Anda di halaman 1dari 9

Khutbah I

‫هّٰلِل‬
‫صحْ بِ ِه َوتَابِ ِع ْي ِه َعلَى‬ َ ‫ َو َعلَى ٰالِ ِه َو‬، َ‫صاَل ةُ َوال َّساَل ُم َعلَى ُم َح َّم ٍد َسيِّ ِد َولَ ِد َع ْدنَان‬ َّ ‫ َوال‬،‫َّان‬ ِ ‫ك ال َّدي‬ ِ ِ‫اَ ْل َح ْم ُد ِ ْال َمل‬
،‫ان َو ْال َم َكا ِن‬ ِ ‫ك لَهُ ْال ُمنَـ َّزهُ ع َِن ْال ِج ْس ِميَّ ِة َو ْال ِجهَ ِة َوال َّز َم‬ َ ‫ َوأَ ْشهَ ُد أَ ْن اَّل إِ ٰلهَ إِاَّل هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي‬،‫ان‬ ِ ‫َمرِّ ال َّز َم‬
ِ ْ‫ فَإنِّ ْي أُو‬،‫ ِعبَا َد الرَّحْ مٰ ِن‬،‫آن أَ َّما بَ ْع ُد‬
‫ص ْي ُك ْم‬ ُ ْ‫َوأَ ْشهَ ُد أَ َّن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهُ الَّ ِذيْ َكانَ ُخلُقَهُ ْالقُر‬
َ‫ص ِدقِ ْين‬ّ ٰ ‫ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوا اتَّقُوا هّٰللا َ َو ُكوْ نُوْ ا َم َع ال‬:‫ ْالقَائِ ِل فِي ِكتَابِ ِه ْالقُرْ آ ِن‬،‫َونَ ْف ِس ْي بِتَ ْق َوى هللاِ ال َمنَّا ِن‬
)١١٩ :‫(التوبة‬
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh
keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua untuk meningkatkan ketakwaan kepada
Allah subhanahu wata’ala, dengan senantiasa berupaya melakukan semua kewajiban dan
meninggalkan semua larangan.
Kaum Muslimin yang berbahagia, Allah subhanahu wata’ala mencela sekelompok kaum yang
mengajak berbuat baik namun tidak mengerjakannya dalam firman-Nya:
َ َّ‫اَتَأْ ُمرُوْ نَ الن‬
َ ‫اس بِ ْالبِ ِّر َوتَ ْن َسوْ نَ اَ ْنفُ َس ُك ْم َواَ ْنتُ ْم تَ ْتلُوْ نَ ْال ِك ٰت‬
)٤٤ :‫ب ۗ اَفَاَل تَ ْعقِلُوْ نَ (البقرة‬
Maknanya: “Mengapa kalian menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian
melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kalian
mengerti?” (QS al-Baqarah: 44). Ayat ini konteksnya adalah mengingatkan Bani Isra’il akan
beragam nikmat yang Allah anugerahkan kepada mereka dan menjelaskan keadaan mereka.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan makna ayat di atas bahwa para pemuka agama
Yahudi menyuruh pengikut-pengikut mereka untuk mengikuti Taurat sedangkan mereka sendiri
menyalahinya, yaitu dengan mengingkari sifat-sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Diriwayatkan bahwa suatu ketika umat Islam pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Seandainya kita diperintahkan untuk
melakukan sesuatu, niscaya akan kita laksanakan. Lalu turunlah ayat:
)٣-٢ ‫ـ‬:‫ َكبُ َر َم ْقتًا ِع ْن َد هّٰللا ِ اَ ْن تَقُوْ لُوْ ا َما اَل تَ ْف َعلُوْ نَ (الصف‬، َ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا لِ َم تَقُوْ لُوْ نَ َما اَل تَ ْف َعلُوْ ن‬
Maknanya: “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kalian mengatakan sesuatu yang
tidak kalian kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci oleh Allah jika kalian mengatakan sesuatu yang
tidak kalian kerjakan” (QS ash-Shaff: 2-3). Dari Abu Shalih, ia berkata: Telah sampai berita
kepadaku bahwa ayat ini turun berkaitan dengan perintah jihad. Seseorang berkata: “Aku telah
berperang dan berjihad,” padahal ia tidak melakukannya. Kemudian Allah menurunkan ayat di
atas sebagai nasihat yang sangat keras kepada mereka. Allah subhanahu wata’ala menceritakan
perkataan Nabi Syu’aib ‘alaihis salam:
ُ ۗ ‫َّو َمٓا اُ ِر ْي ُد اَ ْن اُ َخالِفَ ُك ْم اِ ٰلى َمٓا اَ ْن ٰهى ُك ْم َع ْنهُ ۗاِ ْن اُ ِر ْي ُد اِاَّل ااْل ِ صْ اَل َح َما ا ْستَطَع‬
)٨٨ :‫ْت (هود‬
Maknanya: “Aku tidak akan melarang kalian dari suatu perkara lalu aku melakukannya. Aku
tidaklah bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan bagi kalian sekuat yang aku mampu,
(yaitu menyampaikan wahyu kepada kalian bukan memaksa kalian)” (QS Hud: 88) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ْ َ‫ق أَ ْقتَاب ب‬
،‫طنِه فَي ُدو ُر بِهَا َك َما يَ ُدو ُر ال ِح َما ُر فِي ال َّر َحى‬ ُ ِ‫ فَتَ ْن َدل‬،‫يُؤتَى بِال َّرجُل يَو َم القِيَا َمة فَي ُْلقَى في النَّار‬
:‫ك تَأ ُم ُر بِال َمعرُوف َوتَ ْنهَى عَن ال ُم ْن َكر؟ فيقول‬ ُ َ‫ك؟ أَلَم ت‬َ َ‫ َما ل‬،‫ـ يَا فُالَ ُن‬:‫ فَيَقُولُون‬،‫ار‬ ِ َّ‫فَيَجْ تَ ِمع إِلَيه أَه ُل الن‬
)‫ َوأَنهَى عَن ال ُمن َكر َوآتِي ِه (متفق عليه‬،‫نت آ ُم ُر بِال َمعرُوف َوالَ آتِي ِه‬ ُ ‫ ُك‬،‫بَلَى‬
Maknanya: “Pada hari kiamat nanti akan didatangkan seseorang, lalu ia dilemparkan ke dalam
neraka sehingga usus-usus dalam perutnya terburai. Lalu ia berputar-putar seperti keledai
berputar-putar pada penggilingannya. Para penghuni neraka mengerumuninya seraya bertanya,
“Wahai fulan! Kenapa kamu? Bukankah engkau dulu memerintahkan perbuatan baik dan
mencegah perbuatan mungkar?” Ia menjawab, “Benar, dulu aku memerintahkan kebaikan tapi
tidak melaksanakannya, dan aku mencegah kemungkaran tapi justru melakukannya.” (Muttafaq
‘alaih) Ketika perjalanan Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati
sekumpulan orang yang digunting bibir dan lisan mereka dengan gunting dari api. Nabi pun
bertanya kepada Jibril. Jibril menjawab: Mereka adalah para penceramah dari umatmu yang
mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan (HR Ibnu Hibban) Seorang ulama besar di
kalangan tabi’in, Abul Aswad ad-Du’ali rahimahullah berkata:
ِ ‫ق َوتَأْتِ َي ِم ْثلَهُ * عا َ ٌر َعلَ ْيكَ إِ َذا فَ َع ْلتَ ع‬
“ ‫َظ ْي ُم‬ ٍ ُ‫اَل تَ ْنهَ ع َْن ُخل‬
Janganlah engkau melarang perilaku, namun engkau juga melakukan semisalnya. Aib besar
bagimu jika kau melakukan yang demikian.” Kaum Muslimin yang berbahagia, Banyak orang
yang keliru dalam memahami ayat, hadits, dan maqalah di atas. Sehingga mereka tidak mau
melakukan amar makruf nahi munkar dengan alasan masih belum bisa mengamalkan kebaikan
yang akan ia perintahkan atau masih belum mampu meninggalkan kemungkaran yang akan ia
larang. Mereka bahkan mencela habis-habisan orang yang mengajak kepada kebaikan yang
tidak ia kerjakan atau orang yang mencegah dari dosa yang ia sendiri melakukannya. Padahal
sebenarnya yang dicela dengan keras oleh ayat, hadits, dan para ulama adalah sikap
meninggalkan kewajiban atau melakukan kemaksiatan, bukan amar makruf nahi munkarnya.
