Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

FRACTURE NASAL BONES POST ORIF DI RUANG EDELWEIS


RST dr. SOEDJONO MAGELANG
Dosen Pembimbing : Ns. Endro Haksara, S.Kep, M.Kep, FisQua

Disusun Oleh :
BAHTIAR DWI CAHYO
20101440119021

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


STIKES KESDAM IV/DIPONEGORO
SEMARANG
2021
A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth,
2010).
Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan atau kesatuan jaringan
tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan kekuatan yang
memadai, apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur
(patah tulang). Definisi lain fraktur sebagaimana dikemukakan oleh para ahli
adalah sebagai berikut :
1. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan/atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2010).
2. Fraktur tulang adalah patah pada tulang (Corwin, 2009).
3. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai
dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan
pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
besar dari yang dapat diabsorbsinya (Priscilla dan Karen, 2008).
Berdasarkan pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa fraktur femur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, yang
disebabkan karena trauma atau tenaga fisik yang terjadi pada tulang pangkal paha.
B. Klasifikasi Fraktur
Menurut Smeltzer dan Bare (2007), berdasarkan ada tidaknya hubungan antara
patahan tulang dengan dunia luar, fraktur dibagi menjadi 2 antara lain:
1. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
2. Fraktur terbuka (open/compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat
masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang
terbuka :
 Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
 Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
 Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
Menurut Smeltzer dan Bare (2007), fraktur dapat digolongkan berdasarkan
derajat kerusakan tulang yang dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang
lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.
2. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu
sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut
green stick.
Menurut Price dan Wilson (2006) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,
keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah
fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi
apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak
melibatkan seluruh ketebalan tulang.
Menurut Smeltzer dan Bare (2007), fraktur dapat dibedakan menjadi 5
berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
yaitu:
1. Fraktur Transversal yaitu fraktur yang arahnya malintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik yaitu fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi
juga.
3. Fraktur Spiral yaitu fraktur yang arah garis patahnya spiral yang di
sebabkan oleh trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi yaitu fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5. Fraktur Afulsi yaitu fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
Menurut Smeltzer dan Bare (2007) berdasarkan jumlah garis patahannya
fraktur dibagi menjadi 3 antara lain:
1. Fraktur Komunitif yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2. Fraktur Segmental yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3. Fraktur Multiple yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu tetapi
tidak pada tulang yang sama.

C. Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2011), fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang
lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan
langsung, gaya remuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot
ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan berpengaruh
mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi
sendi, rupture tendon,kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Menurut
Corwin (2009), penyebab fraktur tulang paling sering adalah trauma,terutama
pada anak-anak dan dewasa muda. Beberapa fraktur dapat terjadi setelah trauma
minimal atau tekanan ringan apabila tulang lemah (fraktur patologis) fraktur
patologis sering terjadi pada lansia yang mengalami osteoporosis, atau indivisu
yang mengalmai tumor tulang, infeksi, atau penyakit lain. Fraktur stress atau
fraktur keletihan dapat terjadi pada tulang normal akibat stress tingkat rendah
yang berkepanjangan atau berulang, biasanya menyertai peningkatan yang cepat
tingkat latihan atlet atau permulaan aktivitas fisik yang baru (Corwin, 2009).
Patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang
yang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Penyebab terjadinya fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun
pelunakan tulang yang abnormal.
D. Mekanisme fraktur
1. Trauma (benturan)
Ada dua trauma/ benturan yang dapat mengakibatkan fraktur, yaitu:
a. Benturan langsung
b.Benturan tidak langsung
c. Gaya Puntir
2. Tekanan/stres yang terus menerus dan berlangsung lama Tekanan kronis
berulang dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan fraktur (patah tulang)
yang kebanyakan pada tulang tibia, fibula (tulang-tulang pada betis) atau
metatarsal pada olahragawan, militer maupun penari. Contoh: Seorang yang
senang baris berbaris dan menghentak-hentakkan kakinya, maka mungkin
terjadi patah tulang di daerah tertentu.
3. Adanya keadaan yang tidak normal pada tulang dan usia. Kelemahan tulang
yang abnormal karena adanya proses patologis seperti tumor maka dengan
energi kekerasan yang minimal akan mengakibatkan fraktur yang pada orang
normal belum dapat menimbulkan fraktur.
E. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare, 2007).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru
imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh
darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang
tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan
kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia
mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di
namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2010 ).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan Bare, 2007).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi
antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang
perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan
berkurangnyan kemampuan perawatan diri (Carpenito, 2007).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen-fragmen tulang di
pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada
jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin
akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan
Wilson, 2006).

