Anda di halaman 1dari 18

RHINITIS

EPIDEMI
Rhinitis alergi secara epidemiologi merupakan penyakit yang bersifat global dan dapat terjadi di
semua usia.
Global
Prevalensi rhinitis alergi semakin hari semakin meningkat di seluruh dunia. Di Amerika, prevalensi
untuk rhinitis alergi adalah 10-30% pada usia dewasa dan hampir 40% pada usia anak anak.
Peningkatan prevalensi rhinitis alergi ini dapat menjadi suatu beban ekonomi yang berat karena pada
umumnya pasien dengan rhinitis alergi akan mengalami gangguan dalam menjalankan aktivitasnya
dan penurunan kualitas hidup.[2] Pada suatu survei di Amerika mengenai gejala rhinitis alergi pada
pekerja, sekitar 55% (8267 pekerja) dengan gejala rhinitis alergi menjadi tidak produktif selama 3.6
hari dalam satu tahun. Di Asia Pasifik, prevalensi rhinitis alergi tinggi terutama pada negara dengan
pendapatan rendah dan menengah, yaitu sekitar  5-45%.[4]
Indonesia
Belum ada data nasional mengenai prevalensi rhinitis alergi di Indonesia. Suatu penelitian di Bandung
menemukan prevalensi kasus rhinitis alergi di RS. Hasan Sadikin sebanyak 38.2% dan sekitar 64.6%
pasien rhinitis alergi tersebut berada pada rentang usia 10-29 tahun dan sekitar 45.1% berprofesi
sebagai pelajar.

Etio
Etiologi rhinitis alergi berupa alergen yang dapat ditemui baik di dalam rumah maupun di luar
rumah. Alergen outdoor antara lain serbuk sari, debu, bagian dari tumbuhan tertentu seperti pohon,
rumput dan jamur. Alergen yang dapat ditemui di dalam rumah adalah tungau debu rumah,
yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus serta komponen sel epitel
bulu hewan peliharaan seperti kucing dan anjing.
Pencetus nonspesifik seperti rokok, udara kering, atau cuaca dingin juga dapat berperan
menyebabkan rhinitis alergi melalui mekanisme hiperresponsivitas nonspesifik. Dokter juga harus
menggali pekerjaan pasien untuk menentukan ada tidaknya rhinitis alergi okupasional, misalnya
pekerjaan yang terpapar dengan debu kayu, lateks, atau lem.

Berdasarkan cara masuknya


1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya tungau debu rumah (D.
pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing),
rerumputan (Bermuda grass ) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat,
ikan laut, udang kepting dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui sun tikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan
iebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misal- nya bahan
kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari safu organ sasaran, sehingga memberi gejala
campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gambaran asma bronkial dan rhiniis alergi

Faktor Risiko
Orang dengan penyakit alergi lainnya, seperti dermatitis atopi dan asma, memiliki risiko mengalami
rhinitis alergi yang lebih tinggi. Memiliki orang tua atau saudara dengan riwayat alergi, ibu yang
merokok saat hamil, serta paparan rokok saat bayi dan anak-anak juga meningkatkan risiko
mengalami rhinitis alergi

PATO
Sensitisasi Alergen
Permukaan sel mukosa hidung banyak mengandung Antigen Presenting Cell (APC), seperti sel
dendritik. APC ini akan mengenali alergen pencetus rhinitis alergi dan mengeluarkan beberapa
peptida, yang akan berikatan dengan major histocompability complex (MHC II). Kompleks MHC 2-
antigen ini akan berperan sebagai ligan untuk CD4 (koreseptor sel T helper 2 / Th2). Sel Th2 yang
teraktivasi akan memproduksi sitokin untuk mengaktifkan sel B untuk memproduksi immunoglobulin
E (IgE) pada sel mast dan basofil, serta meningkatkan proliferasi eosinofil, sel mast dan neutrofil.
Reaksi Tipe Cepat dan Tipe Lambat
Pada saat pasien terpapar alergen, akan timbul dua reaksi alergi, yaitu reaksi alergi tipe cepat dan tipe
lambat.
Reaksi alergi tipe cepat menimbulkan gejala bersin dan hidung berair yang muncul dalam
waktu tiga puluh menit setelah terpapar alergen. Reaksi ini adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1. Sel
Mast yang termediasi oleh alergen akan mengeluarkan beberapa mediator kimia seperti histamin,
prostaglandin dan leukotrien. Mediator kimia inilah yang menyebabkan munculnya gejala secara
cepat.
Reaksi alergi tipe lambat yaitu gejala yang timbul akibat sumbatan hidung. Reaksi ini
biasanya terjadi dalam 60 menit setelah terpapar alergen. Reaksi ini dimediasi oleh mekanisme
kemotaksis eosinofil. Mekanisme kemotaksis ini dimediasi oleh mediator kimia yang diproduksi pada
reaksi tipe cepat. Beberapa sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, eosinofil akan berpindah ke mukosa
hidung dan menimbulkan kerusakan pada jaringan normal yang pada akhirnya menimbulkan gejala
obstruksi.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala yang sering dikeluhkan pasien dengan rhinitis alergi antara lain: bersin, rasa gatal pada hidung,
mata, telinga dan langit-langit mulut serta hidung yang terasa menyumbat. Dugaan adanya rhinitis
alergi akan semakin besar jika pada pasien terdapat dua atau lebih dari gejala yang ada dan keluhan
berlangsung lebih dari satu jam serta terjadi hampir setiap hari. Pasien dengan gejala tersebut dapat
dikonfirmasi dengan pemeriksaan skin prick test dan pemeriksaan serum IgE. Sekret hidung yang
mukopurulen, adanya post nasal drip yang mukoid, anosmia, nyeri pada hidung dan
adanya epistaksis yang berulang umumnya tidak berhubungan dengan rhinitis alergi.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO lnitiative ARIA (Allergic
Rhinitis and its lmpact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlang- sungnya dibagi
menjadi :

