Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN STROKE


HEMORAGIK INTRACEREBRAL HAEMORRHAGE (ICH)

Oleh:
Durrotul Qomariyah, S.Kep
NIM 202311101150

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Stroke Intracerebral Hemoragik di


Ruang Melati RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan di sahkan pada
Hari, Tanggal :
Tempat : Ruang Melati RSD dr. Soebandi Jember

Jember, April 2021


Pembimbing Akademik Stase Pembimbing Klinik
Keperawatan Medikal Ruang Melati
FKEP Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Akhmad Zainur Ridla, S.Kep., MAdvN Ns. Umayanah, S.Kep.


NIP. 19840102 201504 1 002 NIP. 19770611 200604 2 020
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Anatomi Fisiologi
Tengkorak merupakan sebuah struktur tulang yang menutupi dan
melinduni otak yang terdiri dari tulang cranium dan tulang muka. Tulang cranium
terdiri dari 3 lapisan yaitu, lapisan luar, etmoid, dan lapisan dalam. Lapisan luar
dan lapisan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan
struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fossa yang
diantaranya yaitu, fossa anterior yang didalamnya terdapat lobus frontalia, fossa
tengah yang berisi lobus temporalis, parientalis, oksippitalis, fossa posterior yang
berisi otak tengah dan sereblum (Pearce, 2016).
1. Meningen
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti oleh meningen yang melindungi
struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi sejenis
cairan, yaitu cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau
goncangan. Selaput meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu:
1) Duramater
Duramater atau pacymeninx dibentuk dari jaringan ikat fibrosus yang
secara konvensional terdiri dari dua lapis, yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, kecuali
sepanjang tempat-tempat tertentu terpisah dan membentuk sinus-sinus
venosus. Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan periosteum
yang menutupi permukaan dalam tulang cranium. Lapisan meningeal
merupakan lapisan duramater yang sebenarnya sering disebut dengan
cerebral duramater. Terdiri dari jaringan fibrosus yang padat dan kuat
yang membungkus otak dan berlanjut menjadi duramater spinalis setelah
melewati foramen magnum yang berakhir sampai segmen kedua dari os
sacrum. Lapisan meningeal membentuk empat septum ke dalam,
membagi rongga cranium menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan
dengan bebas dan menampung bagian-bagian otak. Fungsi septum ini
adalah untuk menahan pergeseran otak.
a) Falx serebri adalah lipatan duramater yang berbentuk bulan sabit yang
terletak pada garis tengah diantara kedua hemisfer cerebri. Ujung
bagian anterior melekat pada crista galli. Bagian posterior melebar,
menyatu dengan permukaan atas tentorium cerebelli.
b) Tentorium cerebella adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit
yang menutupi fossa crania posterior. Septum ini menutupi
permukaan atas cerebellum dan menopang lobus occipitalis cerebri.
c) Falx cerebella adalah lipatan duramater kecil yang melekat pada
protuberantia occipitalis interna.
d) Diaphragm sellae adalah lipatan sirkuler kecil dari duramater, yang
menutupi sella turcica dan fossa pituitary pada os sphenoidais.
Diaphragm ini memisahkan pituitary gland dari hypothalamus dan
chiasma opticum. Pada bagian tengah terdapat lubang yang dilalui
oleh tangkai hypophyse.
Pada pemisahan dua lapisan duramater ini, diantaranya terdapat sinus
duramatris yang berisi darah vena. Sinus venosus/duramatris ini
menerima darah dari drainase vena pada otak dan mengalir menuju vena
jugularis interna. Dinding dari sinus-sinus ini dibatasi oleh endothelium.
Sinus pada calvaria yaitu sinus sagitalis superior, sinus transverses dan
sinus sigmoidea. Sinus pada basis cranni antara lain, sinus sphenoparietal,
sinus cavernosus, sinus petrosus. Pada lapisan duramater ini terdapat
banyak cabang-cabang pembuluh darah yang berasal dari arteri carotis
interna, arteri maxillaries, arteri pharyngeus ascendens, arteri occipitalis
dan arteri vertebralis. Dari sudut klinis, yang terpenting adalah arteri
meningea media (cabang dari arteri maxillaris) karena arteri ini umumnya
sering pecah pada keadaann trauma capitis. Pada duramater terdapat
banyak ujung-ujung saraf sensorik, dan peka terhadap regangan sehingga
jika terjadi stimulasi pada ujung-ujung saraf ini dapat menimbulkan sakit
kepala yang hebat.
2) Selaput Arakhnoid
Lapisan ini merupakan suatu membrane yang impermeable halus yang
menutupi otak dan terletak diantara piamater dan duramater. Membrane
ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial yaitu spatium subdural,
dan dari piamater oleh cavum subarachnoid yang berisi cerebrospinal
fluid. Cavum subarachnoid (subarachnoid space) merupakan suatu rongga
atau ruangan yang dibatasi oleh arachnoid di bagian luar dan piamater
pada bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh
mesothelial cell yang pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol ke
dalam sinus venosus membentuk villi arachnoidales. Agregasi villi
arahnoidales disebut sebagai granulations arachnoidales. Villi
arachnoidales berfungsi sebagai tempat perembesan cerebrospinal fluid ke
dalamm darah. Arachnoid berhubungan dengan piamater melalui untaian
jaringan fibrosa halus yang melintasi cairan dalam cavum subarachnoid.
Struktur yang berjalan dari dank e otak menuju cranium atau foraminanya
harus melalui cavum subarachnoid.
3) Piamater
Lapisan piamater berhubungan erat dengan otak dan sumsum tulang
belakang,, mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Piamater ini merupakan
lapisan dengan banyak pembuluh darah dan terdiri dari jaringan
penyambung yang halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi
nutrisi pada jaringan saraf. Astrosit susunan saraf pusat mempunyai
ujung-ujung yang berakhir sebagai end feet dalam piamater untuk
membentuk selaput piaglia. Selaput ini berfungsi untuk mencegah
masuknya bahan-bahan yang merugikan ke dalam susunan saraf pusat.
Piamater membentuk tela choroidea, atap ventriculus tertius dan quartus
dan menyatu dengan ependymal membentuk plexus choroideus dalam
ventriculus lateralis, tertius dan quartus.
Gambar 1. Lapisan Pelindung Otak

2. Otak
Otak adalah oragan vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang saling
berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual. Otak
melekasanakan semua fungsi yang disadari dan bertanggung jawab terhadap
pengalaman-pengalaman berbagai macam sensasi atau rangsangan terhadap
kemampuan manusia untuk melakukan gerakan-gerakan yang disadari dan
kemampuan untuk melaksanakan berbagai macam proses mental seperti
ingatan atau memori, perasaan emosional, intelegensia, berkomunikasi, sifat
atau kepribadian.

