Anda di halaman 1dari 14

Nama : Christine Elisabeth Manalu

NIM : 17.3229
Mata Kuliah : Seminar Praksis
Dosen Pengampu : Pdt. Dr. Sanggam M.L. Siahaan, M.Th.
Pdt. Sahat P. Siburian, M.Si.

Sikap Gereja Terhadap Kaum Disabilitas


di HKBP Lumban Huala Ressort Pangombusan
Buku Rujukan : Rebecca F. Suprrier - The Disabled Church
I. Pendahuluan
I.1. Latar Belakang
Gereja adalah wadah persekutuan orang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan,
Juruselamat dan Kepala Gereja. Gereja memiliki tugas dan fungsi yang bersifat holistik. Gereja
bukan hanya sekedar mengajar firman Tuhan, namun juga menunjukkan bukti nyata dengan
memberikan perhatian secara jasmani atau pemenuhan kebutuhan fisik kepada jemaat dan orang-
orang yang belum percaya. Gereja yang hadir di tengah dunia tidak akan pernah terlepas dari
berbagai masalah di dalam jemaat maupun di tengah-tengah masyarakat. Disabilitas menjadi isu
yang belum digarap secara sistematis dalam kehidupan bergereja. Hal ini merupakan pokok
pembahasan yang penting dan menarik mengingat keberadaan kaum disabilitas yang sering
dimarjinalkan di tengah-tengah masyarakat, tidak diberikan pelayanan dan cenderung membatasi
ruang lingkup pelayanan kaum disabilitas. Tujuan penulisan makalah seminar ini adalah melihat
bagaimana sikap gereja menerima keberadaan kaum disabilitas terkhususnya di Gereja HKBP
Lumban Huala, Ressort Pangombusan, Distrik IV Toba.
Penyandang disabilitas sering dianggap sebagai orang-orang yang kurang diperhatikan di
masyarakat terkhusus di dalam gereja. Di dalam buku rujukan yaitu The Sacred Family yang
merupakan tulisan Rebecca F. Suprrier dijelaskan bagaimana orang-orang penyandang disabilitas
tetap dapat ambil bagian dalam liturgi. Penyandang cacat atau kaum disabilitas tidak boleh
dibeda-bedakan atau dianggap sebagai orang-orang yang terpinggirkan agar mereka tidak
bersembunyi di balik mantel penyakit atau kecacatan mereka dan dianggap sebagai suatu hal
yang negatif namun sebaliknya keberadaan mereka harus dianggap sebagai keberagaman
manusia sebagai makhluk ciptaan yang istimewa.

1
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mencoba menguraikan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan disabilitas?
2. Bagaimana pandangan Alkitab mengenai disabilitas?
3. Bagaimana buku rujukan membahas tentang Sacred Family ?
4. Bagaimana sikap gereja terhadap jemaat kaum disabilitas?
I.3. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan pengertian disabilitas menurut Undang-Undang, pemahaman berdasarkan buku
dan sumber-sumber lain.
2. Menjelaskan pandangan Alkitab terhadap permasalahan disabilitas yang terjadi baik melalui
kisah yang terjadi di Alkitab, jawaban Alkitab terhadap permasalahan disabilitas dan lain
sebagainya.
3. Menjelaskan tentang Sacred Family di dalam buku rujukan sebagai suatu komunitas yang
terdiri dari penyandang disabilitas.
4. Menjawab dan menguraikan sikap gereja terhadap kaum disabilitas di tempat penelitian
penulis yaitu HKBP Lumban Huala Ressort Pangombusan.
I.4. Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian, maka penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan induktif. Dalam metode penelitian induktif, peneliti mencoba
mengenali konteks penelitian sebelum kemudian mendialogkannya dengan teori dan aksi.
Metode ini diartikan sebagai proses mendeskripsikan hasil penelitian. Pendekatan induktif dalam
dunia teologi menggunakan model lingkaran konseling pastoral. Penelitian dimulai dari
mengenali kenyatan sosial, kemudian menganalisisnya untuk mengenali permasalahan,
selanjutnya mengkajinya dari analisis iman serta menentukan langkah praksis pastoral.1
Dalam prosesnya, penulis mengamati dan mewawancara beberapa orang narasumber
terkait yang diteliti. Selanjutnya data yang telah diperoleh dari informan ataupun narasumber
diolah secara deskriptif selanjutnya dianalisis. Subjek dalam penelitian penulis yakni jemaat
penyandang disabilitas dan majelis gereja serta jemaat biasa yang menjadi bagian dalam gereja.
I. Landasan Teori
1
J.B. Banawiratma, Proses Teologi Sosial dalam Aspek-Aspek Teologi Sosial, ed. J.B. Banawiratma (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), 13.

