Anda di halaman 1dari 17

HUKUM DAGANG

ARBITRASE

Universitas Jendral Soedriman


Jalan Prof.Dr.H.R. Boenyamin 708 Purwokerto

www.unsoed.ac.id
KATA PENGANTAR
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang penulis peroleh dari buku
panduan, yang berkaitan dengan hukum Dagang dan jual beli Perusahaan serta infomasi dari
media massa, internet .tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada perpustakan pusat
universitas jendral soedirman dalam membantu menyediakan buku-buku berkenaan tugas
ini . Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat
diselesaikannya makalah ini.

Penulis harap, dengan membaca tugas ini dapat memberi manfaat bagi kita semua,
dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai jual beli perusahaan , khususnya bagi
penulis. Memang tugas ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Penulis, 1 Mei 2014

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peranan badan arbitrase di dalam penyelesaian sengketa – sengketa bisnis di bidang
perdagangan nasional maupun internasional dewasa ini adalah semakin penting. Banyak
kontrak nasional dan internasional menyelipkan klausula arbitrase dan memang bagi
kalangan bisnis, cara penyelesaian sengketa melalui badan ini memberi keuntungan sendiri
daripada melalui badan peradilan nasional.

Untuk menyelesaikan sengketa – sengketa melalui badan arbitrase ini, hukum yang
akan diberlakukan oleh dewan arbitrase pertama – tama adalah hukum yang dipilih oleh para
pihak sebagaimana yang tertulis dalam klausula tambahan dokumen kontrak atau perjanjian.
Apabila tidak ada hukum yang tegas – tegas di pilih oleh para pihak, maka hukum yang akan
diberlakukan adalah hukum di mana perjanjian atau kontrak dibuat.

Di tahun 1999, pemerintah Negara Republik Indonesia telah mengundangkan


Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-undang tersebut ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar forum
pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para
pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak. Suatu forum yang
diharapkan dapat mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa.

B. Rumusan Masalah

- Dalam pembahasan makalah ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

- Apakah yang dimaksud dengan arbitrase

- Bagaimanakah Arbitrase menurut ketentuan UU Nomor 30 Tahun 1999

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Arbitrase


Perkataan arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Sedangkan beberapa sarjana dan
peraturan perundang-undangan yang ada memberikan defenisi Arbitrase sebagai berikut.
Subekti

Menurut Subekti (1992:1) menyatakan bahwa arbitrase adalah : “Penyelesaian atau


pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para
pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka
pilih. HMN.Poerwosutjipto

Menurut HMN. Poerwosutjipto (1992:1), yang mempergunakan istilah perwasitan


untuk arbitrase ini, menyatakan bahwa: “Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian, di
mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka
kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh
para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.”

UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa Umum

Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian


Sengketa Umum, Pasal 1 angka 1, Arbitrase adalah “Cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

2.2. Dasar Hukum Berarbitrase

Dasar hukum berarbitrase adalah dasar hukum yang dipergunakan seseorang untuk dapat
menyelesaikan perselisihannya melalui arbitrase, baik dalam kerangka arbitrase nasional
maupun internasional. Dasar hukum tersebut adalah:
- UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum
- UU No.5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian
Perselisihan Antarnegara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal
- Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi New York
1958
- Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1990 mengenai peraturan lebih lanjut tentang
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing

2.3. Lembaga Arbitrase

Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Berdasarkan eksistensi dan kewenangan
untuk memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara pihak yang mengadakan
perjanjian ada dua jenis arbitrase yaitu:

Arbitrase ad hoc

Arbitrase ad hoc adalah (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk
menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan
jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan.

Arbitrase Institusional

Arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen. Ciri
dari lembaga arbitrase institusional ini yang dapat pula dikatakan sebagai perbedaannya
dengan lembaga arbitrase ad hoc adalah sebagai berikut:

1. Arbitrase institusinal sengaja didirikan untuk bersifat permanen/selamanya,


sedangkan arbitrase ad hoc sifatnya sementara dan akan bubar setelah perselisihan
selesai diputus.
3

2. Arbitrase institusional sudah ada/sudah berdiri sebelum suatu perselisihan timbul,


sedangkan arbitrase ad hoc didirikan setelah perselisihan timbul oleh pihak yang
bersangkutan.

