Anda di halaman 1dari 2

Tatapan mata itu, senyuman itu, kerutan itu dan semua yang terukir di wajahnya

dengan peluh keringat yang menetes bagaikan butiran jagung, benar-benar mengingatkanku
pada mendiang ibuku. Kecantikan alami yang terpancar dari wajah lelahnya membuatku
luluh lantak, tak mampu berkata-kata, seolah-olah dialah magnet dunia ini, membuatku
ingin merengkuh wajah malaikatnya dengan kedua tanganku dan mengusap peluh
keringatnya. Ingin rasanya tuk memiliki dan membahagiakan si pemilik wajah malaikat ini
tapi kenyataan membuatku sadar bahwa itu hanyalah mimpi belaka. Aku seorang tentara
muda yang sebentar lagi akan bertunangan tak mungkin dan akan sangat menyakitkan
untuk mencintai orang lain. Aku tentu sayang dengan calon istriku tapi aku juga tak sanggup
untuk membohongi diriku bahwa akupun juga mencintai wanita yang saat ini sedang
menatap bingung di depanku. Ah, tentu saja dia menungguku menjawab pertanyaannya.
“Haha, tentu saja aku tak marah kau datang terlambat. Aku mengerti kesibukanmu,
Sally.” Jawabku sembari tertawa. Tentu saja itu pertanyaan konyol. Aku mana mungkin
sanggup untuk marah padanya, biarpun dia telah melakukan kebodohan paling bodoh
sekalipun, tetap saja maafku akan selalu terbuka untuknya.
“Oh syukurlah, padahal aku sudah siap-siap kau damprat. Lalu, bagaimana dengan
meeting mu?”
“Ah, masalah itu. Sudah aku batalkan dan aku ganti dengan esok hari.” Tentu saja
demi menghabiskan waktu bersama wanita ini, aku rela membatalkan semua jadwalku.
“Karena kau sudah datang terlambat, maka kau harus temani aku makan siang.” Kemudian
aku menyeretnya masuk ke cafe di seberang jalan.
“Akhir-akhir ini kau sering terlihat pucat, apakah kau sedang tidak sehat?” jujur aku
sedikit khawatir dengan penampilannya akhir-akhir ini yang menurutku tampak tidak sehat.
“Aku rasa aku baik-baik saja, mungkin hanya kecapekan biasa. Ya kau taulah, sebagai
karyawan baru banyak hal-hal di luar pekerjaan yang sepertinya harus aku lakukan.” Ya
semoga saja benar bahwa dia memang kecapekan.
Kemudian bayangan Marsha, calon istriku, kembali terlintas di benakku. Tentu saja
Marsha adalah wanita sempurna yang aku inginkan. Tak hanya cantik fisik tapi juga cantik
hatinya.
Sialan. Umpatku dalam hati. Bagaimana mungkin wanita ini bisa tak mengangkat
telponnya? Mengapa dia selalu saja tega membuatku cemas tak karuan seperti ini? Kucoba
lagi untuk menelponnya. Ah, akhirnya dia angkat juga.
“Hey, Sally. Kau di mana sekarang? Mengapa belum pulang juga? Apakah kau baik-
baik saja?”
“Err.. maaf. Apa ini teman dari nona si pemilik HP ini? Maaf pak, tapi teman Anda
sedang terkapar tak berdaya di trotoar sekarang. Saya baru saja menemukannya, mungkin
Anda bisa ke sini dan...” jawab suara tak dikenal di ujung sana.
“Apa kau bilang? Terkapar? Kau jangan mengerjaiku Sally! Aku sedang tak ingin
bercanda.” Kataku frustasi. Tapi tak ada sahutan dari seseorang di ujung sana. Apakah ini
sungguhan? Oh, Tuhan..
“Di mana posisi kalian sekarang?”
“Dia tergeletak tepat di depan toko ku, Uncle Sam’s. Toko kecil di persimpangan...”
“Ya ya aku tau tempat itu. Kau tetaplah di sana dan tunggu sampai aku datang.”
Tanpa babibu langsung kutancap gas dan karenanya hampir saja aku menabrak
seorang pejalan kaki di perjalananku menuju ke toko yang berjarak hanya 10 meter dari
kantor Sally. Kususuri jalanan remang-remang nan basah karena hujan. Dan di sanalah
kulihat seorang lelaki membawa payung sedang berjongkok di samping wanita yang
tergeletak di trotoar.
Rasanya ingin saja aku menangis. Wajah Sally sungguh pucat luar biasa, badannya
dingin dan kaku. Oh Tuhan.. apa yang terjadi padanya? Setelah mengucapkan terima kasih
kugendong Sally masuk ke mobil dan segera kubawa ke rumah sakit terdekat.
“Apakah Anda keluarga dari nona Sally?” tanya dokter yang memeriksa Sally
barusan. Kulihat name tag nya bertuliskan ‘dr.Hasan’.
“Bukan dok. Keluarga Sally ada di desa tapi saya teman dekatnya.”
“Baiklah, Tuan ....”
“Faisal.”
“Tuan Faisal, ternyata teman Anda mengalami kanker darah dan berada pada
stadium empat yang mana Anda tahu sendiri bahwa sangat sulit untuk mengobatinya. Dan
keadaannya sekarang sudah sangat parah, saya perkirakan tidak akan lebih dari satu bulan.”
Rasanya duniaku seketika hancur sudah. Tak ada semangat untuk melanjutkan
hidup. Semuanya seperti runtuh dan jatuh menimpaku. Aku goyah, tak ada kekuatan, aku
tak sanggup. Lututku lemas dan seketika itu pula aku jatuh di hadapan dokter Hasan.
Mataku berkaca-kaca, kubiarkan saja air mataku tumpah ruah karena aku sudah tak sanggup
menahan kesedihan ini.
“Kau mencintai gadis ini, bukan? Lakukanlah yang terbaik agar kau tak menyesal.”
Nasihat dr.Hasan padaku sembari memelukku.
“Mengapa Tuhan tak membiarkan aku melihatnya? Walaupun aku tak bisa
memilikinya setidaknya aku ingin melihatnya hidup dan tertawa.” Ucapku nanar. Lalu aku
menangis dipelukan dr. Hasan.

Anda mungkin juga menyukai