Anda di halaman 1dari 17

BAB I

NARKOBA

A. Narkoba
Narkoba atau Napza adalah obat/bahan/zat, yang bukan tergolong
makanan. Jika diminum, diisap, dihirup, ditelan dan disuntikkan, berpengaruh
terutama pada kerja anak (susunan saraf pusat), dan sering menyebabkan
ketergantungan. Akibatnya, kerja otak berubah (meningkat atau menurun).
Demikian pula fungsi vital organ tubuh lain (jantung, peredaran darah,
pernapasan, dan lain-lain).
Narkoba yang ditelan masuk kelambung, kemudian ke pembuluh darah.
Jika diisap, atau dihirup, zat diserap masuk ke dalam pembuluh darah melalui
saluran hidung dan paru-paru. Jika zat disuntikkan, langsung masuk ke aliran
darah. Darah membawa zat itu ke otak.
Narkoba (narkotik, psikotropika, dan obat terlarang) adalah istilah
penegak hukum dan masyarakat. Narkoba disebut berbahaya, karena tidak aman
digunakan manusia. Oleh karena itu, penggunaan, pembuatan, dan peredarannya
diatur dalam, undnag-undang. Barang siapa menggunakan dan mengedarkannya
diluar ketentuan hukum, dikenai sanksi pidana penjara dan hukuman denda.
Napza (narkotika, psikotropika, zat adiktif lain) adalah istilah dalam dunia
kedokteran. Di sini penekanannya pada pengaruh ketergantunganya. Oleh karena
itu, selain narkotika dan psikotropika, yang termasuk napza adalah juga obat,
bahan atau zat, yang tidak diatur dalam undang-undang, tetapi menimbulkan
ketergantungan, dan sering disalahgunakan.
Narkoba yang dimaksud pada buku ini adalah narkotika, psikotropika, dan
zat adiktif lain. Digunakan istilah narkoba, karena telah menjadi bahasa umum di
masyarakat. Akan tetapi, ruang lingkupnya meliputi napza, sebab zat adiktif lain,
seperti nikotin dan alkohol, sering menjadi pintu masuk pemakaian nakoba lain
yang berbahaya. Juga inhalansia dan solven, yang terdapat pada berbagai
keperluan rumah tangga, bengkel, kantor dan pabrik yang sering disalahgunakan,
terutama oleh anak-anak.
Karena pengaruh narkoba yang menimbulkan rasa nikmat dan nyaman
itulah maka narkoba disalahgunakan. Akan tetapi, pengaruh itu sementara, sebab
setelah itu timbul rasa tidak enak. Untuk menghilangkan rasa tidak enak, ia
menggunakan narkoba lagi. Oleh karena itu, narkoba mendorong seseorng untuk
memakainya lagi.
Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba yang dilakukan
tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya,
dalam jumlah berlebih yang secara kurang teratur, dan berlangsung cukup lama,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental, dan kehidupan
sosialnya.
Pemakaian narkoba secara berlebihan tidak menunjukkan jumlah atau
dosisnya, tetapi yang penting pemakaiannya berakibat pada gangguan salah satu
fungsi, psikologis, maupun sosial. Gangguan fisik berarti gangguan fungsi atau
penyakit pada organ-organ tubuh, seperti penyakit hati, jantung, HIV/AIDS.
Gangguan psikologis meliputi cemas, sulit tidur, depresi, paranoia (perasaan
seperti orang lain mengejar). Wujud gangguan fisik dan psikologis bergantung
jenis narkoba yang digunakan. Gangguan sosial, meliputi kesulitan dengan orang
tua, teman, sekolah, pekerjaan, keuangan dan urusan dengan polisi.

