Anda di halaman 1dari 33

20

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian Pasien: Sistem Kardiovaskuler

a. Riwayat Keluhan Utama dan Penyakit Saat Ini

Perawat mulai mengkaji riwayat dengan menyelidiki keluhan

utama klien. Pasien diminta menjelaskan dengan bahasanya sendiri

masalah atau alasan mencari bantuan kesehatan. Perawat juga bertanya

pada pasien tentang gejala terkait, termasuk nyeri dada, dispneu, edema

kaki/tungkai, palpitasi dan sinkop, batuk dan hemoptisis, nokturia,

sianosis, dan klaudikasi intermiten (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo,

2011)

1) Nyeri dada

Nyeri dada adalah salah satu gejala paling umum pada pasien

penderita penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu, pertanyaan

tentang nyeri dada adalah salah satu komponen yang penting dalam

wawancara pengkajian. Parameter pengkajian nyeri:

Apakah muncul secara tiba-tiba atau secara bertahap?

(a) P (Faktor yang mencetuskan dan meredakan) : hal apa yang

menyebabkan munculnya nyeri? Apa yang memicu munculnya

nyeri-faktor seperti stress, perubahan posisi, atau pengerahan

tenaga? Apa yang Anda lakukan ketika pertama kali muncul

nyeri? Apa yang membuat nyeri memburuk? Tindakan apa yang

dapat meringankan nyeri? Tindakan apa yang telah Anda coba

selama ini? Tindakan apa yang tidak meringankan nyeri?


21

(b) Q (Kualitas dan kuantitas) : Bagaimana nyeri yang Anda

rasakan? Bagaimana anda menggambarkannya? Seberapa berat

nyeri yang anda rasakan sekarang? Apakah yang anda rasakan

sekarang lebih berat atau lebih ringan dari pada yang anda

rasakan sebelumnya?

(c) R (Lokasi dan penyebaran) : Bagian mana yang terasa nyeri?

Dapatkah anda tunjukkan pada saya? Ketika merasa nyeri,

apakah nyeri itu menyebar misalnya ke lengan bawah ataupun

ke punggung anda?

(d) S (Keparahan) : Dengan skala 1 sampai 10, dan angka 10

menunjukkan nyeri terhebat yang pernah anda rasakan berapa

nilai gejala anda? Sehebat apakah nyeri yang terhebat yang

pernah terjadi? Apakah nyeri itu membuat anda harus berhenti

beraktivitas dan duduk, beraktivitas perlahan atau berbaring?

Apakah nyeri bertambah atau berkurang atau tetap seperti yang

anda rasakan sebelumnya?

(e) T (Waktu) : Berapa lama nyeri berlangsung? Seberapa sering

anda merasakan nyeri ini? Apakah nyeri terjadi ada

hubungannya dengan hal lain, baik itu sebelum, selama, atau

sesudah makan?

2) Dispnea

Dispnea terjadi pada pasien yang menderita abnormalitas paru dan

jantung. Pada pasien penderita penyakit jantung, dispnea merupakan

akibat dari tidak efisiennya pompa ventrikel kiri, yang


22

menyebabkan kongesti aliran darah di paru. Selama pengkajian

riwayat, dispneu dibedakan dari kesulitan napas yang biasa yang

terjadi setelah aktivitas fisik yang berat (misalnya, berlari saat naik

tangga, berlari cepat di tempat parkir). Dispnea adalah keluhan

pasien karena kesulitan napas sebenarnya, bukan sekedar sesak

napas. Perawat menentukan apakah kesulitan bernapas hanya terjadi

saat pengerahan tenaga atau saat istirahat. Jika dispneu terjadi saat

pasien berbaring datar tetapi reda ketika duduk atau berdiri, maka

disebut ortopnea. Jika dispnea ditandai dengan kesulitan bernapas

yang dimulai sekitar 1-2 jam tidur dan reda dengan posisi duduk

atau bangun dari tempat tidur, maka disebut dispnea nocturnal

paroksimal (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011)

3) Edema kaki dan tungkai

Meskipun beberapa masalah lain dapat menyebabkan bengkak pada

kaki atau tungkai pasien, gagal jantung dapat menjadi penyebabnya

karena jantung tidak mengalirkan cairan dengan tepat. Karena

gravitasi meningkatkan gerakan cairan dari ruang intravaskuler ke

ruang ekstravaskuler, semakin siang, edema menjadi semakin parah

dan akan membaik ketika malam hari setelah berbaring untuk tidur.

Pasien atau keluarga mungkin melaporkan bahwa sepatutnya tidak

muat lagi, kaos kaki yang awalnya telalu longgar sekarang menjadi

terlalu ketat, dan bekas pada kaos kaki lebih lama hilang. Perawat

harus menanyakan tentang saat terjadinya edema (misalnya, hilang


23

dengan meninggikan tungkai sesaat atau dengan tetap meninggikan

tungkai) (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011).

4) Palpitasi dan sinkop

Palpitasi adalah kesadaran akan tidak teraturnya atau cepatnya

denyut jantung. Pasien mungkin mengatakan loncatan denyut,

sibuknya jantung atau gedebug yang keras. Perawat bertanya

tentang awitan dan durasi palpitasi, termasuk gejala, dan beberapa

faktor pencetus yang dapat diingat pasien atau keluarganya. Karena

aritmia jantung mungkin mengganggu aliran darah ke otak, perawat

menanyakan tentang adanya pusing, pingsan, atau sinkop yang

menyertai palpitasi (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011).

5) Batuk dan hemoptasis

Abnormalitas yang terjadi seperti gagal jantung, emboli paru, atau

stenosis mitral dapat menyebabkan batuk atau hemoptisis. Perawat

bertanya pada pasien tentang adanya batuk dan menanyakan tentang

kualitas (basah atau kering) dan frekuensi batuk (kronis atau

kadang-kadang, hanya ketika berbaring atau setelah beraktvitas).