1. lntermlten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari4 hari/minggu atau'.kurang dari 4 minggu.
2. Perslsten/menetap bila gejala lebih dari 4 harilminggu dan lebih dari4 minggu. Sedangkan untuk
tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergidibagi menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Beberapa pasien juga sering mengeluhkan beberapa gejala yang berkaitan dengan komplikasi dari
rhinitis alergi, yaitu sinusitis akut, sinusitis kronik, otitis media, gangguan tidur, dan obstructive sleep
apnea, gangguan pada gigi akibat sering bernapas melalui mulut, abnormalitas pada langit langit dan
disfungsi tuba.

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, benltrama pucat atau livid disertai adanya
sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. tersedia. Gejala
spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering
juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut alleryic crease. Mulut
sering terbuka dengan lengkung langitlangit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoi). Dinding pqsterior faring tampak granuler dan edema (cobble
stone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue)

Skin Test
Skin test adalah pemeriksaan yang paling penting untuk memastikan alergen penyebab dari rhinitis
alergi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan melalui beberapa metode antara lain uji gores, uji tusuk, uji
tempel dan intradermal.  Uji tusuk (skin prick test) adalah pemeriksaan yang paling disarankan di
antara seluruh pemeriksaan tersebut. Walau demikian, skin test menggunakan metode manapun
memiliki beberapa kelemahan berupa rendahnya tingkat akurasi pemeriksaan dan hasil positif belum
tentu berkorelasi positif dengan adanya rhinitis alergi.
Kadar Immunoglobulin E (IgE)
Pemeriksaan kadar IgE pada serum awalnya dilakukan menggunakan radioallergosorbent test (RAST)
namun pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena penggunaan isotop radioaktif dan cenderung
mahal. Saat ini, pemeriksaan kadar IgE dilakukan secara in vitro, misalnya menggunakan fluorescence
enzyme immunoassay (FEIA). Tes in vitro seperti ini dapat mengukur kadar spesifik IgE

Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemung kinan
alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri

TATALAKSANA
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoid
ance) dan eliminasi
Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif
pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai
lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi
dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin oral yang disarankan pada penatalaksanaan rhinitis alergi adalah antihistamin H1 oral
generasi dua karena mekanisme penetrasi obat ini pada sawar darah otak jauh lebih kecil dari pada
antihistamin H1 generasi satu sehingga efek samping seperti sedasi, disfungsi psikomotor dan
gangguan memori dapat dicegah. Golongan antihistamin H1 generasi dua yang paling sering
digunakan adalah acrivastin, azelastin, cetirizine, desloratadine, ebastine, fexofenadine,
levocetirizine, loratadine, mequitazine, mizolastine dan rupatadine.

lmunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung
lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari
imunoterapi adalah pembentukkan /gG blocking antibody dan penurunan lgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.

Prognosis-kompllikasi
Prognosis rhinitis alergi cenderung baik karena jarang menyebabkan mortalitas tetapi penyakit ini
memiliki risiko komplikasi dan komorbid yang cukup tinggi, serta penurunan kualitas hidup.
Komplikasi
Komplikasi dan penyakit komorbid lain yang mungkin terjadi pada rhinitis alergi antara lain
konjungtivitis alergi, rhinosinusitis, polip hidung, hipertrofi adenoid, disfungsi tuba eustasius dan otitis
media dengan efusi.[2]
Prognosis
Rhinitis alergi jarang menimbulkan keadaan yang membahayakan jiwa, sehingga prognosis pada
pasien ini cenderung baik selama tidak terjadi komplikasi dan penyakit komorbid yang berat. Walau
demikian, penyakit ini memiliki dampak penurunan kualitas hidup yang signifikan bagi pasien jika
tidak terkontrol.[1]
RINITIS VASOMOTOR
idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan honncnd (kehamilan,
hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan
obat topikal hidung dekongestan) Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen
spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit,
kadar antibodi lgE spesifik serum) Kelainan ini disebut juga vasomotor catanh, vasomotor rinorhea,
nasal vasomotor instability, atau juga non-allergic perennial rhinitis.

