Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN EPILEPSI


Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktek Klinik Mata Kuliah Keperawatan
Medikal Bedah II (KMB III)
Dosen Pengampu : Handoyo, MN.

Disusun Oleh :
YUWANA OKTAVIANI FAJRI
P1337420219063
TINGKAT 3B

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PURWOKERTO PROGRAM


DIPLOMA III
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Pengertian
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak
yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari
pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang
ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas
motorik, atau gangguan fenomena sensori.
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik kejang
berulang akibat lepaspnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel. Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan
lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi.
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksimal dan berkala akibat lepas muatan
listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik.
2. Epidemiologi
Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia
berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan
80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa
rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang
penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi
dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil
penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian
di kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil
penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang.
3. Etiologi
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti
ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami
infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.
b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
c. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada
anak-anak.
e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
f. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
g. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
h. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan
karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan
pada anak
Epilepsi dibagi menjadi beberapa seperti :
1) Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak
ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan
atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area
jaringan otak yang abnormal. Penyebab pada kejang epilepsi sebagian
besar belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada :
a) Trauma lahir (Asphyxia neonatorum)
b) Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
c) Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
d) Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia)
e) Tumor Otak
f) Kelainan pembuluh darah

3
2) Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan
pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak
lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada
waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk
cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan
nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin
B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia,
gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
4. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang
otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.

4
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan
setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas
kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan.
Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara
kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.
5. Pathway

5
6. Klasifikasi
1. Sawan Parsial :  Sawan parsial sederhana dan sawan parsial kompleks
2. Sawan Umum :  Sawan lena, Sawan mioklonik, Sawan klonik, Sawan
Tonik, Sawan tonik-klonik, Sawan atonik.
3. Sawan Tak Tergolongkan
7. Manifestasi Klinis
a. Sawan Parsial (lokal, fokal)
Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal
1) Dengan Gejala Motorik
a. Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian
tubuh saja
b. Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
c. Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.

6
d. Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam
sikap tertentu
e. Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti
atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
2) Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan
yang disertai vertigo.
a. Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum.
b. Visual : terlihat cahaya
c. Auditoris : terdengar sesuatu
d. Olfaktoris : terhidu sesuatu
e. Gustatoris : terkecap sesuatu
f. Disertai vertigo
3) Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,
pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).

4) Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)


- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata
atau bagian kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak
mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau
lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik,
melihat suatu fenomena tertentu, dll.

7
- Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran) : Serangan
parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik
kemudian baru menurun.
a. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada
golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
b. Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul
dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka
berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang
kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
c. Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak
permulaan kesadaran.
d. Hanya dengan penurunan kesadaran
e. Dengan automatisme
a) Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-
klonik, tonik, klonik)
b) Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
c) Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
d) Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks
lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
b. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
1. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak
bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya
dijumpai pada anak.
Hanya penurunan kesadaran
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya
bilateral.

8
Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher,
lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
Dengan automatisme
Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
Gangguan tonus yang lebih jelas.
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat
atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang.
Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
3. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat,
dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama
sekali pada anak.

4. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku
pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi
tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.
5. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan
nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda
yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot
seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit
diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya
berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya.
Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa

9
karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat
serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat
pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi
sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
6. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan
ini terutama sekali dijumpai pada anak.
7. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola
mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau
pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di
otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi :
1) Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
2) Mengalami complex partial seizure
3) Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48
jam sebelumnya)
4) Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
5) Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga
sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
6) Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak
tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan
kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam
yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis
dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat
dianjurkan untuk dilakukan.
b. EEG (electroencephalogram)

10
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan
gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang
demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat
kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat
memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang.
Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah
kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko
berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium,
fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam
pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber
demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
d. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-
scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam
yang baru terjadi untuk pertama kalinya.

e. CT Scan
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal,
gangguan degeneratif serebral
1) Magnetik resonance imaging (MRI)
2) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
f. Pemeriksaan fisik
Inspeksi : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis, perdarahan
pada gusi, purpura, memar, pembengkakan.
Palpasi        : pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan pada abdomen.
Perkusi        : perkusi pada bagian thorak dan abdomen.
Auskultasi : bunyi jantung, suara napas, bising usus.
9. Pencegahan