Jika batuknya berdahak, perawat mencatat warna, konsistensi dan

jumlah dahak yang dikeluarkan. Apabila pasien melaporkan adanya

dahak berdarah (hemoptisis), perawat menanyakan apakah bercak

darah, dahak berdarah berbusa, atau dahak darah (terang atau gelap)

(Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011).

6) Nokturia
24

Ginjal yang mendapat perfusi yang tidak adekuat oleh jantung yang

tidak sehat selama sehari mungkin akhirnya menerima perfusi yang

cukup selama istirahat pada malam hari sehingga meningkatkaan

haluarannya. Perawat menanyakan tantang frekuensi berkemih pada

malam hari. Jika pasien mengkonsumsi diuretik, perawat juga

mengevaluasi frekuensi berkemih yang berhubungan dengan waktu

konsumsi diuretic pada siang hari (Morton, Fontaine, Hudak, &

Gallo, 2011).

7) Sianosis

Sianosis menggambarkan status oksigenasi dan sirkulasi pasien.

Sianosis sentral adalah sianosis secara menyeluruh dan dapat dikaji

dengan melihat perubahan warna dan menggelapnya membran

mukosa, dan menggambarkan penurunan konsentrasi oksigen.

Sianosis perifer adalah sianosis yang terjadi pada ekstremitas dan

bagian tubuh yang menonjol (tangan, kaki, hidung, telinga, bibir)

dan menggambarkan gangguan sirkulasi (Morton, Fontaine, Hudak,

& Gallo, 2011).

8) Klaudikasi Intermite

Klaudikasi terjadi ketika suplai darah ke otot yang sedang bekerja

tidak mencukupi. Penyebab kaludikasi biasanya obstruksi

aterosklerotik yang signifikan ke ekstremitas bawah. Tungkai

mengalami gejala pada saat istirahat kecuali terjadi obstruksi berat.

Suplai darah ke kaki tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme pada saat latihan, dan mengakibatkan nyeri iskemik.


25

Pasien mengatakan keram, kaku kejang, sakit atau kelemahan pada

kaki, betis, paha atau bokong yang meningkat pada saat istirahat.

Pasien harus diminta untuk menggambarkan keparahan nyeri dan

seberapa besar pengerahan tenaga yang dapat menimbulkan nyeri

(Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011).

b. Riwayat Kesehatan Sebelumnya

Ketika mengkaji riwayat kesehatan pasien sebelumnya, perawat

menanyakan penyakit pada masa kanak-kanak seperti demam rematik

dan penyakit sebelumnya seperti pneumonia, tuberculosis,

tromboflebitis, emboli paru, infark miokard, diabetes mellitus, penyakit

tiroid, atau nyeri dada. Perawat juga menanyakan tentang pemajanan

terhadap kardiotoksik di lingkungan kerja. Terakhir, perawat mencari

informasi tentang bedah jantung atau bedah vaskuler dan setiap

pemeriksaan atau intervensi terhadap jantung yang pernah dilakukan

(Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011).

c. Status Kesehatan Saat Ini dan Faktor Resiko

Sebagai bagian pengkajian riwayat kesehatan perawat menanyakan

pada perawat tentang penggunaan obat, vitamin, jamu yang diresepkan

atau di beli di warung. Penting untuk menanyakan pada pasien tentang

alergi obat, alergi makanan, atau setiap reaksi alergi sebelumnya

terhadap bahan kontras. Perawat juga menanyakan tentang penggunaan

tembakau, obat atau alkohol. Perawat juga bertanya kebiasaan makan

termasuk asupan makanan harian, pembatasan diet atau suplemen diet,

dan atau asupan makanan atau minuman yang mengandung kafein. Pola
26

tidur dan olahraga pasien, dan aktivitas waktu luang juga harus

ditanyakan. Pengkajian faktor resiko penyakit kardiovaskuler adalah hal

yang penting dalam pengkajian riwayat. Faktor resiko digolongkan

sebagai faktor resiko utama yang tidak dapat dikontrol; faktor resiko

utama yang dapat dimodifikasi, diubah, atau dikontrol, dan faktor resiko

yang berkontribusi (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011).

d. Riwayat Keluarga

Perawat menanyakan tentang usia dan kondisi kesehatan, atau usia

dan penyebab kematian, anggota keluarga terdekat, termasuk orang tua,

kakek-nenek, saudara, anak dan cucu. Perawat menanyakan tentang

masalah kardiovaskuler seperti hipertensi, peningkatan kadar kolestrol,

penyakit arteri koroner, infark miokard, stroke, dan penyakit vaskuler

perifer (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011)

e. Riwayat Sosial dan Personal

Meskipun gejala fisik memberi banyak tanda yang berhubungan

dengan asal dan penyebaran penyakit jantung, riwayat sosial dan

personal juga berperan terhadap status kesehatan pasien. Perawat

bertanya tentang keluarga pasien, suami/istri tau orang lain yang berarti,

dan anak-anak. Informasi tentang lingkungan kehidupan pasien,

rutinitas harian, aktivitas seksual, pekerjaan, pola koping dan keyakinan

kultural dan spiritual berkontribusi terhadap pemahaman perawat

tentang pasien sebagai manusia dan memandu interaksi dengan pasien

dan keluarga (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011).

f. Pengkajian Fisik
27

Pengkajian jantung meliputi pengkajian semua aspek individu

menggunankan langkah standar yaitu inspeksi, palpasi, perkusi dan

auskultsi. Pemeriksaan yang menyeluruh dan hati-hati membantu

perawat mendeteksi abnormalitas yang tidak jelas dengan yang jelas

(Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011)

1) Inspeksi

Penampilan umum : inspeksi dimulai segera setelah perawat dan

pasien berinteraksi. Penampilan umum dan gaya pasien adalah

elemen kunci inspeksi awal. Pengkajian kritis menyatakan kesan

pertama tentang usia, status nutrisi, kemampuan merawat diri,

kewaspadaan dan keseluruhan kesehatan fisik. Penting untuk

mencatat kemampuan pasien untuk bergerak dan berbicara dengan

atau tanpa distress. Pertimbangkan postur, gaya berjalan dan

koordinasi muskoluskeletal.