ETIOPATOGENESIS
Etiologi dan Patofisiologi
Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan untuk
menerangkan patofisiologi rintis
vasomotor:
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2, menginervasi terutama pembuluh
darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan
neuropeptida Y yang menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini
berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang
bergantian setiap 24 jam. Keadaan ini disebut sebagai "siklus nasi". Dengan adanya siklus ini,
seseorang akan mampu untuk dapat bernapas dengan tetap normal melalui rongga hidung yang
berubah-ubah luasnya. Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju ganglion
sfenopalatina dan membentuk n.Vidianus, kemudian menginervasi pembuluh darah dan terutama
kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan kotransmiter asetilkolin dan vasoaktif
intestinal peptida yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi
kongesti hidung. Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belumlah diketahui dengan pasti,
tetapi mungkin hipotalamus bertindak sebagai pusat penerima impuls eferen, termasuk rangsang
emosional dari pusatyang lebih tinggi. Dalam keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih
dominan. Rintis vasomotor diduga sebagai akibat dari ketidak-seimbangan impuls saraf otonom di
mukosa hidung yang berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis.

2. Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan
terhadap saraf sensoris serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan
diikuti dengan peningkatan pelepasan neuropeptida seperti subsfance P dan calcitonin gene-related
protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini
menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hiper-reaktifitas hidung.

3. Nitrik Oksida
Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan non- spesifik berinteraksi langsung ke
lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifi tias serabut trigeminal dan recruitment
refleks vaskular dan kelenjar mukosa hidung.
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma hidung melalui
mekanisme neurogenik dan/atau neuropeptida.

GEJALA
Pada rinitis vasomotor, gejala sering di- cetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik, seperti
asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin,
pendingin dan pemanas ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan
stres/emosi. Pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu
tersebut. Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan .rinitis alergi, namun gejala yang dominan
adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Selain itu
terdapat rinore yang mukoid atau serosa. . Keluhan ini jarang disertai dengan gejalg mata. Gejala
dapat'memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan sebagainya.
Berdasarkan gejala yang menonjol, ke- lainan ini dibedakan dalam 3 golongan, yaitu
1) golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang baik dengan terapi
antihistamin dan glukokortikosteroid topikal;
2) golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan dengan pemberian anti kolinergik topikal ;
dan
3) golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan respon yang baik dengan terapi
glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor oral.

Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan adanya rinitis infeksi,
alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesis dicari .faktor yang mempengaruhi
timbulnya gejala.

Pada pemtiriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yng khas berupa edema mukosa hidung,
konka benvarna merah gelap
atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi. Per mukaan
konka dapat licin atau berbenjol-benjol
(hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan
rinore sekret yang ditemukan ialah serosa dan banyak jumlahnya.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Kadang
ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya
negatif. Kadar lgE spesifik tidak meningkat.

TATALAKSANA
Menghindari stimulus/faktor pencetus.
2. Pengobatan sirntomatis, dengan obatobatan dekongestan oral, cuci hidung dengan larutan garam
fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan AgNO3 25Yoalau triklor-asetat pekat. Dapat juga
diberikan kortikosteroid topikal 100 - 200 mikrograml. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400
mikrogram sehari. Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Saat ini
terdapat kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti flutikason propionat dan mometason
furoat dengan pemakaian cukup satu kali sehari dengan dosis 200 mcg. Pada kasus dengan iinore
yang berat, dapat ditambahkan antikolinergik topikal (ipatropium bromida). Saat ini sedang dalam
penelitian adalah terapi desensitisasi dengan obat capsaicin topikal yang mengandurlg lada.

2. Operasi, dengan cara bedah-beku, elektro kauter, atau konkotomi parsial konka inferior.

Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan
rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesrs dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.

TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer Cincin
Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba
Eustachius (lateral band dinding taring I Gerlach's tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne
droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.

EPIDEMIOLOGI
onsilitis secara epidemiologi paling sering terjadi pada anak-anak. Pada balita, tonsilitis umumnya
disebabkan oleh infeksi virus sedangkan infeksi bakterial lebih sering terjadi pada anak berusia 5-15
tahun. Group A beta-hemolytic streptococcus merupakan penyebab utama tonsilitis bakterial

Indonesia
Di Indonesia, tidak terdapat data epidemiologi spesifik mengenai tonsilitis, hanya data
mengenai infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Terdapat lima provinsi di Indonesia dengan penyakit
ISPA tertinggi, antara lain Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara
Barat (28,3%) dan Jawa Timur (28,3%). [8]
Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 dan 2013 didapatkan insiden terjadinya ISPA di Indonesia tidak
jauh berbeda, yakni 25,5% pada tahun 2007 dan 25,0% pada tahun 2013. Karakteristik penduduk
dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 25,8%. Sedangkan
menurut jenis kelamin, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara laki-laki dan perempuan

