Anda di halaman 1dari 9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori
1. Bencana
Bencana alam merupakan konsekuensi dari kombinasi aktivitas
alami, baik peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah
longsor dan aktivitas manusia.ketidak berdayaan manusia akibat kurang
baiknya manajemen kesiap siagaan dan keadaan darurat menyebabkan
kerugian dalambidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian.
(Hambali 2017)
Bencana alam juga dapat diartikan sebagai bencana yang
diakibitkan oleh gejala atau faktor alam. Gejala alam merupakan gejala
yang sangat alamiah dan biasa terjadi pada bumi, tetapi hanya ketika
gejala alam tersebut melanda manusia (Kehilanagn nyawa) dan segaa
produk budidayanya (kepemlikan, arta benda), kita baru dapat
menyebutkan sebagai bencana. (hambali, 2017)
Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk
mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan manusia,
pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan “bencana muncul bila
ancaman bahaya bertemu dengan ketidak berdayaan” dengan demikian
aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di
daerah tanpa ketidak berdayaan manusia, misalnya gempa bumi di
wilayah tak berpenghuni, konsekuensinya pemakaian istilah “alam” juga
di tentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka
tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung
pada bentuk bahaya sendiri,mulai dari kebakaran yang mengancam
bangunan individu, sampai peristiwa tabrakan motor besar yang
berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.(Hambali 2017)
Menurut Departemen Kesehatan RI (2001) , definisi bencana
adalah peristiwa atau kejadian disuatu daerah yang mengakibatkan
kerusakan etiologi,kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya
derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga
memerlukanbantuan luarbiasa dari pihak luar.

a. Analisis Risiko Bencana


Disaster Recovery Journal menyampaikan dua efinisi yang berbeda
untuk menjelaskan analisis risiko, yaitu
1) Analisis Risiko (Risk Analysis) adalah proses yang meliputi
pengidentifikasikan ancaman yang paling mungkin terjadi
terhadap objek studi serta penganalisisan kerentanan yang terkait
dengan ancaman bencana tersebut.
2) Penilaian Risiko (Risk Assessment) adalah proses yang meliputi
pengevaluasian kondisi fisik dan lingkungan serta penilaian
kapasitas relatif terhadap ancaman bencana yang potensial.
Tabel 2.1 Katagori Risiko

Faktor Risiko Nilai Tingkat Tindakan


Risiko Risiko
- 20-25 Kelas A: Mitigasi menyeluruh dan
Sangat kontingensi planning
tinggi mendesak disusun dan
dilaksanakan
Gempa bumi, gerakan 15-20 Kelas B: Mitigasi menyeluruh dan
tanah/longsor, wabah Tinggi- kontingensi planning
penyakit sangat tinggi harus segera disusun dan
dilaksankan
Banjir, kekeringan 10-15 Kelas C: Kondisi risiko yang
pencemaran, air pasang/rob, Sedang- cukup tinggi
abrasi/erosi tinggi dipertimbangkan untuk
perencanaan dan
mitigasi lebih lanjut
Kebakaran lahan, bahay 5-10 Kelas D: Kondisi risiko rendah
petir, kecelakaan Sedang- dengan tambhan mitigasi
transportasi, gizi buruk, rendah dan
gangguan hama, kebakaran kontingensicplanning
kota, angin kencang, sebagai saran
konflik, banjir bandang,
terorisme, sabotase
Leusan gunung api, 1-5 Kelas E: Kondisi risiko yang
Tsunami, kegaglan Rendah- sangat rendah namun
tekhnologi sangat rencana kontingensi
rendah planning tetap ada
b. Dampak Bencana
a) Dampak fisik
akibat bencana yaitu masalah kesehatan menyebabkan beberapa
macam penyakit, cidera fisik bahkan hingga kematian.
b) Dampak social
bagi masyarakat akibat peristiwa bencana yaitu :
1) Kehilangan tempat tinggal untuk sementara waktu atau bias
terjadi untuk seterusnya, karena merupakan kawasan rawan
bencana (termasuk dalam zona merah).
2) Kehilangan mata pencaharian
3) Berpisah dengan keluarga atau kehilangan orang yang di
cintai.
4) Pemenuhan kebutuhan dasar berupa makan, minum, tempat
tinggal sementara atau penampungan, pendidikan, kesehatan
dan sarana air bersih yang tidak memadai. Tidak tersedia atau
terbatasnya fasilitas umum dan fasilitas social terganggunya
pendidikan anak-anak yang tidak bisa sekolah.
c) Dampak psikologis
yang sering muncul pada penyintas bencana meliputi sedih
berkepanjangan, kecemasan, perubahan emosional akibat
pengalaman traumatis, depresi, kekhawatiran kelangsungan hidup
masa depan, dan tingkat yang lebih yaitu Post Trauma Stress
Disorder (PTSD).

2. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Post Traumatik Stress Disorder (PTSD) menurut American
Psichology Association (APA) merupakan suatu pengalaman seseorang
yang mengalami peristiwa traumatikl yang dapat menyebabkan gangguan
pada intergritas diri individu sehingga individu ketakutan, ketidak
berdayaan dan trauma sendiri (Twonsend, 2002;Varcarolis, 2010).
Definisi tentamg PTSD juga dijelaskan oleh Hodgkins. Menurut
hodgkins, PTSD merupakan akibat dari suatu bencana alam, penyakit
terminal, serta kekerasan yang terjasi secara mendadak, berlangsung
cepat, dan menimbulkan trauma mendalam bagi individu dalam semua
rentang usia (Depos, 2012;Videbeck, 2008).
National Institute of Mental health mendefinisikan PTSD sebagai
gangguan kecemasan yang dapat berkembang setelah terpapar peristiwa
mengerikan dimana ada potensi kerusakan fisik yang serius. Peristiwa
traumtis yang dapat memicu PTSD termasuk serangan pribadi yang
kejam, bencana alam atau bencana yang disebabkan oleh manusia,
kecelakaan dan pertempuran militer. Orang-orang dengan PTSD
memiliki pikiran dan kenangan yang menakutkan yang terus menerus
yang mencekam, Mungkin mengalami maslah tisur, merasa terlepas atau
mati rasa, atau mudah terkejut. (NHM, 2008)
Kejadian PTSD setelah bencana tidak langsung timbul pada korban
(Amin, 2017). Terdapat beberapa faktor risiko yang berperan terhadap
kejadian PTSD pada orban bencana, faktor-faktor risiko tersebut antara
lain sosiodemografi, karakteristik bencana yang dialami, dan menjadin
saksi atas kematian (Tian, Wong, Li & Jiang 2014)
a. Tanda dan Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Menurut American Psychiatric Association dalam Diagnostic and
Statistical Manual of Mental berhubungan dengan trauma dan
stressor (APA, 2013). Untuk membedakan PTSD dengan jenis
gangguan kecemasan yang lain ada beberapa tanda dan gejala yang
dapat di jadikan acuan.
American Psychiatric Association (APA, 2013) membagi gejala
utama PTSd ke empat kategori, yaitu Re-Experiencing, Avoidance,
Negative Alternations, dan Hyperarousal. Re-experiencing symptoms
merupakan keadaa dimana seseorang teringat kembali dengan
kejadian traumatis yang pernah dialami dengan ditandai bebera hal,
yaitu pikiran-pikiran yang mengganggu, mimpi buruk, flashback
(merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), dan reaksi
fisik-psikologis yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan tentang
kejadian traumatis. Avoidance symptoms merupakan keadaaan
dimana seseorang berusaha untuk menghindari pikiran atau
rangsangan lain yang dapatmemicu kenangan tentang trauma yang
pernah dialami. Gejala ini di tandai dengan adanya penghindaran
terhadap perasaan atau pikiran yang berhubungan dengan trauma dan
semua aktivitas, orang, tempat, percakapan, atau situasi yang
berhubungan dengan trauma. Negative Alternations Symptoms
merupakan keadaan dimana seseorang memiliki perasaan dan pikiran
yang semakin jelek setelah trauma.
Hyperarousal symptoms merupakan keadaan dimana individu
mengalami peningkatan yang berlebihan pada reaktivitas fisiologis.
Gejala ini ditandai dengan iritabilitas, kesulitan tidur, sulit
berkonsentrasi, waspada yang berlebihan, dan perilaku yang beresiko.

