Moral Internasional
Hukum Internasional
by cekli
oleh
Menyikapi konfrotasi pendapat yang berbeda antara para pakar Hukum Internasional
mengenai sifat “hukum” dalam hukum Internasional : John Austin yang mengatakan bahwa
hukum Internasional adalah “bukan hukum”, hanya “properly so called”, “moral saja”
dengan alasan yang mendasari bahwa hukum Internasional tidak memiliki sifat “hukum”,
yakni dalam hal:
Dengan demikian menurut Kelsen, jika terdapat negara yang melanggar hukum internasional
maka tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memberikan sanksi kepada negara tersebut.
Negara mau mentaati atau tidak terhadap ketentuan internasional itu adalah terserah dari
negara yang bersangkutan. Jadi hukum internasional tidak tepat dikatakan sebagai hukum
melainkan hanya norma saja atau adat istiadat saja.
Pendapat yang demikian kiranya perlu ditinjau ulang, sebab keraguan akan keberadaan
lembaga eksekutif, legeslatif , yudikatif serta polisional dalam hukum iNternasional telah
digantikan oleh peranan beberapa vbadang khusus sejak diber\ntuknya Organisasi
Internasional PBB. Keberadaan lembaga pembuat undang-undang atau legeslatif dapat
digantikan oleh kesepakatan-kesepatan yang dibuat oleh dan diantara subyek hukum
Internasional baik yang bersifat bileteral, atau multilateral. Hal ini karena kedudukan negara
sebagai subyek hukum Internasional adalah koordinatif atau sejajar. Tidak ada negara yang
melebihi atau di atas negara yang lain. Lembaga penegak hukum atau yudikatif perannya
dapat kita lihat keberadaan Mahkamah Internasional maupun Arbitrase Internasional.
Lembaga eksekutif tidak lain adalah subyek hukum internasional itu sendiri. Meskipun
hukum Internasional tidak memiliki sanksi yang tegas dan memaksa dalam pelaksanaannya,
bukan berarti sifat aturan yang demikian tidak dapat dikategorikan sebagai ‘hukum’. Kita
dapat melihat “hukum adat’ yang berlaku di Indonesia. Meskipun ‘hukum adat’ tersebut
munculnya dari kebiasaan yang dilakukan oleh masyrakat, namun kebiasaan tersebut ditaati
dan dilaksanakan meskipun tidak ada sanksi yang tegas. Jadi menurut pendapat penulis,
Kelsen telah mencampur adukan antara pengertian efektifitas hukum dengan sifat hukum itu
sendiri. Jika dalam perkembangannya atau pelaksaannya ternyata hukum Internasional masih
banyak yang melanggar, maka hal yang demikian itu merupakan sisi belum efektifnya hukum
Internasional, tetapi bukan berarti “hukum internasional” menjadi bukan hukum. Sebab pada
kenyataanya masih banyak aturan-aturan yazng dibuat oleh dan antara subyek hukum
Internasional yang masih di taati oleh negara-negara dan dilaksanakan.
Munculnya subyek hukum bukan negara sebagai salah satu subyek hukum Internasional
adalah tidak terlepas dari perkembangan hukum Internasional itu sendiri. Semakin
berkembangnya keberadaan organisasi Internasional, serta adanya organisasi-organisasi lain
yang bersifat khusus yang keberadaannya secara fungsional kemudian diakui sebagai subyek
hukum internasional yang bukan negara. Diantaranya adalah vatikan atau tahta suci, Palang
Merah Internasional, Pemberontak atau Belligerent. Bahkan pada perkembangannya
tindakan individu yang mewakili negara dan bertindak dalam kapasitasnya sebagai wakil
negara juga dianggap sebagai subyek hukum Internasional bukan negara (CSP).