Etiologi
dari tonsilitis meliputi virus, bakteri, jamur dan spirochaeta. Etiologi utama tonsilitis adalah virus
dan group A beta-hemolytic streptococcus (GABHS).
Infeksi virus merupakan etiologi utama tonsillitis. Beberapa virus penyebab tonsilitis, antara lain
Rhinovirus, Influenza A, Adenovirus, virus Herpes Simpleks, virus Epstein Barr (EBV),
Metapneumovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan Parainfluenza. [1,5]
Sedangkan, bakteri menyebabkan 15-30% terjadinya tonsilitis. Sebagian besar kasus tonsilitis bakteri
disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes beta-hemolitik kelompok A (GABHS). Bakteri ini
melekat pada reseptor adhesin yang terletak pada epitel tonsil. Beberapa bakteri penyebab tonsilitis,
antara lain Group A Streptococci, Non Group A Streptococci, Neisseria gonorrhoea, Mycoplasma
pneumonia, Chlamydia pneumonia dan Corynebacterium diphtheria. [5,6]
Penyebab tonsilitis lainnya, antara lain jamur Candida sp dan spirochaeta seperti Treponema
pallidum, Spirochaeta denticolata dan Treponema vincentii. Tonsilitis yang disebabkan
oleh spirochaeta dikenal juga sebagai Vincent’s angina. [1,2]
Faktor Risiko
 Faktor risiko tonsilitis adalah sebagai berikut :
 Anak-anak
 Lingkungan padat penduduk dan tempat umum seperti sekolah, tempat penitipan anak, penjara,
asrama
 Kondisi yang mempengaruhi sistem imun, seperti penggunaan steroid jangka panjang
dan malnutrisi

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi tonsilitis dipengaruhi faktor imun dan mikroorganisme. Adanya infeksi virus seperti
Rhinovirus atau bakteri seperti group A beta-hemolytic streptococcus (GABHS) melalui hidung dan
mulut serta faktor imunologis menyebabkan terjadinya tonsilitis dan komplikasinya. [1,2]
Mikroorganisme
Sekitar 80% tonsilitis disebabkan oleh virus dan sisanya 15-30% oleh bakteri. Mikroorganisme yang
memasuki tubuh melalui hidung dan mulut akan tersaring di tonsil.
Tonsil mengandung sel imun yang terdiri dari sel limfosit B, sel limfosit T, sel plasma matur serta
immunoglobulin A (IgA). Sel imun ini akan menghancurkan mikroorganisme dengan mengeluarkan
sitokin sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menyebabkan gejala nyeri menelan dan demam pada
pasien.
Inflamasi dan pembengkakan jaringan tonsil diikuti dengan pengumpulan leukosit, sel-sel epitel mati
dan bakteri patogen dalam kripta menyebabkan fase-fase patologis, antara lain peradangan terbatas
pada tonsil, pembentukan eksudat, selulitis tonsil dan daerah sekitarnya, pembentukan abses
peritonsilar dan nekrosis jaringan. [2,3]
Faktor Imun
Anak-anak, terutama pada usia 4-10 tahun menunjukkan respons terhadap sinyal antigenik yang lebih
aktif. Hal ini menyebabkan tonsilitis lebih sering terjadi pada anak-anak usia sekitar 4-10 tahun. Hal ini
didukung dengan studi yang menyatakan bahwa anak-anak lebih sering mengalami tonsilitis rekuren,
sedangkan dewasa yang membutuhkan tindakan pembedahan tonsilektomi lebih sering mengalami
tonsilitis kronik. Pembedahan tonsilektomi pada tonsilitis kronik memiliki untung rugi tersendiri.
Kondisi yang memperburuk sistem imun, seperti malnutrisi, infeksi HIV, dan penggunaan steroid
jangka panjang juga berperan terhadap lebih sering terjadinya tonsilitis. 

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang muncul akan berbeda-beda pada setiap kategori tonsilitis
sebagai berikut.
A. Tonsilitis akut
1. Tonsilitis viral Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri
tenggorok dan beberapa derajat disfagia. Dan pada kasus berat dapat meolak untuk minum atau
makan melalui mulut. Penderita mengalami malaise, suhu tinggi, dan nafasnya bau (Adams, et
al., 2012).
2. Tonsilitis bacterial Gejala dan tanda Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering
ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang
tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga karena
nyeri alih (referred pain) melalui saraf N. glosofaringeus (N. IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil
membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh
membran semu. Kelenjar sub-mandibula membengkak dan nyeri tekan. (otalgia).

B. Tonsilitis Membranosa
1. Tonsilitis difteri
a. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri
menelan.
b. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu. Membran ini dapat
meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, lanng, trakea dan bronkus dan dapat
menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester's

C. Tonsilitis Kronik
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan
beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di
tenggorok dan napas berbau. Radang amandel/tonsil yang kronis terjadi secara berulang-ulang dan
berlangsung lama. Pembesaran tonsil/amandel bisa sangat besar sehingga tonsil kiri dan kanan saling
bertemu dan dapat mengganggu jalan pernapasan (Manurung, 2016). Tonsilitis pada anak biasanya
dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur karena pengaruh besarnya tonsil yang
mengganggu pernafasan bahkan keluhan sesak nafas dapat terjadi apabila pemebesaran tonsil telah
menutup jalur pernafasan

