Anda di halaman 1dari 11

PAJAK PENGHASILAN UMUM

Pajak Penghasilan Umum


Berdasarkan undang-undang No. 7 tahun tentang Pajak Penghasilan (PPh)
yang berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali
mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan undang-undang nomor 36
tahun 2008.
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur mengenai Pajak
Penghasilan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam tahun pajak. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan,
dalam Undang-undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib pajak dikenai pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat
pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban
pajak subjeknya dimulai atau berakhir pada tahun pajak.
Undang-undang PPh menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai
pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak.

Subjek Pajak dan Wajib Pajak


Yang menjadi subjek pajak adalah :
1. Orang pribadi,
2. Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang
berhak,
3. Badan, terdiri atas perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, bumn/bumd dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi social politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif,
4. Bentuk usaha tetap (but).

Subjek pajak dapat dibedakan menjadi 2, yakni ;


1. Subjek Pajak Dalam Negeri Yang Terdiri Dari :
a. Subjek pajak orang pribadi, yaitu :
 Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut)
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
 Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai nilai bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subjek pajak badan, yaitu :
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintahan yang memenuhi criteria :
1) Pembentukkannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan,
2) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
3) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintahan pusat atau
pemerintah daerah, dan
4) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.
c. Subjek pajak warisan, yaitu :
Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.

2. Subjek Pajak Luar Negeri Yang Terdiri Dari :


a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,
dan
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh panghasilan dari Indonesia tidak dari menjalakan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Dari pembahasan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwasanya wajib


pajak adalah orang pribadi atau badan yang yang telah memenuhi kewajiban
subjektif dan objektif. Seseorang yang termasuk dalam subjek orang pribadi
dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh
penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Sedangkan
subjek pajak badan dalam negeri menjadi wajib pajak sejak saat didirikan, atau
bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi
maupun badan sekaligus menjadi wajib pajak karena menerima dan/atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau yang melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
Perbedaan wajib pajak dalam dalam negeri dan wajib pajak luar negeri, antara
lain :
Wajib Pajak Dalam Negeri Wajib Pajak Luar Negeri
 Dikenakan pajak atas penghasilan  Dikenakan pajak hanya atas
baik yang diterima atau diperoleh penghasilan yang berasal dari
dari Indonesia dan dari luar sumber penghasilan di Indonesia
indonesia.  Dikenakan pajak berdasarkan
 Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto
penghasilan netto.  Tarif pajak yang digunakan adalah
 Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan (tarif UU PPh pasal
tarif umum (tariff UU PPh pasal 26)
17)  Tidak wajib menyampaikan SPT.
 Wajib menyampaikan SPT
Kewajiban Pajak Subjektif

Tabel mulai dan berakhirnya pajak subjektif


MULAI BERAKHIR

Subjektif pajak dalam negeri orang Subjektif pajak dalam negeri orang
pribadi: pribadi:
 Saat dilahirkan  Saat meninggal
 Saat berada di indonesia atau  Saat meninggalkan indonesia untuk
bertempat tinggal di indonesia selama-lamanya

Subjektif pajak dalam negeri badan: Subjektif pajak dalam negeri badan:
 Saat didirikan atau bertempat  Saat dibubarkan atau tidak
kedudukan di indonesia bertempat kedudukan di indonesia
Subjek  pajak luar negeri melalui Subjek  pajak luar negeri melalui
BUT: BUT:
 Saat menjalankan usaha atau  Saat tidak lagi menjalankan usaha
melakukan kegiatan melalui BUT di atau melakukan kegiatan melalui
indonesia BUT di indonesia

Subjek pajak luar negeri tidak melalui Subjek pajal luar negeri tidak melalui
BUT: BUT:
 Saat menerima atau memperoleh  Saat tidak lagi menerima atau
penghasilan dari indonesia memperoleh penghasilan dari
indonesia

Warisan belum terbagi: Warisan belum terbagi:


 Saat timbulnya warisan yang belum  Saat warisan telah selesai dibagikan
terbagi

TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK


Yang tidak termasuk subjek pajak adalah :
1. Kantor perwakilan Negara asing.
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat lain dari Negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersama-sama mereka.
3. Organisasi internasional sebagai mana dimaksud dalam keputusan menteri
keuangan no 661/KMK.04./1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagai mana
telah diubah terkhir dengan keputusan Menteri Keuangan nomor
314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998. Syarat ;
a. Negara Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah
yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional, sebagai mana dimaksud dalam
keputusan Menteri Keuangan no 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember
1994 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan nomor
314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dengan syarat :
a. Bukan warga Negara Indonesai.
b. Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia.