Gambar 2. Anatomi Otak Manusia


Secara anatomis otak terdiri dari cerebrum (otak besar), cerebellum (otak
kecil), brainstem (batang otak) dan limbic system (sistem limbic). Otak
merupakan bagian utama dari sistem saraf dengan komponen bagian-
bagiannya adalah:
1) Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri serta tersusun dari korteks (permukaan otak),
ganglia basalis, dan sistem limbic. Kedua hemisfer kanan dan kiri
dihubungkan oleh serabut padat yang disebut dengan corpus calosum.
Otak besar memiliki fungsi untuk mengatur semua aktivitas mental yang
berkaitan dengan kepandaian (intelegensia), ingatan (memori), kesadaran
dan pertimbangan.

Gambar 3. Bagian-bagian Cerebrum


Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
a) Lobus Frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual, seperti
kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer
kiri), pusat penghidung, dan emosi. Lobus frontalis mengandung pusat
pengontrolan gerakan volunteer di gyrus presentralis (area motoric
primer) dan terdapat area asosiasi motoric (area premotor). Pada lobus
ini terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga
mengatur gerakan sadar, perilaku social, berbicara, motivasi dan
inisiatif.
b) Lobus Temporalis
Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan
kebawah dan fisura lateralis dan sebelah posterior dari fisura parieto-
oksipitalis (White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya
ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dalam pembentukan
dan perkembangan emosi.
c) Lobus Parietalis
Lobus parietalis merupakan pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa, raba dan pendengaran
(White, 2008)
d) Lobus Oksipitalis
Lobus ini berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi
penglihatan yaitu untuk menginterpretasi dan memproses rangsang
penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsangan
dengan informasi saraf lain dan memori (White, 2008).
2) Lobus Limbik
Lobus limbic berfungsi untuk mengatur emosi, memori emosi, dan
bersama hypothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian
atas susunan endokrin dan susunan otonom.
3) Cerebellum
Cerebellum atau otak kecil berfungsi untuk koordinasi terhadap otot dan
tonus otot, keseimbangan dan posisi tubuh, serta berfungsi juga untuk
mengkoordinasi gerakan yang halus dan luwes. Cerebellum berada pada
bagian bawah dan belakang tengkorak yang melekat pada otak tengah.
Pada otak kecil terdapat tiga pengelompokkan bagian-bagiannya, yaitu:
a) Berdasarkan lobus pada otak kecil, dibagi menjadi tiga yaitu lobus
anterior (depan), lobus posterior (belakang) dan lobus
frocculonadular.
b) Berdasarkan zonanya, cerebellum dibagi menjadi tiga bagian yaitu
vermis yang memisahkan otak kecil menjadi dua hemisfer kiri dan
kanan, zona intermediate, dan lateral hemisfer.

Gambar 8. Zona Otak Kecil


c) Berdasarkan fungsinya, terdiri dari cerebrocerebellum yang
merupakan bagian terbesar dari otak kecil dengan fungsi utama untuk
mengatur pergerakan mortik dan evaluasi terhadap informasi sensoris
agar dapat melakukan gerakan yang tepat; spinocerebellum berfungsi
untuk mengatur pergeraka tubuh melalui sistem propriosepsi yaitu
sensasi yang didapatkan tubuh melalui stimulasi dan aktivitas otot;
vertibulocerebellum berfungsi untuk mengatur keseimbangan tubuh
dari sistem vestibular dari semicircular kanal di telinga dan gerakan
bola mata yang menerima informasi dari korteks visual.
4) Brainstem
Brainstem atau yang sering disebut dengan Batang Otak, terletak di dalam
tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai
medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol tekanan darah,
denyut jantung, pernapasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila
tedapat massa pada batang otak, maka gejala yang sering timbul yaitu
berupa muntah, kelemahan otot wajah baik satu maupun dua sisi,
kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun. Batang otak
terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a) Pons (dalam bahasa Latin berarti “jembatan”) berbentuk seperti
jembatan serabut-serabut yang menghubungkan kedua hemisfer
serebellum, serta menghubungkan mesensefalon di sebelah atas
dengan medulla oblongata di bawah. Pons merupakan bagian dari
batang otak yang berada diantara mid brain dan medulla oblongata.
Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf kranial (CN) V
diasosiasikan denan pons (Muttaqin, 2008).
b) Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang
otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata
terletak juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII
disaosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada
pada perhubungan dari pons dan medulla (Mooore & Argur, 2007).
c) Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan
serebellum. Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah.
Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan,
gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan
pendengaran (Moore & Argur, 20070.
5) Sistem Saraf Tepi
Sistem saraf tepi terdiri dari 12 saraf kranial dan 31 saraf spinal. Saraf
kranial langsung berasal dari otak dan keluar meninggalkan tengkorak
melalui lungang-lubang pada tulang yang disebut foramina (tunggal,
foramen). Terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan nama
atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I),
optikus (II), okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abducens
(VI), fasialis (VII), vestibulokoklearis (VIII), glossofaringeus (IX), vagus
(X), asesorius (XI), dan hipoglosus (XII).
Tabel 1. Ringkasan fungsi saraf kranial

Saraf Kranial Komponan Fungsi


I Olfaktorius Sensorik Penciuman
II Optikus Sensorik Penglihatan
III Okulomotorius Motoric Mengangkat kelopak mata atas,
konstriksi pupil, sebagian besar gerakan
ekstraokular.
IV Troklearis Motoric Gerakan mata ke bawah dan ke dalam
V Trigeminus Motoric Otot temporalis dan maseter (menutup
rahang dan mengunyah) gerakan rahang
ke lateral.
Sensorik 1) Kulit wajah, 2/3 depan kulit kepala,
mukosa mata, mukosa hidung dan
rongga mulut, lidah dan gigi.
2) Refleks kornea atau refleks
mengedip, komponen sensorik
dibawa oleh saraf kranial V, respons
motoric melalui saraf kranial VI.
VI Abdusens Motoric Deviasi mata ke lateral
VII Fasialis Motoric Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot
dahi, sekeliling mata serta mulut,
lakrimasi dan salivasi
Sensorik Pengecapan 2/3 depan lidah (rasa,
manis, asam, dan asin).
VIII Cabang Sensorik Keseimbangan
Vestibularis
Cabang koklearis Sensorik Pendengaran
IX Glossofaringeus Motoric Faring: menelan, refleks muntah
Parotis: salivasi
Sensorik Faring, lidah posterior, termasuk rasa
pahit
X Vagus Motoric Faring: menelan, refleks muntah,
fonasi; visera abdomen
Sensorik Faring, laring: refleks muntah, visera
leher, thoraks dan abdomen
XI Asesorius Motoric Otot sternokledomastoideus dan bagian
atas dari otot trapezius: pergerakan
kepala dan bahu
XII Hipoglosus Motoric Pergerakan lidah
Sumber: Muttaqin, 2008: 17