Anamnesis
Anamnesis diperlukan untuk menentukan tipe tonsilitis (akut, berulang atau kronik) atau akibat
infeksi virus atau bakteri. Umumnya gejala tipikal dari tonsilitis, seperti nyeri tenggorokan, disfagia,
odinofagia, limfadenopati servikal, suara serak, demam, halitosis, sakit kepala dan hilangnya napsu
makan. Namun, dapat terdapat gejala atipikal pada anak berupa nyeri perut, mual dan muntah. [2]
Berdasarkan tipe tonsilitis, pada tonsilitis akut memiliki gejala tipikal dan dapat disertai obstruksi jalan
napas seperti mendengkur, gangguan tidur dan sleep apnea. Pada tonsilitis berulang, memiliki gejala
tipikal dan ditegakkan jika terjadi 7 episode tonsilitis dalam 1 tahun yang terbukti dengan
pemeriksaan kultur, 5 infeksi dalam 2 tahun berturut-turut atau 3 infeksi setiap tahun selama 3 tahun
berturut-turut. Sedangkan, gejala pada tonsilitis kronik seperti nyeri tenggorokan kronik, halitosis, dan
limfadenopati servikal persisten. [2,3]

Berdasarkan penyebabnya, pada tonsilitis virus didapatkan gejala tipikal tonsilitis disertai gejala
infeksi saluran pernapasan seperti batuk, pilek, hidung tersumbat, dan sinusitis. Sedangkan, pada
tonsilitis bakteri, biasanya disertai dengan nyeri tenggorokan mendadak, eksudat tonsil, demam,
limfadenopati servikal, tidak ada batuk, serta disertai gejala obstruksi jalan napas. [4,5]

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang diperlukan pada tonsilitis adalah sebagai berikut :

 Tanda vital dan tanda dehidrasi


 Pemeriksaan jalan napas dan fungsi menelan
 Inspeksi rongga mulut untuk menilai trismus
 Pemeriksaan faring: hiperemis, edema, deviasi uvula
 Penilaian tonsil
 Pemeriksaan kelenjar getah bening
 Pemeriksaan telinga dan pergerakan leher
Penilaian tonsil dilakukan mencakup aspek berikut :

 Ukuran
 Warna
 Permukaan: adanya membran berwarna abu-abu tidak mudah berdarah mengarah kepada
infeksi virus Epstein Barr sedangkan adanya pseudomembran berwarna putih dan mudah berdarah
mengarah pada diagnosis banding difteri
 Eksudat
 Detritus
 Ulkus
 Kripta melebar/tidak
Menurut Brodsky, ukuran tonsil dapat dikelompokkan, sebagai berikut :

 T1: Tonsil menempati ≤25% dari orofaring


 T2: Tonsil menempati 26-50% dari orofaring
 T3: Tonsil menempati 51-75% dari orofaring
 T4: Tonsil menempati >75% dari orofaring
Lalu, dilanjutkan palpasi menilai kelenjar getah bening servikal, pembengkakan dan nyeri tekan serta
pemeriksaan telinga dan pergerakan leher. 

Kultur Tenggorok

Pemeriksaan baku emas pada infeksi bakteri GABHS. Uji resistensi perlu dilakukan bersamaan dengan
kultur tenggorok untuk menentukan antibiotik yang tepat untuk menangani infeksi GABHS pada
pasien. [1,2]

Rapid Antigen Detection Test (RADT)


Pemerikssan ini dilakukan untuk mendeteksi adanya karbohidrat dari dinding sel GABHS. RADT
memiliki sensitivitas 90-95% dan spesifisitas 98-99% sehingga apabila hasil positif berarti mengalami
infeksi GABHS, sedangkan hasil negatif perlu dilakukan pemeriksaan kultur tenggorok untuk eksklusi
GABHS.

TATALAKSANA

erapi Suportif
Prinsip terapi suportif tonsilitis adalah sebagai berikut :

 Menjaga patensi jalan napas


 Menjaga hidrasi dan asupan nutrisi yang adekuat
 Kontrol demam dan nyeri
Patensi Jalan Napas

Pasien tonsilitis dengan obstruksi jalan napas memerlukan pemberian oksigen terhumidifikasi dan
pemasangan nasopharyngeal airway. Jika terdapat edema faring, kortikosteroid intravena dapat
dipertimbangkan. Monitor pasien hingga obstruksi jalan napas teratasi.

Hindari dan Status Nutrisi

Pastikan pasien memiliki asupan cairan dan nutrisi yang adekuat. Pemberian cairan intravena dapat
dipertimbangkan jika hidrasi buruk.

Kontrol Demam dan Nyeri

Berikan analgesik seperti paracetamol atau obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS),


seperti ibuprofen atau diklofenak. [1,2]

Diagnosis Banding
Sebagian besar diagnosis banding dari tonsilitis memiliki gejala serupa serta memerlukan pemeriksaan
lanjutan untuk membedakannya.