11
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan
untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang
menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui
program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang
aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan
pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi
(tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-
obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama
hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering
terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia
dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat
anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian
dari rencana pencegahan ini.
Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan :
a. Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya
selama serangan mendadak, menyisipkan  benda di mulutnya kemungkinan
tak banyak membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan
Anda malah mematahkan gigi si anak.
b. Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib
memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak.
Mencoba membaringkan si anak ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik
juga.
c. Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut
selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika
serangan berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut 
jika si anak tak bernapas.
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan
diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis
serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan
masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping

12
yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit
kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama
pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan
selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th.
Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan
pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek
sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap
kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan
penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental
di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur
hidupnya.
10. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Anti konvulsion untuk mengontrol kejang
b. Pembedahan
Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali
vaskuler
Jenis obat yang sering digunakan :
1) Phenobarbital (luminal) :
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
2) Primidone (mysolin) :
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan
phenyletylmalonamid :
Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin) : Dari kelompok senyawa
hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap
epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
Tak berhasiat terhadap petit mal.
Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan
gangguan darah.
3) Carbamazine (tegretol) :

13
Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan
bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang
mempunyaiefek psikotropik.
Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering
disertai gangguan tingkahlaku.
Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri,
ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.
4) Diazepam :
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status
konvulsi.).
Pemberian ini hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat.
Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.
5) Nitrazepam (Inogadon) :
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.
6) Ethosuximide (zarontine) :
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal
7) Na-valproat (dopakene) :
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.
Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
Efek samping mual, muntah, anorexia
8) Acetazolamide (diamox) :
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan
epilepsi.
Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak
menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan
hiperpolarisasi.
9) ACTH :
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.
Penatalaksanaan gawat darurat
Kejang tonik-klonik
Selama kejang :
Waktu episode kejang

14
 lakukan pendekatan dengan tenang
 jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak
 letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak tersedia
kepala anak bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri.
Jangan :
 Menahan gerakan anak atau menggunakan paksaan
 Memasukkan apapun ke dalam mulut anak
 Memberikan makanan atau minuman
 Longgarkan pakaian yang ketat
 Lepaskan kacamata
 Singkirkan benda-benda keras atau berbahaya
 Biarkan serangan kejang berakhir tanpa gangguan
 Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke salah satu
sisi
Setelah kejang :
 Hitung lamanya periode postiktal (pasca kejang)
 Periksa pernapasan anak. Periksa posisi kepala dan lidah.
 Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak bernapas, lakukan
pernapasan buatan dan hubungi pelayanan medis darurat.
 Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka bakar/kimia atau
kecurigaan zat yang mengindikasikan keracunan
 Pertahankan posisi tubuh anak berbaring miring
 Tetap dampingi anak sampai pulih sepenuhnya
 Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar sadar dan
refleks menelan pulih
 Hubungi pelayanan kedaruratan medis jika diperlukan
 Kaji faktor-faktor pemicu awitan kejang (kolaborasi)
11. Status epileptikus
Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30 menit atau
serangkaian serangan epilepsi yang menyebabkan anak yang tidak sadar kembali.
Terapi awal diarahkan untuk menunjang dan mempertahankan fungsi-fungsi vital,