2
I.1. Pengertian Disabilitas
Dalam UU RI No 8 Tahun 2016 pengertian penyandang disabilitas adalah setiap orang
yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensori dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan
untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak. Dapat dikatakan pula bahwa disabilitas merupakan suatu ketidakmampuan tubuh
dalam melakukan suatu aktivitas atau kegiatan tertentu sebagaimana orang pada umumnya yang
disebabkan oleh kondisi ketidakmampuan dalam hal fisiologis, psikologis, dan kelainan struktur
atau fungsi anatomi.2 Lebih lanjut, ayat 2 dan 3 dari UU No. 18 diungkapkan beberapa indikator
sikap dan perlakuan yang dialami oleh penyandang disabilitas, antara lain: kurangnya akses
layanan serta diskiriminasi terhadap kaum disabilitas. Perlakuan yang demikian memang masih
sering terjadi kepada penyandang disabilitas, keterbatasan menjadi dasar penilaian orang lain
dalam menempatkan mereka (penyandang disabilitas) sebagai yang lemah dan tak berdaya. Oleh
karena itu, upaya mengubah perspektif masyarakat, menjadi prioritas dalam usaha mengangkat
harkat dan martabat para penyandang disabilitas. Kehadiran dirinya walau dengan keterbatasan
fisik harus tetap dinyatakan sebagai sesuatu yang berharga, maka dibutuhkan kehadiran gereja
yang dapat memperdayakan jemaat penyandang disabilitas.3 Menurut KBBI, diartikan
sebagai keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merusak atau membatasi kemampuan mental
dan fisik seseorang. 4
I.2. Pandangan Alkitab terhadap Disabilitas
Istilah disabilitas atau disability merupakan istilah modern yang tidak mempunyai
kesejajaran makna dalam bahasa Ibrani maupun Yunani di dalam Alkitab. Keterbatasan fisik
seperti lumpuh, tuli, buta pada zaman sekarang dikatakan difabel. Pandangan Alkitab
menyatakan setiap orang tanpa terkecuali (termasuk penyandang disabilitas) adalah gambar dan
citra Allah. Maka segala kekuranagan maupun keterbatasan yang mereka miliki bukanlah
penghalang untuk menjadi gambar dan rupa Allah yang sesungguhnya. Maka segala bentuk
diskriminasi terhadap penyandang disabilitas atau orang-orang berkebutuhan khusus adalah
bentuk penghinaan terhadap gambaran citra Allah.5
I.3. Sacred Family / Keluarga Kudus
2
Indonesia,Undang-Undang Tentang Penyandang Disabilitas, UU No. 8 Tahun 2016, BAB. I, ps. 1.
3
Innawati Teddywono, Pemuridan Bagi Jemaat Penyandang Disabilitas, (Sanctum Domini: Jurnal Teologi 10, no.
11 (December 29, 2020): 17–34, diakses 1 Oktober 2021, http://sosbud.kompasiana.com/2014/06/14/disabil.
4
 KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). diakses http://kbbi.web. pada 06 Oktober 2021

3
Buku rujukan ini merupakan penelitian etnografis6 Rebecca Suprier selama tiga tahun
pada sebuah komunitas dengana sebutan “Sacred Family” atau Keluarga Kudus yang terdiri dari
orang-orang dengan kemampuan mental, latar belakang dan sumber daya yang sangat berbeda
dalam menopang dan mewujudkan identitas keagamaan yang sama. Ini mengeksplorasi
bagaimana etika perbedaan dibantu dan dihalangi oleh teologi gereja yang diwujudkan.
Memperhatikan dengan seksama bagaimana para jemaah ini mengimprovisasi bentuk-bentuk
akses ke liturgi umum, buku ini menawarkan terobosan teologi penyembahan yang melibatkan
kerapuhan dan keindahan yang diungkapkan oleh perbedaan di dalam gereja. Karena liturgi
membutuhkan persetujuan untuk perbedaan daripada paksaan, pendekatan estetika terhadap
perbedaan dalam liturgi Kristen memberikan kerangka bagi jemaat dan liturgi Kristen untuk
memperhatikan perbedaan dan kecacatan para penyembah. Buku ini menciptakan percakapan
khas antara studi disabilitas kritis, estetika liturgi, dan teologi etnografi yang menawarkan
perspektif orisinal tentang hubungan antara kecantikan dan disabilitas dalam komunitas Kristen.
Berikut adalah estetika teologis transformasional liturgi Kristen yang mengutamakan perbedaan
manusia dan memperdebatkan pentingnya Gereja Penyandang Disabilitas.7
Keluarga Kudus merupakan sebuah komunitas yang didirikan pada akhir tahun 1800-an
sebagai sebuah misi gereja yang kemudian berkembang Atlanta pada tahun 1950-an. Komunitas
ini hadir dilatarbelakangi oleh konflik yang terjadi di sekitar gereja pada awal 1980-an, setelah
serangkaian perubahan di lingkungan dan konflik atas kepemimpinan gereja. Pendeta pada waktu
itu mulai mengundang orang-orang yang ditemuinya di lingkungan itu, banyak di antaranya
tinggal di rumah-rumah kelompok. Gereja tidak hanya berbagi makanan mingguan dengan
mereka yang berkunjung tetapi juga menyambut mereka ke dalam kehidupan ibadah komunitas.8
Jemaat Keluarga Kudus berpartisipasi dalam ibadah liturgi dengan membawa warta, buku pujian,
buku doa dan sebuah topi sebagai pertanda kekhususan mereka di dalam peribadahan.
Liturgi mingguan Keluarga Kudus berbeda dari banyak gereja lain dalam penekanan
regulernya pada layanan penyembuhan dan doa sebagai praktik di mana jemaat dapat menyebut
5
Anne Fritzon, People With Disability in The Bible: Who are Theu and What Can We Learn From Them?
(Leicester: Intervarsity Press, 1992) 300.
6
Etnografi (bahasa Yunani ἔθνος ethnos= rakyat dan γραφία graphia = tulisan) adalah suatu
bidang penelitian ilmiah yang sering digunakan dalam ilmu sosial, terutama dalam antropologi dan beberapa
cabang sosiologi. (diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Etnografi pada tanggal 30 Oktober 2021 pukul 20.15
WIB).
7
Rebecca F. Spurrier, The Disabled Church: Human Difference and the Art of Communal Worship, (New York:
Fordham University Press, 2020) 10.
8
Rebecca F. Spurrier, The Disabled Church., 6.