Hukum Internasional
0
Struktur masyarakat internasional dan hukum internasional yang koordinatif, yang antara lain
ditandai oleh tiadanya badan supra-nasional yang berwenang membentuk, menerapkan, dan
memaksakan hukum internasional, dapat memunculkan persoalan-persoalan yang kadang-
kadang menunjukkan sikap skeptis, meragukan, bahkan menyangkal eksistensi hukum
internasional, bahwa hukum internasional bukanlah merupakan hukum. Namun, terlepas dan
adanya sikap skeptis tersebut, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan eksistensi hukum
internasional akan selalu muncul. Beberapa persoalan itu, antara lain:
1. Apakah hukum internasional itu memang benar-benar ada, dan apakah sudah
memenuhi kualifikasi untuk dapat disebut sebagai hukum dalam pengertian yang
sebenarnya?
2. Kalau hukum internasional memang benar-benar ada, bagaimanakah sebenarnya
hakekat dan hukum internasional itu?
3. Bagaimanakah sebenarnya daya mengikat hukum internasional terhadap masyarakat
internasional?
4. Kalau memang hukum internasional benar-benar merupakan hukum, sedangkan pada
lain pihak masyarakat internasional tidak mengenal badan supra-nasional, mengapa
masyarakat internasional menaati hukum internasional?
Dalam sejarah, pandangan yang ekstrim yakni berupa penyangkalan atas eksistensi hukum
internasional, dikemukakan oleh John Austin (1790-1859). Dia menyatakan, bahwa hukum
internasional bukanlah merupakan kaidah atau norma hukum, melainkan hanya merupakan
etika dan norma kesopanan internasional saja. Pandangannya ini didasarkan pada
pemahamannya tentang hukum pada umumnya. Hukum dipandang sebagai perintah, yakni
perintah dan pihak yang menguasai kepada pihak yang dikuasai. Pihak yang menguasai atau
disebut penguasa, memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak yang
dikuasai. Pihak yang berkuasa memiliki kedaulatan, yang salah satu manifestasinya adalah
kekuasaan membuat hukum, melaksanakan, dan memaksakan terhadap pihak yang
dikuasainya. Hal ini berarti, bahwa apa yang disebut hukum hanyalah perintah yang berasal
dan penguasa yang berdaulat tadi. Jika suatu peraturan tidak berasal dan penguasa yang
berdaulat, peraturan semacam itu bukanlah merupakan hukum, melainkan hanyalah norma
moral belaka, seperti norma kesopanan dan norma kesusilaan.
Pandangan John Austin ini, tentu saja juga merupakan penyangkalan atas eksistensi hukum
kebiasaan, termasuk hukum kebiasaan internasional, sebab hukum kebiasaan tidak dibuat
oleh penguasa yang berdaulat, melainkan tumbuh dan berkembang di dalam dan di tengah-
tengah pergaulan hidup masyarakat. Jadi, menurut John Austin, apa yang disebut hukum
kebiasaan (customary law) juga bukan merupakan hukum dalam pengertian yang sebenarnya,
melainkan hanyalah norma moral saja.
Jika pandangan John Austin ini dihubungkan dengan hukum internasional, dimana
masyarakat dan struktur hukum internasional yang koordinatif, dalam pengertian tidak
mengenal badan supra-nasional yang berdaulat, dapat disimpulkan bahwa hukum
internasional menurut John Austin, bukanlah merupakan hukum dalam pengertian yang
sebenarnya, sebab hukum internasional tidaklah dibuat oleh badan yang berdaulat yang
mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada masyarakat internasional. Apa yang disebut
sebagai hukum internasional, menurut John Austin, tidak lebih daripada norma moral
belaka.10
Pandangan John Austin ini, meskipun kini sudah ditinggalkan, tetapi tidak jarang masih
menghinggapi pola pikir dan pandangan sebagian ahli hukum terhadap hukum internasional.