B. Akibat Penyalahgunaan Narkoba


1. Bagi Diri Sendiri
a. Terganggunya fungsi otak dan perkembangan normal remaja :
- Daya ingat sehingga mudah lupa.
- Perhatian sehingga sulit berkonsentrasi
- Perasaan sehingga tak dapat bertindak rasional dan impulsif
- Persepsi sehingga memberi perasaan semu/khayal
- Motivasi sehingga keinginan dan kemampuan belajar merosot,
persahabatan rusak, minat, dan cita-cita semula padam
Oleh karena itu, narkoba menyebabkan perkembangan mental-
emosional dan sosial remaja terhambat. Bahkan, ia mengalami
kemunduran perkembangan.
b. Intoksikasi (keracunan), yaitu gejala yang timbul akibat pemakaian
narkoba dalam jumlah yang cukup berpengaruh pada tubuh dan
perilakunya. Gejalanya bergantung jenis, jumlah, dan cara
penggunaan. Istilah yang sering dipakai pecandu adalah pedauw, flt,
mabuk, teler, high, dan sebagainya.
c. Overdosis (OD) dapat menyebabkan kematian karena terhentinya
pernapasan (heroin) atau perdarahan otak (amfetamin, sabu). OD
terjadi karena toleransi maka perlu dosis yang lebih besar, atau karena
sudah lama berhenti pakai, lalu memakai lagi dengan dosis yang
dahulu digunakan.
d. Gejala putus zat, yaitu gejala ketika dosis yang dipakai berkurang atau
dihentikan pemakaiannya. Berat ringan gejala tergantung jenis zat,
dosis, dan lama pemakaian.
e. Berulang kali kambuh, yaitu ketergantungan yang menyebabkan
craving (rasa rindu pada narkoba) walaupun telah berhenti pakai.
Narkoba dan perangkatnya, kawan-kawan, suasana, dan tempat-tempat
penggunaannya dahulu mendorongnya untuk memakai narkoba
kembali. Itu sebabnya pecandu akan berulang kali kambuh.
f. Gangguan perilaku/mental-sosial, sikap acuh tak acuh, mudah
tersinggung, marah, menarik diri dari pergaulan, hubungan dengan
keluarga dan sesama terganggu. Terjadi perubahan mental, di
antaranya gangguan pemusatan perhatian, motivasi belajar/bekerja
lemah, ide paranoid, gejala parkinson.
g. Gangguan kesehatan, yaitu kerusakan atau gangguan fungsi organ
tubuh seperti hati, jantung, paru, ginjal, kelenjar endokrin, alat
reproduksi, infeksi hepatitis B (80%) HIV/AIDS (40-50%) penyakit
kulit dan kelamin, kurang gizi, penyakit kulit dan gigi berlubang.
h. Kendornya nilai-nilai, mengendornya nilai-nilai kehidupan agama,
sosial, budaya, seperti perilaku seks bebas dengan akibatnya (penyakit
kelamin, kehamilan yang tak diinginkan). Sopan santun hilang. Ia
menjadi asosial, mementingkan diri sendiri, dan tidak memedulikan
kepentingan orang lain.
i. Keuangan dan hukum, yaitu keuangan menjadi kacau, karena harus
memenuhi kebutuhannya akan narkoba. Itu sebabnya ia mencuri,
menipu, dan menjual barang-barang milik sendiri atau orang lain. Jika
masih sekolah, uang sekolah digunakan untuk membeli narkoba
sehingga ia terancam putus sekolah, di samping nilai-nilai rapor yang
merosot. Ia juga terkena sanksi hukum (ditahan, dipenjara, atau
didenda).