4
hidup mereka di hadapan Tuhan. Setiap Rabu, liturgi penyembuhan dan pengurapan
berlangsung. Setelah kitab suci dibacakan dan doa untuk kesembuhan diucapkan, dua garis
panjang terbentuk di depan imam atau diaken. Banyak jemaat menunggu giliran untuk
menyampaikan keprihatinan mereka dan mengizinkan orang lain untuk berdoa dan mengurapi
mereka. Selain itu, sebagian besar hari Minggu, doa opsional untuk penyembuhan ditawarkan di
belakang gereja setelah komuni: beberapa jemaat berlutut di bangku kayu di dekat pintu selama
kebaktian sementara jemaat lain menghadap mereka, menyebutkan nama mereka, tangan
bertumpu di bahu mereka, untuk berdoa untuk mereka.9
II. Pembahasan
II.1. HKBP Lumban Huala
Gereja HKBP Lumban Huala adalah gereja yang berada di daerah Gala-Gala Pangkailan,
Parmakasian, Kabupaten Toba. Menurut buku Jubileum 100 Tahun HKBP Lumban Huala tahun
1998, Gereja HKBP Lumban Huala berdiri pada tanggal 5 Juli 1898 dilatarbelakangi oleh
pembangunan Gereja HKBP Pangombusan yang berdiri pada tahun 1894 berdasarkan informasi
dari nenek moyang pendahulu, HKBP Pangombusan berdiri kira-kira bulan Juli 1894 yang
dipimpin oleh pendeta yang dikirim oleh Ompu Nommensen, yaitu Pdt.Berich (Bergelar Tuan
Tinggi). Empat tahun kemudian, setelah nenek moyang beribadah di Pangombusan, kemudian
mengingat jemaat yang semakin banyak, didirikan pula HKBP Lumban Huala yang terletak di
Sipinggan.10 Setelah 116 tahun semenjak berdirinya HKBP Lumban Huala, menurut Barita Jujur
Taon HKBP Lumban Huala tahun 2014, HKBP Lumban Huala berkembang semakin pesat
dengan 135 kepala keluarga yang terdiri 173 orang kaum ibu, 135 orang kaum bapak, 194 kaum
pemuda, 188 orang anak sekolah minggu, jumlah keseluruhan 690 orang.11 Saat ini terdapat 11
orang pelayan gereja HKBP Lumban Huala terdiri atas 1 orang Pendeta Ressort, 1 orang
Pimpinan Jemaat dan 9 orang penatua jemaat.12
Berdasarkan pengumpulan data, penyandang disabilitas di HKBP Lumban Huala
berjumlah 9 orang dimana tiga orang menyandang disabilitas fisik, empat orang menyandang
disabilitas mental dan dua orang menyandang disabilitas fisik dan mental. Berikut data rinci dan
keterangan penyandang disabilitas jemaat HKBP Lumban Huala:

9
Rebecca F. Spurrier, The Disabled Church., 142.
10
Proposal Pesta Jubileum 100 Tahun HKBP Lumban Huala, Juli 1998, 1.
11
Berich HKBP Lumban Huala tahun 2014.
12
Nainggolan, Pdt. Samuel, pimpinan jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Lumban Huala, 01
Oktober 2021.