F. Manifestasi klinik
Menurut Potter dan Perry (2005) manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya
fungsi, deformitas, pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan
perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias diketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Menurut Black (2010), tanda dan gejala fraktur antara lain:
1. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti : rotasi
pemendekan tulang dan penekanan tulang.
2. Bengkak : Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
3. Echimosis dari perdarahan Subcutaneous.
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
5. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur didaerah yang berdekatan.
6. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya syaraf/
perdarahan ).
7. Pergerakan abnormal.
8. Hilangnya darah.
9. Krepitasi
G. PATHWAY

H. Komplikasi
Fraktur dapat terjadi dengan disertai komplikasi, seperti gangguan
saraf,otot,sendi, dll atau tanpa komplikasi.
I. Penyembuhan
Secara rinci proses penyembuhan fraktur dapat dibagi dalam beberapa tahap
sebagai berikut:
1) Fase hematoma
Tiap fraktur biasanya disertai putusnya pembuluh darah sehingga terdapat
penimbunan darah di sekitar fraktur. Pembuluh darah robek dan membentuk
hematoma disekitar daerah fraktur. Hematoma ini disertai dengan
pembengkakan jaringan lunak. Sel-sel darah membentuk fibrin guna
melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan
fibroblast.Pada ujung tulang yang patah terjadi iskemia sampai beberapa
milimeter dari garis patahan yang mengakibatkan matinya osteosit pada
daerah fraktur tersebut. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam.
2) Fase proliferative
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel-sel periosteal dan
endoosteal menjadi fibro kartilago yang berasal dari
periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma.
Kemudian, hematoma akan terdesak oleh proliferasi ini dan diabsorbsi oleh
tubuh. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan
yang lebih dalam dan di sanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses
osteogenesis. Bersamaan dengan aktivitas sel-sel sub periosteal maka terjadi
aktifitas sel-sel dari kanalis medularis dari lapisan endosteum dan dari bone
marrow masing-masing fragmen. Proses dari periosteum dan kanalis
medularis dari masing- masing fragmen bertemu dalam satu preses yang sama,
proses terus berlangsung kedalam dan keluar dari tulang tersebut sehingga
menjembatani permukaan fraktur satu sama lain. Pada saat ini mungkin
tampak di beberapa tempat pulau-pulau kartilago, yang mungkin banyak
sekali,walaupun adanya kartilago ini tidak mutlak dalam penyembuhan tulang.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua
fragmen tulang yang patah. Pada fase ini sudah terjadi pengendapan kalsium.
Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung
frakturnya.
3) Fase pembentukan callus
Pada fase ini terbentuk fibrous callus dan disini tulang menjadi osteoporotik
akibat resorbsi kalsium untuk penyembuhan. Sel–sel yang berkembang
memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik mulai membentuk tulang
dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan
osteoklast yang mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang
mati. Sel-sel osteoblas mengeluarkan matriks intra selluler yang terdiri dari
kolagen dan polisakarida, yang segera bersatu dengan garam-garam kalsium,
membentuk tulang immature atau young callus. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal makapada akhir stadium akan terdapat
dua macam callus yaitu didalam disebut internal callus dan diluar disebut
external callus. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih
padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu.
4) Fase konsolidasi
Pada fase ini callus yang terbentuk mengalami maturisasi lebih lanjut oleh
aktivitas osteoblas, callus menjadi tulang yang lebih dewasa (mature) dengan
pembentukan lamela-lamela. Pada setadium ini sebenarnya proses
penyembuhan sudah lengkap. Pada fase ini terjadi pergantian fibrous callus
menjadi primary callus. Fase ini terjadi sesudah empat minggu, namun pada
umur-umur lebih mudah lebih cepat. Secaraberangsur-angsur primary bone
callus diresorbsi dan diganti dengan second bone callus yang sudah mirip
dengan jaringan tulang yang normal. Ini adalah proses yang lambat dan
mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban
yang normal.
5) Fase remodeling
Pada fase ini secondary bone callus sudah ditimbuni dengan kalsium yang
banyak dan tulang sudah terbentuk dengan baik, serta terjadi pembentukan
kembali dari medula tulang. Apabila union sudah lengkap, tulang baru yang
terbentuk pada umumnya berlebihan, mengelilingi daerah fraktur di luar
maupun di dalam kanal, sehingga dapat membentuk kanal medularis. Dengan
mengikuti stress/tekanan dan tarik mekanis, misalnya gerakan, kontraksi otot
dan sebagainya, maka callus yang sudah mature secara pelan-pelan terhisap
kembali dengan kecepatan yang konstan sehingga terbentuk tulang yang
sesuai dengan aslinya. Penyembuhan fraktur berkisar antara 3 minggu sampai
4 bulan. Perkiraan penyembuhan fraktur pada orang dewasa berdasarkan
lokalisasi fraktur adalah sebagai berikut:
a. Falang/metacarpal/metatarsal/kosta: 3-6 minggu
b. Distal radius: 6 minggu
c. Diafisis ulna dan radius: 12 minggu
d. Humerus: 10-12 minggu
e. Klavikula: 6 minggu
f. Panggul: 10-12 minggu
g. Femur: 12-16 minggu
h. Kondilus femur atau tibia: 8-10 minggu
i. Tibia/fibula: 12-16 minggu
j. Vertebra: 12 minggu
J. Pemeriksaan penunjang
Menurut Daniel et al (2010) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien
fraktur antara lain :
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal
setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple, atau cedera hati.
K. Asuhan keperawatan
Asuhan Keperawatan Post Operasi Fraktur
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan sistem atau metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi lima tahap yaitu
pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian :
a. Anamnesis
1) Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, nomer register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosis medis
(Padila, 2012).
2) Keluhan utama
Keluhan utamanya adalah rasa nyeri akut atau kronik. Selain itu klien
juga akan kesulitan beraktivitas. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan menurut Padila (2012) :
a) Provoking incident : Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presipitasi nyeri
b) Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk
c) Region : Radiation, relief : Apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (scale) of pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit memepengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari
3) Riwayat penyakit sekarang
4) Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan
tulang (Padila, 2012).
5) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan 22
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Padila,
2012).
6) Riwayat psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari (Padila, 2012).
7) Pola-pola
a) Pola persepsi
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadi kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid
yang dapat menggangu metabolisme kalsium, pengonsumsian
alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melaksanakan olahraga atau tidak (Padila, 2012).
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Insufisiensi pancreas/DM (predisposisi untuk hipoglikemia atau
ketoasidosis), malnutrisi termasuk obesitas, membran mukosa
kering karena pembatasan pemasukan atau periode post puasa
(Doenges dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010). Pada klien
fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin untuk
membantu proses penyembuhan tulang dan pantau keseimbangan
cairan (Padila, 2012).
c) Pola eliminasi
Pantau pengeluaran urine frekuensi, kepekatannya, warna, bau,
dan jumlah apakah terjadi retensi urine. Retensi urine dapat
disebabkan oleh posisi berkemih yang tidak alamiah, pembesaran
prostat dan adanya tanda infeksi saluran kemih Kaji frekuensi,
konsistensi, warna, serta bau feses.
d) Pola tidur dan istirahat
Klien akan merasakan nyeri, keterbatasan gerak sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur (Padila, 2012). Tidak dapat beristirahat, peningkatan
ketegangan, peka terhadap rangsang, stimulasi simpatis.
e) Pola aktivitas
Timbulnya nyeri, keterbatasan gerak maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas (Padila, 2012).
f) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat
karena klien harus menjalani rawat inap (Padila, 2012).
g) Persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien adalah rasa takut akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal dan pandangan dirinya yang salah
(Padila, 2012).
h) Pola sensori dan kognitif
Klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
fraktur, sedangkan pada indera yang lainnya tidak timbul
gangguan begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan (Padila, 2012).
i) Pola reproduksi seksual
Klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri.
Selain itu, klien juga perlu dikaji status perkawinannya termasuk
jumlah anak, lama perkawinannya (Padila, 2012).
j) Pola penanggulangan stress
Perasaan cemas, takut, marah, apatis, faktor-faktor stress multiple
seperti masalah finansial, hubungan, gaya hidup (Doenges dalam
Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010).
k) Timbul kecemasan akan kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien biasanya tidak efektif
(Padila, 2012).
l) Pola tata nilai dan keyakinan
Klien tidak dapat melakukan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi (Padila, 2012).
b. Pemeriksaan fisik menurut Suratun dkk (2008) antara lain :
1) Keadaan umum :
1) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
2) Tanda-tanda vital : Kaji dan pantau potensial masalah yang
berkaitan dengan pembedahan : tanda vital, derajat kesadaran,
cairan yang keluar dari luka, suara nafas, pernafasan infeksi
kondisi yang kronis atau batuk dan merokok.
3) Pantau keseimbangan cairan
4) Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan darah pada
pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan darah
turun, konfusi, dan gelisah)
5) Observasi tanda infeksi (infeksi luka terjadi 5-9 hari, flebitis
biasanya timbul selama minggu kedua) dan tanda vital
6) Kaji komplikasi tromboembolik : kaji tungkai untuk tandai nyeri
tekan, panas, kemerahan, dan edema pada betis
7) Kaji komplikasi emboli lemak : perubahan pola panas, tingkah
laku, dan tingkat kesadaran
8) Kaji kemungkinan komplikasi paru dan jantung : observasi
perubahan frekuensi frekuensi nadi, pernafasan, warna kulit, suhu
tubuh, riwayat penyakit paru, dan jantung sebelumnya
9) Kaji pernafasan : infeksi, kondisi yang kronis atau batuk dan
merokok.
2) Secara sistemik menurut Padila (2012) antara lain:
a) Sistem integumen Terdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, edema, nyeri tekan.
b) Kepala Tidak ada gangguan yaitu normo cephalik simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada
d) Muka Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tak edema
e) Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
f) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris
j) Paru
 Inspeksi :Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru
 Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama
 Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan
lainnya
 Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronkhi
k) Jantung
 Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung
 Palpasi :Nadi meningkat, iktus tidak teraba
 Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal tak ada mur-mur
l) Abdomen
 Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia
 Palpasi : Turgor baik, tidak ada defands muskuler hepar tidak
teraba
 Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan
 Auskultasi : Kaji bising usus
m) Inguinal-genetalis-anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, ada kesulitan buang
air besar.
n) Sistem muskuloskeletal
Tidak dapat digerakkan secara bebas dan terdapat jahitan, darah
merembes atau tidak.
c. Tindakan Kolaborasi
Perawat Penggunaaan antikoagulasi, steroid, dan antibiotik, antihipertensi,
kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan,
analgetik, anti inflamasi, anti koagulan.. Penggunaan alkohol (resiko akan
kerusakan ginjal yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia dan
juga potensial penarikan diri post operasi (Doenges dalam Jitowiyono dan
Kristiyanasari, 2010).
d. Pemeriksan Diagnostik menurut Istianah (2017) antara lain:
1) Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
2) Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. 3
3) Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
4) Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin
terjadi sebagai respon terhadap peradangan.
2. Diagnosis Keperawatan
- Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
- Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan
3. Intervensi

No. Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi TTD


DX
1. Setelah dilakukan asuhan keperawatan MANAJEMEN NYERI (I.
selama 3 x 24 jam, diharapakan nyeri 08238)
akut dapat teratasi dengan kriteria hasil
1. Observasi
(L.08066) :
- Kemampuan menuntaskan aktivitas
- lokasi, karakteristik, durasi,
dari skala 1 (menurun) ke skala 5
frekuensi, kualitas, intensitas
(meningkat)
nyeri
- Keluhan nyeri dari skala 1
- Identifikasi skala nyeri
(meningkat) ke skala 5 (menurun)
- Identifikasi respon nyeri non
- Meringis dari skala 1 (meningkat )
verbal
ke skala 5 (menurun)
- Identifikasi faktor yang
- Gelisah dari skala 1 (meningkat) ke
memperberat dan
skala 5 (menurun)
memperingan nyeri
- Kesulitan tidur dari skala 1 - Identifikasi pengetahuan dan
(meningkat) keskala 5 (menurun) keyakinan tentang nyeri
- Fokus dari skala 1 (menurun) ke - Identifikasi pengaruh budaya
skala 5 (meningkat) terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
- Monitor efek samping
penggunaan analgetik

2. Terapeutik

- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
- Control
lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat
dan tidur
- Pertimbangkan
jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri

3. Edukasi

- Jelaskan penyebab, periode,


dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan
nyeri
- Anjurkan memonitor nyri
secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

4. Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian analgetik, jika
perlu

2. Setelah dilakukan asuhan keperawatan DUKUNGAN TIDUR (I.05174)


selama 3 x 24 jam, diharapakan pola 1. Observasi
tidur membaik dengan kriteria hasil - Identifikasi pola istirahat
(L.05045) : dan tidur
- Keluhan sulit tidur dari skala 1 - Identifikasi faktor
(menurun) ke skala 5 (meningkat) pengganggu tidur (fisik atau
- Keluhan sering terjaga dari skala 1 psikologis)
(menurun) ke skala 5 (membaik) - Identifikasi makan dan
- Keluhan tidak puas tidur dari skala 1 minum yang mengganggu
(menurun) ke skala 5 (meningkat) tidur
- Keluhan pola tidur berubah dari (mis.kopi,teh,alkohol,makan
skala 1 (menurun) ke skala 5 mendekati waktu
(membaik) tidur,minum banyak air
- Keluhan istirahat tidak cukup dari sebelum tidur)
skala 1 (menurun) ke skala 5 - Identifikasi obat yang
(membaik) dikonsumsi
2. Terapeutik
- Modifikasi lingkungan
(mis.pencahayaan,kebisinga
n,suhu,matras,dan tempat
tidur) .Batasi waktu tidur
siang,jika perlu.
- Fasilitasi menghilangkan
stress sebelum tidur
- Tetapkan jadwal tidur rutin
- Lakukan prosedur untuk
meningkatkan kenyamanan
- Sesuaikan jadwal pemberian
obat dan/ tindakan untuk
menunjang siklus tidur-
terjaga
3. Edukasi
- Jelaskan pentingnya tidur
cukup selama sakit
- Anjurkan menepati
kebiasaan waktu tidur
- Anjurkan menghindari
makanan/minuman yang
mengganggu tidur
- Anjurkan penggunaan obat
tidur yang tidak
menggandung supresor
terhadap tidur REM
- Ajarkan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap
gangguan pola tidur
- Ajarkan relaksasi otot
autogenik atau cara
nonfarmakologi lainnya
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah,edisi 8


vol.3.EGC.Jakarta
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi . Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC.
Carpenito (2011), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis. Edisi 6.
Jakarta: EGC.
Doenges. 2009. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:EGC
Ircham Machfoedz,2007. Pertolongan pertama di rumah,di tempat kerja atau
diperjalanan. Yogyakarta: Fitramaya.
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita selekta kedokteran, jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2010. Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner and Suddart, vol 2, Ed 8. Jakarta: EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesi

Anda mungkin juga menyukai