Meninggalkan kewajiban atau melakukan kemaksiatan adalah satu hal. Dan beramar makruf
nahi munkar adalah hal yang berbeda. Kita diperintahkan dua hal: (1) melakukan kebaikan (2)
memerintahkan orang lain berbuat kebaikan. Dan kita juga dilarang dari 2 hal: (1) melakukan
kemungkaran (2) meninggalkan nahi munkar. Sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya,
maka jangan tinggalkan semuanya. Seseorang yang tidak mampu khusyuk dalam shalat atau
tidak mampu mengerjakan shalat secara berjamaah, maka ia tidak boleh meninggalkan shalat
sama sekali. Dengan demikian, orang yang mencegah orang lain berbuat maksiat, sedangkan ia
sendiri masih melakukannya, maka dosanya satu. Yaitu dosa melakukan maksiat. Sedangkan
nahi munkar yang wajib ia lakukan, telah ia tunaikan. Sedangkan seseorang yang tidak mau
mencegah orang lain berbuat maksiat padahal ia mampu melakukannya dengan alasan ia
sendiri masih mengerjakannya, maka dosanya dua. Yaitu dosa melakukan maksiat dan dosa
meninggalkan nahi munkar. Allah ta’ala berfirman:
َ ِ‫ان د َٗاو َد َو ِع ْي َسى ا ْب ِن َمرْ يَ َم ٰۗذل‬ ۤ ۢ
، َ‫صوْ ا َّو َكانُوْ ا يَ ْعتَ ُدوْ ن‬
َ ‫ك بِ َما َع‬ ِ ‫لُ ِعنَ الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا ِم ْن بَنِ ْٓي اِس َْرا ِءي َْل ع َٰلى لِ َس‬
)٧٩-٧٨ :‫س َما َكانُوْ ا يَ ْف َعلُوْ نَ (المائدة‬ َ ‫َكانُوْ ا اَل يَتَنَاهَوْ نَ ع َْن ُّم ْن َك ٍر فَ َعلُوْ ۗهُ لَبِ ْئ‬
Maknanya: “Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan
Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh,
sangat buruk apa yang mereka perbuat” (QS al-Ma’idah: 78-79). Dalam ayat di atas, Allah
ta’ala mencela orang-orang kafir dari Bani Israil dikarenakan tidak saling mencegah perbuatan
mungkar yang selalu mereka perbuat. Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Para ulama
mengatakan: seseorang yang melakukan nahi munkar tidak disyaratkan bersih dari maksiat.
Bahkan para pelaku maksiat diwajibkan satu dengan lainnya saling mencegah dari
kemaksiatan.
َ ‫اس أَ ْن يَ ْنهَى ْال ُجاَّل‬
“‫س‬ ِ ‫َو َعلَى ُم ِدي ِْر ْال َك‬
Seorang penghidang khamar wajib baginya mencegah orang-orang dari minum khamar.” Ibnu
Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan:
ْ ‫ َولَوْ لَ ْم يَ ِع‬،‫ف َوالنَّه ِْي َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َو ْال َو ْع ِظ َوالتَّ ْذ ِكي ِْر‬
َ‫ظ إِاَّل َم ْعصُوْ ٌم ِمن‬ ِ ْ‫فَاَل بُ َّد لِإْل ْن َسا ِن ِمنَ اأْل َ ْم ِر بِ ْال َم ْعرُو‬
“ ُ‫ أِل َنَّهُ اَل ِعصْ َمةَ أِل َ َح ٍد بَ ْع َده‬،‫اس بَ ْع َد َرسُوْ ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم أَ َح ٌد‬ َ َّ‫ال َّزلَ ِل لَ ْم يَ ِع ِظ الن‬
Seseorang harus melakukan amar makruf nahi munkar, memberi nasihat dan mengingatkan.
Seandainya tidak dibolehkan memberi nasihat kecuali orang yang ma’shum dari dosa, niscaya
tidak akan ada seorang pun yang memberikan nasihat kepada manusia sepeninggal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, karena tidak ada orang yang ma’shum dari dosa setelah beliau.”
Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi rahimahullah mengatakan:
َ ْ‫ك ِع ْل ِم ْي َواَل يَضْ رُر‬
ِ ‫ك تَ ْق‬
“ ْ‫صي ِْري‬ ُ ْ‫اِ ْع َملْ ب ِع ْل ِم ْي َوإِ ْن قَصَّر‬
َ ‫ت فِي َع َملِ ْي * يَ ْنفَ ْع‬
Amalkan ilmuku meski aku lalai dalam amalku, niscaya ilmuku bermanfaat bagimu dan
kelalainku tidak membahayakanmu.” Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Terakhir, penting
untuk disampaikan bahwa yang paling sempurna, paling utama dan paling mengena adalah jika
seseorang melakukan apa yang ia amar makrufkan dan meninggalkan apa yang ia nahi
munkarkan. Jika sebaliknya, maka keadaanya seperti apa yang ditegaskan oleh Imam
‘Abdurrahman ibn al-Jauzi rahimahullah:
“ ‫ب َك َما يَ ِزلُّ ْال َما ُء َع ِن ْال َح َج ِر‬
ِ ‫ت َم ْو ِعظَتُهُ َع ِن ْالقُلُ ْو‬
ْ َّ‫اعظُـ بِ ِع ْل ِم ِه َزل‬
ِ ‫َو َمتَى لَ ْم يَ ْع َم ِل ْال َو‬
Ketika seorang pemberi nasihat tidak mengamalkan ilmunya, maka nasihatnya menggelincir
dari hati sebagaimana air menggelincir dari batu” Hadirin jamaah shalat Jumat
‫‪rahimakumullah, Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini.‬‬
‫‪Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.‬‬
‫أَقُ ْو ُل قَ ْولِ ْي ٰه َذا َوأَ ْستَ ْغفِ ُر هللاَ لِ ْي َولَ ُك ْم‪،‬ـ فَا ْستَ ْغفِر ُْوهُ‪ ،‬إِنَّهُ هُ َو ْال َغفُ ْو ُر الر ِ‬
‫َّح ْي ُم‪.‬‬
‫‪Khutbah II‬‬
‫صلِّ ْي َوأُ َسلِّ ُـم َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد ْال ُمصْ طَفَى‪َ ،‬و َعلَى ٰالِ ِه َوأَصْ َحابِ ِه أَ ْه ِل ْال َوفَا‪.‬‬ ‫هّٰلِل‬
‫اَ ْل َح ْم ُد ِ َو َكفَى‪َ ،‬وأُ َ‬
‫ك لَهُ‪َ ،‬وأَ ْشهَ ُد أَ َّن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُهُ‪ .‬أَ َّما بَ ْع ُد‪ ،‬فَيَا أَيُّهَا‬ ‫أَ ْشهَ ُد أَ ْن اَّل إِ ٰلهَ إِاَّل هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي َ‬
‫هللا ْال َعلِ ِّي ْال َع ِظي ِْم َوا ْعلَ ُم ْوا أَ َّن هللاَ أَ َم َر ُك ْم ِبأ َ ْم ٍر َع ِظي ٍْم‪ ،‬أَ َم َر ُك ْم‬ ‫ص ْي ُك ْم َونَ ْف ِس ْي بِتَ ْق َوى ِ‬ ‫ْال ُم ْسلِ ُم ْو َن‪،‬ـ أُ ْو ِ‬
‫ين آ َمنُوا‬ ‫ون َعلَى النَّبِ ِّي‪ ،‬يَا أَيُّهَا الَّ ِذ َ‬ ‫صلُّ َ‬ ‫صاَل ِة َوال َّساَل ِم َعلَى نَبِيِّ ِه ْال َك ِري ِْم فَقَا َل‪ :‬إِ َّن هللاَ َو َماَل ئِ َكتَهُ يُ َ‬ ‫ِبال َّ‬
‫ٰ‬
‫ْت َعلَى‬ ‫صلَّي َ‬ ‫ص ِّل َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى آ ِل َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َك َما َ‬ ‫صلُّوا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُمواـ تَ ْسلِي ًما‪ ،‬اَللّهُ َّم َ‬ ‫َ‬
‫ت‬‫ار ْك َ‬ ‫ار ْك َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى آ ِل َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َك َما بَ َ‬ ‫َسيِّ ِدنَا إِ ْب َرا ِه ْي َم َو َعلَى آ ِل َسيِّ ِدنَا إِ ْب َرا ِه ْي َم َوبَ ِ‬
‫ٰ‬
‫ك َح ِم ْي ٌد َم ِج ْي ٌد‪ .‬اَللّهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُم ْسلِ ِمي َْن‬ ‫َعلَى َسيِّ ِدنَا إِ ْب َرا ِه ْي َم َو َعلَى آ ِل َسيِّ ِدنَا إِ ْب َرا ِه ْي َم‪ ،‬فِ ْي ْال َعالَ ِمي َْن إِنَّ َ‬
‫ت‪ ،‬اللهم ا ْدفَ ْع َعنَّا ْالبَاَل َء َو ْالغَاَل َء َو ْال َوبَا َء‬ ‫ت اأْل َحْ يَا ِء ِم ْنهُ ْم َواأْل َ ْم َوا ِ‬ ‫وال ُم ْؤ ِمنِي َْن َو ْال ُم ْؤ ِمنَا ِ‬
‫ت ْ‬ ‫َو ْال ُم ْسلِ َما ِ‬
‫ف ْال ُم ْختَلِفَةَ َوال َّش َدائِ َد َو ْال ِم َح َن‪َ ،‬ما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَ َن‪ِ ،‬م ْن بَلَ ِدنَا‬ ‫َو ْالفَحْ َشا َء َو ْال ُم ْن َك َر َو ْالبَ ْغ َي َوال ُّسي ُْو َ‬
‫إن هللاَ يَأْ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل‬ ‫ك َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ْي ٌر ِعبَا َد هللاِ‪َّ ،‬‬ ‫ان ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َعا َّمةً‪ ،‬إِنَّ َ‬
‫صةً َو ِم ْن ب ُْل َد ِ‬ ‫هَ َذا َخا َّ‬
‫َواإْل حْ َسا ِـن َوإِ ْيتَا ِء ِذي ْالقُرْ بَى ويَ ْنهَى َع ِن الفَحْ َشا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َوالبَ ْغ ِي‪ ،‬يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر ُْو َن‪.‬‬
‫فَاذ ُكرُوا هللاَ ْال َع ِظ ْي َم يَ ْذ ُكرْ ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر هللاِ أَ ْكبَرُ‪.‬‬
Khutbah I
‫هّٰلِل‬
‫صحْ بِ ِه َوتَابِ ِع ْي ِه َعلَى‬ َ ‫ َو َعلَى آلِ ِه َو‬، َ‫صاَل ةُ َوال َّساَل ُم َعلَى ُم َح َّم ٍد َسيِّ ِد َولَ ِد َع ْدنَان‬ َّ ‫ َوال‬،‫َّان‬ ِ ‫ك ال َّدي‬ِ ِ‫الح ْم ُد ِ ْال َمل‬َ
،‫ان َو ْال َم َكا ِن‬ِ ‫ك لَهُ ْال ُمنَـ َّزهُ ع َِن ْال ِج ْس ِميَّ ِة َو ْال ِجهَ ِة َوال َّز َم‬ ٰ
َ ‫ َوأَ ْشهَ ُد أَ ْن اَّل إِلهَ إِاَّل هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي‬،‫ان‬ ِ ‫َمرِّ ال َّز َم‬
ِ ْ‫ فَإنِّ ْي أُو‬،‫ ِعبَا َد الرَّحْ مٰ ِن‬،‫َوأَ ْشهَ ُد أَ َّن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهُ الَّ ِذيْ َكانَ ُخلُقُهُ ْالقُرْ آنَ أَ َّما بَ ْع ُد‬
‫ص ْي ُك ْم‬
‫ ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْ ا َربَّ ُك ۚ ْم اِ َّن ز َْلزَ لَةَ السَّا َع ِة َش ْي ٌء َع ِظ ْي ٌم‬:‫ ْالقَائِ ِل فِ ْي ِكتَابِ ِه ْالقُرْ آ ِن‬،‫َونَ ْف ِس ْي بِتَ ْق َوى هللاِ ال َمنَّا ِن‬
)١ :‫(الحج‬
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh
keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua untuk meningkatkan ketakwaan kepada
Allah subhanahu wata’ala dengan senantiasa berupaya melakukan semua kewajiban dan
meninggalkan semua larangan. Kaum Muslimin yang berbahagia, Pekan depan, kita akan
menyambut dan menyongsong dua hari besar yang saling berdekatan. Hari Selasa, 17 Agustus
yang akan datang kita akan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia
yang ke-76, hari paling bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dua hari berikutnya,
kita akan memperingati hari Asyura, salah satu hari yang paling bersejarah dalam perjalanan
umat Islam.
Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah, Selama 76 tahun kita menghirup udara
kemerdekaan, apakah kita telah benar-benar meraih kemerdekaan yang hakiki?. Tidak
dipungkiri, merdeka dari cengkeraman kaum penjajah merupakan kenikmatan agung yang
Allah anugerahkan kepada bangsa Indonesia. Betapa tidak, dengan kenikmatan merdeka, kita
bisa dengan leluasa melakukan banyak hal yang bermanfaat. Akan tetapi sudah cukupkah bagi
kita kemerdekaan dari cengkeraman penjajah?. Bukankah masih banyak belenggu yang harus
kita singkirkan agar kita dapat meraih kemerdekaan hakiki dan sejati?
Saudara-saudaraku hafizhakumullah, Kemerdekaan hakiki adalah ketika kita sudah mampu
memerdekakan diri kita dari jerat hawa nafsu. Kemerdekaan sejati adalah ketika kita telah
mampu memerdekakan diri kita dari perangkap jahat setan yang tiada henti membuai kita
dengan rayuannya. Kemerdekaan yang sebenarnya adalah tatkala kita telah mampu
memerdekakan hati kita dari penyakit-penyakit hati yang membinasakan. Kemerdekaan yang
sesungguhnya bagi seorang pejabat adalah saat ia mampu memerdekakan dirinya dari mental
korup. Pejabat yang korup dan memakan uang rakyat sejatinya ia terjajah dan belum merdeka.
Terjajah oleh angan-angannya bahwa kekayaan dan status sosial yang tinggi akan
melambungkan kebahagiaannya. Kemerdekaan yang hakiki bagi orang kaya adalah tatkala ia
mampu memerdekakan hatinya dari penyakit sombong dan sikap merendahkan orang lain.
Kemerdekaan bagi seorang pedagang adalah ketika ia mampu memerdekakan dirinya dari
kecurangan. Seorang santri atau siswa dikatakan merdeka apabila ia mampu memerdekakan
dirinya dari kemalasan dalam menuntut ilmu. Guru atau dosen yang merdeka adalah yang
mampu memerdekakan dirinya dari niat lain selain mengabdi, mendidik, dan mengader.
Seorang tetangga yang merdeka adalah apabila ia mampu memerdekakan hatinya dari virus iri,
dengki, dan hasud kepada tetangganya. Dan begitulah seterusnya. Kemampuan melepaskan
belenggu yang menghalangi kita dari berbuat baik, itulah kemerdekaan yang hakiki dan
sesungguhnya. Jika seluruh bangsa Indonesia sudah meraih kemampuan itu, maka Indonesia
benar-benar telah merdeka. Merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Ma’asyiral Muslimin
rahimakumullah, Dua hari berselang setelah kita memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-76
pada tahun ini, kita akan memperingati hari Asyura, 10 Muharram 1443 H yang tahun ini jatuh
pada tanggal 19 Agustus 2021. Salah satu yang kita kenang dan kita petik hikmahnya pada hari
Asyura adalah kemerdekaan Nabi Musa ‘alaihissalam beserta para pengikutnya yang beriman
dari cengkeraman Fir’aun, al-Walid bin Mush’ab, raja Mesir yang mengaku dirinya sebagai
tuhan yang wajib disembah. Hadirin rahimakumullah, Allah memerintahkan Nabi Musa
‘alaihissalam agar pergi kepada Fir’aun untuk mengajaknya masuk ke dalam Islam,
mentauhidkan Allah dan menyucikan-Nya dari sekutu dan serupa. Nabi Musa pun pergi dan
memperlihatkan kepadanya mukjizat-mukjizat yang sangat menakjubkan dan membuktikan
kenabian dan kerasulannya. Meskipun begitu, Fir’aun tetap kafir kepadanya, menolak dan
bersikap congkak serta menyiksa dan menindas kaum Nabi Musa yang beriman. Akhirnya Nabi
Musa ‘alaihissalam dan para pengikutnya dari kalangan Bani Isra’il keluar dari Mesir dengan
jumlah 600 ribu orang. Fir’aun mengejarnya bersama 1.600.000 pasukan karena ingin
memusnahkan Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketika Musa dan para pengikutnya
telah mendekati laut merah, Allah mewahyukan kepada Musa untuk memukul lautan dengan
tongkatnya. Laut terbelah menjadi 12 belahan dan setiap belahan seperti gunung yang besar. Di
antara setiap dua belahan ada jalan yang kering. Nabi Musa ‘alaihissalam dan orang-orang
yang bersamanya masuk ke laut. Fir’aun dan pasukannya pun mengejar mereka. Allah
subhanahu wata’ala kemudian menenggelamkan mereka semua dan Allah selamatkan Nabi
Musa ‘alaihissalam dan orang-orang yang bersamanya.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Para nabi Allah telah memberikan kepada kita contoh
dan teladan dalam berdakwah kepada Allah dan bersabar untuk itu. Di atas garis perjuangan
mereka inilah para sahabat dan para ulama menempuh jalan. Mereka mendarmabaktikan jiwa
dan raga untuk memperjuangkan agama Allah. Teladan Sayyidina al-Husain radhiyallahu ‘anhu
yang gugur syahid pada hari Asyura, hari Jumat 61 H selalu lekat dalam ingatan kita. Ketika
beliau melihat orang yang tidak cakap memimpin kaum Muslimin ingin meraih puncak
kepemimpinan tanpa bai’at dari tokoh-tokoh pembesar kaum muslimin yang berilmu dan
bertakwa, al-Husain terang-terangan menentang hal itu. Al-Husain berpegang teguh dengan
kebenaran dan konsisten dengannya, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar hingga ia terbunuh
padahal beliau adalah putra dari putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau gugur
syahid di tangan orang-orang yang fasiq dan zalim. Hadirin kaum Muslimin yang dirahmati
Allah, Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga
bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.