5
No. Nama Jemaat Usia Jenis Disabilitas Alamat
1. Leli Manurung 23 Tahun Tunawicara Banjar Ganjang
2. Putri Pardede 18 Tahun Tunawicara & Tunadaksa Lumban Tonga-Tonga
3. Tianur Sitorus 79 Tahun Tunadaksa Lumban Binanga
4. Richard Marbun 13 Tahun Tunagrahita Sosor Nabolon
5. Joko Manurung 18 Tahun Down Syndrome Lumban Tungkur
6. Danuarta Manurung 14 Tahun Tunagrahita Banjar Ganjang
7. Hezekiel Manurung 16 Tahun Autis Pasar Sipinggan
8. Natalia Manurung 14 Tahun Autis Lumban Tungkur
9. Anjani Sinambela 15 Tahun Autis Lumban Lintong
Gambar 2.1.1. Tabel Data Penyandang Disabilitas
Penulis mengamati penyandang disabilitas terkait cara menjalani kesehariannya dan
menjalin relasi dengan orang lain. Penulis melakukan wawancara kepada penyandang disabilitas
(2 orang), dan tokoh-tokoh terkait (3 orang). Penulis mengajukan sejumlah pertanyaan
berhubungan dengan persepsi penyandang disabilitas tentang dirinya, interaksinya dengan
masyarakat sekitar maupun mencari tahu usaha-usaha yang dilakukan oleh gereja dalam
memberi perhatian terhadap penyandang disabilitas.
II.2. Narasi Wawancara
- Pdt. Samuel Nainggolan, S.Th (Pimpinan Jemaat)13
Bapak Pdt. Samuel Nainggolan merupakan pimpinan jemaat (Uluan Huria) HKBP
Lumban Huala yang mulai melayani di gereja ini sejak Agustus 2020 hingga saat ini. Beliau
tinggal di rumah dinas jemaat yang berada di komplek gereja HKBP Lumban Huala. Menurut
penuturan beliau, ada sekitar sepuluhn orang jemaat yang ia layani mengalami keterbatasan fisik
atau sebagai kaum penyandang disabilitas. Sejak bapak Pendeta Nainggolan melayani di gereja
ini, tidak ada program khusus untuk penyandang disabilitas. Namun, dewan diakonia sosial
jemaat memberikan dana sosial kepada jemaat penyandang disabilitas setiap tahun pada akhir
tahun / ketika Natal. Berhubung adanya pembatasan kegiatan masa pandemi selama bapak
pendeta Nainggolan melayani di gereja HKBP Lumban Huala, belum ada kegiatan khusus yang
dilakukan. Liturgi dalam peribadahan gereja HKBP Lumban Huala menggunakan Agenda
HKBP Bahasa Batak pada minggu kedua, ketiga dan keempat dengan Buku Ende sebagai lagu
pujian sedangkan Agenda HKBP Bahasa Indonesia pada minggu pertama dengan Buku
Nyanyian HKBP serta Kidung Jemaat sebagai lagu pujian. Bapak Pendeta Nainggolan
menyatakan belum ada ibadah dengan liturgi khusus yang digunakan kepada para penyandang
13
Nainggolan, Pdt. Samuel, pimpinan jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Lumban Huala, 01
Oktober 2021.

6
disabilitas karena memang dari pusat pun tidak ada program yang mengarah kepada liturgi bagi
penyandang disabilitas.
- Ibu Esrum br. Tambunan (Jemaat)14
Ibu Esrum merupakan salah satu jemaat HKBP Lumban Huala yang aktif melayani
sebagai song leader di gereja. Ibu Esrum berusia 33 tahun bekerja sebagai pegawai di
Perusahaan TPL dan telah memiliki 2 orang anak. Berdasarkan penuturan Ibu Esrum, gereja
belum memiliki program secara khusus kepada kaum penyandang disabilitas di tengah-tengah
jemaat gereja. Namun, program akhir tahun diakonia ketika natal pernah mengikutsertakan
penyandang disabilitas dalam pemberian bingkisan natal berupa uang sosial.
Ketika diwawancarai, Ibu Esrum menceritakan tetangganya yang juga merupakan jemaat
HKBP Lumban Huala bernama Danu Manurung berusia sekitar 8 tahun yang mengalami
keterbatasan fisik yaitu keterbelakangan mental. Orangtua dari Indah Manurung telah lama
pisah, ayahnya telah menikah lagi dan ibunya bekerja sebagai buruh harian lepas di usaha
katering milik tetangganya. Danu Manurung anak kedua dari lima bersaudara. Agar kebutuhan
hidup keluarga Danu Manurung dapat tercukupi dengan baik, terpaksa ia harus tinggal bersama
neneknya yang bertempat tinggal dekat dengan ibunya. Danu Manurung tidak mengecap
pendidikan baik formal maupun pendidikan di sekolah luar biasa, karena keterbatasan ekonomi
keluarganya. Danu Manurung hanya tinggal di rumah, belum dapat jalan dan tidak bisa
berbicara. Keterbelakangan mental yang dialami membuatnya tidak bisa melakukan aktifitas
sehari-hari. Danu hanya bisa digendong oleh neneknya dan sering dibawa ke pasar oleh
neneknya untuk berjualan petai di Pajak Porsea. Menurut penuturan Ibu Esrum, Danu Manurung
tidak pernah mengikuti peribadahan di gereja dikarenakan keterbatasan fisik dan mental yang
dialami dan juga faktor keluarga yang memang tidak aktif dan tidak pernah datang beribadah ke
gereja. Ibu Esrum menyayangkan sikap orangtua Danu yang menelantarkan anak mereka yang
berkebutuhan khusus dan seharusnya membutuhkan peran kedua orangtuanya.
- W. br. Sitorus (Orangtua Leli Manurung)15
Ibu W. br. Sitorus merupakan orangtua dari saudari Leli Manurung seorang tunawicara
berumur 23 tahun yang tinggal di Lumban Huala. Ibu W Sitorus mengatakan bahwa hanya
anaknya saja yang mengalami keterbatasan bicara atau tunawicara di keluarga mereka. Ibu W.
br. Sitorus mengetahui anaknya mengalami keterbatasan bicara ketika anaknya berumur 2 tahun
14
Tambunan, Esrum, Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Parmaksian, 02 Oktober 2021.
15
Sitorus, W., Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Lumban Huala, 02 Oktober 2021.