Hal ini disebabkan oleh karena mereka sudah terbiasa dalam suasana masyarakat nasional
dengan hukum nasionalnya yang seperti telah dikemukakan di atas, yang secara lengkap
memiliki alat-alat perlengkapan atau lembaga lembaga dengan tugas dan kewenangannya
yang jelas dan tugas, baik sebagai pembuat, pelaksana, dan pemaksa berlakunya hukum
terhadap masyarakat. Dalam tatanan masyarakat dan hukum nasional, peranan lembaga dan
aparat penegak hukum beserta dengan sanksi hukumnya, tampak sangat menonjol dan
mendominasi mekanisme pembentukan, pelaksanaan, dan pemaksaan berlakunya hukum
nasional.
Semua ini dengan kasat mata dapat dipandang dan dirasakan dengan jelas. Andaikata
lembaga-lembaga tersebut tidak menjalankan fungsinya, akan terasa benar bahwa kehidupan
hukum dalam masyarakat nasional akan mengalami kelumpuhan. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan, jika timbul pandangan dari sebagian ahli hukum, lebih-lebih di kalangan
orang yang awam hukum bahwa adanya lembaga-lembaga dan aparat-aparat penegak hukum
disertai adanya penerapan sanksi yang tegas, dipandang sebagai faktor yang esensial bagi
adanya suatu kaidah hukum. Dengan demikian, hukum selalu dipandang dalam hubungannya
dengan lembaga dan aparat penegak hukum. Tanpa adanya lembaga dan aparatnya, hukum
dipandang tidak pernah ada.
Sebenarnya, pandangan semacam ini sudah ditinggalkan sejak lama. Lembaga dan aparat-
apalat penegak hukum, serta sanksi hukum memang penting artinya, tetapi bukanlah
merupakan faktor yang paling menentukan bagi adanya hukum. Eksistensi suatu hukum
sebenannya lebih ditentukan oleh sikap dan pandangan serta kesadaran hukum dan
masyarakat. Apabila masyarakat merasakan, menerima, dan menaati suatu kaidah hukum,
disebabkan karena memang sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dan
masyarakat, terlepas dan ada atau tidak adanya lembaga ataupun aparat penegak hukumnya,
maka kaidah tersebut sudah dapat dipandang sebagai kaidah hukum. Meskipun tidak ada
lembaga ataupun aparat yang membuat, melaksanakan, maupun memaksakannya, tetapi jika
kaidah itu diterima dan ditaati karena sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan,
maka masyarakat akan memandangnya sebagai hukum.
Kembali pada persoalan keberadaan hukum internasional yang merupakan hukum yang
tumbuh dan berkembang di dalam dan di antara masyarakat internasional, tanpa dibuat,
dilaksanakan, ataupun dipaksakan oleh badan supra-nasional, sangat sulit untuk diterima
pandangan yang menyatakan bahwa hukum internasional bukanlah hukum. Eksistensi hukum
internasional sebagai suatu hukum dewasa ini tidak perlu diragukan lagi. Masyarakat
internasional kini telah menerima eksistensi hukum internasional sebagai hukum.
Beberapa bukti untuk memperkuat bahwa hukum internasional dalam kehidupan sehari-hari
dan masyarakat internasional telah diterima dan ditaati sebagai hukum dalam pengertian yang
sebenarnya11, antara lain:
Berdasarkan fakta-fakta di atas, tidak ada alasan lagi untuk mengatakan, bahwa hukum
internasional bukan merupakan hukum dalam pengertian yang sebenarnya. Demikian pula
pandangan yang masih meragukan eksistensi hukum internasional, sudah tidak pada waktu
dan tempatnya lagi untuk dipertahankan, karena sudah ketinggalan zaman.
Resume ini berisikan tentang asas-asas hukum internasional, letak hukum internasional dalam
ilmu hukum, perbedaan hukum inetrnasional dengan hukum perdata internasional dan istilah
dan defenisi hukum internasional. Untuk itu penulis akan menjelaskannya dalam kesempatan
kali ini.