ِ ‫ إِنَّهُ هُ َو ْال َغفُوْ ُر الر‬،ُ‫ فَا ْستَ ْغفِرُوْ ه‬،‫أَقُوْ ُل قَوْ لِ ْي ٰه َذا َوأَ ْستَ ْغفِ ُر هللاَ لِ ْي َولَ ُك ْم‬
‫َّح ْي ُم‬
Khutbah II
‫ أَ ْشهَ ُد أَ ْن‬.‫ َو َعلَى آلِ ِه َوأَصْ َحابِ ِه أَ ْه ِل ْال َوفَا‬،‫صلِّ ْي َوأُ َسلِّ ُم َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد ْال ُمصْ طَفَى‬ ‫هّٰلِل‬
َ ُ‫ َوأ‬،‫اَ ْل َح ْم ُد ِ َو َكفَى‬
، َ‫ فَيَا أَيُّهَا ْال ُم ْسلِ ُموْ ن‬،‫ َوأَ ْشهَ ُد أَ َّن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهُ أَ َّما بَ ْع ُد‬،ُ‫ك لَه‬ َ ‫اَّل ٰإلهَ إِاَّل هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي‬
‫صاَل ِة َوال َّساَل ِم‬ َّ ‫ أَ َم َر ُك ْم بِال‬،‫هللا ْال َعلِ ِّي ْال َع ِظي ِْم َوا ْعلَ ُموْ ا أَ َّن هللاَ أَ َم َر ُك ْم بِأ َ ْم ٍر َع ِظي ٍْم‬
ِ ‫ص ْي ُك ْم َونَ ْف ِس ْي بِتَ ْق َوى‬ ِ ْ‫أُو‬
‫صلُّوا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُموا‬ َ ‫ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا‬،‫ُصلُّونَ َعلَى النَّبِ ِّي‬ َ ‫ إِ َّن هللاَ َو َماَل ئِ َكتَهُ ي‬:‫ال‬ َ َ‫َعلَى نَبِيِّ ِه ْال َك ِري ِْم فَق‬
ٰ
‫صلَّيْتَ َعلَى َسيِّ ِدنَا إِ ْب َرا ِه ْي َم َو َعلَى آ ِل‬ َ ‫آل َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َك َما‬ ِ ‫صلِّ َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬ َ ‫ اَللّهُ َّم‬،‫تَ ْسلِي ًما‬
ِ ‫ار ْكتَ َعلَى َسيِّ ِدنَا إِ ْب َرا ِه ْي َم َو َعلَى‬
‫آل‬ ِ ‫ار ْك َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
َ َ‫آل َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َك َما ب‬ ِ َ‫َسيِّ ِدنَا إِب َْرا ِه ْي َم َوب‬
ٰ
‫ت‬ِ ‫وال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ َو ْال ُم ْؤ ِمنَا‬ ْ ‫ت‬ ِ ‫ اَللّهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُم ْسلِ ِم ْينَ َو ْال ُم ْسلِ َما‬.‫ فِ ْي ْال َعالَ ِم ْينَ إِنَّكَ َح ِم ْي ٌد َم ِج ْي ٌد‬،‫َسيِّ ِدنَا إِب َْرا ِه ْي َم‬
َ‫ اللهم ا ْدفَ ْع َعنَّا ْالبَاَل َء َو ْالغَاَل َء َو ْال َوبَا َء َو ْالفَحْ َشا َء َو ْال ُم ْن َك َر َو ْالبَ ْغ َي َوال ُّسيُوْ ف‬،‫ت‬ ِ ‫اأْل َحْ يَا ِء ِم ْنهُ ْم َواأْل َ ْم َوا‬
،ً‫صةً َو ِم ْن ب ُْلدَا ِن ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ عَا َّمة‬ َّ ‫ ِم ْن بَلَ ِدنَا هَ َذا َخا‬، َ‫ َما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَن‬، َ‫ْال ُم ْختَلِفَةَ َوال َّشدَائِ َد َو ْال ِم َحن‬
‫إن هللاَ يَأْ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َواإْل حْ َسا ِن َوإِ ْيتَا ِء ِذي ْالقُرْ بَى ويَ ْنهَى َع ِن الفَحْ َشا ِء‬ َّ ،ِ‫إِنَّكَ َعلَى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِد ْي ٌر ِعبَا َد هللا‬
‫ فَاذ ُكرُوا هللاَ ْال َع ِظ ْي َم يَ ْذ ُكرْ ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر هللاِ أَ ْكبَ ُر‬. َ‫ يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ ن‬،‫َو ْال ُم ْن َك ِر َوالبَ ْغ ِي‬
Khutbah Pertama
ُ‫ َوأَ ْشهَ ُد أَ ْن اَل إِلَهَ إِاَّل هللا‬.‫ح‬ ِ ‫ َوبَيَّنَ لَنَا ُسبُ َل ْالفَاَل‬،‫ح‬ ِ ‫صاَل‬ َّ ‫ َو َحثَّنَا َعلَى ال‬،‫ح‬ ِ ‫اَ ْل َح ْم ُد هلِل ِ الَّ ِذيْ أَ َم َرنَا بِاإْل ِ صْ اَل‬
،‫ار ْك َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬ ِ َ‫صلِّ َو َسلِّ ْم َوب‬ َ ‫ اَللَّهُ َّم‬.ُ‫ َوأَ ْشهَ ُد أَ َّن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُد هللاِ َو َرسُولُه‬،ُ‫ك لَه‬ َ ‫َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي‬
‫ص ْي ُك ْم ِعبَا َد هللاِ َونَ ْف ِس ْي بِتَ ْق َوى هللاِ َع َّز‬ ِ ْ‫ فَأُو‬،‫صحْ بِ ِه َو َم ْن تَبِ َعهُ ْم بِإِحْ َسا ٍن إِلَى يَوْ ِم ال ِّدي ِْن أَ َّما بَ ْع ُد‬َ ‫َو َعلَى أَلِ ِه َو‬
َ‫ فَاتَّقُوا هللاَ َوأَصْ لِحُوا َذاتَ بَ ْينِ ُك ْم َوأَ ِطيعُوا هللاَ َو َرسُولَهُ إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُم ْؤ ِمنِين‬:‫ قَا َل تَ َعالَى‬،َّ‫َو َجل‬
Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh Allah swt telah memerintahkan manusia untuk
memperkuat tali persaudaraan, sebagaimana digambarkan dalam firmanNya:
ِ َّ‫ت َعلَ ْي ِه ْم ال ِّذلَّةُ أَ ْينَ َما ثُقِفُوا إِاَّل بِ َحب ٍْل ِمنَ هللاِ َو َحب ٍْل ِم ْن الن‬
)112 :‫ (آل عمران‬.‫اس‬ ْ َ‫ُرب‬
ِ ‫ض‬
Artinya, “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali hubungan kepada Allah dan tali hubungan dengan manusia.” (Surat Ali Imran ayat
112). Dalam konteks persaudaraan, ayat tersebut mengindikasikan bahwa manusia tidak akan
diliputi kehinaan dalam hidupnya sepanjang menjalin hubungan baik dengan saudaranya, satu
dengan lainnya. Dalam arti sempit, saudara yang dimaksud adalah anggota keluarga, baik laki-
laki atau perempuan, yang lebih muda atau lebih tua, yang seibu dan/atau seayah, (yang berupa
orang tua kandung, tiri, atau angkat) dengan seseorang. Saudara yang lebih tua disebut kakak,
sedangkan yang lebih muda disebut adik. Dalam pengertian yang lebih luas saudara bermakna
sebagai sanak famili, karib kerabat, yaitu orang yang dekat atau bertalian secara kekeluargaan
dengan seseorang. Dalam lingkungan sosial, saudara bisa bermakna sebagai seseorang yang
satu pandangan dan satu tujuan, yang merujuk pada sahabat dekat atau saudara senasib
seperjuangan. Dari berbagai makna persaudaraan tersebut, secara psikologis hubungan saudara
sekandung merupakan hubungan yang bertahan paling lama dan paling berpengaruh dalam
kehidupan seseorang. Sebab hubungan saudara sekandung memberikan kesempatan kontak
fisik dan emosional yang terus-menerus, bahkan pada masa-masa kritis, termasuk ketika dalam
musibah seperti yang kita alami saat ini. Di dalam Islam ikatan persaudaraan dikenal dengan
persaudaraan antarketurunan (ukhuwah nasabiyah), persaudaraan sesama manusia (ukhuwah
basyariyah), persaudaraan setanah air (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan seagama
(ukhuwah Islamiyah). Hal ini sebagaimana firman-Nya:
َ‫ َواتَّقُوا هللاِ لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون‬،‫إِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ إِ ْخ َوةٌ فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَ أَخَ َو ْي ُك ْم‬
Artinya, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat.” (Surat al-Hujurat ayat 10). Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh Dalam
berbagai hadits, Rasulullah saw menjelaskan perumpamaan-perumpamaan yang
menggambarkan keutamaan orang mukmin dan persaudaraannya, di antaranya: Pertama,
persaudaraan orang mukmin dengan mukmin lainnya itu seperti bangunan:
ً ‫ضهُ بَ ْع‬
)‫ (رواه مسلم‬.‫ضا‬ ِ َ‫ْال ُم ْؤ ِم ُن لِ ْل ُم ْؤ ِم ِن َك ْالبُ ْني‬
ُ ‫ان يَ ُش ُّد بَ ْع‬
Artinya, “Orang mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian
menguatkan sebagian yang lain.” (HR Muslim) Kerjasama adalah kunci merajut kebersamaan.
