Disusun Oleh:
1. Hafsah Agustina Putri (1801100483)
2. Hana Karunia Putri (1801100484)
3. Ika Yuni Wulandari (1801100485)
4. Jepri Daus (1801100487)
5. Kitera telenggen (1801100488)
6. Ngestining Yekti Agung (1801100489)
7. Nurul Dwi Anggraini (1801100491)
8. Margaret Teresa (1801100492)
9. Priliansi Dule (1801100493)
10.Priskila Agustin (1801100494)
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik, dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini untuk
pemenuhan tugas. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai acuan dan
petunjuk bagi kami para mahasiswa Stikes Kendedes Malang.
Harapan saya semoga makalah ini dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan
pengalaman bagi para pembaca. Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan
karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh Karena itu kami
memerlukan masukan-masukan yang bersifat membangun dari para dosen, teman-
teman mahasiswa yang lain, dan seluruh pembaca makalah ini.
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Untuk memberi tahu kepada pembaca khususnya bagi kalangan para
perawat agar mengetahui ada arti dari penyakit lupus, obat apa saja
yang dapat dikonsumsi dan terapi diet yang dapat diberikan kepada
penderita lupus.
2. Tujuan khusus
Penulis bertujuan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah system
imun dan hematologi yang telah dipaparkan oleh dosen pembimbing
serta mahasiswa lainnya dapat :
a. Mengetahui definisi penyakit lupus
b. Mengetahui etiologi penyakit lupus
c. Mengetahui patofisiologi penyakit lupus
d. Mengetahui macam-macam farmakologi penderita lupus
e. Mengetahui terapi diet untuk penderita lupus
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Istilah lupus dalam bahasa Latin adalah srigala, untuk menggambarkan
berbagai macam kelainan kulit pada masa lampau. Deskripsi klinis ruam yang
kemuadian diketahui sebagai lupus dilakukan oleh Biett pada tahun 1833.
Penghargaan diberikan pada kopasi untuk penjabaran sifat penyakit, termasuk
demam, penurunan berat badan, limfa denopati, dan gangguan mental.
Pengertian pathogenesis lupus eritematosussistemik (LSE) dan factor anti
nuklir.
LSE merupakan gangguan inflamasi multi system yang berhubungan
dengan kelainan system imun. Kondisi kronis ditandai dengan peningkatan
aktivitas penyakit diikuti oleh aliran yang timbul dan kurang aktif. Banyak
kelainan imunologi klasik yang muncul pada LSE. Terutama pengaruh pada
berbagai sistem dan organ pada waktu yang berbeda, menghasilkan kerusakan
yang menyebar pada jaringan ikat, pembuluh darah, dan membrane serosa
serta mukosa. LSE biasanya terjadi pada wanita muda, insiden puncak pada
usia 15-40 dengan rasio wanita:pria 5:1. Namun omsetnya dapat berubah
bergantung usia. Padaklien pediatric dan lansia, rasio wanita berbanding pria
kira-kira 2:1.
2.2 ETIOLOGI
Dalam 30 tahun terakhir, LSE telah menjadi salah satu penyakit
reumatik utama di dunia. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-
beda bervariasi antara 29/100.000 – 400/100.000. LSE lebih sering ditemukan
pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina.
Terdapat juga terdensi familial. Factor ekonomi dan geografi tidak
mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada usia 15-
40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan
frekuensi pada pria berkisarantara (5,5-9): 1. Pada lupus eritematosus yang
disebabkan obat (drug-induced LSE), rasioini lebih rendah, yaitu 3:2.
5
Beberapa data yang ada di Indonesia dari pasien yang dirawat dirumah
sakit. Dari 3 peneliti dibagian Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Rumah Sakit Cipto Mangun kusumo Jakarta yang
melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai
berikut antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus LSE (Ismail Ali);
selamaperiode 5 tahun (1972-1976), ditemukan 1 kasus LSE dari setiap
kasusada 666 kasus yang dirawat (insidensi sebesar 15 per 10.000 perawatan;
antara tahun 1988-1990 (3 tahun) insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7
per10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-beda
yaitu berturut-turut kriteria Dubois, criteria pendahuluan ARA dan kriteria
ARA yang telah diperbaiki.
2.3 PATOFISIOLOGI
Temuan patofisiologi LSE terdapat di seluruh tubuh, dan ditandai oleh
inflamasi, abnormalitas pembuluh darah yang mencakup vaskulopati dan
vaskulitis dan penumpukan kompleks imun. LSE merupakan hasil reaksi
abnormal tubuh terhadap jaringannya sendiri dan protein serum. Dengan kata
lain penyakit autoimun. LSE ditandai dengan menurunnya toleransi diri, pada
populasi Kaukasia Amerika Utara, terdapat hubungannya positif antara LSE
dan dua antigen HLA (DR2 dan DR3) yang dikode MHC. Orang dengan LSE
akan mengalami peningkatan antigen diri dan antigen asing, yang
mengakibatkan hiperakivitassel B. IL-6 memiliki peran dalam hiper aktivitas
sel B. Antibodi lain. IG dan anti DNA berpengaruh dalam penelanan badan
LE dalam sel LE. Hubung antara factor LE dan perubahan patologis pada LSE
tidak jelas. Ketidakadaan factor LE merupakan indikasi kuat tidak adanya
penyakit. Peningkatan antibody anti-DNA untai ganda (anti-DSDNA)
berhubungan dengan meningkatnya aktivitas penyakit klien LES.