3. Covid-19
Bencana pandemik Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang
berdampak pada kondisi kehidupan masyarakat di hampir 207 negara di
dunia, juga dirasakan dampaknya di Indonesia. Sejak ditemukan kasus
pertama Covid-19 di Indonesia pada awal bulan Maret 2020, dalam
sebulan hingga awal Mei 2020 telah tercatat 10.843 kasus penderita
terkonfirmasi Covid-19 dengan jumlah kematian 831 korban jiwa,
walaupun terdapat 1.665 orang penderita yang sembuh dari total 22.545
orang penderita yang masih dirawat (Gugus Tugas Covid-19, per 2 Mei
2020). Angka resmi yang diterbitkan secara harian oleh Gugus Tugas
Covid-19 sejak dibentuknya pada pertengahan bulan Maret 2020,
menunjukkan adanya kenaikan kasus korban yang terinfeksi Covid-19
yang cukup signifikan, terutama pada periode minggu pertama Mei 2020,
yang kenaikannya berkisar lebih dari 150 hingga 400 kasus per harinya.
(Suprayoga Hadi, 2020)
b. faktor penyebab PTSD
Ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi PTSD. Faktor-faktor tersebut
adalah:
1) Faktor biologis
Meliputi riwayat kecemasan keluarga dan ukuran hipo kampus
yang lebih kecil dari pada umumnya, jenis kelamin, saat
mengalami peristiwa trauma.
2) Faktor sosial
Yakni adanya dukungan sosial dari berbagai pihak seperti orang
tua, keluarga, teman, sahabat, guru dan masyarakat sekitar sangat
membantu individu dalam melewati kondisi trauma.
3) Faktor psikologis
Meliputi karakteristik kepribadian individu, pengalaman trauma,
resiliensi dan kerentanan terhadap efek trauma, dan perasaan malu

4. Tujuan Penanganan PTSD


Tujuan manajemen penanganan PTSD menurut Bitson et al (2004)
adalah:
a) Mengidentififkasi gejala secara dini PTSD
b) Melakukan penanganan secara tepat dan benear pada PTSD secara
komprehensif dan berdasarkan hasil penelitian terkini
c) Melakukan tindakan promotif dab preventif pada PTSD
d) Meningkatkan komunikasi antar tenaga kesehatan

5. Asuhan Keperawatan Pada PTSD


Pengkajian adalah proses identifikasi permaslahan yang klien alai.
Perawat dalam melakukan pengkajian pada PTSD seharusnya melakukan
pengkajian dan penilaian yang benar terhadap eksporsur trauma dan
PTSD paling baik dilakukan dengan tindakan yang divalidasi dengan
menggunakan alat penilaian atau instrumen penilaian yang baik.
Pengkajian untuk klien dengan PTSD menurut Cook dan Fontaine (2005)
meliputi empat aspek yaitu:
a) Pengkajian Perilaku (behavioral assessment). Pengajian
yangdilakukan oleh perawwat dan tenanga medis lainnya yaitu
melakukan pengkajian klien terhadap pperilaku agresif yang
berlebihan, pada situasi apakah klien mengalami kembali trauma
yang dirasakan, bagaimana cara klien untuk menghindari situasi atau
aktivasi yang akan mengingatkan klien terhadap trauma, seberapa
sering klien terlibat dalam aktivasi sosial, apakah klien mengalami
kesulitan dalam masalah pekerjaan semnjak kejadian traumatis.
b) Pengkajian Afektif (affectiff assessment). Berapa lama waktu dalam
satu hari klien merasakan ketegangan dan perasaan ingin cepat
marah, apakah klien pernah mengalami serangan panik, perasaan
bersalah yang di alami yang berkaitan dengan trauma. Tipe aktivitas
yang disukai untuk dilakukan, apa saja sumber-sumber kesenangan
dalam hidup klien, hubungan yang secara emosional terasa akrab
dengan orang lain.
c) Pengkajian Intelektual (intellectual assessment). yang dikaji adalah
kesulitan dalam hal konsentrasi, kesulitan dalam hal memori, berapa
frekuensi dalam satu hari tentang pikiran yang berulang yang
berkaitan dengan trauma, apakah klien bisa mengontrol pikiran-
pikiran berulang tersebut, mimpi buruk yang dialami klien, apa yang
disukai klien terhadap dirinya, dan apa yang tidak disukai klien
terhadap dirinya.
d) Pengkajian Sosiokultural (sociocultural assessment). yang dikaji
adalah bagaimana cara keluarga dan temen klien menyampaikan
tentang perilaku klien yang menjauh dari mereka, pola komunikasi
antara klien dengan keluarga dan teman, apa yang terjasi jika klien
kehilangan kontrol terhadap rasa marahnya, bagaimana klien
mengontrol kekerasan terhadap sistem keluarganya, dan apakah
klien bercerai atau merasa terancam dengan situasi perceraian
tersebut.