Tidak egois dan merasa diri paling penting dan berjasa. Gotong royong dan tenggang rasa
merupakan sikap mukmin yang harus dibangun memperkuat persaudaraan. Kedua,
persaudaraan orang mukmin dengan mukmin lainnya itu seperti cermin:
)‫ (رواه البخاري في األدب المفرد‬.ُ‫ إِ َذا َرأَى فِ ْيهَا َع ْيبًا أَصْ لَ َحه‬،‫اَ ْل ُم ْؤ ِم ُن ِم َرآةُ أَ ِخ ْي ِه‬
Artinya, “Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya. Jika dia melihat suatu aib pada
cermin itu, maka ia memperbaikinya.” (HR al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad). Cermin
adalah tempat untuk mengetahui apa yang sudah baik dan apa yang masih belum sempurna.
Kebaikan yang ada semoga menjadi teladan bagi saudara. Sedangkan kekurangan atau
keburukan menjadi gambaran bagi diri sendiri untuk memperbaiki diri dan pelajaran bagi
saudara lain agar tidak menirunya Ketiga, orang-orang mukmin itu seperti lebah:
ْ ‫ َوإِ ْن َوقَ َع‬،‫ت طَيِّبًا‬
‫ت َعلَى ُعو ِد َش َج ٍر‬ ْ ‫ض َع‬ ْ ‫ض َع‬
َ ‫ت َو‬ ْ َ‫ت أَ َكل‬
َ ‫ َوإِ ْن َو‬،‫ت طَيِّبًا‬ ْ َ‫ إِ ْن أَ َكل‬،‫َمثَ ُل ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َمثَ ُل النِّحْ لَ ِة‬
)‫ (رواه البيهقي‬.ُ‫لَ ْم تَ ْك ِسرْ ه‬
Artinya, “Perumpamaan orang-orang mukmin seperti lebah, apabila makan maka ia akan
memakan suatu yang baik, apabila mengeluarkan sesuatu ia pun akan mengeluarkan sesuatu
yang baik, dan apabila hinggap pada sebuah dahan untuk menghisap madu ia tidak
mematahkannya.” (HR al-Baihaqi). Orang mukmin mampu menempatkan diri pada posisinya.
Orang jahat akan meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Orang mukmin hanya melakukan
yang baik-baik, makan yang baik dan berkata yang baik. Apapun keadaannya, ia akan berusaha
melakukan yang baik-baik, terlebih kepada saudaranya. Keempat, orang mukmin itu seperti
tanaman:
ِ ِ‫ َو َمثَ ُل ْال ُمنَاف‬،‫صيبُهُ ْالبَالَ ُء‬
‫ق َك َمثَ ِل‬ ِ ُ‫ع الَ تَزَا ُل الرِّي ُح تُ ِميلُهُ َوالَ يَزَا ُل ْال ُم ْؤ ِم ُن ي‬
ِ ْ‫َمثَ ُل ْال ُم ْؤ ِم ِن َك َمثَ ِل ال َّزر‬
)‫ (رواه مسلم‬.َ‫صد‬ ِ ْ‫َش َج َر ِة األَرْ ِز الَ تَ ْهت َُّز َحتَّى تَ ْستَح‬
Artinya, “Perumpamaan seorang mukmin seperti tanaman (biji-bijian seperti padi, jelai dan
semisalnya), angin selalu menggoyang-goyangkannya, dan seorang mukmin senantiasa
mengalami cobaan; sedangkan perumpamaan orang munafik seperti pohon Aras yang kuat
tidak pernah tidak bergoyang (karena diterpa angin) sampai masuk waktu dipanen.” (HR
Muslim) Ujian dalam kehidupan adalah sebuah keniscayaan. Suka dan duka akan mengitari
kehidupan. Namun persaudaraan tetap tegar, sabar dan tawakkal. Tidak ada ujian tanpa jalan
keluar. Tidak ada kesusahan tanpa penawar kebahagiaan. Ke kanan atau ke kiri, berada di atas
atau bawah, seorang mukmin akan tegar menghadapi ujian hidup. Kelima, orang mukmin itu
seperti pohon kurma:
)‫ (رواه الطبراني‬. َ‫ َما أَخَ ْذتَ ِم ْنهَا ِم ْن َش ْي ٍء نَفَ َعك‬،‫َمثَ ُل ْال ُم ْؤ ِم ِن َمثَ ُل النِّ ْخلَ ِة‬
Artinya, ”Perumpamaan seorang mukmin itu seperti pohon kurma, apapun yang Kamu ambil
darinya pasti bermamfaat bagimu.” (HR at-Thabarani). Orang mukmin adalah orang yang
punya konstribusi besar kepada sesama. Apapun akan ia lakukan asal itu untuk kebaikan bagi
orang lain dan tidak melanggar perintah Allah swt. Keberadaan seorang mukmin bermanfaat
bagi saudara-saudaranya. Keenam, orang mukmin itu seperti emas:
)‫ (رواه البيهقي‬. ْ‫َت لَ ْم تَ ْنقُص‬
ْ ‫ َوإِ ْن َوزَ ن‬،‫ت‬
ْ ‫خَت َعلَ ْيهَا اَ َح َم َر‬ ِ َ‫َمثَ َل ْال ُم ْؤ ِم ِن َمثَ َل َسبِ ْيلَ ِة ال َّذه‬
ْ َ‫ إِ ْن نَف‬،‫ب‬
Artinya, “Perumpamaan seorang mukimin seperti batangan emas, kalau Engkau meniupkan
(api) padanya maka ia menjadi merah, kalau Engkau menimbangnya maka tidak berkurang.”