2.4 FARMAKOLOGI
Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE)
tidak bisa disembuhkan, namun terdapat rangkaian fase aktif (flare) dan fase
tenangnya penyakit. Tujuan pengobatan yang tersedia adalah untuk
mengurangi tingkat keparahan gejala, mencegah kerusakan organ, serta
meminimalkan dampaknya pada kehidupan penderita SLE.
Jenis obat dan dosis yang diberikan kepada satu penderita lupus tidak
sama dengan penderita lupus yang lain, dan dapat berganti dari waktu ke
waktu tergantung dari gejala yang dirasakan dan tingkat keparahannya.
Berikut ini adalah obat-obatan yang mungkin dibutuhkan oleh penderita SLE:
6
1. Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS).
Nyeri sendi atau otot merupakan salah satu gejala utama SLE.
Dokter akan meresepkan obat anti inflamasi nonsteroid
(NSAIDs) untuk mengurangi gejala ini seperti ibu profen dan
diclofenac. Meski demikian, penderita SLE sebaiknya waspada
terhadap efek samping OAINS seperti perdarahan lambung,
masalah pada ginjal, dan peningkatan risiko penyakit jantung.
Untuk mencegah efek samping perdarahan lambung, dokter
dapat memberikan obat tambahan untuk melindungi lambung.
2. Kortikosteroid.
Kortikosteroid seperti methylprednisolone dapat mengurangi
peradangan dengan cepat dan efektif. Obat ini biasanya
diberikan oleh dokter jika penderita SLE mengalami gejala
yang parah atau sedang aktif. Pada tahap awal obat ini akan
diberikan dalam dosis tinggi. Dosis akan diturunkan secara
bertahap seiring membaiknya kondisi penderita. Beberapa efek
samping yang akan timbul dari obat ini, terutama jika
digunakan dalam jangka panjang dan dengan dosis tinggi
meliputi pengeroposan tulang, penipisan kulit, bertambahnya
berat badan, peningkatan tekanan darah, peningkatan gula
darah, dan risiko infeksi. Namun kortikosteroid merupakan
pengobatan yang aman dan efektif selama dikonsumsi dengan
benar dan di bawah pengawasan dokter.
3. Hydroxychloroquine.
Selain pernah digunakan untuk menangani malaria, obat ini
juga efektif untuk mengobati beberapa gejala utama SLE,
seperti nyeri sendi dan otot, kelelahan, dan ruam pada kulit.
Dokter umumnya akan menganjurkan konsumsi obat ini untuk
jangka panjang. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya
serangan gejala yang parah, mencegah aktifnya penyakit, dan
mencegah munculnya komplikasi yang lebih serius.
Keefektifan hydroxychloroquine biasanya akan dirasakan oleh
penderita SLE setelah menggunakannya selama 1,5 hingga 3
bulan. Efek samping yang mungkin timbul dari penggunaan
obat ini meliputi gangguan pencernaan, diare, sakit kepala, dan
ruam pada kulit.
7
4. Obat Imunosupresan.
Cara kerja obat ini adalah dengan menekan sistem kekebalan
tubuh.Ada beberapa jenis imunosupresan yang biasanya
diberikan dokter, yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil,
cyclophosphamide, dan methotrexate. Imunosupresan akan
meringankan gejala SLE dengan menghambat kerusakan pada
bagian-bagian tubuh yang sehat akibat serangan sistem
kekebalan tubuh. Obat ini dapat diberikan bersamaan dengan
kortikosteroid, sehingga dosis kortikosteroid dapat diturunkan.
Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat
imunosupresan antara lain adalah:
a. Muntah.
b. Kehilangan nafsu makan.
c. Pembengkakan gusi.
d. Diare.
e. Kejang-kejang.
f. Mudah lebam atau berdarah.
g. Jerawat.
h. Sakit kepala.
i. Bertambahnya berat badan.
j. Pertumbuhan rambut secara berlebihan.
Risiko terjadinya infeksi akan meningkat akibat penekanan
sistem kekebalan tubuh oleh imunosupresan. Gejala infeksi
tersebut terkadang mirip dengan gejala aktifnya lupus.
Beberapa di antaranya adalah : batuk disetai dengan sesak,
demam, diare, sensasi terbakar saat buang air kecil, serta
kencing darah (hematuria).