Distensi Vena Jugular : tekanan vena jugularis menggambarkan

tekanan atrium kanan dan memberi informasi bagi perawat tentang

indikasi hemodinamik jantung dan fungsi jantung. Tingginya kadar

darah di vena jugularis internal kanan adalah indikasi tekanan

atrium kanan karena tidak ada katup atau obstruksi antara venan

dan atrium kanan.

Dada : dada diinspeksi untuk mengetahui tanda trauma atau cedera

kesimetrisan, kontur dada, dan denyutan yang terlohat. Daya

dorong (abnormalitas kekuatan denyutan prekordium) dicatat.


28

Setiap penekanan (eksskavatum sternum) atau penonjolan

prekordium direkam.

Ekstrmitas : inspeksi saksama pada ekstremitas pasien juga dapat

memberi informasi tentang kesehatan kardiovaskuler. Pada

ekstremitass, dikaji lesi, ulkus, luka yang tidak sembuh dan vena

varikosa. Distribusi rambut dikaji. Kurangnya distribusi rambut

yang normal pada ekstremitas mengindikasikan penurunan aliran

darah arteri ke area tersebut.

Kulit : kulit dievaluasi kelembapan dan kekeringan, warna,

elastisitas, edema, ketebalan, lesi, ulserasi, dan perubahan vascular.

Dadar kuku dievaluasi untuk melihat sianosis dan clubbing, yang

dapat mengindikasikan abnormalitas jantung atau paru kronis.

Perbedaan umum pada warna dan suhu antra bagian tubuh dapat

memberikan petunjuk tentang perfusat.

2) Palpasi

Nadi : pengkajian kardiovaskuler dilanjutkan dengan palpasi

menggunakan bantalan jari tangan dan bantalan tangan. Dengan

menggunakan bantalan jari tangan, nadi carotis, brakialis, rasialis,

fermoralis, popliteal, tibia posterior dan dorsalis pedis dipalpasi.

Prekordium : dinding jantung dipalpasi untuk mengkaji titik

maksimal impuls, getaran dan pulsasi abnormal.

3) Perkusi

Dengan kemajuan radiologi berarti evaluasi ukuran dan perkusi

jantung tidak terlalu berperan dalam pengkajian jantung. Akan


29

tetapi, penentuan ukuran jantung dapat dilakukan dengan perkusi

adanya suara pekak yang menunjukkan batas jantung.

4) Auskultasi

Data yang didapatkan dari auskultasi jantung yang cermat dan

menyeluruh merupakan hal penting dalam merencanakan dan

mengevaluasi perawatan pasien sakit kritis. Pada bagian ini. Pada

bagian ini, dibahas prinsip dasar auskultasi jantung yang

mendasari, faktor yang bertanggungjawab menghasilkan suara

jantung normal, dan kondisi patologis yang bertanggung jawab

menghasilkan suara jantung tambahan, murmur dan friction rub.

g. Pemeriksaan Diagnostik

1.    EKG : hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis,

iskemia, dan kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia, misalnya

takikardia, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6

minggu atau lebih setelah infark miokard menunjukan adanya

aneurisma ventrikuler (dapat menyebabkan gagal atau disfungsi

jantung).

2.    Sonogram : dapat menunjukan dimensi pembesaran bilik,

perubahan dalam fungsi/struktur katup atau area penurunan

kontraktilitas ventrikuler.

3.    Scan Jantung : tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan

gerakan dinding.
30

4.    Rontgen dada : dapat menunjukan pembesaran jantung, bayangan

mencerminkan dilatasi/hipertrofi bilik, atau perubahan dalam

pembuluh darah mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal

abnormal, misalnya : pulgus pada pembesaran jantung kiri dapat

menunjukkan aneurisma ventrikel.

5.    Elektrolit : mungkin berubah karena perpindahan cairan/ penurunan

fungsi ginjal, terapi diuretik.

6.    Oksimetri nadi : saturasi oksigen mungkin rendah, terutama jika

gagal jantung kiri akut memperburuk PPOM atau GJK kronis.

7.    AGD : gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik

ringan (dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 akhir

8.    BUN, kreatinin : peningkatan BUN menandakan penurunan perfusi

ginjal, kenaikan baik BUN maupun kreatinin merupakan indikasi

gagal ginjal.

2. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan patofisiologi dan data pengkajian diatas, diagnosis

keperawatan utama mencakup hal-hal sebagai berikut (Standar Diagnosis

Keperawatan Indonesia, 2017).

a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama

jantung

b. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan aliran balik vena,

gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan, kelebihan

asupan natrium, efek agen farmakologis.

c. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas.


31

d. Intoleransi Ativitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara

suplai dan kebetuhan oksigen, tirah baring, kelemahan, gaya hidup

monoton.