B. Definisi
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh terhentinya
suplai darah kebagian otak. Terdapat dua tipe stroke yaitu stroke iskemia yang
diakibatkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak karena terjadinya
penyumbatan (trombosis, emboli) dan stroke hemoragik yang disebebkan oleh
terjadinya pendarahan kerena pecahnya pembulu darah diotak (WHO, 2014).
Secara klinis dapat ditandai dengan penurunan kesadaran yang terkadang disertai
lateralisasi.
Terdapat dua tipe stroke yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik, stroke
iskemik adalah berkurangnya suplai darah menuju otak karena adanya sumbatan
pada pembulu darah, sumbatan tersebut biasanya dikarenakan terjadinya
penumpukan lemak, kolesterol atau zat lainnya. Menyebarnya darah menuju
jaringan parenkim otak, ruang serebrospinal atau kombinasi keduanya adalah
akibat dari pecahnya pembulu darah di otak yang disebut juga dengan stroke
hemoragik (Goets, 2007 dalam Darotin, 2017). Terdapat dua tipe pendarahan
yang pertama Intracerebral Hemoragic adalah perdarahan kedalam substansi
otak. Perdarahan ini biasanya terjadi dimana tekanan mendesak kepala sampai
daerah kecil dapat terjadi pada luka tembak atau cidera tumpul. ICH terjadi pada
bagian otak cerebal. Selain itu, Intracerebral Hemoragic adalah pendarahan
dalam jaringan otak itu sendiri. Hal ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup
yang berat atau cidera kepala terbuka. Intraserebral Hemoragic dapat timbul pada
penderita stroke hemorgik akibat melebarnya pembuluh nadi (Corwin, 2009).
Yang kedua adalah Subarachnoid hemorrhage (SAH), yaitu terjadinya pendarahan
disekitar ruang otak yang disebabkan oleh cidera kepala, aneurisma atau AVM.
Ruang subarachnoid adalah area antara otak dan tengkorak, ketika terjadi
pendarahan pada ruang subarachnoid makan hal tersebut akan mengiritasi lapisan
otak, meningkatkan tekanan otak serta merusak sel-sel otak (Andrew, 2018).
Pecahnya pembuluh darah didalam otak sering kali di kaitkan dengan tingginya
tekanan darah secara terus menerus, darah akan keluar di bawah ruang arachnoid
(ruang antara jaringan otak dan tengkorak) dan menekan jaringan otak.

C. Epidemiologi
Intracranial hemorraghe (ICH) mewakili sekitar yaitu 10-20% dari semua
stroke. 8-15% di negara-negara barat seperti Amerika, Inggris, dan Australia, 181-
24% di Jepang dan Korea. Tingkat kejadian ICH per 100.000 orang adalah 51,8
pada orang Asia, 24,2 pada kulit putih, dan 22,9 pada kulit hitam, dan 19,6 di
Hispanik (Sang Joon An, et al, 2017). Sekitar 2 juta dari 15 juta stroke di seluruh
dunia adalah intracerebrak hemorraghe (ICH). Pria lebih mungkin menderita ICH
daripada wanita. Jumlah penderita ICH diperkirakan akan meningkat secara
substansional selama beberapa dekade mendatang seiring pertambahan usia.
Penyebab utama yang mendasari untuk peningkatan kejadian yang lebih sering
adalah penggunaan obat antikoagulan dan perubahan terkait usia di otak itu
sendiri (Minneapolis Clinic of Neurology, 2019).
Menurut World Health Organization (WHO) stroke merupakan tanda-tanda
klinis yang berkembang secara cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau
global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, yang
dapat menyebabkan kematian tanpa ada penyebab lain selain vaskuler. Menurut
WHO, sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah menderita penyakit stroke sejak
tahun 2011. Dari jumlah tersebut didapat 5,5 juta jiwa telah meninggal dunia.
Penyakit vaskular yaitu darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta
kasus stroke di dunia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
yang dilakukan di 33 provinsi oleh Departemen Kesehatan R.I diketahui bahwa
stroke merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (Shafi’i, dkk, 2016).

D. Etiologi
Menurut Andrew (2018) beberapa etiologi dari Stroke Intracelebral
Hemoragic adalah sebagai berikut :
A. Hipertensi : hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan etiologi paling
umum yang dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah sehingga
menyebabkan pendarahan.
B. Pengenceran darah : obat-obatan seperti coumadin, heparin dan wafarin
yang digunakan untuk mencegah pembekuan darah dalam kondisi jantung
dan stroke dapat menyebabkan ICH
C. AVM : pembuluh darah abnormal yang berdinding lemah yang
menghubugkan arteri dan vena dan tanpa kapiler diantara keduanya.
D. Aneurisma : tonjolan atau melemahnya dinding ateri
E. Serangan jantung karena terjadinya pendarahan
F. Trauma pada kepala : fraktur pada tengkorak dan luka tembus atau
tembakan dapat merusak arteri yang menyebabkan perdarahan.
G. Gangguan perdarahan lain : hemofilian, sel sabit anemia, dan
trombositopenia.
H. Tumor : tumor yang sangat vaskuler seperti angioma dan tumor metastasis
dapat berdarah kedalam jaringan otak.
I. Angiopati amiloid : penumpukan protein dalam dinding-dinding arteri.
J. Penggunaan narkoba : alkohol, kokain, dan lain sebagainnya.
K. Spontan : ICH oleh sebab yang tidak diketahui.
L. Merokok
M. Kehamilan eklampsia
E. Manifestasi Klinis
Gambaran utama dari terjadinya ICH adalah timbulnya defisit neurologis
fokal secara tiba-tiba yang semakin lama semakin memburuk. Sifat dari defisit
menunjukkan lokasi awal pendarahan dan edema yang akan terjadi selanjutnya.
Gejala yang umumnya akan muncul seperti kejang, muntah, sakit kepala, dan
penurunan tingkat kesadaran. Sakit kepala dan penurunan kesadaran jarang terjadi
pada stroke iskemik akut.
Pengelihatan pada orang pendarahan intraselebral kemungkinan akan
mengalami gangguan. Pupil kumugkinan akan menjadi tidak normal besar atau
kecil dan bisa jadi kehilangan kesadaran mereka dalam hitungan detik sampai
menit. Orang kemungkinan tidak bisa berbicara atau menjadi pusing (Marilyn,
2011).
Meskipun pada beberapa kasus ICH berkembang selama melakukan aktivitas
atau saat stres emosional yang tiba-tiba. Tetapi sebagain besar ICH terjadi saat
sedang melakukan aktivitas sehari-hari. Gejala neurologis biasanya memburuk
dalam beberapa menit atau beberapa jam setelah serangan. Gejala- gejala ICH
yang umum terjadi adalah sakit kepala, mual, dan muntah. Sakit kepala sering
terjadi pada pasien dengan hematoma yang cukup besar, muntah biasanya terjadi
pada sekitar 50% pasien dengan ICH hemisfer, dan lebih sering terjadi pada
pasien dengan perdarahan serebelar, karakteristik muntah pada pasien dengan ICH
biasanya muntahnya yaitu muntah yang royektil (muntah yang menyemprot)
terkadang tanpa didahului perasan mual. Pasien dengan ICH yang mengalami
penurunan kesadaran biasanya dikarenakan peningkatan tekanan intrakranial dan
kompensasi thalamus dan batang otak. Kejang dilaporkan pada sekitar 10% pasien
dengan ICH dan sekitar 50% pasien dengan perdarahan lobar. Kejang biasanya
terjadi pada awal perdarahan atau dalam 24 jam pertama. Pada beberapa kasus,
gejala ICH berkembang perlahan selama 24 jam (Joon An, 2017).