2. Bagi Keluarga
Suasana hidup nyaman dan tenteram menjadi terganggu. Membuat
keluarga resah karena barang-barang berharga di rumah hilang. Anak
berbohong, mencuri, menipu, bersikap kasar, acuh tak acuh dengan urusan
keluarga, tidak bertanggung jawap, hidup semaunya, dan asosial.
Orang tua malu karena memiliki anak pecandu, merasa bersalah,
tetapi juga sedih dan marah. Perilakunya ikut berubah sebagai fungsi
keluarga tmencuri, menipu, bersikap kasar, acuh tak acuh dengan urusan
keluarga, tidak bertanggung jawap, hidup semaunya, dan asosial.
Orang tua malu karena memiliki anak pecandu, merasa bersalah,
tetapi juga sedih dan marah. Perilakunya ikut berubah sebagai fungsi
keluarga terganggu. Mereka berusaha menutupi perbuatan agar tidak
diketahui oleh orang luar.
Orang tau menjadi putus asa karena masa depan anak tidak jelas.
Anak putus sekolah atau menganggur, karena dikeluarkan dari sekolah
atau pekerjaan. Stres meningkat dan membuat kehidupan ekonomi morat-
marit. Pengeluaran uang meningkat karena pemakaian narkoba atau karena
harus berulang kali dirawat, bahkan mungkin mendekam di penjara.
Keluarga harus menanggung beban sosial ekonomi ini.
3. Bagi Sekolah
Narkoba merusak disiplin dan motivasi yang sangat penting bagi
proses belajar. Siswa penyalahgunaan narkoba mengganggu suasana
belajar-mengajar di kelas dan prestasi belajar turun drastis.
Penyalahgunaan narkoba juga berkaitan dengan kenakalan dan putus
sekolah. Kemungkinan siswa penyalahgunaan membolos lebih besar
daripada siswa lain.
Penyalahgunaan narkoba berhubungan dengan kejahatan dan
perilaku asosial lain yang menggangu suasan tertib dan aman. Perusakan
barang-barang milik sekolah, meningkatnya perkelahian. Mereka juga
menciptakan iklim acuh tak acuh dan tidak menghormati pihak lain.
Banyak di antara mereka menjadi pengedar atau pencuri barang milik
teman atau karyawan sekolah.

4. Bagi Masyarakat, Bangsa, dan Negara


Mafia perdagangan gelap selalu berusaha memasok narkoba.
Terjalin hubungan antara pengedar/bandar dan korban sehingga tercipta
pasar gelap. Oleh karena itu, sekali pasar terbentuk, sulit memutus mata
rantai peredarannya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya
tahan, sehingga kesinambungan pembangunan terancam. Negara
menderita kerugian karena masyarakatnya tidak produktif dan tingkat
kejahatan meningkat. Belum lagi sarana dan prasarana yang harus
disediakan.
PACARAN DAN HUBUNGAN SEKSUAL

Pengertian yang salah pada remaja mengenai pembuktian cinta


Bukti cinta di masa pacaran adalah dengan memberikan segala-galanya
termasuk keperawanan mereka. Mereka percaya bahwa hubungan seksual
membuat hubungan pacaran menjadi lebih intim.

Mengapa terjadi hubungan seksual pada remaja?


Karena janji-janji tidak akan terjadi kehamilan, dan dengan menyerahkan
keperawanan berarti cinta mereka tulus dan suci. Apabila terjadi kehamilan pacar
mereka akan bertanggung jawab. Karena awalnya hanya sekedar coba-coba, tetapi
selanjutnya menjadi ketagihan. Karena remaja putri menggunakannya untuk
mengikat pacarnya agar tidak meninggalkan dirinya dengan memberikan
keperawanan dan melakukan hubungan seksual layaknya suami istri.
Hal ini sangat disayangkan karena rasa cinta pada pacar kita tidak perlu
dibuktikan dengan melakukan hubungan seksual.