3. Karena bersifat permanen, arbitrase institusional didirikan lengkap dengan susunan


organisasi, tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang pada
umumnya tercantum dalam anggaran dasar pendirian lembaga tersebut, sedangkan pada
arbitrase ad hoc tidak ada sama sekali

Arbitrase institusional ini ada yang bersifat nasional dan ada pula yang bersifat
internasional. Dikatakan bersifat nasional karena pendiriannya hanya untuk kepentingan
bangsa dari negara yang bersangkutan. Sementara dikatakan bersifat internasional karena
merupakan pusat penyelesaian persengketaan antara pihak yang berbeda kewarganegaraan.

Beberapa lembaga arbitrase bersifat nasional maupun internasional yang dikenal adalah:

1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

2. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)

3. The Internasional Centre for Settlement of Invesmen Disputes (ICSID)

4. The Court of Arbitrasetion of The Internasional Chamber of Commerce (ICC)

2.4 Perjanjian Arbitrase

Perjanjian arbitrase bukan perjanjian “bersyarat”. perjanjian arbitrase tidak termasuk pada
pengertian ketentuan pasal 1253-1267 KUHPerdata. Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian
arbitrase tidak digantungkan kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang.
Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya
mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang
terjadi antara pihak.

Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi materi pokok
perjanjian. Perjanjian arbitrase yang lazim disebut klausula arbitrase merupakan tambahan
yang diletakkan pada perjanjian pokok. Jadi perjanjian arbitrase bersifat asesoir, dimana
keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok dan sama sekali tidak
mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok. Walaupun tanpa perjanjian
arbitrase, perjanjian pokok dapat berjalan terus dan berdiri sendiri dengan sempurna.
Sebaliknya tanpa adanya perjanjian pokok, tidak akan pernah ada perjanjian arbitrase.
Dari berbagai sumber undang-undang, peraturan dan konvensi internasional, dijumpai dua
bentuk perjanjian arbitrase sebagai berikut:

Pactum De Compromittendo

Bentuk klausula arbitrase yang pertama, disebut Pactum de compromittendo yang


berarti “kesepakatan setuju dengan putusan arbiter atau wasit”. Pactum de kompromiteendo
atau disebut juga Akta kompromitendo merupakan suatu klausula dalam perjanjian pokok
dimana ditentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan perselisihannya kepada seorang
atau majelis arbitrase

Dalam klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo, para pihak


mengikat kesepakatan akan menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum
arbitrase. Pada saat mereka mengikat dan meneyetujui klausula arbitrase, sama sekali belum
terjadi perselisihan, seakan-akan klausula arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi
perselisihan yang mungkin timbul di masa yang akan datang. Jadi, sebelum terjadi
perselisihan yang nyata, para pihak telah sepakat dan mengikat diri untuk menyelesaikan
perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase. Bentuk klausula pactum de compromittendo
diatur dalam pasal 7 UU Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi:

“Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara
mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.”

Cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada dua cara

a. Dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok,

b. Klausula pactum de compromittendo dibuat terpisah dalam akta tersendiri

Akta Kompromis
Bentuk perjanjian Arbitrase yang kedua disebut “akta kompromis” atau compromise and
settlemen (perdamaian yang dicapai di luar pengadilan). Akta kompromis adalah perjanjian
khusus yang dibuat setelah terjadinya perselisihan guna mengatur tentang cara mengajukan
perselisihan yang telah terjadi itu kepada seorang atau beberapa orang arbiter untuk
diselesaikan. Akta kompromis harus dibuat dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak, atau bisa juga dibuat di depan notaris. Akta kompromis diatur dalam Pasal
9 UU Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi:

1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa
terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak.