F. Patofisiologi
ICH biasanya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah yang mengalami
degenerasi akibat hipertensi yang berlangsung cukup lama. Nekrosis fibrinoid
pada sub-endothelium dengan mikro-aneurisma dan dilatasi fokal dapat terlihat
pada beberapa pasien. Lipohyalinosis, yang secara jelas terkait dengan hipertensi
jangka panjang, paling sering ditemukan pada ICH non-lobar. Mekanisme cedera
awal pada ICH adalah parenkim otak dengan efek massa hematoma yang
mengakibatkan gangguan fisik arsitektur parenkim. Peningkatan tekanan
intrakranial akibat perluasan hematoma dapat mempengaruhi aliran darah menuju
otak, deformasi mekanis, pelepasan neurotrasmeter, disfungsi mitikondiria dan
depolarisasi membran. Akibatnya akan terjadi cedera saraf diserah perihematoma
yang dapat menyebabkan sedema dan daerah inflamasi yang disebabkan oleh
keluarnya darah. Mekanisme sekunder cedera orak disebabkan oleh pembekuan,
khususnya trombin, setelah kerusakan endotel dan kerusakan hemoglobin.
Trombin menyebabkan sel-sel inflamasi menyusup ke otak, proliferasi sel-sel
mesenkhim, pembentukan edema otak dan jaringan parut (Joon Ah, 2017).
Pecahnya pembuluh darah intraserebral akan membentuk massa, timbulnya
massa tersebut dapat menekan jaringan otak sehingga menyebabkan disfungsi
neuron. Hematoma yang semakain membesar juga akan meningkatkan tekanan
intrakranial. Tekanan dari hematoma supratentior dan edema yang menyertainya
dapat menyebabkan herniasi otak transtentorila, dan menakan batang otak
sehingga seringkali menyebabkan pendaraan sekunder pada otak tengah. Jika
perdarahan pecah ke dalam sistem ventrikel (perdarahan intraventrikular), darah
dapat menyebabkan hidrosefalus akut. Hematoma cerebellum dapat berkembang
untuk memblokir ventrikel ke-4, juga menyebabkan hidrosefalus akut. Hematoma
serebral yang berdiameter >3 cm dapat menyebabkan pergeseran garis tengah atau
herniasi. Herniasi, perdarahan otak tengah atau pontine, perdarahan
intraventrikular, hidrosefalus akut, atau diseksi ke batang otak dapat merusak
kesadaran dan menyebabkan koma dan kematian (Giraldo, 2017).

G. Komplikasi
ICH dapat menyebabkan komplikasi serius. Ada risiko kejang yang dapat
terjadi kapan saja, meskipun itu bisa menjadi salah satu gejala pertama. Tekanan
intrakranial yang meningkat akibat pembengkakan otak atau pendarahan di dalam
tengkorak juga dapat terjadi. Tekanan intrakranial yang meningkat, dapat
menyebabkan beberapa komplikasi serius. Hal tersebut dapat mengurangi kadar
oksigen otak, yang menyebabkan kerusakan otak permanen atau kematian. Ini
juga dapat menyebabkan herniasi otak ke dalam kanal tulang belakang, yang juga
dapat menyebabkan kematian. Komplikasi akut lainya yang mungkin dapat terjadi
yaitu perdarahan ulang, pendarahan kedua di lokasi lain, infeksi, kerusakan saraf
kranial, koma ( Shaffer, 2019).

H. Pemeriksaan Penunjang
Ketika seseorang di bawa ke ruang gawat darurat dengan dugaan
perdarahan otak, dokter akan melakukan pemeriksaan sebenyak mungkin tentang
gejala dan masalah medis sebelumnya, obat-obtan dan riwayat keluarga. Tes
diagnostik akan membantu menentukan sumber perdarahan antara lain (Andrew
Ringer, 2018) :
A. CT scan
Pemeriksaan menggunakan CT Scan dapat menjelaskan penyebab terjadinya
ICH serta dengan pemeriksaan CT scan juga dapat membedakan antara ICH
akut, SAH, dan stroke iskemik. CT scan dapat mendeteksi dengan akurat
ukuran dan lokasi pendarahan. CT scan juga merupakan alat yang paling
cepat dan paling banyak tersedia untuk membantu mendiagnosis ICH.

Gambar. Pendarahan Intraserebral


B. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/luas
terjadinya perdarahan otak, menunjukkan daerah yang mengalami infark,
hemoragik, dan malformasi arteriovena. MRI juga dapat mendeteksi
penyebab sekunder yang mendasari terjadinya ICH seperti tumor atau
komplikasi dari stroke iskemik.
C. Laboratorium
D. EKG
Pemeriksaan EKG dapat membantu menentukan apakah terdapat disritmia,
yang dapat menyebabkan stroke. Perubahan EKG lainnya yang dapat
ditemukan adalah inversi gelombang T, depresi ST, dan kenaikan serta
perpanjangan QT.
E. Angiografi
Angiografi berfungsi untuk menyelidiki keadaan normal dan patologis dari
sistem penyempitan dan obstruksi lumen terutama atau pelebaran aneurismal.
Selain kondisi tumor, malformasi arteriovenosa (AVM) dan fistula
arteriovenosa (AVF) atau sumber perdarahan diselidiki dengan angiografi.
F. Pungsi Lumbal
Tekanan yang meningkat dan di sertai dengan bercak darah pada cairan
lumbal menunjukkan adanya haemoragia pada sub arachnoid atau perdarahan
pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukan adanya proses
inflamasi.
G. Untuk menentukan apakah stroke yang dialami pasien troke hemoragik atau
stroke non hemoragik maka perlu melakukan siriraj stroke score dan
algoritma gajah mada.
1) Siriraj stroke score
Tabel 2. Skor Sirijaj

Variabel Gejala klinis Skor


Derajat kesadaran Sadar 0
Apatis 1
Koma 2
Muntah Iya 1
Tidak 0
Sakit kepala Iya 1
Tidak 0
Tanda-tanda atheroma
1. Angina Pectoris Iya 1
Tidak 0
2. Laudicatio Intermitten Iya 1
Tidak 0
3. Diabetes Mellitus Iya 1
Tidak 0
Siriraj Stroke Score = (2,5 x Derajat Kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x
sakit kepala) + (0,1 x tekanan darah diastol) – (3 x ateroma) – 12.
Apabila skor yang didapatkan < 1 maka diagnosisnya stroke non perdarahan
dan apabila didapatkan skor ≥ 1 maka diagnosisnya stroke perdarahan.