ASAS KEBANGSAAN
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya, menurut asa ini setiap
negara di manapun juga dia berada tetap mendapatkan perlakuan hukum dari negaranya, Asas
ini mempunyai kekuatan extritorial, artinya hukum negera tersebut tetap berlaku juga bagi
warga negaranya, walaupun ia berada di negara asing.
Dalam pelaksanaan hukum Internasional sebagai bagian dari hubungan internasional, dikenal
ada beberapa asas, antara lain:
1. PACTA SUNT SERVANDA
Setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh pihak pihak yang mengadakannya.
2. EGALITY RIGHTS
Pihak yang saling mengadakan hubungan itu berkedudukan sama
3. RECIPROSITAS
Tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal, baik tindakan yang
bersifat negatif ataupun posistif.
4. COURTESY
Asas saling menghornati dan saling menjaga kehormatan negera
5. REBUS SIG STANTIBUS
Asas yang dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar/fundamentali dalam keadaan
yang bertalian dengan perjanjian itu.
Letak Hukum Internasional dalam Ilmu Hukum
Ada teori yang menyatakan bahwa Hukum Internasional bukan hokum yang sebenarnya,
melainkan suatu himpunan kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral semata.
Teori ini didkukung oleh John Austin (1790-1859).
Menurut Austin, hokum stricto sensu dihasilkan dari keputusan-keputusan formal yang
berasal dari badan leglisatif yang benar-benar berdaulat. Apabila suatu kaidah-kaidah padah
akhir analisis bukan dari suatiu otoritas yang ebrdaulat, yangs ecara politis berkedudukan
paling tinggi, maka kaidah tersebut tidak dapat digolongkan dalam kaidah hokum, melainkan
hanya kaidah dengan validalitas moral etika semata. Austin juga menggambarklan hokum
internasional trerdiri dari “Opini-opini atau sentiment-sentimen yang berlangsung di antara
bangsa-bangsa pada umumnya”.
John Austin yang mengatakan bahwa hukum Internasional adalah “bukan hukum”, hanya
“properly so called”, “moral saja” dengan alasan yang mendasari bahwa hukum Internasional
tidak memiliki sifat “hukum”, yakni dalam hal:
1. Hukum Internasional tidak memiliki lembaga legeslatif sebagai lembaga yang bertuga
membuat hukum;
2. Hukum Internasional tidak memiliki lembaga eksekutif sebagai lembaga yang
melaksanakan hukum,
3. Hukum Internasional juga tidak memilki lembaga yudikatif sebagai lembaga yang
megakakan hukum,
4. Hukum Internasional juga tidak memiki polisional sebagai lembaga yang mengawasi
jalanya atau pelaksanaan hukum,
Dengan demikian menurut Kelsen, jika terdapat negara yang melanggar hukum internasional
maka tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memberikan sanksi kepada negara tersebut.
Negara mau mentaati atau tidak terhadap ketentuan internasional itu adalah terserah dari
negara yang bersangkutan. Jadi hukum internasional tidak tepat dikatakan sebagai hukum
melainkan hanya norma saja atau adat istiadat saja.
Untuk menyanggah teori Austin tersebut, para sarjana memberikan beberapa jawaban, yakni:
1. Yurisprudensi jaman modern tidak memperhitungkan kekuatan teori umu tentang hokum
dari Austin. Pada beberapa kelompok masyarakat yang tidak mempunyai suatu otoritas
legslatif formal, suatu system hukum telah berjalan dan ditaati, dan hokum tersebut tidak
berbeda dengan kekuatan mengikat nya dari hokum suatu Negara yang emmpunyai otoritas
legislative.
2. pandangan Austin tersebut tidak tepat lagi pada jaman sekarang mengenai Hukum
Internasional. Pada abad sekarang, “perundang-undangan Internasional”banyak terbentuk
dari traktat dan perjanjian-perjanjian internasional yang membuat hukum, sejalan dengan ini
maka proporsi kaidah kebiasaan hukum internasional makin berkurang.
