asing dan bahasanya tentu
lebih menarik
3. Bagi sebagian besar generasi muda untuk dipelajari.
4. Bercampurnya Bahasa Indonesia dengan bahasa-bahasa asing. Hal ini
sering terjadi di masyarakat, baik secara lisan maupun tulisan-tulisan such
like (short message servis) dan di dunia maya.

METODE
Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan penelitian kualitatif, alasan
diambilnya metode ini adalah karena dalam penelitian ini dipelajari fenomena
bahasa di masyarakat, khususnya kaum milenial. Hasil pengamatan yang telah
dilaksanakan kemudian diberi penguatan-penguatan dengan studi pustaka dari
penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Penyempurnaan bahasa
referensi tersebut dapat membuat hasil penelitian terkait dengan dituasi aktual
yang terjadi di masyarakat dalam penerapan bahasa Indonesia yang baik sesuai
konteks dan sesuai kaidah.

Sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah tindakan dan kata-kata. Selain
itu, data yang didapatkan diperoleh dari dokumen, arsip, dan lain-lain. Data
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah objek penelitian, yaitu kenyataan
yang digunakan dalam proses penelitian meliputi persiapan, pertanyaan dalam
bentuk angket dan kajian-kajian yang berkaitan dengan karya ilmiah yang kami
buat. Berbagai perilaku dan interaksi objek penelitian harus diperhatikan, dan
apa pun data yang dikumpulkan akan mempengaruhi hasil akhir penelitian.
Sampel atau objek penelitian yaitu mahasiswa semester 1 UPNVJ. Dalam
penelitian ini objek penelitian yaitu kenyataan yang digunakan kedalam proses
penelitian meliputi persiapan melalui pertanyaan dalam bentuk angket.

Ada banyak jenis sampel sebagai referensi untuk penelitian ini. Sampel atau
objek penelitian yaitu mahasiswa UPNVJ’21. Penggunaan bahasa gaul tidak
menimbulkan ancaman serius bagi penggunaan bahasa Indonesia, karena bahasa
gaul akan tumbuh seiring dengan perkembangan masa remaja. Seiring dengan
perkembangan zaman, bahasa akan terus mengalami perubahan dan
pembaharuan. Di masa depan, bahasa gaul mungkin benar-benar menjadi
bagian dari bahasa Indonesia. Kepanikan memang selalu terjadi, namun yang
harus di jaga yaitu bagaimana kita menggunakan bahasa dengan bijak sesuai
konteks dan lokasinya sehingga tetap menjaga batas-batasnya.
Pada penelitian ini, kami melakukan teknik analisis data dengan pendekatan
penelitian kualitatif yang terdapat tiga tahap analisis didalam-nya. Dengan
Reduksi data, data display Serta kesimpulan. Kami akan menjelaskan langkah-
langkah dengan rinci teknis analisis data pada penelitian kami sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Dalam tahap reduksi data, data yang telah di peroleh akan di rangkum
secara teliti dan rinci. Dengan demikian data yang sudah direduksi akan
memberikan ilustrasi atau gambaran yang jelas, serta memudahkan
analisis pengumpulan data dan memahami data yang sudah diperoleh.

2. Penyajian Data (data display)

Langkah selanjutnya sesudah mereduksi data ialah menyajikan data.


Dalam penelitian kualitatif, penyajian data dapat diperoleh dalam bentuk
grafik, tabel dan sejenisnya. Melalui penyajian data, maka bisa tersusun
dalam pola yang berhubungan dan data dapat tersusun dengan rapi serta
akan mudah dipahami.

3. Kesimpulan

Penarikan kesimpulan selama proses penelitian adalah langkah akhir dan


proses pemulihan data setelah mengumpulkan data yang cukup maka
selanjutnya menarik kesimpulan setelah data benar-benar lengkap. Alasan
penulisan memilih metode ini adalah karena penulis ingin menjelaskan
dan mendeskripsikan data yang terkumpul kemudian kompilasi dan
analisis secara sistematis untuk kemudian diambil kesimpulannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan penelitian kualitatif, alasan
diambilnya metode ini adalah karena dalam penelitian ini dipelajari fenomena
bahasa di masyarakat, khususnya kaum milenial. Hasil pengamatan yang telah
dilaksanakan kemudian diberi penguatan-penguatan dengan studi pustaka dari
penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Penyempurnaan bahasa
referensi tersebut dapat membuat hasil penelitian terkait dengan dituasi aktual
yang terjadi di masyarakat dalam penerapan bahasa Indonesia yang baik sesuai
konteks dan sesuai kaidah.
Pada proses melakukan pengumpulan data penelitian, penelitian wawancara
dilakukan dengan bertanya kepada 11 narasumber. Dan untuk memperjelas hasil
wawancara yang telah dilakukan, penelitian menguraikan pemaparan dari
masing-masing narasumber.

•Hasil wawancara pertama peneliti bertanya kepada responden mengenai


“Apakah Anda menggunakan bahasa gaul dalam kehidupan sehari-hari?”.
Hasilnya, sebagian responden menjawab “ya” dan sebagian lain menjawab
“kadang-kadang”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa gaul
sangatlah populer di kalangan masyarakat terutama gen Z dan milenial.