Bagaimana sikap kita agar terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan
ketika berpacaran?
Agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan sebaiknya selama
berpacaran hindari kontak bagian tubuh yang cukup sensitif (daerah erogen)
seperti : bibir, payudara, dan putting susu, pinggang, pantat, bagian dalam paha
dan daerah kelamin. Saling mengingatkan saat pacaran perlu dibicarakan bersama
pasangan. Apabila permintaan pacar kita menurut kita bertentangan dengan ajaran
dan nilai yang kita anut dan membuat kita merasa tidak nyaman, kita harus berani
menolaknya.
Banyak remaja yang “kebablasan” dalam berpacaran dengan melakukan
hubungan seksual, hampir sebagian besar mengatakan hal itu terjadi secara
aksidental, spontan atau tidak direncakan sebelumnya. Penyesalan baru terjadi
ketika remaja putri menjadi hamil. Akibat kehamilan ini, rasa relatif aman yang
selama ini dirasakannya karena orang lain dan masyarakat tidak mengetahui
bahwa ia telah melakukan hubungan seks pra nikah, tiba-tiba saja hilang.
Kengerian akan sanksi sosial berupa pengucilan oleh orang tua/keluarga dan
pelecehan sosial yang amat berat tiba-tiba saja hadir konkret di hadapannya.
Pada umumnya kehamilan remaja (yang belum menikah) merupakan
kehamilan yang tidak diinginkan karena mereka sebenarnya belum siap secara
mental dan fisik untuk hamil atau mempunyai anak.
E. Pola Pemakaian Narkoba
Ada beberapa pola pemakaian narkoba sebagai berikut :
1. Pola coba-coba, yaitu karena iseng atau ingin tahu. Pengaruh
tekanan kelompok sebaya sangat besar, yang menawarkan atau membujuk
untuk memakai narkoba. Ketidakmampuan berkata ‘tidak’ mendorong anak
untuk mencobanya, apalagi jika ada rasa ingin tahu atau ingin mencoba.
2. Pola pemakaian sosial, yaitu pemakaian narkoba untuk
tujuan pergaulan (berkumpul dalam acara tertentu) agar diakui/diterima
kelompok.
3. Pola pemakaian situasional, yaitu karena situasi tertentu,
misalnya kesepian, stres, dan lain-lain. Disebut juga tahap instrumental,
karena dari pengalaman pemakaian sebelumnya disadaroi, narkoba dapat
menjadi alat untuk memengaruhi atau memanipulasi emosi dan suasana
hatinya. Di sini pemakaian narkoba telah mempunyai tujuan, yaitu sebagai
cara mengatasi masalah (compensatory use). Pada tahap ini, pemakai berusaha
memperoleh narkoba secara aktif.
4. Pola habituasi (kebiasaan) ketika telah memakai narkoba
secara teratur/sering. Terjadi perubahan pada faal tubuh dan gaya hidupnya.
Teman lama bergantian dengan teman kalangan pecandu. Kebiasaan,
pemakaian, pembicaraan, dan sebagainya akan berubah. Ia menjadi sensitif,
mudah tersinggung, pemarah, sulit tidur atau berkonsentrasi, sebab narkoba
mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-cita semula hilang. Ia
sering membolos dan prestasi di sekolah merosot. Ia lebih suka menyendiri
daripada berkumpul bersama keluarga. Meskipun masih dapat mengendalikan
pemakaiannya, tetapi telah terjadi gejala awal ketergantungan. Pola pemakaian
narkoba inilah yang secara klinis disebut penyalahgunaan.
5. Pola ketergantungan (kompulsif) dengan gejala khas, yaitu
timbulnya toleransi dan/atau gejala putus zat. Ia berusaha untuk selalu
memperoleh narkoba dengan berbagai cara. Berbohong, menipu, dan mencuri
menjadi kebiasaannya. Ia tidak dapat lagi mengendalikan diri dalam
penggunaannya, sebab narkoba telah menjadi pusat kehidupannya. Hubungan
dengan keluarga dan teman-teman menjadi rusak. Pada pemakaian beberapa
jenis narkoba seperti putauw terjadinya ketergantungan sangat cepat.