2). Algoritma Gajah Mada


I. Penatalaksanaan
A. Terapi Non Farmakologis
Pasien dengan ICH seringkali tidak stabil dalam kondisi medis an nerologis
pada haru pertama setelah onset. Pemeriksaan tanda-tanda vital harus sering
dilakukan, penilaian neurogis dan pemantauan kardiopulmoner juga harus
terus menerus di pantau. Perawatan khusus yang diperlukan untuk pasien ICH
di unit perawatan intensif dapat meliputi (1) pengawasan dan pemantauan
ICP, tekanan perfusi serebral (CPP), dan fungsi hemodinamik; (2) titrasi dan
implementasi protokol untuk manajemen ICP, BP, ventilasi mekanik, demam,
dan glukosa serum; dan (3) pencegahan komplikasi imobilitas melalui
penentuan posisi, pemeliharaan jalan napas, dan mobilisasi dalam toleransi
fisiologis.Pemantauan awal dan manajemen pasien ICH harus dilakukan di
unit perawatan intensif atau unit stroke khusus (Hemphill, 2015).
B. Terapi Farmakologis
Dalam pemberian obat-obatan Antagonis vitamin K (VKA) seperti warfarin
adalah OAC yang paling sering diresepkan, pemberian pengobatan pada
pasein dengan ICH harus mengetahui riwayat penggunaan obat-obatan yang
digunakan seperti obat antitrombotik atau koagulopati sehingga dapat
menentuka stategi pengobatan yang tepat.
1. Pasien dengan difisiensi koagulasi yang parah atau tromositopenia berat
harus di berikan terapi pengganti trombosit, untuk meningkat kadar
trombosit dalam darah sebagiai bentuk pencegahan terjadinya pecah
pembulu darah ulang atau pecahnya pembulu darah yang meluas.
2. Untuk mencegah pendarahan yang lebih parah, pasien dapat diberikan
obat antagonis kalsium seperti amlodipine, untuk menjaga tekanan darah
tetap rendah agar tidak terjadi pendarahan berulang
3. Protamin sulfat dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan heparin
pada pasien dengan ICH akut, karena penggunaan heparin dapat
menimbulkan resiko pendarahan intrakranial. Penggunaan heparin juga
tidak di perbolehkan pada pasien yang kekurangan trombosit.
4. Penggunaan antikoagulasi sistemik atau penempatan filter IVC pada
pasien ICH dengan DVT atau PE simtomatik harus mempertimbangkan
beberapa faktor termasuk waktu dari banyknya perdarahan, stabilitas
hematoma, penyebab perdarahan, dan kondisi keseluruhan pasien.
Penggunaan antikoagulan di berikan hanya ketika pasien menaglami
hiperkougulasi (Hemphill, 2015).
C. Tindakan pembedahan
Tujuan dilakukannya pembedahan adalah untuk menghilangkan sebanyak
mungkin darah dan menghentikan sumber pendarahan jika terindentifikasi
sumber dari pendarahan dapat dihentikan seperti AVM atau tumor. Pada stroke
hemoragik tidakan operasi dilakukan apabila :
1. Lesi dengan efek massa, edema, atau pergeseran garis tengah (berpotensi
terjadinya herniasi), Pada pasien dengan hematoma hemisfer seleberal
dengan diameter > 3 cm dapat menyebabkan pergeseran garis tengah atau
herniasi sehingga dianjurkan untuk melakukan tindakan pembedahan.
2. Lesi dimana gejalanya (hemiparese/phlegi, aphasia) terjadi akibat
peningkatan tekanan intrakranial atau efek massa dari klot ataupun edema
disekitar lesi
3. Volume hematoma sedang (10-30 cc), hematoma luas (30-85 cc) dengan
GCS >8.
4. Dijumpai tanda peningkatan tekanan intrakranial yang menetap/persisten
meskipun telah diberikan terapi (kegagalan pemberian obat)
5. Penurunan kesadaran secara cepat (terutama dengan adanya tanda
penekanan batang otak)
6. Terjadi pada pasien-pasien muda <50 tahun
7. Onset kejadian stroke < 24 jam
8. Lokasi lesi yang cukup aman untuk dilakukan pembedahan

Terdapat dua metode pembedahan yang dapat dilakukan, tergantung pada lokasi
yang terdapat bekuan darah :
1. Craniotomy : melakukan pemotongan lubang ditengkorak yang bertujuan
untuk mengekspos otak dan menhilangkan bekuan darah. Pembedahan ini
memiliki resiko yang cukup tinggi untuk otak, sehingga pembedahan ini
biasanya digunakan hanya ketika hematoma dekat dengan permukaan otak
atau jika berkaitan dengan AVM atau tumor yang juga harus diangkat.
2. Aspirasi gumpalan stereotatic : merupakan operasi invasif minimal untuk
hematoma besar yang terletak jauh didalam otak. Prosedur ini menggunakan
bingkai stereotactic untuk mengarahkan jarum atau endoskop langsung ke
dalam gumpalan. Panduan stereotactic berfungsi seperti GPS dalam mobil.
Pemeriksaan pra pembedahan berguna untuk menentukan jalan yang akan
digunakan. CT scan membantu untuk menemukan lintas terbaik menuju
hematoma (Andrew, 2018).
CLINICAL PATHWAY

Hipertensi, Kebiasaan Anomali atau Alkoholisme Trauma


aneurisme merokok malformasi PD atau tumor

Pecahnya pembuluh darah otak

Darah masuk ke jaringan otak

Darah membentuk masa / hemoragic

Penurunan
Penatalaksaan: Penurunan Fungsi Peningkatan tekanan
kesadaran otak
Kraniotomi intrakranial