7
yang hanya bisa nangis dan tidak bisa mengeluarkan bahasa sesuai perkembangan umurnya.
Hingga berumur 23 tahun, Leli hanya mampu mengatakan kata “Mamak” “Bapak” dan
“Opung” walau tidak terlalu jelas. Kesehariannya, Leli menggunakan bahasa tubuh dengan
isyarat-isyarat sederhana, karena Leli tidak menempuh pendidikan Sekolah Luar Biasa. Leli
menempuh pendidikan formal sampai usia 10 tahun atau setara kelas 4 SD. Menurut pemaparan
Ibu W. br. Sitorus, Leli tidak melanjutkan sekolah formal atau berhenti di tengah jalan
dikarenakan terganggunya teman-teman Leli di sekolah terhadap dirinya, Leli akan berteriak
dengan kuat apabila ada yang mengganggu dia, itu yang membuat teman-temannya tidak
nyaman dan orangtua Leli memutuskan agar Leli tidak melanjutkan pendidikannya.
- Putri Sari Permata Pardede (Penyandang Disabilitas)16
Putri Sari Permata Pardede merupakan seorang gadis berumur 18 tahun tinggal di
Lumban Tonga-Tonga penyandang disabilitas tuna wicara dan tuna daksa akibat kecelakaan
yang dialaminya pada 1 November 2018. Saat ini, Putri sudah mulai mampu berbicara sedikit
demi sedikit walau tidak terlalu jelas. Kecelakaan yang dialaminya menjadikan trauma yang
membuat dirinya merasakan kekecewaan yang sangat berat dan mengurung diri selama hampir
dua setengah tahun. Kecelakaan itu menyebabkan Putri tidak sadarkan diri selama tiga bulan di
rumah sakit di Medan dan harus mengalami tiga kali operasi pita suara dan satu kali operasi
pemasangan pen di bagian pinggang. Selama dua tahun Putri tidak bisa berjalan dan berbicara
dan hanya mengandalkan kursi roda sebagai alat bantu pergerekannya. Saat ditemui, Putri masih
sedikit merasa minder dan tidak banyak merespon. Hal terbesar yang membuat dirinya kecewa
saat ini adalah ketika melihat teman-teman sebayanya telah mengenyam pendidikan di Perguruan
Tinggi sedangkan dirinya harus putus sekolah karena kecelakaan yang menimpanya.
- St. Victor Siagian (Penatua Gereja)17
Bapak Victor Siagian merupakan penatua gereja HKBP Lumban Huala yang telah
melayani sejak tahun 2007. Bapak Victor merupakan parartaon gereja. Berdasarkan hasil
wawancara dengannya, ia menjelaskan disabilitas merupakan ketidakmampuan seseorang
mengerjakan tugasnya dan pekerjaannya seperti orang normal biasanya. Gereja HKBP belum
memiliki program khusus kepada penyandang disabilitas sebagai anggota gereja. Orangtua
perempuan bapak Victor yaitu ibu Sitorus merupakan penyandang disabilitas akibat kecelakaan
(jatuh) ketika masih SD menyebabkan kehilangan kemampuan berjalan. Namun bapak Victor
16
Pardede, Putri, Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Lumban Tonga-Tonga, 02 Oktober 2021.
17
Siagian, Victor, Penatua Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Sirait Uruk, 03 Oktober 2021