OBJEK PAJAK
Yang termasuk objek pajak adalah orang-orang yang memiliki
penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh seseorang/Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, termasuk :
1. Pergantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, grafitasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
Laba usaha;
- Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
a) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal
b) Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya
c) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pegambilalihan usaha, atau reorganisasi
dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
d) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali, yang diberikan kepada keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan,
badan pendidikan, badan social termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan
e) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagai atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
penegmbalian utang;
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
8. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. Premi asuransi;
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksus dalam Undang-undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
19. Surplus Bank Indonesia.

Penghasilan Tersebut Dapat Dikelompokan Menjadi:


1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaries, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya.
2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
3. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, dividen,
royalty, keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan
sebagainya.
4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke
dalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan di atas, seperti:
a) Keuntungan karena pembebanan utang.
b) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
c) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
d) Hadiah undian.

Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi Objek Pajak adalah
penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri, yang menjadi Objek Pajak hanya
penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.
Tidak Termasuk Objek Pajak
a. Bantuan atau sumbangan
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dan instansi lainnya
seperti: badan pendidikan, badan sosial,koperasi dll
c. Warisan
d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham.
e. Penggaian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau
pemerintah
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa
g. Dividen atau pembagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan danbertempat kedudukan
di Indonesia dengan syarat :
 Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
 Bagi perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen paling
rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha
aktif diluar kepemilikan  saham tersebut                           
h. Iuran yang diterima atau dana pension
i. Penghasilan dari modal yang telah ditanamkan oleh dana pension
j. Bagian laba yang diterima
k. Penghasilan yang diterima perusahaan modal berupa laba
l. Beasiswa
m. Laba lebih yang diterima atau lembaga nirlaba bidang pendidikan
n. Bantuan atau santunan

DASAR PENGENAAN PAJAK DAN CARA MENGHITUNG


PENGHASILAN KENA PAJAK
Dasar pengenaan Pajak :
Untuk wajib pajak dalam negeri dan untuk usaha tetap ( BUT ) yang menjadi
dasar pengenaan pajak adalah penghasilan kena pajak. Sedangkan untuk wajib
pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.
Yang perlu diingat besarnya penghasilan kena pajak  untuk wajib pajak pada badan
dihitung sebesar penghasilan netto.
Penghasilan kena pajak (WP badan )    = penghasilan netto

Untuk wajib pajak orang pribadi dihitung dari pengfhasilan netto – PTKP
Penghasilan kena pajak (WP orang pribadi ) = penghasilan netto- PTKP

Cara menghitung penghasilan kena pajak


Penghitungan besarnya penghasilan netto bagi wajib pajak didalam negeri
dan badan usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Menggunakan pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara
teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi
harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan
dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak
berakhirembukuan.
Untuk WP badan besar penghasilan kena pajak = penghasilan netto yaitu
penghasilan bruto dikurangi PPH .
Penaghasilan Kena pajak ( WP badan)
= Penghasilan Netto
= Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh-PTKP

Untuk WP Orang Pribadi  besar penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan
netto dikurangi dengan PTKP
Penaghasilan Kena pajak ( WP orang pribadi)
= Penghasilan Netto-PTKP
= Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh

Wajib pajak yang boleh menggunakan NPPN adalah WP orang pribadi yang
memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Predaran bruto kurang dari Rp.4.800.000.000,00 Per tahun
2. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari
tahun buku
3. Menyelenggarakan pencatatan

Contoh penghitungan pajak yang terutang (NPPN)