Gangguan aliran
Luka Insisi Masuknya Risiko Jatuh Gangguan nervus darah dan oksigen ke
pembedahan mikroorganisme glosofaring, vagus, otak
hipoglosus
(IX,X,XII)
Sel melepaskan mediator Risiko Infeksi
Afasia dan disfagia Reflek Menelan
nyeri: prostaglandin, Menurun Penurunan suplai
sitokinin darah ke otak
Kelemahan Otot
Gangguan proresif
Stres berlebihan Gangguan Menelan
Komunikasi
Impuls ke pusat Risiko Perfusi
Verbal
nyeri di otak Serebral Tidak
Risiko Distress Gangguan
Risiko Defisit Nutrisi Mobilitas Fisik Efektif
Spiritual Gangguan
Somasensori Interaksi Sosial
korteks otak: nyeri Nyeri Akut Defisit Perawatan
dipersepsikan Diri
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian Umum
A. Identitas Pasien
Nama: mengetahui identitas klien
Umur dan tanggal lahir: dapat terjadi pada semua usia meningkat pada usia
lanjut
Jenis kelamin: American Heart Association meng-ungkapkan bahwa serangan
stroke lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dibuktikan
dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa prevalensi kejadian stroke
lebih banyak pada laki-laki (Goldstein dkk., 2006).
Suku bangsa: dapat terjadi pada semua suku bangsa
Pekerjaan: pekerjaan yang meningkatkan TIK dapat memicu lebih banyak
terjadinya misalnya pekerjaan mengangkat beban berat setiap harinya
Pendidikan: pendidikan menentukan pengetahuan dalam memahami proses
penyakit
Status menikah: dukungan dari istri/suami dapat mempercepat proses
penyembuhan dari pada klien yang hidup sendiri
Alamat: mengetahui identitas klien
Tanggal MRS: mengetahui identitas klien
Diagnosa medis: IntraCerebral Hemorraghae (ICH)
B. Keluhan utama
Tanyakan kepada pasien adanya keluhan seperti nyeri kepala, pernah pingsan
sebelumnya, separuh badan, sulit bicara, mulut mencong atau tidak simetris,
penurunan kesadaran
C. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan
setengah badan atau gangguan fungsi otak yang lain (Siti Rochani, 2000).
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit hipertensi, kebiasaan sehari-hari klien mengkonsumsi
rokok ataupun obat-obatan antikoagulan.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan pada pasien apakah keluarga pasien ada yang mengalami hal yang
sama dengan pasien atau apakah keluarga ada yang mengalami penyakit
degeneratif
F. Riwayat penggunaan obat-obatan
Tanyakan pada klien apakah mengkonsumsi obat-obatan antikoagulan.
G. Pemeriksaan Fisik (head to toe)
Keadaan umum
Saat dilakukan pengkajian pasien sudah sadar dan berorientasi, GCS 15/15
dan pergerakan otot ekstraokular normal.
TD : 150/80 mmHg
Nadi : 60x/ menit
RR: -
Suhu: -
Pemeriksaan Fisik:
a. Primary Survey (ABCDE)
1) Airway. Tanda-tanda objektif-sumbatan Airway
a) Look (lihat) apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya
menurun. Agitasi memberi kesan adanya hipoksia, dan penurunan
kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan
hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat
dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat
adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang
apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway.
Airway (jalan napas) yaitu membersihkan jalan napas dengan
memperhatikan kontrol servikal, pasang servikal kollar untuk
immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada cedera servikal,
bersihkan jalan napas dari segala sumbatan, benda asing, darah dari
fraktur maksilofasial, gigi yang patah dan lain-lain. Lakukan intubasi
(orotrakeal tube) jika apnea, GCS (Glasgow Coma Scale) < 8,
pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi oksigen tidak
mencapai 90%.
b) Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang
berbunyi (suara napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat.
c) Feel (raba)
2) Breathing. Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuat
a) Look (lihat) naik turunnya dada yang simetris dan
pergerakan dinding dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan
pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang
dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus
dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi penderita dan harus
segera di evaluasi. Evaluasi tersebut meliputi inspeksi terhadap
bentuk dan pergerakan dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada
yang mungkin mengganggu ventilasi, perkusi untuk menentukan
adanya darah atau udara ke dalam paru.
b) Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada
kedua sisi dada. Penurunan atau tidak terdengarnya suara napas pada
satu atau hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada.
Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat-takipneu
mungkin menunjukkan kekurangan oksigen.
c) Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu
memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer
penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang adekuat
3) Circulation dengan kontrol perdarahan
a) Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi untuk
mempertahankan cardiac output walaupun stroke volum menurun
b) Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan tekanan nadi (tekanan
sistolik-tekanan diastolik)
c) Jika aliran darah ke organ vital sudah dapat dipertahankan lagi, maka
timbullah hipotensi
d) Perdarahan yang tampak dari luar harus segera dihentikan dengan
balut tekan pada daerah tersebut
e) Ingat, khusus untuk otorrhagia yang tidak membeku, jangan sumpal
MAE (Meatus Akustikus Eksternus) dengan kapas atau kain kasa,
biarkan cairan atau darah mengalir keluar, karena hal ini membantu
mengurangi TTIK (Tekanan Tinggi Intra Kranial)
f) Semua cairan yang diberikan harus dihangatkan untuk menghindari
terjadinya koagulopati dan gangguan irama jantung.
4) Disability
a) GCS setelah resusitasi
b) Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
c) Nilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau tidak
5) Expossure dengan menghindari hipotermia. Semua pakaian yang
menutupi tubuh penderita harus dilepas agar tidak ada cedera terlewatkan
selama pemeriksaan. Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan
secara log-rolling dengan harus menghindari terjadinya hipotermi
(America College of Surgeons ; ATLS)
b. Secondary Survey
1) Kepala dan leher
Kepala. Inspeksi (kesimetrisan muka dan tengkorak, warna dan
distribusi rambut kulit kepala), palpasi (keadaan rambut,
tengkorak, kulit kepala, massa, pembengkakan, nyeri tekan,
fontanela (pada bayi)).
Leher. Inspeksi (bentuk kulit (warna, pembengkakan, jaringan
parut, massa), tiroid), palpasi (kelenjar limpe, kelenjar tiroid,
trakea), mobilitas leher.
2) Dada dan paru
Inspeksi. Dada diinspeksi terutama mengenai postur, bentuk dan
kesimetrisan ekspansi serta keadaan kulit. Inspeksi dada
dikerjakan baik pada saat dada bergerak atau pada saat diem,
terutama sewaktu dilakukan pengamatan pergerakan
pernapasan. Pengamatan dada saat bergerak dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui frekuensi, sifat dan ritme/irama
pernapasan.
Palpasi. Dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji keadaan kulit
pada dinding dada, nyeri tekan, massa, peradangan, kesimetrisan
ekspansi, dan tactil vremitus (vibrasi yang dapat teraba yang
dihantarkan melalui sistem bronkopulmonal selama seseorang
berbicara)  
Perkusi. Perhatikan adanya hipersonor atau ”dull” yang
menunjukkan udara (pneumotorak) atau cairan (hemotorak)
yang terdapat pada rongga pleura.
Auskultasi. Berguna untuk mengkaji aliran udara melalui batang
trakeobronkeal dan untuk mengetahui adanya sumbatan aliran
udara. Auskultasi juga berguna untuk mengkaji kondisi paru-
paru dan rongga pleura.
3) Kardiovaskuler
Inspeksi dan palpasi. Area jantung diinspeksi dan palpasi secara
stimultan untuk mengetahui adanya ketidaknormalan denyutan
atau dorongan (heaves). Palpasi dilakukan secara sistematis
mengikuti struktur anatomi jantung mulai area aorta, area
pulmonal, area trikuspidalis, area apikal dan area epigastrik 
Perkusi. Dilakukan untuk mengetahui ukuran dan bentuk
jantung. Akan tetapi dengan adanya foto rontgen, maka perkusi
pada area jantung jarang dilakukan karena gambaran jantung
dapat dilihat pada hasil foto torak anteroposterior.
4) Ekstermitas
Beberapa keadaan dapat menimbulkan iskemik pada ekstremitas
bersangkutan, antara lain :
a) Cedera pembuluh darah.
b) Fraktur di sekitar sendi lutut dan sendi siku.
c) Crush injury.
d) Sindroma kompartemen.
e) Dislokasi sendi panggul.
Keadaan iskemik ini akan ditandai dengan :
a) Pusasi arteri tidak teraba.
b) Pucat (pallor).
c) Dingin (coolness).
d) Hilangnya fungsi sensorik dan motorik.
e) Kadang-kadang disertai Hemoragic, ”bruit dan thrill”.
Fiksasi fraktur khususnya pada penderita dengan cedera kepala
sedapat mungkin dilaksanakan secepatnya. Sebab fiksasi yang
tertunda dapat meningkatkan resiko ARDS (Adult Respiratory
Disstress Syndrom) sampai 5 kali lipat. Fiksasi dini pada fraktur
tulang panjang yang menyertai cedera kepala dapat menurunkan
insidensi ARDS.
5) Pemeriksaan sistem neurologis
a) Tingkat Kesadaran
(1) Kualitatif adalah fungsi mental keseluruhan dan derajat
kewasapadaan.
- CM → sadar akan diri dan punya orientasi penuh
- APATIS → tingkat kesadaran yang tampak lesu dan
mengantuk
- LATARGIE → tingkat kesadaran yang tampak lesu dan
mengantuk
- DELIRIUM → penurunan kesadaran disertai pe ↑ abnormal
aktifitas psikomotor → gaduh gelisah
- SAMNOLEN → keadaan pasien yang selalu mau tidur →
dirangsang bangun lalu tidur kembali
- KOMA → kesadaran yang hilang sama sekali
(2) Kuantitatif yaitu dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS)
- Respon membuka mata ( E = Eye )
a) Spontan (4)
b) Dengan perintah (3)
c) Dengan nyeri (2)
d) Tidak berespon (1)
- Respon Verbal ( V= Verbal )
a) Berorientasi (5)
b) Bicara membingungkan (4)
c) Kata-kata tidak tepat (3)
d) Suara tidak dapat dimengerti (2)
e) Tidak ada respons (1)
- Respon Motorik (M= Motorik )
a) Dengan perintah (6)
b) Melokalisasi nyeri (5)
c) Menarik area yang nyeri (4)
d) Fleksi abnormal/postur dekortikasi (3)
e) Ekstensi abnormal/postur deserebrasi (2)
f) Tidak berespon (1)
6) Pemeriksaan 12 saraf kranial (Muttaqin, 2008)
Saraf I (N.Olfaktorius)
Biasanya pada klien ICH tidak dapat menginterpretasi bau
dengan baik.
Saraf II (N.Optikus)
Ketajaman penglihatan tidak normal terjadi ketidakmampuan
melihat karena penurunan kesadaran.
Saraf III, IV & VI (N.Okulomotor, N.Troklearis, N.Abdusen)
Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada pasien ICH yang tidak
disertai penurunan kesadaran biasnya tanpa kelainan. Pada
pasien dengan penurunan tingkat kesadaran, tanda-tanda
perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan biasanya
pupil akan lenyap.
Saraf V (N.Trigeminus)
Umumnya ditemukan paralisis pada otot wajah dan refleks
kornea biasanya tejadi kelainan.
Saraf VII (N.Fasialis)
Bisa terjadi ketidaksimetrisan atau lumpuh pada salah satu sisi
wajah. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada
berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara
lambat.
Saraf VIII (N.Vestibulo-Koklearis)
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X (N.Glosofaringeus dan N.Vagus)
Terjadi reflek mual dan muntah.
Saraf XI (N.Aksesorius)
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Adanya usaha dari pasien untuk melakukan fleksi leher dan kaku
kuduk (rigiditas nukal).
Saraf XII (N.Hipoglosus)
Lidah simetris terjadi deviasi pada satu sisi dan terdapat
fasikulasi (kedutan) dan indra pengecapan dan tidak dapat
berbicara.
( Macam Reflek Patologis )
No. Nama Reflek Gambar Penilaian
1. Babinski Positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan
jari-jari yang
lebih kecil.
2. Hoffman Positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan
jari-jari yang
lebih kecil.
3. Tromner Positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan
jari-jari yang
lebih kecil.
4. Wartenberg Positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan
jari-jari yang
lebih kecil.
5. Chaddoks Positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan
jari-jari yang
lebih kecil.
6. Oppenheim Positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan
jari-jari yang
lebih kecil.
7. Gordon Positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan
jari-jari yang
lebih kecil.
8. Schaeffer Positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan
jari-jari yang
lebih kecil.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menunjukan hematoma sub-galeal kanan dengan
fraktur orbital kanan, maksila, dan sphenoid dengan subdural temporal-
pariental kiri dan perdarahan subaraknoid tanpa pergeseran garis tengah.