(HR al-Baihaqi). Menjadi mukmin seumpama menjadi emas, kokoh, tidak luluh dan menyerah
dengan keadaan. Ia kokoh berpijak di atas kebenaran, tidak melebur dan mengikuti arus begitu
saja. Namun ia punya prinsip yakni objektif dalam kebenaran sehingga tidak memihak kepada
saudara yang salah. Ketujuh, orang mukmin itu seperti tubuh:
‫َمثَ ُل ْال ُم ْؤ ِمنِينَ فِى ت ََوا ِّد ِه ْم َوتَ َرا ُح ِم ِه ْم َوتَ َعاطُفِ ِه ْم َمثَ ُل ْال َج َس ِد إِ َذا ا ْشتَ َكى ِم ْنهُ عُضْ ٌو تَدَاعَى لَهُ َسائِ ُر ْال َج َس ِد‬
)‫ (رواه مسلم‬.‫بِال َّسهَ ِر َو ْال ُح َّمى‬
Artinya, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan
menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh yang lain
akan susah tidur atau merasakan demam.” (HR Muslim) Orang mukmin bagaikan satu tubuh
utuh yang kalau sakit salah satu organnya, yang lain pun merasa sakit. Kaki terluka akan
menyebabkan tubuh meriang dan kepala pusing. Bila saudara menderita kesulitan, maka yang
lainnya juga merasakannya. Itulah makna persaudaraan yang sesungguhnya. Islam mendorong
umatnya untuk menerjemahkan ikatan tali persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaikan
sebuah kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Suka-duka dilalui bersama. Ringan sama
dijinjing, berat sama dipikul. Sikap saling memiliki merupakan sikap persaudaraan sejati.
Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh Betapa indahnya, Islam menuntun manusia dalam
merajut tali persaudaraan. Untuk menerapkannya, tentu tak mudah seperti membalikkan
telapak tangan. Biar pun rambut sama hitamnya, tetapi rasa persaudaraan memang berlainan.
Berdasarkan teori psikologi sosial "attachment theory" yang dikemukakan oleh Bowlby
dijelaskan, kelekatan persaudaraan yang kuat akan memberikan sumbangan dalam kesuksesan
perkembangan sosial dan penyesuaian diri yang sehat. Sebaliknya, konflik persaudaraan
mendatangkan kerugian yang tak terelakkan. Hubungan persaudaraan mengahruskan adanya
kehangatan (warmth) yang ditandai dengan kedekatan, kasih sayang, kekaguman, dukungan
moril-materil, penerimaan dan pengetahuan akan pentingnya persaudaraan. Sebaliknya, konflik
yang terjadi, biasanya ditandai dengan adanya pertengkaran, kompetisi, dominasi, serta
persaingan dalam memperoleh sesuatu yang diinginkan. Dalam hal ini ada kalimat
perumpamaan yang sangat relevan: “Kun kal yadaini, wa laa takun kal udzunaini” (Jadilah
seperti kedua tangan dan jangan menjadi seperti kedua telinga). Jadilah seperti kedua tangan
kita, yakni kanan dan kiri. Masing-masing tangan punya tugas sendiri-sendiri. Tangan kanan,
kita gunakan untuk melakukan hal-hal yang baik, seperti makan, minum, berjabat tangan,
mempersilahkan, menulis, atau mungkin dalam menunjukkan sesuatu; sedangkan tangan kiri
biasanya kita gunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan barang kotor dan terkena najis.
Ketika kita sedang berjalan, tangan melambai bergantian. Saat kita melangkahkan kaki kiri,
tangan kanan kita di depan dan tangan kiri di belakang. Begitu juga sebaliknya. Bila kedua
tangan sedang beristirahat, keduanya bersedekap, kehangatan terasa. Kala kedua tangan sama-
sama berupaya mengangkat suatu barang, maka kekuatan tercipta. Ketika satu tangan terluka,
tangan yang satunya sanggup mengobatinya. Jari manis di tangan kananpun juga tidak pernah
iri ketika saat jari manis tangan kiri mendapatkan cincin pernikahan. Bagaimana dengan
perumpamaan kedua telinga? Sehingga kita tidak boleh menjadi seperti kedua telinga?
Janganlah menjadi seperti dua telinga. Telinga kanan dan kiri, keduanya ada di kepala.
Meskipun ada di satu tempat yang sama, sama-sama di kepala, telinga tidak pernah berjumpa
satu sama lainnya. Telinga sering berebut untuk menangkap suara. Telinga tidak saling
membantu. Ketika telinga kanan menghadap ke arah timur, maka telinga kiri menghadap ke
arah barat. Jika telinga kiri menghadap ke arah selatan, telinga kanan pun menghadap ke arah
utara. Janganlah kita seperti kedua telinga, ketika kita dalam persaudaraan, tidak kompak, suka
berselisih padahal memiliki hubungan yang dekat. Berkaitan hal tersebut Allah swt
mengingatkan kita dengan firman-Nya:
ِ ‫َولَوْ َشا َء هللاُ لَ َج َعلَ ُك ْم أُ َّمةً َو‬
ِ ‫ فَا ْستَبِقُوا ْالخَ ْي َرا‬،‫اح َدةً َولَ ِك ْن لِيَ ْبلُ َو ُك ْم فِي َما آتَا ُك ْم‬
‫ إِلَى هللاِ َمرْ ِج ُع ُك ْم َج ِميعًا‬،‫ت‬
)48 :‫ (المائدة‬. َ‫فَيُنَبِّئُ ُك ْم بِ َما ُك ْنتُ ْم فِي ِه ت َْختَلِفُون‬
Artinya, “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat [saja], tetapi
Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kalian semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu.” (Surat al-Maidah ayat 48). Ma’âsyiral
muslimîn rahimakumullâh Sungguh ajaran Islam telah menanamkan benih-benih persaudaraan
yang dapat menghasilkan manfaat yang dahsyat, baik duniawi maupun ukhrawi. Keimanan
seseorang diukur dengan pembuktian sejauh mana seorang mukmin bisa mencintai saudaranya.
Hal ini dipertegas Rasulullah saw yang berbunyi:
ِ ‫لِنَ ْف‬
)‫ (متفق عليه‬.‫س ِه‬ ُّ‫ال ي ُْؤ ِم ُن أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى يُ ِحبَّ ألَ ِخي ِه َما ي ُِحب‬
Artinya, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Orang yang menyadari fadhilah atau keutamaan bersaudara akan mendapat keberkahan dari
persaudaraan itu sendiri. Sebaliknya orang yang mengabaikan pentingnya merawat tali
persaudaraan akan mendatangkan keburukan-keburukan di dalam hidupnya. Persaudaraan yang
erat akan mendatang harmoni dalam konteks keluarga, persaudaraan yang kuat akan
menciptakan rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) yang solid secara sosial.
Persaudaraan yang kuat akan mendatang persatuan dan kesatuan bangsa. Pun juga ukhuwah
Islamiyyah yang kokoh akan mendatangkan peradaban dan kemajuan umat Islam di dunia.