3. Intervensi Keperawatan

Berdasarkan diagnosa yang telah ditetapkan, maka intervensi yang akan

dilakukan (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, 2017)

a. Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan perubahan irama

jantung

Tujuan : Tidak terjadi penurunan curah jantung

Kriteria Hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal, CRT dalam

batas normal, bebas gejala gagal jantung, melaporkan penurunan

episode dyspnea

Intervensi :

Observasi

1) Monitor frekuensi dan kekuatan nadi

2) Monitor frekuensi napas

3) Monitor tekanan darah

4) Monitor berat badan

5) Monitor waktu pengisian kapiler

6) Monitor elastisitas atau turgor kulit

7) Monitor jumlah, warna dan berat jenis urine

8) Monitor kadar albumin dan protein total


32

9) Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum,

hematocrit, natrium, kalium, BUN)

10) Monitor Intake dan Output cairan

Terapeutik

1) Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien

2) Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi

1) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

2) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

b. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan aliran balik vena

Tujuan : Tidak terjadi kelebihan volume cairan

Kriteria Hasil : Haluaran urine meningkat, asupan cairan sedang,

edema menurun, tekanan darah membaik,turgor kulit membaik

Intervensi :

Observasi

1) Periksa tanda dan gejala hypervolemia (mis. Ortopnea, dipsnea,

edema, JVP/CVP meningkat, reflkes hepatojugular, suara napas

tambahan)

2) Identifikasi penyebab hypervolemia

3) Monitor status hemodinamik (mis. Frekuensi jantung, tekanan

darah, MAP, CVP, PAP, POMP, CO, CI) jika perlu

4) Monitor intak dan output cairan


33

5) Monitor jemokonsentrasi (mis. Kadar natrium, BUN, hematocrit,

berat jenis urine)

6) Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma (mis. Kadar

protein dan albumin meningkat)

7) Monitor kecepatan infus secara ketat

Terapeutik

1) Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama

2) Batasi asupan cairan dan garam

3) Tinggikan kepala tempat tidur 30-40 derajat

4) Lakukan Contrast Bath, Leg Elevator untuk mengurangi edema

Edukasi

1) Anjurkan melapor jika haluaran urine <0,5ml/kg/jam dalam 6 jam

2) Anjurkan melapor jika BB bertambah >1kg dalam sehari

Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian deuretik

2) Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat deuretik

c. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas,

edema paru

Tujuan : Pola napas kembali efektif

Kriteria : Dispnea menurun, frekuensi napas membaik, eskursi dada

membaik, Penggunaan otot bantu napas menurun


34

Intervensi :

Observasi

1) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

2) Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing,

ronki kering)

3) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Terapeutik

1) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head tilt dan chin lift

(jaw-thrust jika curiga trauma servikal)

2) Posisikan semi fowler atau fowler

3) Berikan minum hangat

4) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

5) Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik

Edukasi

1) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi

2) Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam

Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika

perlu

4. Implementasi
35

Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan

dalam rencana keperawatan. Tindakan mencakup tindakan mandiri dan

tindakan kolaborasi (Tarwoto&Wartonah, 2011).

Pada tahap ini perawat menggunakan kemampuan yang dimiliki

dalam melaksanakan tindakan keperawatan terhadap pasien Congestive

Heart Failure (CHF), berdasarkan intervensi keperawatan yang telah

disusun.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan

perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria

hasil yang di buat pada tahap perencanaan (Hasanudin, M, A. 2018).

Tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui sejauh mana perawatan

dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan

yang diberikan (Tarwoto&Wartonah, 2011).

a. Penurunan Curah Jantung

b. Hipervolemia

c. Pola Napas Tidak Efektif

C. Konsep Oedema

1. Definisi Edema

Edema merupakan pembengkakan yang disebabkan oleh peningkatan

volume cairan di dalam rongga interstisial (Ely et al.,2006). Menurut

Starkey (2004) edema adalah kelebihan cairan pada ruang interstisial


36

akibat ketidakseimbangan tekanan di luar dan di dalam membran sel atau

akibat penyumbatan saluran limfe dan kegagalan mekanisme aliran balik

vena. Menurut Stems (2014) edema adalah suatu pembengkakan yang

terjadi pada organ tubuh, tempat yang paling sering pada kaki dan tangan

(peripheral edema), abdomen (asites) dan pada dada (edema pulmonal).

Jadi edema merupakan suatu kondisi dimana terdapat kelebihan cairan di

dalam rongga interstisial akibat adanya penyumbatan saluran limfe dan

kegagalan mekanisme aliran balik vena.

2. Etiologi

Penyebab edema dikelompokan menjadi empat kategori umum meliputi:

a) Penurunan konsentrasi protein plasma menyebabkan penurunan

tekanan osmotic koloid plasma seperti pada penyakit ginjal, penyakit

hati, makanan yang kurang mengandung protein atau pengeluaran

protein akibat luka bakar.

b) Peningkatan permeabilitas dinding kapiler memungkinkan lebih

banyak (dari biasanya) protein plasma keluar dari kapiler ke cairan

interstisium melalui pelebaran pori-pori kapiler yang dicetuskan oleh

histamin pada cedera jaringan atau reaksi alergi.

c) Peningkatan tekanan vena, ketika darah terbendung di vena, akan

disertai dengan peningkatan tekanan darah kapiler.

d) Penyumbatan pembuluh limfe menimbulkan edema karena kelebihan

cairan yang difiltrasi keluar tertahan di dalam cairan interstisium dan


37

tidak dapat dikembalikan ke darah melalui sistem limfe (Sherwood,

2001).

Sedangkan menurut Ely et al., (2006) penyebab edema kaki adalah

sebagai berikut:

a) Edema unilateral terjadi secara akut (selama kurang dari 72 jam)

disebabkan oleh deep vein thrombosis dan jika kronis disebabkan oleh

venous insufficiency.

b) Edema bilateral biasanya kronis disebabkan oleh venous insufficiency,

pulmonary hypertension, heart failure, idiopathic edema, lymphedema,

menstruasi, kehamilan dan kegemukan.

3. Klasifikasi Edema

Menurut Ely et al., (2006) terdapat 2 (dua) tipe edema pada kaki yaitu:

a) Venous edema berisi cairan dengan viskositas rendah, sedikit protein di

cairan interstitial yang dihasilkan oleh peningkatan filtrasi kapiler yang

tidak dapat ditampung oleh sistem limpatik.

b) Lymphedema berisi protein yang kaya, berada di dalam rongga

cairan interstisial pada jaringan subkutan.