Diagnosa Keperawatan
1. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan menurunnya suplai
darah ke otak
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
Rencana tindakan keperawatan
No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1 Risiko perfusi serebral tidak Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Neurologis (I.06197)
efektif (D.0017) keperawatan 2x24 jam diharapkan Observasi
status neurologis membaik 1. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan,
Kriteria hasil : dan reaktifitas pupil
Status Neurologis (L.06053) 2. Monitor tingkat kesadaran
Indikator Skor Skor yang 3. Monitor ingatan terakhir, rentang
saat akan perhatian, memori masa lalu, mood dan
ini dicapai perilaku
Tingkat 2 5 4. Monitor tanda-tanda vital
kesadaran 5. Monitor irama otot, gerakan motor,
Status kognitif 2 5 gaya berjalan, dan propriosepsi
Fungsi 2 5 6. Monitor adanya tremor
sensorik 7. Monitor keluhan sakit kepala
kranial 8. Monitor karakteristik bicara:
Fungsi 2 5 kelancaran, kehadiran afasia, atau
sensorik spinal kesulitan mencari kata
Fungsi 2 5 9. Monitor parestesi (mati rasa dan
motorik kesemutan)
kranial Terapeutik
Fungsi 2 5 1. Tingkatkan frekuensi pemantauan
motorik spinal neurologis, jika perlu
Komunikasi 2 5 2. Hindari aktivitas yang dapat
Keterangan : meningkatkan tekanan intrakranial
1. Menurun Edukasi
2. Cukup menurun 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
3. Sedang pemantauan
4. Cukup meningkat
5. Meningkat

