Anda di halaman 1dari 3

ORMAS AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL

Nikolaus Tabe Radja, Pr


18054
Seminar PHP Sosiologi Agama

Harus kita akui bahwa Agama mempunyai pengaruh yang luar biasa besar dalam
kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Salah satu hal yang dapat kita lihat adalah ketika
agama dapat mengumpulkan massa. Itu karena agama mendasarkan diri pada kekuatan supra-
empiris atau Tuhan sehingga masyarakat percaya atau bahkan tunduk padanya. Dalam hal ini
agama tidak berhenti pada konsep ‘relasi antara aku dan Tuhan’ melainkan berkembang
menjadi elemen yang penting dalam hidup bermasyarakat. Maka dalam hal ini gerakan-
gerakan yang berujung pada perubahan sosial sangat mungkin terjadi dalam kehidupan kita.
Oknum-oknum yang menyadari kenyataan tersebut berusaha agar mereka bisa menunggangi
agama demi melancarkan berbagai kepentingan, entah itu politik, ekonomi, dan sebagainya.
Berbicara tentang agama tentu erat kaitannya dengan tokoh-tokoh karismatis. Bisa
dikatakan bahwa mereka menjadi icon bagi agama tertentu, karena mempunyai pengaruh
yang cukup besar. Hanya dengan berorasi saja mampu menggerakkan banyak orang untuk
bertindak atau melakukan gerakan sosial (social movement) dalam skala besar. Dari manakah
mereka mempunyai otoritas untuk menyampaikan pesan-pesan profetis. Itu didapat dari
karisma yang mereka. Segala bentuk kecakapan dan kualitas yang mereka miliki tentu
dipercaya sebagai anugerah dari Tuhan sehingga mereka dibedakan dari yang orang pada
umumnya.
Ormas Agama sebagai ‘kendaraan’ politik
Di Indonesia hal yang menarik menjadi pembahasan adalah kehadiran Organisasi
Masyarakat (Ormas) Agama. Entah mengapa jika membahas tentang Ormas Agama pasti
mengarah pada mereka yang berciri radikal dan membawa keresahan masyarakat luas. Sebut
saja di antaranya adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), dll.
Mereka yang mengakui diri sebagai institusi religius, mendasarkan diri pada kehendak ilahi,
berjuang agar ajaran-ajaran luhur agama sungguh diwujudkan dalam kehidupan di manapun
mereka berada. Terlepas dari keresahan dan kekacauan yang diciptakan, harus diakui bahwa
mereka mempunyai basis anggota yang cukup banyak, bergerak secara sporadis dan jika terus
berkembang mampu melakukan berbagai gerakan sosial dalam jumlah masif. Sebagaimana
yang dilansir oleh CNN Indonesia jumlah FPI diperkirakan mencapai di atas 7 juta. Ditambah
lagi bahwa mereka juga turut serta dalam gerakan 212, melengserkan gubernur Jakarta pada
saat itu (Basuki Tjahaja Purnama) atas tuduhan penistaan agama.
Kehadiran mereka sebagai ormas yang cukup besar tak jarang dijadikan ‘kendaraan’
oleh pihak-pihak tertentu untuk melancarkan tujuan-tujuan mereka. Dalam Pilpres 2019
menjadi bukti bahwa ormas dijadikan senjata ampuh untuk mengumpulkan suara pemilihan.
Pada saat itu FPI bekerjasama untuk memenangkan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. Namun
nyatanya mereka tidak mampu memenangkan paslon tersebut. Terlepas dari menang atau
kalah dalam pilpres tersebut, kita semua sepakat bahwa agama sebenarnya mempunyai
kekuatan yang besar dalam masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan oknum-oknum tertentu
untuk memuluskan rencana mereka. Dalam hemat saya pengaruh mereka pasti akan terus
dimanfaatkan karena belum ada institusi yang dapat mewujudkan kohesi sosial sekuat agama.