4. Mekanisme Edema

Sejumlah edema dapat terjadi karena mekanisme yang meliputi: kerusakan

jenis dan jumlah sel, perubahan dalam permeabilitas kapiler, perdarahan

primer dan skunder, tekanan gradient yang meningkat dan adanya

mediator inflamasi. Pergerakan cairan melewati membran kapiler terjadi

karena 3 prinsip dasar yang digambarkan oleh Hukum Starling meliputi:


38

a) Tekanan hidrostatik vaskuler dan tekanan osmotik cairan yang

mencegah cairan keluar dari kapiler menuju jaringan sekitar.

b) Tekanan osmotic colloid plasma yang memindahkan cairan dari

jaringan menuju kapiler.

c) The limb’s hydrostatic pressure merupakan tekanan pada kaki yang

dipengaruhi oleh perubahan posisi (Starkey, 2004).

Menurut Kozier (2011) terdapat tiga mekanisme utama yang menyebabkan

terjadinya edema yaitu:

a) Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler.

b) Penurunan tekanan onkotik plasma.

c) Peningkatan permeabilitas kapiler.

Mekanisme utama yang lebih kompleks menyebabkan terjadinya edema

adalah sebagai berikut:

a) Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler.

b) Penurunan tekanan onkotik plasma.

c) Peningkatan permeabilitas kapiler.

d) Obstruksi limpatik.

e) Hipoalbuminemia.

f) Hiperkoagulasi.

g) Refeeding edema.

h) Obat obatan yang menahan natrium (Purnamasari dan Poerwantoro,

2011; Simon 2014).

5. Tipe edema kaki


39

Edema pada kaki dapat dibedakan menjadi beberapa jenis: edema

vena dan lymphedema. Hasil edema vena dari ekstravasasi cairan

interstitial ke ruang interstitial adalah karena meningkatnya tekanan filtrasi

kapiler atau rendahnya tekanan onkotik cairan. Lymphedema terutama

disebabkan oleh terhalangnya limfatik mengalir dan akumulasi kaya

protein cairan interstitial (Simon, 2014).

6. Pengukuran edema

Pengkajian edema secara umum dan pada klien dengan UKD

dilakukan dengan berbagai metode untuk mengukur edema yang telah

teruji validitas dan reliabilitasnya. Menurut Brodovicz et al., (2009)

pengkajian edema perifer meliputi:

a) Pemeriksaan kedalaman dan pemulihan edema meliputi: nilai 0 tidak

ada edema, nilai 1 jika sedikit pitting (kedalaman 2 mm) tanpa

distorsi terlihat, nilai 2 jika agak lebih dalam pit (4 mm), nilai 3 jika

pitting edema terasa lebih dalam (6 mm) dengan ekstremitas

tergantung penuh dan bengkak, dan nilai 4 jika pitting edema sangat

dalam (8 mm).

b) Kuesioner klien berupa pertanyaan-pertanyaan diantaranya apakah

terdapat edema, apakah ada riwayat terjadinya edema dalam

seminggu terakhir, seberapa sering edema tersebut, dan seberapa

parah.

c) Pengukuran lingkar pergelangan kaki dalam sentimeter pada maleolus

medial (Mora, 2002).


40

d) Pengukuran 8 (delapan) tempat pada pergelangan kaki meliputi : (1)

tengah-tengah antara tibialis anterior tendon dan maleolus lateral, (2)

distal untuk tuberositas dari navicular, (3) proksimal ke dasar 5

metatarsal, (4) tibialis anterior tendon, (5) distal ke ujung distal

maleolus medial, (6) Achilles tendon, (7) distal ke ujung distal

maleolus lateral, dan (8) kembali seperti semula.

e) Water displacement yaitu volume kaki diukur dengan menggunakan

pemindahan air pada volumeter yang telah disediakan. Kaki

dimasukan ke dalam volumemeter measuring device, kemudian air

yang berpindah diukur seberapa besar volumenya.

f) Edema tester yaitu menggunakan 7 (tujuh) lubang berdiameter 2

mm–12 mm yang akan ditempelkan pada bagian dalam maleolus,

kemudian diberi tekanan manset 50 mmHg selama 1-3 menit atau 100

mmHg-150 mmHg dalam waktu 3 detik. Ketika manset dikempeskan

maka akan tampak penonjolan tanda-tanda edema pada kulit. Tojolan

kulit dihitung kedalaman dan lama waktu menghilangnya (Cesarone

et al., 1999).

g) Modified Edema Tester

Modifikasi dari edema tester dimana lubang diganti dengan bagian

yang menonjol setinggi 4 mm – 6 mm, kemudian diberikan tekanan

manset sebesar 100 mmHg – 150 mmHg selama 3 detik. Kemudian

waktu kembalinya kulit diukur dalam detik.


41

Menurut Brodovicz et al., (2009) teknik pengukuran edema yang

paling akurat adalah dengan cara water displacement dan circumference

pada pergelangan kaki.

D. Contrast Bath

Contrast Bath juga disebut alrtenating bath adalah perawatan

hidroterapi yang menggunakan air hangat dan air dingin secara bergantian. Air

hangat menimbulkan efek relaksasi, sedangkan air dingin menimbulkan efek

stimulasi. Dengan tujuan sekaligus memanfaatkan kedua efek yang

menguntungkan di atas, diciptakan contrast bath juga dikenal sebutan

alternating bath.

Erica miller (1996) menganjurkan perawatan ini dengan petunjuk umum

yaitu : mandi air dingin harus jauh lebih singkat daripada mandi air panas.

Misalnya satu menit mandi air sangat dingin untuk lima menit air hangat, atau

dua menit air sangat dingin untuk enam menit air hangat, sehingga air sangat

dingin tersebut tidak menggangu fungsi organ tubuh. Terapis spa harus benar-

benar menyadari bahaya contrast bath tersebut, terutama jika suhu air dingin

dan air hangat sangat besar perbedaannya. Di Amerika fasilitas contrast bath

atau alternating bath ini tidak banyak penggemarnya karena dianggap tidak

praktis dan membuang-buang waktu.