Infeksi Mononukleosis

Infeksi mononukleosis diakibatkan oleh virus Epstein Barr. Sebagian besar penderita penyakit ini
berusia remaja dan penyembuhannya umumnya membutuhkan waktu lebih lama. Terdapat gejala
lainnya, seperti limfadenopati generalisata, splenomegali, hepatomegali, penurunan berat badan,
malaise persisten serta yang jarang adanya pembengkakan jaringan sekitar faring sehingga
mengganggu jalan napas. [1,12]

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis adalah heterophile antibody testing, namun


pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang baik pada 1 minggu pertama gejala dan sensitivitas rendah
pada anak-anak. [1,12-14]

Epiglotitis

Pada epiglotitis, terdapat gejala seperti muffled voice, mengeluarkan air liur dan sulit bernapas diikuti
dengan pemeriksaan fisik didapatkan stridor. [1,12-14]

Abses Peritonsilar (Quinsy)


Pada abses peritonsilar, terdapat gejala trismus, muffled voice, uvula deviasi, hipertrofi dan deviasi
tonsil dan pembengkakan daerah peritonsillar. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan
aspirasi jarum berisi pus

Difteri

Dalam anamnesis, dapat ditemukan tidak adanya imunisasi difteri sebelumnya, sedangkan dalam
pemeriksaan fisik terdapat lapisan tebal (pseudomembran) khas pada belakang tenggorok yang dapat
menyebabkan kesulitan bernapas, gagal jantung, kelumpuhan serta kematian.
Diagnosis difteri ditegakkan dengan didapatkan bakteri Corynebacterium diphtheriae pada
pemeriksaan mikrobiologi

Medikamentosa
Kortikosteroid dulu tidak disarankan untuk tonsilitis tetapi studi terbaru menunjukkan manfaat
pemberian steroid. Antibiotik hanya diberikan jika kondisi pasien mendukung etiologi bakterial.

Kortikosteroid

Penelitian randomised controlled trial (RCT) tahun 2017 menunjukkan rekomendasi lemah


penggunaan kortikosteroid karena dapat mempercepat hilangnya gejala dalam 24-48 jam dan
mengurangi tingkat keparahan nyeri. Namun, tidak menurunkan tingkat rekurensi tonsilitis,
penggunaan antibiotik serta efek samping penggunaan jangka panjang. [1,16]

Kortikosteroid yang direkomendasikan berupa dexamethasone dengan dosis dewasa 10 mg atau anak
sesuai dengan berat badan 0,6 mg/kgBB dengan dosis maksimum 10 mg. Dexamethasone umumnya
diberikan sebagai dosis tunggal, dapat dikonsumsi secara oral atau injeksi intramuskular. [1,16,17]

Antibiotik

Antibiotik diberikan jika kondisi pasien mendukung etiologi bakterial, misalnya terdapat eksudat
tonsilar, demam, leukositosis, atau kontak dengan orang yang mengalami infeksi group A beta-
hemolytic streptococcus (GABHS). Pertimbangan untuk memberikan antibiotik dapat dibantu
menggunakan modified Centor score.

Infeksi GABHS wajib menggunakan terapi antibiotik untuk mengurangi durasi dan tingkat keparahan
dari gejala klinis termasuk komplikasi supuratif jika diberikan dalam 2 hari pertama gejala,
mengurangi terjadinya komplikasi nonsupuratif dan meminimalkan transmisi penularan melalui
kontak langsung. [2,3]

Pilihan terapi antibiotik lini pertama adalah penisilin oral seperti ampicillin dan amoxicillin selama 10
hari atau penicillin injeksi (Benzathine Penicillin G) jika tidak patuh penicillin oral selama 10 hari atau
memiliki risiko tinggi demam reumatik akut seperti adanya riwayat penyakit jantung reumatik. 

Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rinitis kronik,
sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, miosilis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis,
pruritus, urtikaria dan Furunkulosis Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
SINUSITIS

Sinusitis adalah peradangan simptomatis yang terjadi pada sinus paranasal. Istilah sinusitis sendiri
sekarang sudah ditinggalkan dan berganti menjadi rinosinusitis karena pada kasus sinusitis umumnya
mukosa rongga hidung juga ikut mengalami peradangan.

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya diserta atau dipicu oleh
rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal
disebut pansinusitis.
Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan
sinus sfenoid lebih jarang lagi. ' Sinus maksila disebut juga antum Highmore, letaknya dekat akar gigi
rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen.
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta
menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.

EPIDEMI
Data epidemiologi menunjukkan bahwa kasus sinusitis paling banyak terjadi pada musim hujan atau
musim dingin dan pada daerah dengan kelembaban udara atau polusi udara yang tinggi. Sekitar 35
juta orang didiagnosis menderita sinusitis di Amerika. Hampir 14% penderita mengalami minimal satu
kali episode sinusitis per tahunnya. Sinusitis merupakan penyakit nomor lima tertinggi yang
mendapatkan resep antibiotik. 

Indonesia
Belum ada data epidemiologi khusus mengenai sinusitis secara nasional di Indonesia. Namun, data
terbaru berdasarkan Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
menurut diagnosis tenaga kesehatan dan gejala di Indonesia adalah sebesar 9,3%.[15] Kemungkinan
kejadian sinusitis belum dilaporkan secara baik atau belum diklasifikasikan terpisah dari ISPA pada
survei kesehatan nasional.

Sebuah penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan di tahun 2010 menunjukkan adanya 96 kasus yang
ditangani sebagai sinusitis. Pasien paling banyak pada kelompok usia 40-49 tahun dan lebih banyak
pasien berjenis kelamin wanita (60,4%).

