Tanggung Jawab Hukum Korporasi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 2

Tanggung jawab hukum korporasi ( majalah.tempo......

SERING orang bertanya tentang pertanggungjawaban hukum korporasi atau badan hukum (legal
person). Apakah terhadap badan hukum dapat dipikulkan pertanggungjawaban hukum? Jika bisa,
kepada siapa itu dipikulkan? Pendapat doktrin lama beranjak dari hipotesa organik yang
mengajarkan, suatu korporasi yang berbentuk badan hukum diibaratkan sebagai makhluk "yang
tidak memiliki raga kesadaran dan jiwa untuk ditendang" (no body, conscience and soul to be
kicked). Oleh karena itu, perbuatan melawan hukum atau melanggar hukum yang dilakukan
korporasi tak dapat dipertanggungjawabkan kepada para pengurus badan hukum yang
bersangkutan. Berdasarkan ajaran ini, civil liability (pertanggungjawaban perdata) apalagi
pertanggungjawaban pidana (crime liability) atas perbuatan yang dilakukan pengurus untuk dan atas
nama korporasi tak dapat dipikulkan kepada anggota pengurus (direksi dan komisaris). Belakangan,
sesudah Perang Dunia Kedua, muncul aliran baru yang dikenal dengan ajaran "fungsional korporasi".
Menurut ajaran ini, kepada pengurus (direksi dan komisaris) dapat dituntut pertanggungjawaban
hukum atas perbuatan melawan hukum yang terjadi. Tak hanya civil liabilities, tapi juga crime
liabilities. Sejak saat itu, hampir di semua negara dikembangkan dan dipraktekkan penerapan
corporate crime liability. Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus untuk dan atas nama
korporasi dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya kepada pengurus secara kolektif, meliputi
semua direksi dan komisaris. Jika sistem kepengurusannya berbentuk board of director, ditimpakan
kepada semuanya. Kalau berbentuk dual system, ditimpakan kepada semua direktur dan komisaris.
Malah ajaran fungsional memperluas pertanggungjawaban pidana dimaksud yang disebut vicarious
crime liability. Tindak pidana yang dilakukan oleh seorang petugas atau pejabatnya untuk dan atas
nama korporasi dipikulkan kepada pengurus secara kolektif. Patokannya, perbuatan dilakukan
berdasarkan penugasan untuk, atas nama, dan kepentingan keuntungan korporasi. Di Indonesia,
corporate crime liability berdasarkan ajaran fungsional telah diperkenalkan sebagai hukum positif
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1952 (UU Pasar Modal). Menurut pasal 9, bagi tindak
pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum perseroan, perserikatan, atau
yayasan dalam kegiatan Pasar Modal, pertanggungjawaban pidananya dipikulkan terhadap semua
anggota pengurus, yakni orang-orang yang secara nyata dan formal bertindak sebagai pengurus.
Begitu juga bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang karena hubungan jabatan
dengan korporasi, yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi, dipikulkan
pertanggungjawabannya kepada para anggota pengurus. Demikian masalah tinjauan normatif
corporate liability dalam hukum positif yang diatur dalam tindak pidana pasar modal. Kalau begitu,
sejak 1952, kehidupan hukum di Indonesia sudah mengenal ajaran fungsional dalam bentuk
corporate crime liability. Bagaimana halnya penerapan corporate crime liability dalam tindak pidana
korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971? Dapat dipedomani teori fungsional?
Meski Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1952 merupakan lex specialis, pertanggungjawaban pidana
korporasi yang diatur dalam pasal 9 undang-undang itu dapat dijadikan sebagai acuan "standar
hukum" (law standard). Ketentuan dimaksud dapat diangkat sebagai patokan nilai harmonisasi yang
bersifat normatif untuk semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh atau untuk dan atas nama
korporasi. Sifat normatifnya tak hanya terbatas untuk tindak pidana pasar modal. Lahirnya aliran
fungsional dalam perkembangan hukum tak hanya ditujukan bagi tindak pidana pasar modal, tapi
meliputi semua jenis tindak pidana yang dilakukan korporasi. Doktrin hukum corporate crime liability
telah diterima sebagai "aturan umum" (general rule). Cuma diakui, perkembangannya dalam praktek
penegakan hukum di Indonesia masih tersendat dan masih sering diperdebatkan. Seolah-olah kita
masih tertidur dan mempertahankan ajaran organik. Hal itu dapat diamati dari berbagai peristiwa.
Ambil salah satu contoh kasus Ray Man. Ia didakwa, dan dituntut (in absentia di Jakarta, 1993),
melakukan tindak pidana korupsi atas pengambilan kredit sebesar Rp 3,4 miliar dari BRI, dengan
kolateral sertifikat palsu. Dalam kasus ini tak ditegakkan prinsip corporate crime liability. Tak seorang
pun pengurus BRI yang diajukan sebagai terdakwa dalam peristiwa kolusi dimaksud. Padahal,
semestinya, meski kolusi itu terjadi antara Ray Man dan loan committee atau dengan salah seorang
pejabat bank, pertanggungjawaban pidana korporasinya harus meliputi semua anggota pengurus.
Kenapa pihak kejaksaan tidak menegakkan prinsip corporate crime liability dalam kasus tersebut?
Barangkali Kejaksaan Agung masih berpegang pada paham organik korporasi, sehingga "no body,
conscience and soul to be kicked?" Kalau tak percaya, lihat saja pada kasus Bank Perkembangan Asia
yang menggelapkan uang deposan sebesar Rp 67 miliar. Yang diajukan sebagai terdakwa hanya Lee
Dermawan sebagai direktur utama. Anggota pengurus lain, istri, ibu, dan adiknya, seolah-olah lepas
dari jangkauan hukum. Begitu juga dalam kasus Bapindo. Yang dijadikan tersangka hanya Eddy
Tansil. Jika diterapkan prinsip corporate crime liability, istrinya yang berfungsi sebagai direktur
keuangan serta semua anggota pengurus yang lain harus diperiksa sebagai tersangka. Sebaliknya, di
pihak Bapindo sendiri, semua anggota pengurus yang menjabat pada saat kasus tersebut terjadi
harus diperiksa dan dituntut sebagai tersangka dan terdakwa. Penerapan prinsip corporate crime
liability sangat besar pengaruhnya mendorong pembinaan pengawasan dan kehati-hatian. Akan
tetapi, karena selama ini yang dijadikan tumbal paling-paling pejabat rendah, para pengurus tak
peduli atas segala bentuk manipulasi, baik yang dilakukan bawahan (loan committee) maupun yang
dilakukan anggota pengurus yang lain.

Kolom 7/7

Anda mungkin juga menyukai