8
mengatakan bahwa keterbatasan ibunya tidak menjadi penghalang untuk membangun rumah
tangga. Ketika masih muda hingga berumur 60 tahun, ibu Sitorus aktif dalam kegiatan gereja
seperti ikut serta dalam ibadah minggu, masuk dalam persekutuan koor, aktif dalam
partangiangan weijk, dan kegiatan lainnya. Karena keterbatasan fisik yang dialami ibu Sitorus,
dalam perayaan liturgi ketika berdiri, ibu Sitorus hanya duduk saja di bangku jemaat. Bapak
Victor berharap bahwa kedepannya gereja harus peka terhadap orang-orang dengan penyandang
disabilitas.
- Roslinda br. Manurung (Jemaat)18
Ibu Roslinda br. Manurung merupakan jemaat HKBP Lumban Huala yang berada di
Sirait Uruk yang merupakan seorang guru dan mempunyai usaha katering di daerah Lumban
Huala. Ibu Roslinda Manurung melihat disabilitas sebagai realitas sosial yang terjadi dan hal
yang wajar. Ibu Roslinda menyayangkan orangtua atau keluarga dari penyandang disabilitas
yang menjadi pasif akibat anggota keluarganya mengalami keterbatasan fisik, ia menilai bahwa
walaupun dengan keterbatasan fisik, keluarga khususnya orangtua harus mampu mendukung
anak-anak mereka yang mengalami keterbatasan fisik untuk tetap hadir di gereja, ikut serta di
dalam peribadahan gereja bahkan untuk kegiatan-kegiatan gereja lainnya.
III. Analisa Hasil Penelitian
III.1. Pemahaman Penyandang Disabilitas Terhadap Dirinya
Berdasarkan percakapan melalui wawancara penulis kepada narasumber, penyandang
disabilitas bernama Putri mengalami disabilitas fisik dikarenakan kecelakaan yang menimpa
dirinya yang memunculkan penolakan terhadap keadaan dirinya dari yang normal beraktifitas ke
keadaan yang baru yaitu sakit dan berkebutuhan khusus. Putri mengalami kekecewaan dan
ketidaksiapan mental yang dominan sehingga dirinya mengalami penutupan diri dan menjauh
dari keramaian masyarakat. Penutupan diri atau perasaan minder yang dialami Putri membuat
keterpurukan diri dengan jangka waktu yang lama sekitar 3 tahun sejak kejadian kecelakaan
yang menimpa dirinya. Putri merasa kekurangannya adalah suatu yang merugikan bagi dirinya
dan menjadikan dirinya sebagai orang yang pasif dalam lingkungannya. 19 Dalam kondisi
tersebut, keberadaan orang-orang di sekitar seperti keluarga, teman dan masyarakat sangat
dibutuhkan untuk membantu memulihkan dan mengubah penyandang disabilitas memahami diri.
Hal inilah yang harus ditempuh oleh majelis gereja melalui program konseling pastoral dan
18
Manurung, Roslinda, Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Sirait Uruk, 03 Oktober 2021
19
Pardede, Putri, Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Lumban Tonga-Tonga, 02 Oktober 2021

9
pendampingan terhadap penyandang disabilitas agar mereka perlahan menerima kenyataan dan
membuka diri untuk boleh berpartisipasi dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh gereja.
Pengalaman berbeda dituturkan oleh orangtua Leli Manurung yang mengalami cacat fisik
sejak lahir. Leli Manurung tergolong anak yang aktif dan ceria walau mengalami tunawicara.
Leli termasuk orang yang mudah bergaul dan bersosial dengan orang-orang di sekitarnya bahkan
Leli sempat mengikuti pendidikan normal sampai usia 10 tahun atau setara kelas 4 SD. Leli
menerima keberadaan dirinya ketika semakin beranjak dewasa, ia sudah memiliki kepercayaan
dan penerimaan atas dirinya, tidak merasa malu ataupun minder.20 Faktor utama yang mendorong
dirinya untuk percaya diri adalah keluarga sebagai motivasi terbesarnya dalam menjalani
kehidupan. Faktor kedua adalah pelayan gereja yang mau mengikutsertakan Leli pada kegiatan-
kegiatan gereja seperti kegiatan Pendalaman Alkitab, latihan paduan suara dan kegiatan pemuda
lainnya.
III.2. Pandangan Warga Jemaat tentang Disabilitas
Disabilitas sebagai orang-orang yang mempunyai keterbatasan khusus yang harus
dirangkul agar mereka tidak merasa minder atas keterbatasan yang mereka alami. Disabilitas
adalah sebuah realitas sosial yang tidak dapat dihindarkan dan keberadaannya selalu ada di
tengah masyarakat maupun gereja. Kaum disabilitas sebagai orang-orang yang juga dikasihi
Allah dan tidak boleh ada pembedaan kepada mereka yang berkebutuhan khusus, karena mereka
juga merupakan ciptaan Allah yang sempurna dan dikasihi oleh Allah.21 Penyandang disabilitas
tidak hanya sebatas mereka yang cacat secara fisik, tetapi cacat secara mental juga boleh
dikatakan penyandang disabilitas karena mereka memiliki keterbatasan dalam melaksanakan
kegiatan kesehariannya dan membutuhkan oranglain dalam melakukan aktifitasnya. 22 Dari
berbagai pemahaman jemaat ini, dapat disimpulkan bahwa penyandang disabilitas merupakan
orang-oranng yang kekurangan fisik dan mental dan memiliki keterbatasan dalam melakukan
aktifitas dan berpartisipasi dalam lingkungan.
III.3. Sikap Gereja Terhadap Kaum Disabilitas
Penyandang disabilitas dalam konteks penelitian ini berhadapan dengan dua tantangan:
Pertama, mereka harus mengalahkan adanya sikap diskriminatif dan usaha segelintir oknum dan
lingkungan yang tidak ingin penyandang disabilitas berpartisipasi dalam kegiatan gereja. Kedua,