42

Gambar 2.1 Contrast Bath

Disisi lain dalam bidang kesehatan khsusnya bidang keperawatan

Contrast bath merupakan perawatan dengan rendam kaki sebatas betis secara

bergantian dengan menggunakan air hangat dan dilanjutkan dengan air dingin.

Dimana suhu dari air hangat antara 36,6-43,3°C dan suhu air dingin antara 10-

20°C. Dengan merendam kaki yang edema dengan terapi ini akan mengurangi

tekanan hidrostatik intra vena yang menimbulkan pembesaran cairan plasma

ke dalam ruang interstisium dan cairan yang bererada di intertisium akan

kembali ke vena. Sehingga edema dapat berkurang (Mcneilus, 2004 dalam

Purwadi, I Ketut Agus Hida, 2015).

E. Konsep Elevasi

1. Definisi

Elevasi merupakan usaha untuk menempatkan kaki lebih tinggi dari

posisi jantung agar didapatkan pengaruh gaya gravitasi bumi dengan

pengangkatan kaki pada sudut 30°, 45°, dan 90° (Starkey, 2004). Elevasi

merupakan upaya penggunaan gaya gravitasi bumi untuk meningkatkan

aliran balik vena dan limfe akibatnya terjadi penurunan tekanan hidrostatik

(Villeco & Otr, 2012). Sudut elevasi yang dianjurkan adalah 30°, 45°, 60°
43

dan 90°. Klien merasakan paling nyaman pada posisi 30° selama 30 menit

(Liaw, 1989).

Elevasi adalah penempatan kaki lebih tinggi dari pada jantung untuk

mendapatkan efek gravitasi yang optimal dengan sudut 30°, 45°, dan 90°

yang dilakukan selama 30 menit sehingga berdampak pada penurunan

tekanan hidrostatik pada akhirnya meningkatkan aliran balik vena dan

limfe.

Kecepatan penurunan sangat dipengaruhi oleh sudut elevasi

semakin besar sudut elevasi, semakin besar tekanan yang diberikan pada

aliran darah dari vena perifer menuju jantung (Liaw MY, 1989;

Wulandari, 2015; Starkey, 2004; Sherwood, 2015). Perbedaan antara

kelompok 30° dengan kelompok kontrol selain dari faktor albumin

disebabkan oleh perbedaan sudut elevasi. Sudut 90° memberikan kekuatan

gravitasi 100%, sementara pada sudut 30° memberikan kekuatan gravitasi

71%. Jika pada sudut 90° akan berefek memberikan tekanan aliran darah

di vena bagian bawah sebesar 90° mmHg, maka dengan melakukan elevasi

30° akan memberikan tekanan ke arah jantung sebesar 90 mmHg x 71 % =

63,9 mmHg (Starkey, 2004).

Selama prosedur elevasi, klien dalam kondisi berbaring dan rileks,

akibat rileks aktivitas pernafasan menjadi teratur. Menurut Sherwood

(2015) akibat aktivitas pernafasan tekanan di dalam rongga dada rata-rata

5 mmHg di bawah tekanan atmosfer. Perbedaan tekanan ini memeras

darah dari vena-vena di bagian bawah menuju ke vena dada, sehingga

aliran balik vena meningkat. Kondisi klien yang nyaman berbaring selama
44

prosedur elevasi, ikut berperanan terhadap meningkatnya venous return.

Kondisi istirahat membuat kerja jantung berada pada kisaran denyut

normal 60-100 kali/menit. Pompa jantung yang normal memberikan efek

pengisian dan cardiac output yang efektif. Tekanan atrium kanan pada

kondisi normal berada di bawah nol atau di bawah tekanan atmosfer. Pada

situasi seperti ini jantung mempunyai kemampuan mengisap darah yang

akan masuk ke atrium kanan dan aliran balik vena menjadi lebih cepat

(Hall, 2014). Elevasi memaksimalkan drainase vena dan menurunkan

tekanan kapiler dan perubahan postural kaki yang dielevasikan akan

meningkatkan aliran vena bagian dalam dan mengurangi tekanan pada

vena (F P Dix, 2005).

Pada uji kenyamanan pemakaian ERLESS dengan sudut elevasi

30° didapatkan nilai p adalah 0.005. Penelitian sebelumnya menyebutkan

untuk kenyamanan sudut yang paling dianjurkan adalah 30° dan dilakukan

selama 30 menit (Liaw, 1989; Collins & Seraj, 2010). Kenyamanan adalah

suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan dasar akan ketentraman. Menurut

Kolcaba meningkatkan kenyamanan diartikan klien jika perawat

memberikan kekuatan, harapan hiburan dukungan dan bantuan (Alligood,

2014).

2. Tujuan

Menurut Frygber (2002) elevasi ekstremitas bawah bertujuan agar

sirkulasi perifer tidak menumpuk di area distal ulkus sirkulasi dapat

dipertahankan. Elevasi ekstremitas bawah dilakukan setelah klien

beraktivitas atau turun dari tempat tidur. Saat turun dari tempat tidur
45

walaupun kaki tidak dijadikan sebagai tumpuan, namun akibat efek

gravitasi menyebabkan aliran darah akan cenderung menuju perifer

terutama kaki yang mengalami ulkus.

Elevasi akan meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi

edema (peningkatan gravitasi) akan membantu mengembalikan pada

sirkulasi sistemik melalui katub vena.

3. Dampak Elevasi Pada Panurunan Edema

Cairan pada system venous return dipengaruhi oleh gravitasi.