2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :

a. masalah yang dipersengketaan;

b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau mejelis arbitrase;

d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;

e. nama lengkap sekretaris;

f. jangka waktu penyelesaian sengketa;

g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan

h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala


biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal
demi hukum. 6

2. 5 Prosedur Arbitra
Bila telah terjadi perselisihan yang penyelesaiannya disepakati untuk diselesaikan melalui
arbitrase, prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut.

Permohonan Arbitrase

Tahap pertama berarbitrase harus dimulai dengan mengajukan permohonan arbitrase. Pada
surat permohonan itu harus dilampirkan salinan naskah atau akta perjanjian yang
secarakhusus meneyerahkan pemutusan sengketa kepada arbiter/majelis arbitrase (akta
kompromis); atau perjanjian yang memuat klausula bahwa sengketa yang akan timbul dari
perjanjian tersebut akan diputus oleh arbiter/majelis arbitrase.

Surat permohonan yang diajukan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya:

a. Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak

b. Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti

c. Isi tuntutan yang jelas

Penunjukan Arbiter

Para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih arbiter yang akan menyelesaikan
persengketaan mereka. Apabila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter, maka ketua
pengadilan Negeri atau Ketua Lembaga arbitrase yang dipilih akan menunjuk/membentuk
arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketanya. Jika sengketa itu dianggapnya
sederhana dan mudah, akan ditunjuk seorang arbiter tunggal untuk memeriksa dan
memutusnya.

Proses pemeriksaan dan tenggang waktu yang diperlukan

Menurut Undang-Undang No. 30 tahun 1999, para pihak dalam suatu perjanjian yang
tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara (proses pemeriksaan) arbitrase yang
dipergunakan dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 30 Tahun
1999 tersebut. Demikian juga, para pihak bebas menentukan jangka waktu dan tempat
diselenggarakannya pemeriksaan/persidangan, termasuk arbiter atau majelis arbitrasi yang
akan memutuskan.

2.6 Putusan Arbitrase

Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad hoc maupun
lembaga arbitrase atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan
mengenai suatu pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat
klausula arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad- hoc tersebut, maupun lembaga arbitrase
untuk diputuskan olehnya. Sebagai suatu pranata (hukum), arbitrase dapat mengambil
berbagai macam bentuk yang disesuaikan dengan kondisi dan keadan yang dikehendaki oleh
para pihak dalam perjanjian.

Berdasarkan pada tempat di mana arbitrase tersebut diputuskan, secara umum putusan
arbitrase dapat kita bedakan ke dalam:

1. Putusan arbitrase nasional, yamg merupakan putusan arbitrase yang diambil atau
dijatuhkan di negara Republik Indonesia

2. Putusan arbitrase internasional atau arbitrase asing, yang merupakan putusan arbitrase
yang dijatuhkan di negara di luar negara Republik Indonesia

Putusan arbitrase berbeda dengan putusan badan peradilan, putusan arbitrase baik yang
diputuskan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase, adalah merupakan putusan pada
tingkat akhir (final), dan karenanya secara langsung mengikat (binding) bagi para pihak.
Namun meskipun demikian, putusan arbitrase masih bisa dilakukan upaya pembatalan
putusan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang diatur dalam Bab VII tentang
Pembatalan Putusan Arbitrase, pasal 70-72 Undang-undang No. 30 Tahun 1999.

2.7 Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Dalam membicarakan pelaksanaan putusan arbitrase akan dibedakan cara pelaksanaan


putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional


Instansi atau pejabat yang berwenang untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan
arbitrase adalah Pengadilan Negeri, sedangkan majelis arbitrase yang mengeluarkan atau
menjatuhkan putusan tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan
eksekusi (pelaksanaan putusan). Ketidakadaan kewenangan majelis arbitrase ini disebabkan
karena majelis tersebut tidak bersifat yudisial, dan tidak mempunyai perangkat juru sita yang
bertugas melaksanakan eksekusi.

Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional, ada beberapa tahap
yang akan dilalui, sebagaimana diuraikan berikut ini.

a. Pendaftaran Putusan Arbitrase

Pasal 59 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa tahap pertama yang harus
dilakukan dalam rangka eksekusi putusan arbitrase adalah tahap pendaftaran/penyimpanan
atau yang disebut dengan istilah “deponir” pada Pengadilan Negeri dalam wilayah putusan
tersebut dikeluarkan. Kewajiban mendaftarkan harus dilakukan paling lambat tiga puluh hari
terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Dan yang berkewajiban untuk mendaftarkan
putusan tersebut adalah:

1) Salah seorang anggota arbiter, atau

2) Seorang kuasa untuk dan atas nama para anggota arbiter

Semua biaya yang menyangkut pendaftaran ini, sesuai dengan ketentuan Pasal 59 UU Nomor
30 tahun 1999 di atas, ditanggung oleh para pihak yan bersengketa sendiri, bukan arbiter

b. Permohonan Eksekusi

Makna/pengertian eksekusi adalah permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar


dilakukan perintah eksekusi terhadap putusan. Dengan demikian, tahap kedua adalah
mengajukan permohonan eksekusi, yaitu permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar
dikeluarkan perintah eksekusi terhadap putusan arbitrase
Perintah eksekusi akan diberikan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak
permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri (pasal 62 ayat (1) UU
Nomor 30 Tahun 1999). Dan selama waktu tersebut, sebelum perintah eksekusi dikeluarkan
Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa terlebih dahulu, apakah putusan
arbitrase itu sah atau tidak

Dikategorikan sebagai putusan arbitrase yang sah apabila:

1) Penyelesaian perselisihan tersebut memang disepakati oleh para pihak untuk


diselesaikan melalui arbitrase

2) Putusan yang dimintakan eksekusi tersebut adalah putusan arbitrase yang menyangkut
perselisihan bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional

Sama halnya dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional,pelaksanaan putusan arbitrase


internasional ini pun melalui proses yang sama, yaitu tahap pendaftaran, lalu baru kemudian
eksekusi

Dalam pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “yang berwenang menangani
masalah pengakuan dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.”

10

Namun demikian, tidak semua putusan arbitrase internasional dapat diakui atau
dilaksanakan di Indonesia tanpa memandang dari negara mana putusan tersebut dikeluarkan.
Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa putusan arbitrase internasional hanya
diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut.
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun
multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrasi Internasional. Ini
disebut asas reciprositas

b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam huruf a terbatas pada putusan yang
menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat


dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban
umum.

d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh


eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan

e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang


menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya
dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekusi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

11

Untuk keperluan pendaftaran ini dokumen yang diperlukan adalah :

a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan
perihal autentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa
Indonesia;
b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase
Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan
resminya dalam bahasa Indonesia; dan

c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan


Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa segera bahwa negara
pemohon terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara
Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

12

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Para sarjana memberikan definisi yang berbeda tentang arbitrase namun pada hakekat
memiliki makna yang sama, bahwa arbitrase merupakan suatu cara penyelesaian sengketa
yang dipilih sendiri oleh para pihak yang berselisih

Arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagai landasan hukum dalam berarbitrase.
13

DAFTAR PUSTAKAN

Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar,


Jakarta: PT Fikahati Aneska dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia, 2002.

Ade Maman Suherman, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Aspek Hukum dalam
Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.

Widjaja, Gunawan, dan Yani, Ahmad, Hukum Arbitrase, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian


Sengketa

http://arwin-elborneo.blogspot.com

http://www.perlindungankonsumen.or.id

http://fannihappy.blogspot.com/
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i

DAFTAR ISI ..........................................................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................1

1.2 Rumusan masalah .......................................................................................................1

BAB II

ISI

2.1. Defenisi Arbitrase...........................................................................................................2

2.2 Dasar Hukum Berarbitrase......................................................................,.........................3

2.3 Lembaga Arbitase ..............................................................................................................3

2.4 Perjanjian Arbitrase ...........................................................................................................4

2.5 Prosedur Arbitra....................................................................................................... ..........7

2.6 Putusan Arbitrase ................................................................................................................8

2.7 Pelaksanaan Putusan Arbitrase.........................................................................................9

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN ...............................................................................................................13

ii

Anda mungkin juga menyukai