ETIOLOGI

Non Infeksi
Etiologi non-infeksi pada sinusitis merupakan segala penyebab yang dapat menimbulkan sumbatan
pada ostium sinus, mengganggu fungsi dan pergerakan silia, serta mengganggu kualitas dan kuantitas
mukus sinus. Etiologi non infeksi sinusitis antara lain :

 Iritan : polusi udara, asap rokok, bahan kimia


 Alergen : rhinitis alergi karena serbuk sari, debu, atau alergen lain
 Kelainan anatomi hidung: infundibulum lebih sempit, deviasi septum nasal
 Trauma : fraktur tulang hidung
 Gangguan silia : jaringan parut, diskinesia silia [8, 10]

Infeksi Virus
Hampir 90% sinusitis akut disebabkan oleh infeksi virus. Virus yang sering menimbulkan sinusitis akut
adalah rhinovirus, virus influenza, virus parainfluenza, adenovirus, dan enterovirus. Sekitar 0,5-2%
kasus sinusitis akut akibat infeksi virus dapat berkembang menjadi sinusitis bakterial akut. [2]

Infeksi Bakteri
Sinusitis akibat infeksi bakteri kebanyakan berhubungan dengan infeksi virus pada saluran nafas atas
ataupun faktor-faktor lain yang dapat mengganggu fungsi silia sinus.

Faktor resiko
Faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan sinusitis antara lain :
 Kelainan anatomi: deviasi septum nasal, polip, bullosa pada konka, obstruksi akibat tumor
 Gangguan transpor mukus pada fibrosis kistik ataupun akibat diskinesia silia
 Kondisi imunodefisiensi akibat infeksi HIV, diabetes mellitus, atau kemoterapi
 Alergi : rhinitis alergi, asma
 Infeksi saluran nafas atas berulang oleh virus

PATO
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar
(mucailiary cleannce) di dalam KOM. Mukus juge mengandung substansi antimikrobial dan zat-zal
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pemafasan.

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatian dan bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat biergerak dan ostium tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi,
mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang ter kumpul dalam sinus merupakan media baik untuk
tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis
akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia
dan bakteri anaerob berkem- bang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang
terus berputar sampai akhirnya perubahan rnukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pemben tukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.

GEJALA SINUSITIS
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan
ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (posf nasa/ dnp). Dapal disertai gejala sistemik
seperti de.mam dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta
kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred paln). Nyeri pipi menandakan sinusitis
maksila, nyeri di antara atau dbelakang ke dua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi
atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks,
oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih
ke gigi dan telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal dip yang menyebabkan batuk
dan sesak pada anak.

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari
gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, posf nasa/ drip, baluk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis
(sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit
diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.

Anamnesis
Anamnesis pasien sinusitis meliputi gejala khas seperti hidung tersumbat, produksi ingus purulen,
nyeri pada wajah, dan gangguan mencium bau. Tanyakan pula mengenai gejala sistemik atau gejala
lain yang dirasakan pasien seperti sakit kepala, rasa lemas, demam, nyeri tenggorok, batuk, dan
halitosis.
Tanyakan durasi dari gejala-gejala yang dialami pasien untuk membedakan sinusitis akut dan kronis.
Gali faktor-faktor risiko yang mungkin menimbulkan sinusitis seperti riwayat asma / rhinitis alergi,
riwayat merokok, penyakit sistemik, riwayat sakit gigi (terutama pada maxilla), riwayat diagnosis
sinusitis sebelumnya, dan riwayat pengobatan. 

Lakukan inspeksi dari luar, perhatikan adanya pembengkakan pada wajah. Pembengkakan di daerah
pipi hingga kelopak mata bawah dengan perubahan warna kulit menjadi kemerahan dapat dicurigai
sebagai adanya sinusitis maksila. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin dapat disebabkan oleh
sinusitis frontal. Inspeksi dengan rinoskopi anterior pada pasien sinusitis dapat memberikan
gambaran konka edema, mukosa nasal hiperemis, dan sekret hidung yang purulen. Pada rinoskopi
posterior dapat ditemukan post nasal drip ataupun infeksi pada gigi.

Pemeriksaan fisik palpasi dilakukan dengan cara memberi penekanan di beberapa daerah wajah.
Nyeri tekan di daerah pipi bisa menunjukkan sinusitis maksila. Nyeri tekan di dahi mungkin
disebabkan oleh sinusitis frontal. Sinusitis etmoid dapat menyebabkan nyeri tekan di daerah kantus
medial mata. Pada sinusitis sfenoid biasanya pasien merasakan nyeri yang menjalar ke vertex,
oksipital, dan mastoid. Nyeri dapat dirasakan pada pemeriksaan perkusi pada gigi di rahang atas yang
mungkin disebabkan oleh sinusitis maksila. Pada pemeriksaan fisik lihat juga perubahan seperti
penonjolan bola mata, gerakan bola mata yang tidak normal, dan pemeriksaan kaku kuduk. 

Diagnosis sinusitis biasanya cukup jelas, namun pada beberapa kasus dapat dipikirkan diagnosis
banding berikut :

Rhinitis Alergi

Pada rhinitis alergi rhinorrhea biasanya jernih, disertai rasa gatal pada hidung, bersin, iritasi okuler,
dan gejala hanya timbul pada saat tertentu yang menandakan adanya alergi. Rhinitis alergi dapat
menjadi komorbid sinusitis.