3. Persoalan-persoalan Hukum Internasional senantiasa diperlakukan sebbagai persoalan-
persoalan hukum oleh kalangan yang menangani urusan internasional dalam berbagai
Kementrian Luar Negeri, atau melalui berbagai badan administrasi internasional. Dengan
kata lain, badan-badan otoritatif yang bertanggung jawab unutk memelihara hubungan-
0hubungan internasional tidak menganggap hubungan internasional hanya sebagai suatu
ghimpunan peraturan moral semata-mata.
Pendapat yang demikian kiranya perlu ditinjau ulang, sebab keraguan akan keberadaan
lembaga eksekutif, legeslatif , yudikatif serta polisional dalam hukum internasional telah
digantikan oleh peranan beberapa bidang khusus sejak dibentuknya Organisasi Internasional
PBB. Keberadaan lembaga pembuat undang-undang atau legeslatif dapat digantikan oleh
kesepakatan-kesepatan yang dibuat oleh dan diantara subyek hukum Internasional baik yang
bersifat bileteral, atau multilateral.
Hal ini karena kedudukan negara sebagai subyek hukum Internasional adalah koordinatif atau
sejajar. Tidak ada negara yang melebihi atau di atas negara yang lain. Lembaga penegak
hukum atau yudikatif perannya dapat kita lihat keberadaan Mahkamah Internasional maupun
Arbitrase Internasional. Lembaga eksekutif tidak lain adalah subyek hukum internasional itu
sendiri. Meskipun hukum internasional tidak memiliki sanksi yang tegas dan memaksa dalam
pelaksanaannya, bukan berarti sifat aturan yang demikian tidak dapat dikategorikan sebagai
‘hukum’.
Kita dapat melihat “hukum adat’ yang berlaku di Indonesia. Meskipun ‘hukum adat’ tersebut
munculnya dari kebiasaan yang dilakukan oleh masyrakat, namun kebiasaan tersebut ditaati
dan dilaksanakan meskipun tidak ada sanksi yang tegas. Jadi menurut pendapat penulis,
Kelsen telah mencampur adukan antara pengertian efektifitas hukum dengan sifat hukum itu
sendiri. Jika dalam perkembangannya atau pelaksaannya ternyata hukum Internasional masih
banyak yang melanggar, maka hal yang demikian itu merupakan sisi belum efektifnya hukum
Internasional, tetapi bukan berarti “hukum internasional” menjadi bukan hukum. Sebab pada
kenyataanya masih banyak aturan-aturan yazng dibuat oleh dan antara subyek hukum
Internasional yang masih di taati oleh negara-negara dan dilaksanakan
Hakim-hakim Mahkamah Agung Ammerika serikat – Pengadilan Negara yang tertinggi –
telah berulang kali mengaakui validitas konstitusional dari Hukum Internasional. Dalam
suatu perkara , Marshal C.J. menyatakan bahwa sebuah undang-undang Kongres
“seyogyanya tidak ditafsirkan untuk melanggar hukum bangsa-bangsa andaikata masih ada
kemungkinan konstruksi lain”. Dalam perkara lainnya, Gray J. mengemukakan pernyataan
berikut:
“Hukum Internasional merupakan bagian dari hukum kita, dan harus diketahui serta
dilaksankan oleh Mahkamah Agung sesuaiyuridiksinya, sesering persoalan-persoalan tenteng
hak yang bergantung kepadanya yang diajukan secara layak diptutuskan”.
HI Publik (HI) : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas- batas negara yang bukan bersifat perdata”.
H Perdata Internasional : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan
atau persoalan yang melintasi batas- batas negara yang berfat perdata”
Hukum Internasional atau sering disebut sebagai “Internasional Law” merupakan lapangan
hukum publik, di mana kualifikasi publik sering kali tidak disebutkan secara langsung,
berbeda dengan hukum Internasional dalam lapangan hukum privat yang sering disebut
sebagai “Hukum Perdata Internasional.