Penempatan ekstremitas lebih rendah akan meningkatkan tekanan

hidrostatis kaki, bersamaan pembuluh darah perifer dan dengan kekuatan,

cairan dapat masuk ke jaringan. Ketika ekstremitas ditempatkan pada

posisi elevasi, aliran balik menjadi pasif dimana secara alamiah cairan

mengalir di dalam pembuluh darah. Keefektifan gaya gravitasi

mengembalikan darah ke jantung tergantung dari beberapa faktor sebagai

berikut:

a. Sudut ekstremitas dengan permukaan maksimal efek gravitasi pada

venous return terjadi ketika kaki dengan jantung pada sudut 90°, sudut

ini memberikan kekuatan 100% gaya gravitasi, pada sudut 45°

memberikan kekuatan 71% gaya gravitasi dan pada posisi kaki yang

horizontal (sudut 0°) kekuatan gaya gravitasi adalah 0% (Starkey,

2004).

b. Diameter vena yang kecil meningkatkan resistensi aliran,

meningkatnya diameter vena akan menurunkan resistensi aliran.

Diameter pembuluh darah yang meningkat aliran darah semakin cepat


46

(Irawati, 2010). Usia berpengaruh terhadap diameter vena, semakin

bertambahnya usia, struktur pembuluh darah mengalami perubahan

menebalnya dinding pembuluh darah diikuti menyempitnya diameter

lumen, perubahan fungsi endotel dan kekakuan (Byung & Lee, 2010)

c. Viskositas cairan normalnya adalah konstan, tetapi setelah terjadi

injury, viskositas darah meningkat karena kehilangan plasma yang

masuk ke sekitar jaringan, dan komposisi terlarut jadi lebih besar

dibanding cairan pelarut (Starkey, 2004). Viskositas dipengaruhioleh

kecepatan aliran darah, ketika aliran darah lambat maka viskositas

menjadi tinggi (Irawati, 2010).

Menurut Collins & Seraj (2010) elevasi kaki dapat menurunkan edema,

meningkatkan pengiriman mikrosirkulasi oksigen dan mempercepat

penyembuhan ulkus pada kaki jika dilakukan selama 30 menit, dengan

frekuensi terapi elevasi 3 (tiga) sampai 4 (empat) kali dalam sehari.

F. Konsep Leg Elevator (Edema Reduction Leg Elevator Stainless (ERLESS))

Steel)

1. Definisi

Alat penyangga kaki adalah alat yang digunakan pada klien

mengalami masalah keperawatan excess fluid volume (Heather, 2014).

Kelebihan cairan diakibatkan impaired venous return dengan manifestasi

klinis berupa edema pada kaki klien UKD (Rebolledo et al., 2011).

2. Tujuan Alat

Tujuan penggunaan alat ini adalah meningkatkan aliran balik vena

kaki menuju atrium kanan agar menjadi lebih efektif dengan pengaturan
47

sudut yang menimbulkan efek gravitasi dan meningkatkan kenyamanan

klien melalui penurunan tekanan pada luka.

Gambar 2.2 Leg Elevator

3. Fungsi Yang Diharapkan

a. Alat ini dapat digunakan untuk menyangga kaki klien pada saat

dilakukan perawatan luka klien dengan UKD (elevasi sudut 30°).

b. Menurunkan edema pada klien dengan berbagai kondisi seperti: UKD,

insufisiensi katub vena, fenomena udema hang out pada climber, post

trauma ekstremitas bawah.

c. Terapi off –loading mengurangi tekanan pada area UKD.

d. Menurunkan nyeri.

4. Diskripsi Umum Alat

Alat ini merupakan rancangan teknologi yang didesain oleh peneliti

sendiri untuk mengatasi masalah keperawatan excess fluid volume dengan

mengintegrasikan pemanfaat gaya gravitasi bumi dengan alat penyangga

kaki yang dapat digunakan pada klien saat di tempat tidur. Alat ini

didesain secara portable dan knock down untuk memudahkan pengguna

alat membawa dan menggunakannya di berbagai tempat. Alat ketika


48

melakukan terapi dipasang disamping tempat tidur klien. Gaya gravitasi

bumi dioptimalkan dengan melakukan perubahan posisi ketinggian

tongkat penyangga alat dengan prinsip trigonometri pada sudut 30° dan

45° (Starkey, 2004). Alat dikalibrasi dengan geniometer dan busur derajat

protractor.

5. Bagian-bagian Leg Elevator

Terdiri dari 3 bagian utama:

a. Pengait/fixasi ERLESS

Pengait alat ini dapat disetel sesuai ketebalan tepi ranjang pasien.

Pengait alat dilengkapi dengan screw dan penampang screw untuk

memegang saat menyetel fixasinya, sehingga batang atau badan alat

penyangga dapat menempel pada tepi tempat tidur.

b. Tongkat penyangga kaki

Bagian ini terdiri dari penyangga yang menempel pada screw fixasi

yang menempel pada ranjang, bagian batang yang bisa di atur

ketinggiannya, setelah sesuai setelannya maka dikunci dengan screw

pengunci yang ada handle untuk memegang/memutar saat dikunci.

Bagian yang lain adalah tongkat yang berhubungan langsung dengan

penyangga kaki.

c. Penyangga kaki

Bagian ini berupa penampang panjang seperti pipa berbentuk setengah

lingkaran dimana tempat untuk meletakan kaki dengan panjang

penyangga dari tumit sampai bagian paha bokong klien. Bagian ini

dilengkapi dengan restrain yang menfixasi kaki saat disangga.


49

d. Bahan dan Ukuran Alat

1) Pengait 12 cm dengan terdapat 2 screw untuk memfixasi pada tepi

tempat tidur.

2) Pengatur sudut dapat dinaik dan turunkan kemudian dikunci sesuai

sudut yang diinginkan yang tertera pada tongkat penyangga.