Rasulullah saw bersabda:
)‫ (رواه الترمذي‬.‫يَ ُد هللاِ َعلَى ْال َج َما َع ِة‬
Artinya, “Penjagaan Allah berada di atas kebersamaan.” (HR at-Tirmidzi). Semoga khutbah
yang ini bermanfaat untuk memperkuat tali persaudaraan di antara kita semua. Amin.
‫ َوتَقَبَّ َل ِمنِّ ْي‬،‫ت َوال ِّذ ْك ِر ْال َح ِكي ِْم‬
ِ ‫ َونَفَ َعنِ ْي َوإِيَّا ُك ْم بِ َما فِ ْي ِه ِمنَ اآليَا‬،‫آن ْال َع ِظي ِْم‬ ِ ْ‫اركَ هللاُ لِ ْي َولَ ُك ْم فِي ْالقُر‬ َ َ‫ب‬
ْ
‫َو ِم ْن ُك ْم تِالَ َوتَهُ إِنَّهُ هُ َو ال َّس ِم ْي ُع ال َعلِ ْي ُم‬
Khutbah Kedua
،ُ‫ َوأَ ْشهَ ُد أَ ْن الآ إِلَهَ إِاَّل هللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ِر ْيكَ لَه‬.‫اَ ْل َح ْم ُد هلِل ِ عَل َى إِحْ َسانِ ِه َوال ُّش ْك ُر لَهُ عَل َى تَوْ فِ ْيقِ ِه َوا ْمتِنَانِ ِه‬
‫ص ِّل َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد ِو َعلَى آلِ ِه‬َ ‫ اَللّهُ َّم‬.‫لى ِرضْ َوانِ ِه‬ َ ِ‫اعي إ‬ ِ ‫أن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهُ ال َّد‬َّ ‫َوأَ ْشهَ ُد‬
َ‫ َوا ْعلَ ُموْ ا أَ َّن هللا‬،‫ فَيآ أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا هللاَ فِ ْي َما أَ َم َر َوا ْنتَهُوْ ا َع َّما نَهَى‬،‫َوأَصْ َحابِ ِه َو َسلِّ ْم تَ ْسلِ ْي ًما ِكث ْيرًا أَ َّما بَ ْع ُد‬
‫صلُّوْ نَ عَل َى النِّبِ ِّي يآ‬ َ ُ‫ إِ َّن هللاَ َو َمآلئِ َكتَهُ ي‬:‫أَ َم َر ُك ْم بِأ َ ْم ٍر بَدَأَ فِ ْي ِه بِنَ ْف ِس ِه َوثَـنَى بِ َمآل ئِ َكتِ ِه بِقُ ْد ِس ِه َوقَا َل تَعاَلَى‬
ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو َعلَى‬
‫آل‬ َ ‫صلِّ َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫ اَللّهُ َّم‬.‫صلُّوْ ا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُموْ ا تَ ْسلِ ْي ًما‬ َ ‫أَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ ا‬
‫ض اللّهُ َّم ع َِن ْال ُخلَفَا ِء الرَّا ِش ِد ْينَ أَبي بَ ْك ٍر‬ َ ْ‫ َوار‬، َ‫ك َو َمآلئِ َك ِة ْال ُمقَ َّربِ ْين‬ َ ِ‫ك َو ُر ُسل‬ َ ِ‫َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى أَ ْنبِيآئ‬
‫َّحابَ ِة َوالتَّابِ ِع ْينَ َوتَابِ ِعي التَّابِ ِع ْينَ لَهُ ْم بِإِحْ َسا ٍن إِلَى يَوْ ِم ال ِّد ْي ِن‪،‬‬ ‫َو ُع َم َر َو ُع ْث َمانَ َو َعلِ ٍّي َوع َْن بَقِيَّ ِة الص َ‬
‫ت‪،‬‬ ‫ت َو ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َو ْال ُم ْسلِ َما ِ‬ ‫ض َعنَّا َم َعهُ ْم بِ َرحْ َمتِكَ يآ أَرْ َح َم الرَّا ِح ِم ْينَ اَللّهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُم ْؤ ِمنِ ْينَ َو ْال ُم ْؤ ِمنَا ِ‬ ‫َوارْ َ‬
‫ك َو ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ ‪َ ،‬وا ْنصُرْ ِعبَادَكَ‬ ‫ت‪ .‬اَللّهُ َّم أَ ِع َّز اإْل ِ ْسالَ َم َو ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ ‪َ ،‬وأَ ِذ ِّل ال ِّشرْ َ‬
‫اَاْل َحْ يآ ِء ِم ْنهُ ْم َو ْاالَ ْم َوا ِ‬
‫اخ ُذلْ َم ْن َخ َذ َل ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ ‪َ ،‬و َد ِّمرْ أَ ْعدَا َء ال ِّد ْي ِن َوا ْع ِل َكلِ َماتِكَ إِلَى‬ ‫ص َر ال ِّد ْينَ ‪َ ،‬و ْ‬ ‫ْال ُم َوحِّ ِديَّةَ‪َ ،‬وا ْنصُرْ َم ْن نَ َ‬
‫يَوْ َم ال ِّدي ِْن‪ .‬اَللّهُ َّم ا ْدفَ ْع َعنَّا ْالبَالَ َء َو ْال َوبَا َء َوال َّزاَل ِز َل َو ْال ِم َحنَ َوسُوْ َء ْالفِ ْتنَ ِة َما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَنَ ع َْن بَلَ ِدنَا‬
‫صةً َو َسائِ ِر ْالب ُْلدَا ِن ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ عَآ َّمةً يَا َربَّ ْال َعالَ ِم ْينَ ‪َ .‬ربَّنَا آتِنَا فِي ال ُّد ْنيَا َح َسنَةً َوفِي اآْل ِخ َر ِة‬ ‫إِ ْن ُدونِي ِْسيَّا خَ آ َّ‬
‫ار‪َ .‬ربَّنَا ظَلَ ْمنَا أَ ْنفُ َسنَا َوإِ ْن لَ ْم تَ ْغفِرْ لَنَا َوتَرْ َح ْمنَا لَنَ ُكوْ ن ََّن ِمنَ ْالخَا ِس ِر ْينَ ِعبَا َد هللاِ‪ ،‬إِ َّن‬ ‫اب النَّ ِ‬‫َح َسنَةً َوقِنَا َع َذ َ‬
‫هللاَ يَأْ ُم ُرنَا بِ ْال َع ْد ِل َواإْل ِ حْ َسا ِن َوإِيْتآ ِء ِذي ْالقُرْ بَى َويَ ْنهَى َع ِن ْالفَحْ شآ ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغ ِي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم‬
‫تَ َذ َّكرُوْ نَ ‪َ ،‬و ْاذ ُكرُوا هللاَ ْال َع ِظ ْي َم يَ ْذ ُكرْ ُك ْم‪َ ،‬وا ْش ُكرُوْ هُ َعلَى نِ َع ِم ِه يَ ِز ْد ُك ْم‪َ ،‬ولَ ِذ ْك ُر هللاِ أَ ْكبَرْ‬

Anda mungkin juga menyukai