20
Sitorus, W., Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Lumban Huala, 02 Oktober 2021
21
Tambunan, Esrum., Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Parmaksian, 02 Oktober 2021
22
Manurung, Roslinda, Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Siraiat Uruk, 03 Oktober 2021

10
sikap inferior karena merasa lemah atau tidak memiliki kepercayaan diri karena menganggap
dirinya tidak normal seperti orang lain. Kondisi inilah yang mungkin boleh menjadi pendukung
penyadaran terhadap majelis jemaat di HKBP Lumban Huala dalam membuat program oleh
majelis Gereja. Berdasarkan penelitian yang diadakan, penulis melihat sikap gereja HKBP
Lumban Huala terhadap jemaat dengan kebutuhan khusus atau kaum disabilitas masih belum
terlihat dengan jelas, karena tidak ada program yang dibuat oleh majelis gereja. Hal sederhana
yang boleh penulis tawarkan dalam program kepada penyandang disabilitas adalah dengan
melakuan perkunjungan atau konseling pastoral kepada jemaat dengan skala yang rutin karena
melalui perkunjungan dapat mengubah konsep diri negatif yang melekat dalam benak dari
penyandang disabilitas. Melalui perkunjungan yang dilakukan pelayan gereja terlihat empati
kepada yang lemah (penyandang disabilitas). Pesan itulah yang diterima dan mendapat respon
positif sehingga penyandang disabilitas mau terbuka menceritakan keadaan, pengalamannnya
dan mendorong munculnya keinginan untuk berubah. Perkunjungan memperlihatkan bahwa
penyandang disabilitas memiliki tempat di tengah pelayanan gereja sehingga menjadi jalan untuk
mengalahkan perasaan inferior atau minder.
Menurut Rebecca, melalui pengalaman pribadinya, gereja harus mampu menjadikan
liturgi sebagai kebutuhan rohani khususnya penyandang disabilitas. Hal lainnya adalah
bagaimana pengkhotbah mampu memberitakan firmana Tuhan untuk menguatkan orang-oranag
yang mengalami disabilitas agar tetap kuat dan tidak malu atas keadaan yang diterimanaya.
Khotbah yang disampaikan harus mudah dimengerti terlebih kepada orang-orang yang
mempunyai cacat mental agar tetap mengenal Tuhan dan Kekristenan walau dalam keterbatasan
yang dimiliki.23 Ketika mereka mengenal Tuhan mengetahui apa maksud Tuhan terhadap dirinya
bahwa Tuhan mengasihi mereka dan keterbatasan mereka mereka akan mampu mengerti
eksistensinya dan mengenal dirinya serta mengasihi dirinya sendiri. Hal ini yang akan
menguatkan para penyandang disabilitas untuk semakin dekat dengan Ilahi.24
Hal lain yang menjadi sikap gereja dan jemaat terhadap penyandang disabilitas seperti
yang dipaparkan dalam jurnal adalah penamaan atau pemanggilan terhadap orang-orang yang
menyandang disabilitas. Penamaan terhadap dirinya oleh orang sekitar sangat mempengaruhi
kesadaran diri para penyandang disabilitas. Gereja harus mampu mengubah perspektif jemaat
dalam menganggap para penyandang disabilitas. Seperti dijelaskan, pada komunitas Sacred
23
Rebecca F. Spurrier, The Disabled Church., 126
24
Rebecca F. Spurrier, The Disabled Church., 131