Ormas Agama dan Perubahan Sosial: Mungkinkah?
Meskipun ormas agama ditunggangi berbgai macam kepentingan, namun mereka
pasti mempunyai visi masing-masing yang jelas dan kuat. Contohnya seperti HTI yang
mempunyai visi untuk mendirikan Khilafah (Negara) Islam. Hal tersebut tentu beralasan,
yaitu karena mereka ingin mengulang kembali kejayaan-kejayaan Islam pada masa lampau
serta ingin mewujudkan ajaran-ajaran Islam yang sejati. Tentu dalam hal ini mereka ingin
mewujudkan perubahan sosial, karena ingin mewujudkan negara Indonesia sebagaimana
yang mereka cita-citakan.
Gerakan-gerakan sosial yang dilancarkan oleh HTI yang bernada radikal, antara
seperti anti-demokrasi, anti-liberal, dan sebagainya membawa mereka kepada malapetaka.
Pada tanggal 19 Juli 2017 Pemerintah Indonesia resmi mencabut badan hukum ormas HTI.
Adapun alasan pencabutannya adalah pertama mereka tidak ambil bagian dalam proses
pembangunan nasional secara positif, kedua aksi-aksi mereka bertentangan dengan cita-cita
bangsa yang termuat dalam Pancasila dan UUD 1945, dan ketiga mereka dapat
membahayakan keutuhan NKRI. Artinya bahwa usaha mereka untuk mewujudkan perubahan
sosial sepertinya mengalami jalan buntu. Justru mereka membawa keresahan bagi masyrakat
luas dan sama sekali tidak menciptakan pembaharuan sebagaimana yang dilakukan oleh
Khomeini (Iran) atau Jaime Cardinal Sin (Filipina).
Dalam buku Sosiologi Agama karya Poespowardojo, perubahan sosial bisa terjadi
karena ada kepentingan masyarakat luas atau kebaikan bersama yang dirampas oleh oknum-
oknum tertentu. Mereka merasa tertindas dan hidup dalam penderitaan. Maka agama sebagai
medium yang tepat untuk menyuarakan keluh kesah mereka dan memperjuangkan keadilan.
Dalam hal ini agama menggunakan fungsi kritisnya untuk memperbaiki pola-pola normatif
yang sudah ada dalam masyarakat, menentang musuh musuh bersama demi mewujudkan
keadilan yang didambakan. Jika kita melihat kasus ormas agama di Indonesia, motif mereka
melakukan perubahan sosial sebenarnya jauh dari konsep itu. Perubahan sosial yang mereka
wacanakan tidak mewakili keresahan masyarakat luas. Aksi-aksi mereka pun tidak mewakili
harapan masyarakat luas. Justru tak sedikit yang mengatakan bahwa kehadiran mereka
membawa keresahan dan kekacauan masyarakat luas. Contoh yang masih hangat dalam
perbincangan adalah ketika Habib Rizieq Shihab pulang ke Indonesia yang memicu
keramaian, kerumunan padahal Indonesia menghadapi situasi pandemi dengan menerapkan
protokol kesehatan yang ketat.
Kehadiran ormas agama sepertinya tidak menciptakan kesan dan harapan masyarakat
akan perubahan sosial sebagaimana yang diungkapkan dalam sosiologi agama. Peran agama
yang diharapkan sebagai ‘nabi’ dalam hidup bermasyarakat ternyata hanya menjadi alat
politik bagi oknum-oknum tertentu dan hanya mempertahankan status quo. Kehadiran agama
sebagai penampung harapan masyarakat luas demi mewujudkan keadilan sosial malah
membawa keresahan bagi masyarakat itu sendiri. Lalu relevankah kehadiran ormas agama
bagi hidup bermasyarakat. Cita-cita mereka yang terlampau radikal, ditambah lagi dengan
citra mereka yang buruk di mata masyarakat sepertinya tidak mungkin menjadi medium yang
tepat bagi mewujudkan keadilan sosial. Agama sebagai agen perubahan sosial diharapkan
menyuarakan nilai-nilai universal yang mengarah kepada kebaikan bersama (Bonum
Comunae).

Anda mungkin juga menyukai