Perbedaan antara Hukum Internasional dalam pengertian publik dengan Hukum Perdata
Internasional bukanlah ditinjau dari unsur perbedaan subyeknya yang sering dikaitkan, yaituv
subyek hukum Internasional Publik adalah negara sedangkan subyek hukum Internasional
Perdata adalah individu. Dalam perkembangannya perbedaan semacam ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan sebab antara keduannya dapat memiliki subyek hukum negara
ataupun individu. Oleh karena itu yang paling tepat adalah dengan meninjau urusan yang
diatur oleh keduanya, jika mengatur urusan yang bersifat publik maka disebut sebagai
Hukum Internasional Publik tetapi jika mengatur urusan yang bersifat perdata disebut sebagai
Hukum Internasional Perdata.
Sedangkan Persamaan antara Hukum Internasional Publik dengan Hukum Perdata
Internasional adalah bahwa urusan yang diatur oleh kedua perangkat hukum ini adalah sama
– sama melewati batas wilayah suatu negara.
Cara membedakan berdasarkan sifat dan obyeknya adalah tepat, dari pada membedakan
berdasarkan pelaku-pelaku (subyeknya), yaitu dengan mengatakan HI Publik mengatur
hubungan atara negara, sedangkan H Perdata Internasional mengatur hubungan orang-
perorangan.
Hukum INternasional dibedakan dengan Hukum Publik Internasional dikarenakan :
a. Negara dapat saja menjadi sunyek Hperdata Internasional, dan perorangan dapat saja
menjadi subyek HI.
b. Batasan yang bersifat negatif lebih tepat karena ukuran publik memang sering kali sukar
dicari bats-batasnya.
c. Dewasa ini persoalan Internasional tidak semuannya merupakan persoalan antar negara;
persoalan perseoranga dapat dikatakan persoalan negara (pelanggaran pidana Konvensi
Jenewa 1949).
d. Persoalan yang menyangkut “perseorangan” yang demikian tidak dapat dimasukkan dalam
bidang Tata Usaha Negara atau Pidana Internasional, dan bukan merupakan persoalan perdata
Internasional.
Perbedaan.
• perbedaan istilah dan bahasa yang digunakan oleh setiap negara.
• Perbedaan istilah menunjukakan tingkat perkembangannya :
• Ius Gentium – Ius Inter Gentes — Hk. Bangsa-bangsa,–Hk. Antar Bangsa — Hk. Antar
Negara.— HI.
• Hukum bangsa –bangsa : menunjukan pada kebiasaan dan aturan (hukum) yang berlaku
dalam hubungan raja-raja pada zaman dahulu.
• Hukum Antar bangsa : menunjukkan kompleksitas kaidah-kaidah dan asas-asas hukum
yang mengatur hubungan antar anggota masayarkat bangsa-bangsa atau negara yang kita
kenal sejak meunculnya negara dalam bentuknya yang modern (nation satte).
• Hukum Internasional : menunjukan pada kaidah-kaidah dan asas-asas hukum, selain
mengatur hubungan antara negara, menga
Istilah Hukum Internasional lebih sering dipakai dalam pembahasan dan kajian hukum
internasional dikarenakan: :
• Istilah HI paling mendekatai kenyataan dengan sifat-sifat hubungannya dan masalah-malash
yang menjadi obyek bidang hokum ini, yang dewasa ini tidak hanya terbatas pada hubungan
antar bangsa atau antar negara saja, seperti yang dilaksanakan oleh istilah Hk. Anatar bangsa
dan hk. Anatar negara.
• Istilah HI dalam penggunaannya tidak menimbulkan keberatan di kalanagan para sarjana,
karena telah lazim dipakai orang untuk segala peristiwa yang melintasi batas-batas negara.
• Penggunaan istilah HI secara tidak langsung menunjukkan suatu taraf perkembangan
tertentu dalam bidang HI (sebagai perkembangan mutakhir)