2 Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Manejemen Jalan Napas (I.01011)
(D.0005) keperawatan 2x24 jam diharapkan Observasi
pola napas membaik 1. Monitor pola napas (frekuensi,
Kriteria hasil : kedalaman, usaha napas)
Pola Napas (L.01004) 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
Indikator Skor Skor gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
saat yang kering)
ini akan 3. Monitor sputum (jumlah, aroma,
dicapai warna)
Dispnea 2 5 Terapeutik
Penggunaan 2 5 1. Pertahankan kepatenan jalan napas
otot bantu dengan head-tilt dan chin-lift
napas 2. Posisikan semi fowler atau fowler
Pemanjangan 2 5 3. Berikan minum hangat
fase ekspirasi 4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
Pernapasan 2 5 5. Berikan oksigen, jika perlu
cuping hidung Edukasi
Keterangan : 1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari,
1. Meningkat jika tidak kontraindikasi
2. Cukup meningkat 2. Ajarkan teknik batuk efektif
3. Sedang Kolaborasi
4. Cukup menurun 1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
5. Menurun mukolitik, jika perlu
3 Nyeri akut (D.0077) Setelah dilakukan tindakan Manejemen Nyeri (I.08238)
keperawatan 2x24 jam diharapkan Observasi
kontrol nyeri meningkat 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Kriteria hasil : frekuensi, kualitas, intensitas nyeri,
Kontrol Nyeri (L.08063) skala nyeri
Indikator Skor Skor 2. Identifikasi respon nonverbal terkait
saat yang nyeri yang dirasakan klien
ini akan 3. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
dicapai tentang nyeri
Melaporkan 2 5 Terapeutik
nyeri terkontrol 3. Berikan teknik non farmakologis
Kemampuan 2 5 (Terapi Loving Massage)
mengenali 4. Fasilitasi istirahat dan tidur
onset nyeri Edukasi
Kemampuan 2 5 1. Jelaskan penyebab, periode, dan
mengenali pemicu nyeri
penyebab nyeri 2. Anjurkan memonitor nyeri secara
Kemampuan 2 5 mandiri
menggunakan Kolaborasi
teknik non- 1. Kolaborasi analgetik jika diperlukan
farmakologis
Keterangan : Terapi Relaksasi (I.09326)
1. Menurun Observasi
2. Cukup menurun 1. Identifikasi penurunan tingkat energi,
3. Sedang ketidakmampuan berkonsentrasi atau
4. Cukup meningkat gejala lain yang mengganggu
5. Meningkat kemampuan kognitif
2. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah
efektif digunakan
3. Identifikasi kesediaan, kemampuan dan
penggunaan teknik sebelumnya
4. Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi,
tekanan darah dan suhu, sebelum dan
sesudah latihan
5. Monitor respon terhadap terapi relaksasi
Terapeutik
1. Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa
gangguan dengan pencahayaan dan
suhu ruang nyaman, jika
memungkinkan
2. Berikan informasi tertulis tentang
persiapan dan prosedur teknik relaksasi
3. Gunakan pakaian longgar
4. Gunakan nada suara lembut dengan
irama lambat dan berirama
5. Gunakan relaksasi sebagai strategi
penunjang dengan analgetik atau
tindakan medis lain, jika sesuai
Edukasi
1. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan dan
jenis relaksasi yang tersedia (mis.
musik, meditasi, nafas dala, relaksasi
otot progresif)
2. Jelaskan secara rinci intervensi
relaksasi yang dipilih
3. Anjurkan mengambil posisi nyaman
4. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
relaksasi
5. Anjurkan sering mengulangi atau
melatih teknik yang dipilih
6. Demonstrasikan dan latih teknik
relaksasi
DAFTAR PUSTAKA

Andrew, Ringer. 2018. Intracerebral hemorrhage. Dapat diakses


https://mayfieldclinic.com/pe-ich.htm
Darotin, Rida. dkk. 2017. Analisis Faktor Prediktor Mortalitas Stroke hemoragik
Di Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi Jember. NurseLine Journal. Vol. 2
No. 2 Nopember 2017 p-ISSN 2540-7937 e-ISSN 2541-464X.
Giraldo, Elias A. 2017. Intracerebral Hemorrhage. MSD Manual Profesional
Version. Dapat diakses :

https://www.msdmanuals.com/professional/neurologicdisorders/stroke/intra
cerebral-hemorrhage
Hemphill JC, Greenberg SM, Anderson CS, et al. 2015.Guidelines for the
management of spontaneous intracerebral hemorrhage: A guideline for
healthcare professionals from the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke 46:2032–2060,.
https://doi.org/10.1161/STR.0000000000000069.
Joon Ah, Sang. Et all. 2017 . Epidemiology, Risk Factors, and Clinical Features of
Intracerebral Bleeding: An Renewal. Journal of stroke. J Stroke . 2017 Jan;
19 (1): 3–10. doi: 10.5853 / jos.2016.00864. Dapat diakses di :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5307940/
Lemana, R., G. Hanna., A. Rizky. 2017. Fisiologi Dasar Untuk Mahasiswa
Farmasi, Keperawatan dan Kebidanan. Yogyakarta: Budi Utama
Mashru, Manoj. dkk. 2018. Successful Use Of Idarucizumab For The
Management Of Intracranial Hemorrhage In An Elderly Woman Receiving
Dabigatran For Stroke Prevention In Atrialfibrillation: A Case Report.IHJ
Cardiovascular Case Reports (CVCR). 2 (2018) 166-168.
https://doi.org/10.1016/j.ihjccr.2018.08.013. Dapat diakses: http://e-
resources.perpusnas.go.id/library.php?id=00037
Marilyn, M. 2011. Hemorrhagic Stroke: Intracerebral Hemorrhage. The Journal
of the Missouri State Medical Association. Mo Med . 2011 Jan-Feb; 108 (1):
50–54. Dapat diakses:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6188453/
Maldonado, kenia A. Khalid Alsayouri. 2019. Physiology, Brain. NCBI. Dapat di
akses : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551718/
Pearce, C. Evelyn. 2016. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:
Gramedia Indonesia
Shaffer, Catherine. 2019. Intracerebral Hemorrhage (ICH) Complications and
Prognosis. News medical life Seciences. Dapat diakses : https://www.news-
medical.net/health/Intracerebral-Hemorrhage-(ICH)-Complications-and-
Prognosis.aspx

Anda mungkin juga menyukai