3) Tongkat penyangga kaki terbuat dari pipa 1 inc. ukuran tongkat

penyangga kaki: rentang tinggi terpanjang 60 cm, rentang

terpendek 18 cm, diameter pipa 2,5 cm.

4) Penyangga kaki terbuat flat besi tipis dengan dilapisi foam dan

diberikan cover kulit sintetis. Ukuran penyangga kaki: panjang 90

cm, lebar 20 cm dan tebal 3 cm.

5) Restrain berbahan kulit dan terdapat perekat.

6) Berat 5.1 Kg.

6. Keamanan Leg Elevator

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) aman dapat

diartikan kondisi bebas dari bahaya, tidak meragukan, tidak mengandung

resiko, tenteram, tidak merasa takut atau kawatir. Keamanan merupakan

suatu kondisi keadaan aman dan ketentraman dilengkapi dengan

pengaman yaitu orang atau alat untuk menghindarkan atau mencegah

terjadinya kecelakaan. Untuk menciptakan keamanan diperlukan kata

kerja mengamankan yaitu suatu kondisi menjadikan tidak berbahaya, tidak

rusuh, menjadikan melindungi, menyelamatkan dan menjadikan tenteram

hati.
50

Menurut Yoga (2013) kriteria keamanan alat adalah alat tidak

menimbulkan luka atau cidera bagai pasien yang diakibatkan desain

produk, tidak menimbulkan penyakit yang diakibatkan oleh material

produk, bentuk dan ukuran dapat disesuaikan dengan dimensi ukuran

tubuh pengguna, mudah dibongkar, dibawa dan dibersihkan. Komponen

Definisi aman dan keamanan tersebut diatas jika dihubungkan dengan

ERLESS indikator keamanan alat adalah sebagai berikut:

a. Aman dari media transmisi kuman.

Sebelum dan sesudah dilakukan prosedur elevasi, bagian penyangga

kaki didesinfeksi. Bagian kaki yang terluka diberikan pengalas. Pada

penyangga kaki yang langsung kontak dengan kulit kaki pasien terbuat

dari kulit sintetis, sehingga jika ada kuman yang menempel pada

cover penyangga kaki lebih mudah untuk dibersihkan.

b. Tidak mengganggu mobilitas gerak sendi pasien yang menetap.

Selama melakukan elevasi, persendian pergelangan kaki tetap dapat

digerakan. Anggota tubuh yang lain yang tidak dilakukan elevasi dapat

digerakan.

c. Tidak menimbulkan luka baru.

Bahan penyangga kaki terbuat lempengan baja tipis yang kuat dilapisi

foam yang lembut dan dibungkus dengan kulit sintetis kedap air. Alat

yang dibuat tidak mempunyai bagian yang tajam dan runcing sehingga

tidak berpotensi untuk melukai bagian kulit pasien. Selama prosedur

dilakukan, potensi terjadi gesekan antara alat/bahan dengan kaki yang


51

dapat menimbulkan luka baru adalah sangat kecil, karena waktu

elevasi selama 30 menit.

d. Tidak mengganggu penyembuhan luka.

Menurut Wulandari (2015) perawat sebaiknya melakukan elevasi pada

ekstremitas bawah yang mengalami ulkus diabetik selama 10 menit

setiap pasien melakukan aktivitas lebih dari 15 menit, dengan elevasi

akan meningkatkan proses penyembuhan luka. Menurut Collins (2010)

elevasi kaki dapat menurunkan edema, meningkatkan pengiriman

mikrosirkulasi oksigen dan mempercepat penyembuhan ulkus pada

kaki.

e. Alat didesain agar terhindar dari injury

Alat dilengkapi dengan dua fiksasi badan penyangga alat. Kemudian

untuk mencegah kaki bergeser ke kiri dan kanan, terdapat 3

restrain/pengikat sehingga kecil kemungkinan kaki terjatuh.

f. Alat mudah di bongkar pasang, dibawa dan dibersihkan.

ERLESS terbuat dari stainless steel yang dihubungkan dengan screw

pada setiap persambungannya. Sehingga mudah dibongkar pasang,

dibawa. Stainless steel dan kulit merupakan bahan yang mudah

dibersihkan.

g. Alat aman dari kemungkinan pressure ulcer.

Menurut (Simon, 2014) Elevasi yang diberikan pada kaki akan

membuat distribusi tekanan pada bagian tubuh menjadi berpindah.


52

Pada elevasi kaki, tekanan pada tumit akan berkurang bebannya.

Menurut Takahashi et al., (2010) untuk mengurangi resiko tekanan

pada bagian tubuh adalah dengan pressure redistribution, menghindari

kontak area penekanan maka akan mengurangi interface pressure,

diantaranya dengan mengangkat kaki pada posisi 30°. Menurut

National Pressure Ulcer Adisory Panel, European Pressure Ulcer

Advisory Panel dan Pan Pacific. Pressure Injury Aliances (2014)

elevasi tumit dapat mencegah resiko pressure ulcer pada tumit karena

tekanan akan terdistribusi. Ketika kaki dielevasikan, gaya tekan pada

kaki akan berkurang, tekanan berpindah pada bokong selama prosedur

elevasi dilakukan, akan tetapi hal ini tidak berdampak pada resiko

pressure ulcer pada bokong karena tekanan berlangsung hanya 30

menit. Menurut (Lyder & Ayello, 2005) jaringan akan terjadi iskemik

jika mengalami tekanan yang menetap selama 2 jam sampai 6 jam atau

lebih. Pengukuran resiko pressure ulcer tetap dilakukan untuk

menjamin keamanan terhadap resiko pressure ulcer. Tekanan yang

terjadi selama elevasi diukur pada sacrum dengan Palm Q; Cape

Co. Ltd., Yokosuka, Japan. Indikator alat ERLESS aman digunakan

jika tekanan interface kurang dari 50 mmHg (Supriadi et al., 2014).

Anda mungkin juga menyukai