15
meliputi mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan jalan
napas yang adekuat, pemberian oksigen, dan terapi hidrasi, serta dilanjutkan
dengan pemberian diazepam (Valium) atau fenobarbitol per IV. Diazepam per
rektum merupakan preparat yang sederhana, efektif, dan aman, untuk
penatalaksanaan epilepsi sebelum masuk rumah sakit. Lorazepam (Ativan) dapat
menggantikan diazepam IV sebagai obat pilihan. Preparat ini memiliki masa kerja
yang lebih panjang dan lebih sedikit menyebabkan gawat napas pada anak-anak di
atas usia 2 tahun. Merupakan keadaan kedaruratan medis yang memerlukan
intervensi segera untuk mencegah cedera permanen pada otak, gagal napas, dan
kematian.
12. Prognosis
Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami
kejang bergantung pada etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat
keluarga serta riwayat penyakit. Pasien epilepsi yang berobat teratur, sepertiga
akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan
terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah
mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami remisi.
Meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya
serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik klonik dan sawan parsial
kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah relaps sesudah remisi.
Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara lain
usia 16 tahun atau lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi,
mengalami kejang setelah pengobatan dimulai, memiliki riwayat kejang tonik-
klonik generalisata primer atau sekunder atau hasil EEG menunjukkan kejang
mioklonik dan memiliki EEG yang abnormal. Resiko kekambuhan kejang
menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa kejang.
Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik daripada
dilaporkan sebelumnya. Mayoritas anak kemungkinan tidak mengalami gangguan
intelektual. Kemungkinan besar anak yang menderita gangguan kognitif atau
meninggal dunia sudah memiliki riwayat keterlambatan pertumbuhan dan
perkembangan, abnormalitas neurologik, atau menderita penyakit serius yang
berulang.

16
17
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN EPILEPSI

A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien
ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang.
Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada
keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien
mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja?
Mekanisme koping apa yang digunakan?
2. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
3. Keluhan Utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk masuk
RS. keluhan utama pada penderita leukemia yaitu perasaan lemah, nafsu
makan turun, demam, perasaan tidak enak badan, nyeri  pada ektremitas.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan
pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan ( ptekia, ekimosis, pitaksis,
pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan tedapat pembesaran hati,
limpa, dan kelenjar  limpe, kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau
tanpa pembengkakan.
5. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya  riwayat  penyakit  sebelumnya  yang  berhubungan  dengan 
keadaan  penyakit  sekarang  perlu  ditanyakan.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan
penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu

18
diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor
hereditas misalnya kembar monozigot.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
a. Selama serangan :
1. Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
2. Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
3. Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
4. Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang
klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
5. Apakah pasien menggigit lidah.
6. Apakah mulut berbuih.
7. Apakah ada inkontinen urin.
8. Apakah bibir atau muka berubah warna.
9. Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
10. Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah
pada satu sisi atau keduanya.
b. Sesudah serangan
1. Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit,
gangguan bicara
2. Apakah ada perubahan dalam gerakan.
3. Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi
sebelum, selama dan sesudah serangan.
4. Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau
frekuensi denyut jantung.
5. Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
c. Riwayat sebelum serangan
1. Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
2. Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung
berdebar.
3. Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktorik maupun visual.

19
d. Riwayat Penyakit
1. Sejak kapan serangan terjadi.
2. Pada usia berapa serangan pertama.
3. Frekuensi serangan.
4. Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam,
kurang tidur, keadaan emosional.
5. Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang
disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
6. Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
7. Apakah makan obat-obat tertentu
8. Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
e. Pemeriksaan Fisik
1. Aktivitas
Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan.
Tanda : kelemahan otot, somnolen.
2. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
3. Eliminasi
Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan
haluaran urine.
4. Makanan/diare
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi
(infiltrasi gusi mengindikasikan leukemia monositik akut).
5. Integritas Ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
6. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang
konsentrasi, pusing, kesemutan.

20
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
7. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
8. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal.
Tanda : dispnea, takipnea, batuk.
9. Keamanan
Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan penglihatan,
perdarahan spontan, tak terkontrol dengan trauma minimal.
Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa atau
hati.
B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
2. Perfusi jaringan serebral tidak efektif
3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,
kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan
diri.
4. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan :
klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan
interpretasi informasi.
6. Termoregulasi tidak efektif
7. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas
8. Defisit perawatan diri
9. Gangguan persepsi sensori auditori