Diket: anto menikah ( istri tidak bekerja) dan memiliki 3 orang anak, anto
seorang dokter bertempat tinggal dijakarta ia memiliki industri rotan. Misalnya
besar presentase norma untuk industri rotan dicirebon 12,5% , dan dokter jakarta
45%.
Peredaran usaha dari industri rotan dicirebon setahun Rp.400.000.000 ,
penerimaan seorang dokter dijakarta setahun Rp. 100.000.000, hitunglah penghasilan
netto?
Jawaban:

Dari industri rotan: 12,5% x Rp.400.000.000     =       Rp. 50.000.000

Sebagai seorang dokter: 45% x Rp. 100.000.000         =      RP. 45.000.000

Jumlah penghasilan netto                                               =       RP. 95.000.000

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK              =     Rp. 21.120.000

Penghasilan kena pajak                                                   =       Rp. 73.880.000


PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Besarnya PTKP setahun yang berlaku saat ini adalah ;
1. Rp.15.840.000,00 untuk wajib pajak orang pri badi
2. Rp.1.320.000,00 tambahan untuk wajib pajak yang kawin
3. Rp.15.840.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya di
gabung dengan penghasilan suami, dengan syarat
 Penghasilan istri tidak semata-mata di terima atau diperoleh dari satu
pemberi kerja yang telah di potong pajak berdasarkan ketentuan dalam UU
PPh pasal 21, dan
 Pekertjaan istri tidak ada hubungan dengan usah atau pekerjaan bebas
suami atau anggota keluarga lainnya
4. Rp 1.320.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus  serta anak angkat menjadi
tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang )

TARIF PAJAK
Wajib pajak orang pribadi dalam negeri :
1. Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajip pajak orang
pribadi dalam negri adalah sebagai berikut ;
Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak
Sampai dengan Rp.50.0000.000,00 5%
Di atas Rp 50.0000.000,00 sampai dengan 15%
Rp 250.0000.000,00
Diatas 250.0000.000,00 sampai dengan 25%
Rp. 500.0000.000,00
Diatas Rp. 500.0000.000,00 30%

Cara menghitung pajak


Rumus menghitung wajib pajak badan
Pajak penghasilan ( wajib pajak badan)
= Penghasilan kena pajak x tarif pasal 17
                                                                                                      
= Penghasilan netto x tarif pasal 17
= (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU pph) x tarif
pasal 17

Rumus menghitung wp orang pribadi :


Pajak penghasilan ( WP orang pribadi)
= Penghasilan kena pajak x tarif pasal 17
                                                                                                      
= Penghasilan netto – PTKP ) x tarif pasal 17
= (penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU pph) -PTKP x
tarif pasal 17
PEMOTONGAN ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN YANG
BERSIFAT FINAL
Pemotongan atau pemungutan PPh tetap dilaporkan dalam surat
pemberitahuan ( SPT ), hanya saja jumlahnya tidak dijumlahkan dengan
penghasilan lainnya.