11
Family, pentingnya menggunakan bahasa “orang pertama” – orang yang unik atau orang dengan
kebutuhan khusus, sehingga orang tersebut tidak menghilang di balik mantel penyakit atau
kecacatan. Jika jemaat melakukan penamaan yang merujuk kepada pengertian negatif seperti
penamaan orang cacat, penamaan sakit mental menjadi “gila”, cacat fisik dengan kata “buntung”
maka para penyandang disabilitas akan merasa diri mereka tidak dihargai dan keberadaan
mereka hanya sebagai olok-olok orang sekitar.25 Edukasi yang baik terhadap warga jemaat
dibutuhkan dalam rangka mengubah persepsi mereka terhadap penyandang disabilitas. Bukan
menjadikan mereka objek yang di pandang rendah maupun sebagai saingan dalam partisipasi
pada kegiatan di jemaat (merujuk pada kasus yang telah diungkap dalam pemaparan data).
Penting untuk menempatkan penyandang disabilitas sebagai mitra dalam kehidupan berjemaat
dan dalam keterlibatan bersama dalam pelayanan di gereja.
IV. Penutup
Kaum penyandang disabilitas merupakan orang yang memiliki keterbatasan dalam hal
fisik, dan sering sekali mereka menjadi terpinggirkan, tidak dianggap dan ditolak didalam
masyarakat. Padahal nyatanya mereka juga adalah citra Allah yang sama-sama menerima karunia
dari Allah. Dalam konteks penyandang disabilitas berdasarkan penelitian ini, penulis menarik
kesimpulan bahwa belum ada program khusus yang dilakukan gereja terhadap kaum disabilitas
di HKBP Lumban Huala. Pelayanan yang mengarah pada pemberdayaan dibutuhkan gereja
untuk meningkatkan partisipasi mereka pada berbagai bidang kehidupan. Membuat mereka
(penyandang disabilitas) menjadi pribadi yang tidak selalu bergantung kepada orang lain dan
meningkatkan derajat serta fungsi sosialnya di tengah masyarakat. Pemberdayaan kaum
disabilitas sebagai proses, cara, untuk memberdayakan, ataupun kemampuan dalam melakukan
sesuatu untuk bertindak demi mencapai tujuan.
Maka dengan begitu Gereja juga harus memperhatikan bagaimana jemaat penyandang
disabilitas untuk beribadah dan memberikan pelayanannya. Gereja terpanggil mengajak manusia
untuk menghidupi hidup yang kudus. Yaitu hidup yang memperjuangkan supaya lebih taat pada
Kristus dari pada kuasa di dunia ini. Gereja merupakan perkumpulan dari semua orang-orang
kudus yang mendapat bagian dalam Kristus Yesus, dari segala tempat, bangsa, marga, yang
miskin, yang kaya, laki-laki atau perempuan dan bahkan orang yang penyandang disabilitas yang
telah memperoleh bagian dalam karunia-karunia yang diberikan Tuhan. Sehingga Gereja tidak

25
Rebecca F. Spurrier, The Disabled Church., 134

12
boleh membeda-bedakan status sosial warga jemaat dan fisik jemaat yang penyandang
disabilitas. Oleh karena itu kesatuan di dalam Gereja hanya didasarkan pada Kristus, bukan
karena kesatuan menurut yang dipahami dunia, tetapi kesatuan rohani. Karena kesatuan
rohanilah yang mendorong pada penampakan kesatuan hidup di dalam iman, baptisan,
pengharapan, saling memahami, saling membantu, saling percaya, saling mengasihi.

Daftar Pustaka
Banawiratma, J.B. 1992. Proses Teologi Sosial dalam Aspek-Aspek Teologi Sosial, ed. J.B.
Banawiratma Yogyakarta: Kanisius.
Berich HKBP Lumban Huala tahun 2014.
Fritzon, Anne. 1992.People With Disability in The Bible: Who are Theu and What Can We
Learn
From Them? Leicester: Intervarsity Press,
Indonesia,Undang-Undang Tentang Penyandang Disabilitas, UU No. 8 Tahun 2016, Bab. I, ps.1.
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). diakses http://kbbi.web. pada 06 Oktober
2021
Proposal Pesta Jubileum 100 Tahun HKBP Lumban Huala, Juli 1998, 1.
Spurrier, Rebecca F. 2020. The Disabled Church: Human Difference and the Art of Communal
Worship, New York: Fordham University Press.
Teddywono, Innawati. 2020. Pemuridan Bagi Jemaat Penyandang Disabilitas, (Sanctum
Domini: Jurnal Teologi 10, no. 11 (December 29, 2020): 17–34, diakses 1 Oktober 2021,
http://sosbud.kompasiana.com/2014/06/14/disabil.

13
Wawancara:
Manurung, Roslinda, Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Sirait Uruk, 03
Oktober 2021
Nainggolan, Pdt. Samuel, pimpinan jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis,
Lumban Huala, 01 Oktober 2021.
Pardede, Putri, Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Lumban Tonga-Tonga,
02 Oktober 2021.
Siagian, Victor. Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Sirait Uruk, 03 Oktober
2021
Sitorus, W., Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Lumban Huala, 02 Oktober
2021.
Tambunan, Esrum, Jemaat HKBP Lumban Huala, wawancara oleh penulis, Parmaksian, 02
Oktober 2021.

14

Anda mungkin juga menyukai