21
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x24 jam
pasien tidak mengalami gangguan pola napas dengan kriteria hasil :
 RR dalam batas normal
 Nadi dalam batas normal
Intervensi :
a. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/dada, abdomen
b. Masukkan spatel lidah/jalan napas buatan
c. Lakukan penghisapan sesuai sesuai indikasi
Kolaborasi :
a. Berikan tambahan O2
Rasional :
a. Memfasilitasi usaha bernapas/ekspansi dada
b. Dapat mencegah tergigitnya lidah, dan memfasilitasi saat melakukan
penghisapan lendir, atau memberi sokongan pernapasan jika diperlukan
c. Menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia
Kolaborasi :
a. Dapat menurunkan hipoksia serebral
2. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x24 jam pasien tidak
mengalami gangguan pola napas dengan kriteria hasil :
a. Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan
rasa nyeri  yang dialami
b. Klien tidak menangis lagi
c. Wajah klien tampak ceria
Intervensi :
a. Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan
rasa nyeri  yang dialami

22
b. Klien tidak menangis lagi
c. Wajah klien tampak ceria
d. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
e. Kolaborasi untuk pemberian obat analgesic
f. Pengkajian yang benar akan membantu dalam  menentukan tindakan
keperawtan selanjutnya
g. Posisi yang nyaman dapat memberikan efek malsimal untuk relaksasi otot
h. Kehadiran keluarga memberikan efek psikologis pada anak untuk
mengurangi nyeri
i. Rangsang yang berlebihan dari lingkungan dapat memperberat rasa nyeri
j. Obat analgesic dapat meminimalkan rasa nyeri
3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,
kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan
diri.
Kriteri hasil :
- Dapat mengurangi resiko cedera pasien
Kriteria pengkajian fokus makna klinis
Riwayat kejang
Tingkatan kejangnya
Intervensi
a. Kaji karakteristik kejang
b. Jauhkan pasien dari benda benda tajam / membahayakan bagi pasien
c. Segera letakkan sendok di mulut pasien yaitu diantara rahang pasien
d. Kolaborasi dalam pemberian obat anti kejang
Rasional :
a. Untuk mngetahui seberapa besar tingkatan kejang yang dialami pasien
sehingga pemberian intervensi berjalan lebih baik
b. Benda tajam dapat melukai dan mencederai fisik pasien
c. Dengan meletakkan sendok diantara rahang atas dan rahang bawah, maka
resiko pasien menggigit lidahnya tidak terjadi dan jalan nafas pasien
menjadi lebih lancer

23
d. Obat anti kejang dapat mengurangi derajat kejang yang dialami pasien,
sehingga resiko untuk cidera pun berkurang
4. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi
Tujuan :
a. pengetahuan keluarga meningkat
b. keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi
c. keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi
klien.
Intervensi :
Kriteria pengkajian focus :
a. Kaji tingkat pendidikan keluarga klien.
b. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien.
c. Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui
penkes.
d. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum
dimengerti.
e. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada klien.
Makna klinis :
a. pendidikan merupakan salah satu faktor penentu tingkat pengetahuan
seseorang
b. untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang telah mereka
ketahui,sehingga pengetahuan yang nantinya akan diberikan dapat sesuai
dengan kebutuhan keluarga
c. untuk meningkatkan pengetahuan
d. untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang sudah dipahami
e. agar keluarga dapat memberikan penanngan yang tepat jika suatu-waktu
klien mengalami kejang berikutnnya
D. EVALUASI
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
RR dalam batas normal sesuai umur
Nadi dalam batas normal sesuai umur

24
2. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa
nyeri  yang dialami
Klien tidak menangis lagi
Wajah klien tampak ceria
3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,
kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan
diri.
Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien
Kriteria pengkajian fokus makna klinis
Riwayat kejang
Tingkatan kejangnya
4. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi
Pengetahuan keluarga meningkat
Keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi
Keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi
klien.

25
DAFTAR PUSTAKA

Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan,


Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta

Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I


Made, EGC, Jakarta

NANDA, 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005 – 2006 Alih


bahasa  Budi Santosa. Prima Medika.

Wong, Donna L., et al. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Volume 2.


Alih bahasa Agus Sunarta, dkk. EGC : Jakarta.

Sylvia, A. pierce.1999. Patofisologi Konsep Klinis. Proses penyakit. Jakarta :


EGC

26

Anda mungkin juga menyukai