Hindarilah kontak dengan orang yang sedang
mengalami infeksi seringan apa pun, meski sudah memiliki
kekebalan tubuh terhadap infeksi tersebut, misalnya cacar air
atau campak. Penularan mungkin akan tetap terjadi karena
kinerja sistem kekebalan tubuh sedang menurun akibat
penekanan oleh obat imunosupresan. Obat ini juga dapat
menyebabkan kerusakan pada hati. Karena itu, penderita SLE
membutuhkan pemeriksaan kesehatan dan tes darah secara
rutin selama menggunakan imunosupresan.
8
5. Rituximab.
Jika obat-obat lain tidak efektif bagi penderita SLE,
dokter akan menganjurkan rituximab. Obat ini awalnya
dikembangkan untuk menangani kanker, seperti limfoma.
Tetapi rituximab terbukti efektif untuk menangani penyakit
autoimun, seperti SLE dan rheumatoid arthritis. Cara kerja
rituximab adalah dengan mengincar dan membunuh sel B,
yaitu sel yang memproduksi antibodi yang menjadi pemicu
gejala SLE. Obat ini akan diberikan melalui infus. Efek
samping yang dapat muncul dari penggunaan rituximab
meliputi pusing, muntah, serta gejala yang mirip flu, misalnya
demam dan menggigil. Obat ini juga dapat menimbulkan
reaksi alergi, namun jarang terjadi.
Selain obat-obatan yang diberikan, melindungi kulit
dari sinar matahari sangat penting bagi penderita lupus. Ruam
pada kulit yang dialami penderita SLE dapat bertambah parah
jika terpapar sinar matahari. Langkah yang dapat dilakukan
untuk melindungi kulit dari sinar matahari adalah:
a. Mengenakan pakaian yang menutupi seluruh bagian
kulit.
b. Memakai topi yang lebar dan kacamata hitam.
c. Mengoleskan krim tabir surya (minimal SPF 55
ketika keluar rumah) agar kulit tidak terbakar sinar
matahari.
Dengan menghindari paparan sinar matahari, penderita
lupus berisiko kekurangan vitamin D, karena sebagian besar
vitamin D dibentuk dalam tubuh dengan bantuan paparan
sinar matahari.Oleh karena itu, diperlukan pemberian
suplemen vitamin D untuk mencegah osteoporosis.
9
2.5 TERAPI DIET
Departemen kesehatan Indonesia memperkirakan sekitar 1,5 juta dari
penderita penyakit lupus di negara ini. Penyakit lupus adalah penyakit yang
menyerang daya tahan tubuh, dan juga jaringan tubuh yang sehat.
Menyebabkan penderita mengalami peradangan, pembengkakan, dan
kerusakan organ tubuh. Dapat dipastikan bahwa tidak ada makanan yang
dapat memicu penyakit lupus, atau menyembuhkan. Karena penyakit ini
menyerang kekebalan tubuh, maka nutrisi sangat baik dan penting dalam
perawatan penderita penyakit ini secara keseluruhan.
10
Jika Anda tidak dapat minum susu, alternatif terbaik bisa berupa :
11
2.6. ASUHAN KEPERAWATAN
a. PENGKAJIAN
identitas pasien
Keluhan utama
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit keluarga
b. DIAGNOSA
1. perubahan nutrisi b/d hati tidak dapat mensintesa zat penting
untuk tubuh
2. perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluker
yang diperlukan untuk pengiriman oksigen ke sel
3. tidak efektif pola nafas b/d peningkatan produksi secret
c. INTERVENSI
1. perubahan nutrisi b/d hati tidak dapat mensintesa zat penting
untuk tubuh
12
Awasi TD,Nadi,pernapasan sebelum dan sesudah
aktivitas
d. IMPLEMENTASI
e. EVALUASI
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Penyakit lupus merupakan penyakit yang disebabkan oleh 3 faktor
utama: genetic, hormone, dan lingkungan. Penyakit lupus telah ada sejak abad
ke -20 dan telah memakan banyak konbar yang terdiagnosa penyakit lupus.
13
Untuk melakukan diagnose lupus dapat dilakukan pemeriksaan awal dan
pemeriksaan lanjutan yang lebih intensif. Terdapat banyak cara untuk
menghindari penyakit lupus dan juga terdapat beberapa obat yang dapat di
konsumsi oleh penderita lupus untuk menahan rasa sakit.
3.2 SARAN
Memberikan sedikit saran bahwasannya masyarakat yang ada di
Indonesia harus lebih hati-hati dalam pemilihan makanan sehari-hari dan juga
pola hidup, apabila makan dan pola hidup tidak di jaga maka akan berdampak
kepada factor kesehatan diri sendiri. Untuk penderita yang telah terdiagnosa
penyakit lupus, diharapkan mengubah pola kehidupan menjadi lebih sehat dan
juga menambah ilmu wawasan tentang penyakit lupus dengan membaca buku
atau mencari di internet, dan berkonsultasi bersama dokter.
14
DAFTAR PUSTAKA
Jane B, Barbara. 2015. Hematologi Kurikulum Inti. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.