3. Solusi Masalah Remaja


Merujuk kepada hasil analisis dari masalah remaja seperti diatas, maka
solusi permasalahan remaja tentunya terkait dengan lingkungan yang menjadi akar
masalah remaja tersebut. Dengan kata lain pemecahan masalah remaja terkait
dengan perbaikan kehidupan keluarga dan rumah tangga, perbaikan iklim belajar
rnengajar di sekolah dan perguruan tinggi, perbaikan kehidupan bermasyarakat,
perbaikan di lingkungan media massa dan terutama sekali perbaikan dalam
kehidupan pergaulan antar remaja. Buku Genre yang Sehat dan Berakhlaq Mulya
ini adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah-rnasalah remaja yang
berkaitan dengan praktik kehidupan yang tidak sehat dan tidak berakhlak diantara
sesama remaja dan praktik kehidupan dalam keluarga yang memiliki remaja.
Karena buku ini membahas dua issu pokok yang berkaitan dengan masalah remaja
di Indonesia, seperti yang dibahas diatas, yaitu bagaimana Genre bisa memahami
dan mempraktik hidup sehat dan hidup dengan akhlak mulya.
Pengajaran merupakan salah satu aspek dari pendidikan, yaitu aspek
pengetahuan kognitif. Pengajaran memberikan keterampilan dan pengetahuan,
sedangkan pendidika membimbing anak ke arah kehidupan yang baik dan benar.
Kita juga mengenal perkataan latihan. Jika pengajaran menyangkut segi
pengetahuan (segi intelektual) manusia, latihan menyangkut segi psiko-
motoriknya, gerak-gerik jasmaninya, seperti latihan menulis, membaca cepat,
mengemudi, juga mengarnbil keputusan, berkomunikasi, dan sebagainya. Dasar
latihan ialah mengulang, makin banyak mengulang latihan, makin terampil orang
tersebut.
Proses pendidikan berlangsung sejak anak masih bayi hingga dewasa. Ada
tiga lingkungan pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan
adalah usaha sadar manusia secara berencana yang ditujukan pada perbaikan
perilaku manusia dalam seluruh aspek kepribadiannya, yang meliputi aspek
pengetahuan (kognitif), emosi (afektif), kemauan (konatif) , dan keterampilan
(psiko-motorik).
Anak memiliki kehendak bebasnya sendiri, sebagai hak individu yang
tidak dapat diganggu-gugat. Kita tidak dapat memaksa anak, untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu, tanpa persetujuannya. Memaksa, berarti
‘memperkosa’ hak anak tanpa persetujuannya sehingga akan menimbulkan
masalah atau konflik dalam pendidikan.
Pendidikan berlangsung dalam situasi pendidikan, yang melibatkan
dinamika kelompok, antara pendidik dan anak didik. Sering dalam proses
pendidikan, konflik-konflik psikis bawah sadar dari pihak pendidik, ikut
memengaruhi proses pendidikan, dan ‘ditularkan’ kepada anak didik. Hal ini perlu
disadari, karena dapat mencegah efek sebaliknya (counter product) dari usaha
yang dilakukan. Rasa cemas, khawatir, agresi, ketakutan, dan sebagainya, mudah
menular.