•Hasil wawancara ke dua peneliti bertanya kepada responden mengenai


“Apakah bahasa gaul disebut bahasa tidak sopan?”. Sekitar 60% menjawab
setuju dan 40% menjawab tidak. Jadi, dapat disimpulkan memang bahasa gaul
sangatlah asyik untuk digunakan dalam kehidupan sehari hari tetapi kita harus
bijak dalam pemilihan situasi untuk menggunakan. Dengan siapa lawan
berbicara kita, kita harus tahu. Karena sebagian orang masih menganggap
bahasa gaul adalah bahasa yang tidak sopan.
•Hasil wawancara ke tiga peneliti bertanya kepada responden “Dalam bentuk
apa, yang sering Anda mengekspresikan dan menggunakan bahasa gaul?”.
Kebanyakan dari responden menjawab menggunakan lisan dan tulisan tetapi
ada juga yang hanya menggunakan lisan. Kesimpulannya, penggunaan bahasa
gaul sanggatlah asyik jika digunakan menggunakan lisan dan tulisan, tetapi
mungkin sebagian orang merasa lebih nyaman menggunakannya secara
langsung daripada menggunakan tulisan. Ini lebih ke masalah serela dan
kenyamanan dalam berkomunikasi pribadi masing-masing.
•Hasil wawancara ke empat peneliti bertanya kepada responden mengenai
“Menurut Anda faktor apa yang menyebabkan bahasa gaul sering di gunakan?”.
Semua menjawab, karena bahasa gaul adalah bahasa yang unik dan beda dari
yang lain. Jadi, kesimpulannya karena keunikannya lah bahasa gaul disukai oleh
masyarakat. Mungkin sebagian orang akan merasa lebih percaya diri jika
terlihat beda dari yang lain, karena itu mereka memilih untuk menggunakan
bahasa yang unik yaitu bahasa gaul.

•Hasil wawancara ke lima peneliti bertanya kepada responden mengenai


“Seiring dengan perkembangan zaman, bahasa akan terus mengalami perubahan
dan pertumbuhan. Apakah Anda setuju jika suatu saat bahasa gaul menjadi
bagian dari bahasa Indonesia?”. Dari 11 orang responden, yang menyetujui ada
4 orang dan yang tidak setuju ada 6 orang lalu 1 orang merasa bingung. Dari
semua responden mempunyai alasan yang menarik kenapa mereka setuju dan
tidak. Kesimpulannya, bahasa gaul memanglah dianggap kurang sopan oleh
sebagian orang jika digunakan untuk kebutuhan yang formal. Tetapi, ada juga
sebagian orang yang menganggap bahasa gaul sudah menjadi kebudayaan untuk
Indonesia dan ada juga yang menginginkan terjadinya pergeseran dari bahasa
Indonesia ke bahasa gaul.
PENUTUPAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dibahas pada bab
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa, bahasa gaul adalah bahasa yang sering di
gunakan oleh kalangan mahasiswa. Oleh karena itu bahasa gaul memiliki
dampak yang kuat terhadap perkembangan remaja Indonesia walaupun bahasa
gaul masih di anggap tidak sopan jika penggunaannya pada situasi formal. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan mayoritas mahasiswa menyukai bahasa gaul
karena keunikannya dan sebagian orang lebih merasa nyaman dan lebih percaya
diri dengan berkomunikasi menggunakan bahasa gaul, Teknologi yang semakin
maju adalah salah satu faktor pendukung mahasiswa menggunakan bahasa gaul.
Sebagian orang menganggap bahasa gaul sudah menjadi kebudayaan bahasa
Indonesia tetapi ada juga yang tidak setuju penggunaan bahasa gaul menggeser
penggunaan bahasa Indonesia (Baku).

2. Saran
Pada hasil dari karya ilmiah ini yang membahas bentuk faktor penggunaan
bahasa gaul, bagai mana cara remaja mengekspresikan penggunaan bahasa gaul
dikalangan mahasiswa UPNVJ.
a. Saran Penulis : semoga penelitian ini bisa menjadi referensi untuk
memudahkan penelitian selanjutnya.
b. Saran dunia pendidikan : untuk melakukan suatu penelitian dengan objek
penelitian bahasa, terutama yang membahas tentang bahasa gaul yang menjadi
objek penelitiannya selalu menekankan mendalami kembali teori bahasa untuk
mempermudah penelitian dalam menganalisis data.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, E. Zainal et al. Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggal. Akademika

Pressindo. Jakarta. 2006.

Kuntarto, Niknik M. Cermat Dalam Berbahasa Teliti Dalam Berfikir. Jakarta: Mitra Wacana

Media. Jakarta,2007.

Wibowo, Wahyu et al. Kiat Menulis Artikel Ilmiah Untuk Mahasiswa. Jakarta: Universitas

Esa Unggul. Jakarta, 2013.

Muh. Ali dan Asrori. 2010. Psikologi remaja. Jakarta: Bumi aksara Strauss, Anslem dan

Juliet Corbin, 2009. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-

Teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudaryanto. 1993. Metode dan

Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Saddhono, K. 2012. Pengembangan Buku Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing: Studi

Kasus di Universitas Sebelas Maret (The Development of Indonesian Language

Textbooks for Foreign Students:A Case Studies in Sebelas Maret University) dalam

The 3rd AISOFOLL di Jakarta 30 Oktober -1 November 2012 oleh SEAMEO QITEP.
Soulisa, Irawan. 2018. Penggunaan Bahasa Indonesia Lisan Baik dan Benar dalam Kelompok

Kecil Kalangan Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Victory

Sorong. Jurnal Kredo.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana

Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Pedjosoedarmo. 2015. “Penggunaan bahasa gaul mengkhawatirkan bahasa yang digunakan

oleh remaja” jurnal eprints.undip bab1.

Anda mungkin juga menyukai