CARA MELUNASI PAJAK


Cara melunasi pajak ada 2 cara:
1. Pelunasan pajak tahun berjalan,yaitu pelunasan pajak dalam masa pajak 
2. Pelunasan pajak sesudah akhir tahun
Kesimpulan:
Maksud baik pemerintah untuk mendorong peningkatan daya beli
masyarakat pekerja melalui program stimulus fiskal berupa Pajak Penghasilan
Pasal 21 ditanggung oleh pemerintah (PPh Pasal 21 DTP) sepertinya belum
ditanggapi sebagaimana yang diharapkan. Dalam beberapa kesempatan, Dirjen
Pajak menyatakan realisasi PPh Pasal 21 DTP yang telah diberikan kepada
pekerja masih jauh dari anggaran dalam APBN 2009 sebesar Rp.6,5 triliun.
Melalui Surat Edaran (SE) Nomor SE-64/PJ/2009 tanggal 7 Juli 2009, Dirjen
Pajak menginstruksikan jajarannya untuk melakukan sosialisasi PPh Pasal 21
DTP kepada serikat pekerja, dinas tenaga kerja maupun asosiasi perusahaan
terkait.
Yang Mendapat Stimulus
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 43/PMK.03/2009,
PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada pekerja yang penghasilan brutonya dalam
satu bulan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan tidak lebih dari
Rp.5.000.000. Pekerja yang mendapat stimulus fiskal ini adalah yang bekerja pada
pemberi kerja tiga kategori usaha tertentu, yaitu pertanian termasuk perkebunan
dan peternakan, perburuan dan kehutanan, dimana didalamnya terdapat 74 sub
sektor usaha, perikanan dengan 19 sub sektor usaha dan industri pengolahan yang
mencakup 370 sub sektor usaha.
Pengertian pekerja, sebagaimana ditegaskan dalam SE-64/PJ/2009, termasuk
pekerja di cabang perusahaan dan pekerja pada perusahaan penyedia tenaga kerja
(outsourcing) yang ditempatkan pada perusahaan pemberi kerja yang berusaha
pada tiga kategori usaha tersebut di atas. Termasuk pula pekerja pada pemberi
kerja yang melakukan pekerjaan pengolahan barang berdasarkan pesanan
(maklon) yang pekerjaan pengolahannya memenuhi kategori usaha industri
pengolahan.
PPh Pasal 21 DTP diberikan mulai masa pajak Februari 2009 sampai dengan
masa pajak November 2009. Sampai dengan masa pajak Juni 2009, PPh Pasal 21
DTP diberikan kepada seluruh pekerja, baik yang sudah memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) maupun yang belum. Besarnya PPh Pasal 21 DTP yang
diterima pekerja adalah sebesar pajak terutang berdasarkan tarif umum UU PPh
dan tidak termasuk kenaikan tarif pajak 20% lebih tinggi bagi pekerja yang belum
memiliki NPWP.
Hak PekerjaPPh Pasal 21 DTP wajib dibayarkan secara tunai pada saat
pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebesar PPh Pasal 21
yang terutang atas penghasilan pekerja. Sebagai contoh, seorang pegawai yang
penghasilan brutonya sebulan Rp.5.000.000, dengan status menikah dan
mempunyai 2 anak serta yang bersangkutan membayar iuran pensiun Rp.25.000
sebulan, PPh Pasal 21 yang terutang sebulan adalah sebesar Rp.153.750. Dengan
adanya PPh Pasal 21 DTP, PPh Pasal 21 yang terutang tersebut tidak disetor
pemberi kerja ke kas negara, tetapi diberikan kepada pegawai yang bersangkutan.
Penghasilan pegawai akan bertambah sebesar PPh Pasal 21 yang terutang
sehingga penghasilan yang diterima adalah Rp.4.975.000 (penghasilan bruto
dikurangi iuran pensiun, tanpa ada pengutangan PPh Pasal 21).
Dalam hal pemberi kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 kepada
pekerja atau menanggung PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja,
PPh Pasal 21 yang dirunjang atau ditanggung tersebut tetap harus diberikan
kepada pekerja yang mendapat PPh Pasal 21 DTP. Dengan menggunakan contoh
tersebut di alas, apabila selama ini PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan maka
dengan adanya PPh Pasal 21 DTP penghasilan yang diterima pegawai menjadi
sebeur Rp.5.128.750 (penghasilan bruto dikurangi iurang pensiun ditambah PPh
Pasal 21 yang terutang).
PPh Pasal 21 DTP, berapapun jumlahnya, adalah hak pekerja yang
pemenuhannya dilaksanakan oleh perusahaan sebagai pemberi kerja. Dengan
mekanisme pembayaran seperti ini, mestinya pekerja akan menuntut haknya
kepada pemberi kerja jilca selama ini penghasilannya tidak ditambah dengan PPh
Pasal 21 DTP Apabila selama ini pekerja tidak mempermasalahkan haknya, salah
satu sebabnya mungkin adalah karena ketidaktahuan adanya stimulus fiskal ini.
Pada sisi lain, pekerja juga harus diberikan pengertian bahwa penambahan
penghasilan ini terbatas jangka waktunya, yaitu hanya dari masa pajak Februari
sampai dengan November 2009, sehingga mulai masa pajak Desember 2009 dan
seterusnya tidak akan ada lagi tambahan penghasilan dari PPh Pasal 21 DTP
(Didik Budi Waluyo, Konsultan Pajak DBW Tax Consulting Penyelenggata
Training Perpajakan, Koran Tempo Rabu 2 September 2009).

Anda mungkin juga menyukai