Tumor Sinonasal

Gejala tumor sinonasal bisa sangat mirip dengan sinusitis. Adanya tumor sinonasal juga dapat
menyebabkan sinusitis. Membedakan penyakit ini dengan sinusitis dapat dilakukan melalui
pemeriksaan fisik dimana didapatkan massa intra nasal, serta melalui pemeriksaan penunjang
berupa CT scan atau MRI yang akan menunjukkan adanya destruksi jaringan sekitar jika tumor bersifat
malignan. Pemeriksaan biopsi juga dapat membedakan dengan sinusitis.

Pemeriksaan penunjang

CT Scan 
Pemeriksaan CT-scan adalah teknik pencitraan yang dianjurkan untuk sinusitis. Pemeriksaan CT-scan
dilakukan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan setelah mendapatkan terapi yang adekuat
atau pada sinusitis kronis. Pemeriksaan CT-scan berguna untuk menegakkan diagnosis sinusitis jamur
invasif akut atau alergi serta untuk menyingkirkan diagnosis lain seperti tumor. CT-scan harus
dilakukan sebelum tindakan operasi sinus endoskopik terutama bila ada komplikasi sinusitis yang
melibatkan area periorbital atau intrakranial. CT-scan yang disarankan adalah dengan potongan
setebal 3-4 mm yang kemudian dapat dievaluasi gambaran opak pada sinus, air-fluid level, penebalan
mukosa (>4mm), dan displacement  dinding sinus. 

Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya.

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resis tensi dilakukan dengan mengambil sekret dari
meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil
sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.

Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menem bus dinding medial sinus maksila melalui meatus
inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kon disi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat
dilakukan irigasi sinus untuk terapi.

Terapi
Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan, 2) mencegah komplikasi; dan 3)
mencegah perubahan menjadi kronik, Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga
drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik
yang dipilih adalah golongan penisilln seperti amoksisilin. Jika dipeftirakan kuman telah resisten atau
memproduksi betalaktamasd, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin
generasi ke-2. Pada sinusitis anti biotik diberikan selama 10-'14 hari meskipun gejala klinik sudah
hilang.

Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS) merupakan operasi terkini untuk slnusitis kronik yang
memerlukan operasi. Tindakan in telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu
karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.
lndikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik
disertai kista atau kelainan yang rreversibel; polip ekstensif , acianya komplikasi sinusitis serta sinusitis
jamur

KOMPLIKASI
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik Komplikasi berat
biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa
komplikasi orbita atau intrakranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling
sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum.

Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, absesorbita dan
selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
Kelainan intrakranial Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan
trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis
kronis, berupa:
Osteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya
ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat limbul fistula oroantral atrau
fistula pada pipi.
Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai
dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronkial yang sukar di- hilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

EPISTAKSIS
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun usia
lanjut Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan
sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat,

walaupun jarang, me rupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera
ditangani.

Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-kadang lelas
disebabkan karena trauma Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan
sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal,
benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler,
kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan
kongenital.
Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, bentur ringan, bersin atau
mengeluarkan ingus terlal keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul,
jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau
trauma pembedahan
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di
tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami
pembengkakan.
Kelainan pembuluh darah (lokal) Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat
dan sel-selnya lebih sedikit.
lnfeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis atiau sinusitis. Bisa juga
pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.
Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada angiofi
boma, dapat menyebabkan eplistiaksis berat.

SUMBER PERDARAHAN
Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Untuk
penatalaksanaannya, penting dicari sumber perdarahan walaupun kadang- kadang sulit.

Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach disepfum bagian anterior atau dari arterietnoidalis
anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis
atau kebiasaan mengorek. Hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat
berhenti sendiri.
Epistaksis posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis pos- terior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih
hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalatina.

PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan
perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.

Bila pasien datang dengan epistaksis, per- hatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan
darahnya. Bila ada kelainan, atasiterlebih dulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat
tersumbat oleh darah atau bekuan darah, pedu dibersihkan atau diisap.
Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apa- kah
perdarahan dari anterior atau posterior.
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung dan alat pengisap.
Anar4nesis yang lengkap sangat membantu dalafn menentukan sebab perdarahan.

Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung
sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaanya lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan
kepala ditinggikan.

Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran napas bawah. Pasien anak duduk
dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.

Sumber perdarahan dicari untuk membersih kan hidung dari darah dan bekuan darah dengan
bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah di basahi dengan
adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2o/o dimasukkan ke dalam rongga hidung
untuk menghentikan perdarahanan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya.
Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat
apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.

KOMPLIKASI DAN PENCEGAHANNYA


Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha
penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat
menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat
menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard
sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau tranfusi darah harus
dilakukan secepatnya.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik.

Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia atau toxic shock
syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung,
dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.
Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius,
dan airmata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah'- secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis. Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum
mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter
balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menye-babkan nekrosis
mukosa hidung atau septum.

MENCEGAH PERDARAHAN BERULANG


Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon, selanjut- nya perlu
dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, peme riksaan fungsi
hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila djcurigai ada
sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.

Anda mungkin juga menyukai