B. Pendidikan Pencegahan bagi Anak dan Remaja


Pendidikan pencegahan penyalahgunaan narkoba merupakan bagian dari
pendidikan umum, sebagai upaya jangka panjang, untuk membina generasi muda.
Pendidikan pencegahan adalah pendidikan yang ditujukan terutama kepada
individu atau sekelompok masyarakat, umumnya anak remaja yang mempunyai
risiko tinggi, untuk mencegah dan mengurangi atau menghentikan pemakaian
narkoba.
Pendidikan pencegahan sangat penting. Akan tetapi, hal itu sering diartikan
secara sempt dan keliru atau salah kaprah, sebagai pemberian informasi semata
tentang bahasa penggunaan narkoba, terutama dengan cara menakut-nakuti (scare
tactics). Pendidikan bukan hanya mengajar atau memberikan informasi, karena
pendidikan menyangkut pula aspek sikap, nilai dan keterampilan di samping
aspek pengetahuan.
Guna mencegah dan mengurangi kesalahan, kita perlu memahami terlebih
dahulu konsepnya dan melaksanakannya dengan dilandasi tanggung jawab atas
masa depan bangsa. Kesalahan yang dilakukan, baik secara konseptual maupun
teknis, berdampak negatif dalam tahap jangka panjang.
Pendidikan pencegahan adalah upaya jangka panjang. Upaya itu perlu
dilakukan sedini mungkin, mulai dari anak usia SD hingga SMA, bahkan pada
anak usia balita. Hasilnya baru tampak setelah 5-6 tahun. Itu pun jika program
diselenggarakan secara berkesinambungan dan dengan metode yang efektif.
Pendidikan pencegahan di sekolah mempunyai tujuan umum, yaitu :
a. Meningkatkan sikap dan perilaku positif yang dapat mencegah
penyalahgunaan narkoba, kekerasan, dan perbuatan negatif lain;
b. Terampil menolak tekanan tawaran narkoba dan terlibat kekerasan;
c. Dapat berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan
penyalahgunaan narkoba dan kekerasan di lingkungannya.
Ada beberapa jenis pendidikan pencegahan :
1. Pendekatan Informatif
Pendekatan informatif sering kali menjadi bobot terbesar upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba di negara kita, dengan sasaran utamanya
adalah remaja. Upaya itu dilakukan, dengan asumsi, bahwa remaja tidak
mengetahui bahayanya. Oleh karena itu, mereka dianggap perlu diberi informasi
tentang bahayanya.
Pemberian informasi sering disampaikan dengan menekankan dampak
buruk atau negatif pemakaian narkoba (scare tactics atau teknik menakut-nakuti).
contoh: gambar pecandu narkoba yang sedang kesakitan, bahkan sekarat,
tengkorak, darah, jarum suntik, wama-warna pekat, hitam, dan kematian. Pesan-
pesan demikian kurang atau tidak beroleh penerimaan penuh dari remaja. Pesan
itu sering bertentangan dengan daya nalar serta kenyataan ilmiah.
Pemberian informasi juga sering diberikan dengan memperlihatkan cara
pakai perangkat pemakaiannya, pengaruh penyalahgunaan narkoba, dan akibat
buruknya, misalnya gejala putus zat dan overdosis. Alasannya, untuk mencegah
pemakaiannya. Penelitian menunjukkan hasil sebaliknya (counter product) karena
sebagian peserta justru menjadi ingin tahu dan mulai mencoba memakai narkoba.
Untuk meningkatkan kredibilitas dan penerimaan pesan, digunakan para
mantan pecandu sebagai penyampai pesan. Akan tetapi, timbul efek negatif di
mana mantan pemakai yang berkata penyalahgunaa narkoba dapat diatasi,
menyebabkan sebagian peserta tidak takut memakai narkoba.
Kecenderungan untuk bersikap moralis juga sering terjadi pada
pendekatan informatif. Hubungan komunikasi searah dan top down berlangsung
antara pemberi pesan dan penerima pesan. Hal ini merupakan kendala dalam
penyampaian pesan yang efektif karena remaja cenderung lebih mempercayai
kelompok sebayanya. Bagi pemakai narkoba, informasi tentang penyalahgunaan
narkoba tidak mengubah perilaku mereka, bahkan mereka memiliki pengetahuan
yang lebih rinci dan tepat.
Hal ini membuktikan bahwa hanya pendekatan informasi saja tidak akan
bermanfaat. Informasi (Penerangan) faktual, yaitu pemberian informasi tentang
bahaya narkoba belum tentu memperbaiki perilaku manusia, apalagi jika
dilakukan secara “one way traffic” tanpa dikaitkan dengan sikap, nilai-nilai,
kemampuan pengambilan keputusan, dan pembinaan seluruh kepribadian
manusia. Masyarakat pun jenuh dengan penyuluhan, sebab tidak memberi solusi
terhadap masalah yang mereka hadapi.