6. Klasifikasi Post Traumatik stress Disorder (PTSD)


a. Respon Stres Normal
Respon stres normal terjadi ketika orang dewasa sehat yang telah
terpapar pada kejadian traumatis diskrit tunggal dimasa dewasa
mengalami kenangan buruk yang hebat, perasaaan tidak sadar,
terputus dari hubungan atau ketegangan dan tekanan tubuh. Individu
sepertin itu biasanya mencapai pemulihan sempurna dalam beberapa
minggu. Seringkali pengalaman pembekalan kelompok sangat
membantu. Debriefings dimulai dengan menggambarkan kejadian
tersebut. Selanjutnya, ada diskusi terbuka tentang gejala yang telah
diendapkan oleh trauma. Akhirnya, ada pendidikan dimana tanggapan
orang-orang yang selamat dijelaskan dan cara-cara penanganan yang
positif diidentifikasi.
b. Gangguan Stres Akut
Gangguan stres akut ditandai oleh reaksi panik, kebingungan
mental, disosiasi, insomnia berat, kecurugaan, dan tidak dapat
mengelola aktivitas perawatan diri, kerja, dan hubungan dasar. relatif
sedikit korban trauma tunggal memiliki reaksi yang lebih parah ini,
kecuali bila trauma tersebut merupakan malapetaka abadi yang
menghadapkan mereka pada kematian, pengghancuran, atau
kehilangan rumah dan masyarakat. Pengobatan mencakup dukungan
segera, pengangkatan dari tempat trauma, penggunaan obat untuk
menghilangkan kesedihan, kegelisahan dan insomnia segera, dan
psikoterapi dukungan singkat yang diberikan dalam konteks intervensi
krisis.
c. Gangguan Stres Pasca Traumatik Tanpa komplikasi
PTSD yang tidak rumit melibatkan pengulangan ulang peristiwa
traumatis yang terus menerus, penghindaran rangsangan yang terkait
dengan trauma, penghinaan emosional, dan gejala peningkatan gairah.
Ini mungkin merespons pendekatan kelompok, psikodinamik,
Kognitif- perilaku, farmakologis dan perilaku.
d. Gangguan Stres Pasca Traumatik Komorbid
PTSD komorbid dengan gangguan kejiwaan lainnya sebenarnya
jauh lebih umum dibandingkan PTSD yang tidak rumit. PTSD
biasanya dikaitkan dengan setidaknya satu gangguan kejiwaan utama
lainnya seperti depresi, alkohol atau penyalahgunaan zat, gangguan
panik, dan gangguan kecemasan lainnya. Hasil terbaik dicapai ketika
kedua PTSD dan gangguan lainnya diobati bersama daripada satu
demi satu. Hal ini terutama berlaku untuk PTSD dan penyalahgunaan
alkohol atau zat. Perawata yang sama yangdigunakan untuk PTSD
yang tidak rumit, harus digunakan untuk pasien yang ini,dengan
penambahan perawatan yang dikelola dengan hati-hati untuk masalah
kejiwaan atau kecanduan lainnya.
e. Gangguan Stres Pasca Traumatik Kompleks
Kompleks PTSD (kadang disebut “Disorder Extreme Stres”)
ditemukan diantara individu-individu yang telah terpapar keadaan
traumatis yang berkepanjangan, terutama masa kanak-kanak, seperti
pelecehan seksual masa kecil. Individu-individu ini sering
didiagnosis dengan gangguan kepribadian borderline atau antisosial
atau gangguan disosiatif. Mereka menunjukan kesulitan perilaku
(seperti implusif, agresi, tindakan seksual, gangguan makan,
penyalahgunaan alkohol atau obat terlarang dan tindakan merusakdiri
sendiri), kesulitan emosional yang ekstrem (seperti kemarahan,
depresi, atau kepanikan) dan kesulitan mental (seperti pikiran
terfragmentasi, disosiasi, dan amnesia). Pengobtan pasien semacam
itu sering kali memakan waktu lebih lama, dapat berlanjut pada
tingkat yang jauh lebih lambat, dan memerlukan program perawatan
yang sensitif dan terstruktur dengan baik yang disampaikan oleh tim
spesialis trauma.

Anda mungkin juga menyukai