2. Pendekatan Afektif
Pendekatan afektif didasarkan pada teori perkembangan kepribadian yang
menyatakan bahwa pemakaian narkoba pada remaja adalah bagian dari perilaku
remaja, sebagai tanda keinginan mereka untuk mandiri.
Pendekatan ini tidak menekankan pada penyalahgunaan narkoba, tetapi
lebih pada kebutuhan mental emosionalnya, sehingga dapat mengurangi alasan
pemakaian narkoba. Di sekolah, misalnya, diciptakan suasana yang dapat
memberi dukungan pada kebutuhan mental emosional remaja, juga cara
meningkatkan percaya diri dan penilaian diri.
Akan tetapi, program prevensi yang hanya melakukan pendekatan pada
komponen afektif saja juga terbukti tidak berhasil. Jika dikombinasikan dengan
latihan keterampilan menolak tekanan kelompok sebaya akan jauh lebih berhasil.
3. Pendidikan yang Berorientasi pada Situasi Penawaran
Pemberian informasi tetap diperlukan, tetapi harus dikaitkan dengan upaya
untuk mengubah perilaku, terutama keterampilan siswa dalam mengambil
keputusan, ketika dihadapkan pada berbagai situasi penawaran narkoba. Situasi
penawaran selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, di rumah, dan
lingkungan lain.
Tidak adanya hubungan langsung antara informasi tentang bahaya narkoba
dan situasi penawaran yang dialami sehari-hari, menyebabkan informasi itu
kurang bermanfaat. Rasa tidak aman, harga diri rendah, hubungan dengan orang
tua buruk/kurang baik, anggota keluarga menjadi penyalahguna, dan kesulitan
mengambil keputusan menyebabkan anak cenderung mengikuti tekanan kelompok
sebaya.
Anak dan remaja cenderung ingin tahu atau ingin mencoba, terutama
mereka yang menyukai sensasi dan senang menantang bahaya (risk taking
behavior). Pada anak yang lebih pasif, pemberian informasi demikian, malah
mengundang kecemasan. Kecemasan akan menyebabkan ketidakmampuan anak
berpikir dan bertindak rasional, dengan menggunakan daya nalar sehat.
Anak atau remaja tidak pernah berpikir jangka panjang mengenai bahaya
narkoba. Jika ia ditawari narkoba, pasti mau mencobanya karena teman yang
menawarkannya tidak tampak seperti seorang yang kecanduan, atau berperilaku
menyimpang. Mereka tampak seperti teman baik atau orang yang dikenal, dengan
perilaku normal, tidak seperti halnya seorang pecandu atau pengedar.
Anak perlu memahami dan terampil menghadapi kemungkinan penawaran
narkoba, karena penyalahgunaan selalu diawali penggunaan pertama kali, sebagai
pemakai coba-coba, didorong keingintahuan, atau keinginan unluk mencoba. Oleh
karena itu, anak perlu dilatih agar terampil menolak tawaran pemakaian dan
peredaran narkoba.
4. Kegiatan Alternatif
Dengan memberi kegiatan alternatif sebagai pengganti pemakaian
narkoba, dianggap perilaku remaja menjadi lebih positif. Ada tiga cara pendekatan
yang dapat dilakukan:
a. Memberi kegiatan yang cocok dengan kebutuhan remaja,
b. Mendorong partisipasi pada kegiatan-kegiatan yang telah ada, dan
c. Memberi kesempatan agar remaja mengembangkan kegiatannya.

Evaluasi terhadap program ini memperoleh rupa-rupa hasil, sebagian


mengurangi pemakaian narkoba, sebagian lagi tidak. Berikut ini beberapa contoh
kegiatan yang sering dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Kegiatan hiburan berkorelasi langsung dengan merokok,
minum-minumanberalkohol, ganja, inhalansia, depresansia, dan stimulansia.
b. Kegiatan akademik berkaitan dengan pengurangan
minum-minuman beralkohol, mengurangi pemakaian ganja dan stimulansia.
c. Olahraga mengurangi merokok, ganja, depresansia,
halusinogenika, dan stimulansia, tetapi dapat meningkatkan minum minuman
beralkohol.
d. Kegiatan sosial dapat meningkatkan pemakaian semua
jenis narkoba.
e. Kegiatan ibadah agama berkaitan dengan pengurangan
merokok, mium-minuman beralkohol, ganja, dan stimulansia.
f. Hobi mengurangi minuman beralkohol dan stimulansia.
g. Kegiatan ekstrakurikuler dapat meningkatan kegiatan
merokok, minum-minuman beralkohol, ganja, inhalansia, depresansia, dan
stimulansia.
h. Partisipasi dalam beberapa kegiatan vokasional
(pekerjaan) berkaitan dengan peningkatan semua jenis pemakaian narkoba.

5. Latihan Peningkatan Percaya Diri (Social Assertiveness Skills)


Diasumsikan bahwa pemakaian narkoba dicegah dengan meningkatkan
kompetensi sosial dan keberhasilan seseorang. Kompetensi sosial diartikan
sebagai percaya diri, yaitu kemampuan untuk tidak menyetujui, menolak,
mengajukan permintaan, dan untuk memulai percakapan. Keberhasilan seseorang
diartikan sebagai kemampuan seseorang menampilkan perilakunya agar
menghasilkan sesuatu sesuai dengan harapannya. Remaja bereksperimen dengan
narkoba sebagai penolakan terhadap tuntutan keberhasilan dan kompetensi sosial.
Program ini meliputi tujuh jam sesi diskusi kelompok tiap-tiap kelompok
terdiri atas empat orang. Keterampilan mengelola beberapa situasi sosial
diragakan dan dilatih. Situasi sosial yang ditampilkan adalah situasi yang dihadapi
sehari-hari.

6. Latihan Keterampilan Kognitif


Pendekatan latihan keterampilan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa
remaja adalah masa saat mereka beroleh keterampilan orang dewasa,
mengeksplorasi berbagai pilihan, serta mengambil resiko. Remaja dilatih
keterampilan yang membuat mereka menikmati kebahagiaan, kesehatan, dan
kehidupan sejahtera. Komponen utama pendekatan ini adalah:
a. Memberikan informasi yang tepat, sesuai kebutuhan pribadinya;
b. Melatih remaja mengelola situasi sehari-hari melalui pendekatan
pemecahan masalah dan curah pendapat;
c. Teknik “instruksi diri” guna melatih kendali diri atas perilaku
mereka;
d. Melatih cara menyesuaikan diri terhadap stres, kecemasan, dan
tekanan dengan teknik cognitive skills dan relaksasi;
e. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi untuk meningkatkan
percaya diri.

7. Latihan Keterampilan Mengelola Kehidupan sehari-hari (Life Skills)


Komponen substansi penyalahgunaan narkoba:
a. Pengaruh jangka pendek dan jangka panjang narkoba;
b. Informasi angka pengguna di antara remaja dan dewasa untuk
mengoreksi harapan normatifnya terhadap pemakaian narkoba.
c. Informasi/latihan di kelas mengenai pengaruh narkoba pada tubuh;
d. Tekanan media untuk merokok dan minum-minuman beralkohol;
e. Teknik menolak tekanan kelompok sebaya untuk merokok,
minum-minuman beralkohol, atau memakai narkoba.

Komponen keterampilan personal :


a. Cara pengambilan keputusan untuk mendorong pola pikir
kreatif dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
b. Cara mengatasi cemas (cara mengendalikan diri secara
kognitif dan perilaku)
c. Dasar-dasar perubahan perilaku dan memperbaiki diri.

Komponen keterampilan sosial :


a. Keterampilan berkomunikasi secara efektif,
b. Keterampilan sosial secara umum: mengawali interaksi sosial,
keterampilan berbicara, keterampilan memberikan penghargaan,
c. Keterampilan dalam hubungan sosial antara pria dan wanita, dan
d. Keterampilan verbal dan nonverbal untuk meningkatkan percaya diri.

Program dilaksanakan di kelas, biasanya sekali seminggu selama 15


minggu, atau beberapa kali seminggu selama 5 minggu.

8. Latihan Inokulasi Sosial


Sama dengan pendekatan berorientasi situasi, latihan inokulasi sosial
tergolong pendekatan yang berorientasi pada pengaruh sosial dan memusatkan
perhatiannya pada hal-hal sebagai berikut:
a. Pengaruh sosial yang mengawali penyalahgunaan narkoba;
b. Keterampilan perilaku untuk menolak tekanan atau pengaruh
demikian;
c. Mengoreksi persepsi remaja terhadap norma-norma sosial.
Pendekatan ini analog dengan inokulasi biologis, yaitu pada tubuh
seseorang disuntikkan kuman dalam dosis kecil, agar timbul kekebalan. Model ini
mengajukan konsep bahwa daya tangkal seseorang menjadi lebih besar, jika ia
mampu mengembangkan cara menolak tawaran atau tekanan kelompok.

Anda mungkin juga menyukai