Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN & ASUHAN KEPPERAWATAN

KRISIS TIROID

Dosen Pembimbing :

Helmi Rumbo S.kep.,Ns.,M.N.S

Disusun Oleh :

Claresia Wutabisu (PK 115 018 003)

Seprianti Lapato (PK 115 018 020)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA JAYA PALU

2021
A. Pengertian
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai
demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskuler, sistem syaraf dan sistem saluran
cerna.
Krisi tiroid adalah komplikasi serius dari tirotoksikosis dengan angka kematian 20-
60%. Krisis tiroid merupakan suatu penyakit yang mengacu pada kejadian mendadak
yang mengancam jiwa akibat peningkatan dari hormone tiroid sehingga terjadi
kemunduran fungsi organ.
Krisis tiroid adalah bentuk lanjut dari hipertiroidisme yang sering berhubungan
dengan stres fisiologi atau psikologi. Krisis tiroid adalah keadaan krisis terburuk dari
status tirotoksik. Penurunan kondisi yang sangat cepat dan kematian dapat terjadi jika
tidak segera tertangani (Hudak & Gallo, 1996).
Krisis tiroid merupakan eksaserbasi keadaan hipertiroidisme yang mengancam jiwa
yang diakibatkan oleh dekompensasi dari satu atau lebih sistem organ (Bakta & Suastika,
1999).

B. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan krisis tiroid adalah :
1. Operasi dan urut/pijat pada kelenjar tiroid atau gondok dan operasi pada bagian
tubuh lainnya pada penderita hipertiroid yang belum terkontrol hormon tiroidnya
2. Stop obat anti tiroid pada pemakaian obat antitiroid
3. Pemakaian kontras iodium seperti pada pemeriksaan rontgen
4. Infeksi
5. Stroke
6. Trauma. Pada kasus trauma, dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat memicu
terjadinya krisis tiroid, meskipun tidak ada riwayat hipertiroidisme sebelumnya.
7. Penyakit Grave, Toxic multinodular, dan “Solitary toxic adenoma”
8. Tiroiditis
9. Penyakit troboblastik
10. Ambilan hormon tiroid secara berlebihan
11. Pemakaian yodium yang berlebihan
12. Kanker pituitary
13. Obat-obatan seperti Amiodarone

Ada tiga mekanisme fisiologis yang diketahui dapat menyebabkan krisis tiroid :
1. Pelepasan seketika hormon tiroid dalam jumlah besar
2. Hiperaktivitas adrenergik
3. Lipolisis dan pembentukan asam lemak yang berlebihan (Hudak & Gallo, 1996).

Factor pencetus krisis hingga kini belum jelas namun diduga dapat berupa free-
hormon meningkat, naiknya free-hormon mendadak, efek T3 paska transkripsi,
meningkatnya kepekaan sel sasaran dan sebagainya. Dan factor resikonya dapat berupa
surgical crisis (persiapan operasi yang kurang baik, belum eutiroid), medical crisis (stress
apapun, fisik maupun psikologis, infeksi dan sebagainya) (Sudoyo, dkk, 2007).

C. Patofisiologi
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH)
yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating
hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon
tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami
deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine
(T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif
secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar
T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien.
Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi
darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini
melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari
kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH.
Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini.
Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan
berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi
tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini
menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,’5′-cyclic
adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang uptake
iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon
tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ
dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan
pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon
tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid
oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu
tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa
hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine
monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan
ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah
diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar
hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi
meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik
adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan
katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid
meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin.
Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah
tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga
menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin
katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal
menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik
dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi
mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai
tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama
operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi
radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan
toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada
keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat
kemiripan strukturnya dengan katekolamin.

D. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), tanda-tanda pada orang dengan krisis tiroid berupa:
1. Takikardia (lebih dari 130x/menit)
2. Suhu tubuh lebih dari 37,70C
3. Gejala hipertiroidisme yang berlebihan (Diaphoresis, Kelemahan, Eksoftalmus,
Amenore)
4. Penurunan berat badan, diare, nyeri abdomen (system gastrointestinal)
5. Psikosis, somnolen, koma (neurologi)
6. Edema, nyeri dada, dispnea, palpitasi (kardiovaskular).

Menurut Hudak dan Gallo (1996), manifestasi klinis hipertiroidisme adalah


berkeringat banyak, intoleransi terhadap panas, gugup, tremor, palpitasi, hiperkinesis, dan
peningkatan bising usus. Kondisi umum dari tanda gejala ini trutama disertai deman lebih
dari 100 F, takikardi yang tidak sesuai dengan keadaan demam, dan disfungsi Sistem
Saraf Pusat (SSP), merupakan tanda dari tiroid storm. Abnormalitas sistem saraf pusat
termasuk agitasi, kejang, atau koma.

E. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis pada krisis tiroid mempunyai 4 tujuan yaitu menangani faktor
pencetus, mengontrol pelepasan hormon tiroid yang berlebihan, menghambat
pelepasan hormon tiroid, dan melawan efek perifer hormon tiroid (Hudak & Gallo,
1996).
Penatalaksanaan medis krisis tiroid meliputi :
a. Koreksi hipertiroidisme
1) Menghambat sintesis hormon tiroid
Obat yang dipilih adalah propiltiourasil (PTU) atau metimazol. PTU lebih
banyak dipilih karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer.
PTU diberikan lewat selang NGT dengan dosis awal 600-1000 mg
kemudian diikuti 200-250 mg tiap 4 jam. Metimazol diberikan dengan dosis
20 mg tiap 4 jam, bisa diberikan dengan atau tanpa dosis awal 60-100mg.
2) Menghambat sekresi hormon yang telah terbentuk
Obat pilihan adalah larutan kalium iodida pekat (SSKI) dengan dosis 5 tetes
tiap 6 jam atau larutan lugol 30 tetes perhari dengan dosis terbagi 4.
3) Menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer
Obat yang digunakan adalah PTU, ipodate, propanolol, dan kortikosteroid.
4) Menurunkan kadar hormon secara langsung
Dengan plasmafaresis, tukar plasma, dialisis peritoneal, transfusi tukar, dan
charcoal plasma perfusion. Hal ini dilakukan bila dengan pengobatan
konvensional tidak berhasil.
5) Terapi definitive
Yodium radioaktif dan pembedahan (tiroidektomi subtotal atau total).
b. Menormalkan dekompensasi homeostasis
1) Terapi suportif
a) Dehidrasi dan keseimbangan elektrolit segera diobati dengan cairan
intravena
b) Glukosa untuk kalori dan cadangan glikogen
c) Multivitamin, terutama vitamin B
d) Obat aritmia, gagal jantung kongstif
e) Lakukan pemantauan invasif bila diperlukan
f) Obat hipertermia (asetaminofen, aspirin tidak dianjurkan karena dapat
meningkatkan kadar T3 dan T4)
g) Glukokortikoid
h) Sedasi jika perlu
2) Obat antiadrenergik
Yang tergolong obat ini adalah beta bloker, reserpin, dan guatidin. Reserpin
dan guatidin kini praktis tidak dipakai lagi, diganti dengan Beta bloker. Beta
bloker yang paling banyak digunakan adalah propanolol. Penggunaan
propanolol ini tidak ditujukan untuk mengobati hipertiroid, tetapi mengatasi
gejala yang terjadi dengan tujuan memulihkan fungsi jantung dengan cara
menurunkan gejala yang dimediasi katekolamin. Tujuan dari terapi adalah
untuk menurunkan konsumsi oksigen miokardium, penurunan frekuensi
jantung, dan meningkatkan curah jantung.
c. Pengobatan faktor pencetus
Obati secara agresif faktor pencetus yang diketahui, terutama mencari fokus
infeksi, misalnya dilakukan kultur darah, urine, dan sputum, juga foto dada
(Bakta & Suastika, 1999).

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Smeltzer dan Bare(2002) terdapat beberapa jenis pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis keadaan dan lokalisasi masalah pada
kelenjar tiroid.
1. Test T4 serum
Test yang paling sering dilakukan adalah penentuan T4 serum dengan tekhnik
radioimunoassay atau pengikatan kompetitif nilai normal berada diantara 4,5 dan
11,5 µg/dl ( 58,5 hingga 150 nmol/L) dan terjadi peningkatan pada krisis tiroid.
2. Test T3 serum
Adalah test yang mengukur kandungan T3 bebas dan terikat, atau T3 total dalam
serum dengan batas normal adalah 70 hingga 220 µg/dl ( 1,15 hingga 3,10 nmol/L)
dan meningkat pada krisis tiroid.
3. Test T3 Ambilan Resin
Merupakan pemeriksan untuk mengukur secara tidak langsung kadar TBG tidak
jenuh. Tujuannnya adalah untuk menentukan jumlah hormon tiroid yang terikat
dengan TBG dan jumlah tempat pengikatan yang ada. Nilai Ambilan Resin T3
normal adal 25% hingga 35% ( fraksi ambilan relatif : 0,25 hingga 0,35 ) yang
menunjukan bahwa kurang lebih sepertiga dari tempat yang ada pada TBG sudah
ditempati oleh hormone tiroid. Pada krisis tiroid biasanya terjadi peningkatan.
4. Test TSH ( Thyroid – Stimulating Hormone )
Pengukuran konsetrasi TSH serum sangat penting artinya dalam menegakkan
diagnosis serta penatalaksanaan kelainan tiroid dan untuk membedakan kelainan
yang disebabkan oleh penyakit pada kelenjar tiroid sendiri dengan kelainan yang
disebabkan oleh penyakit pada hipofisis atau hipothalamus.
5. Test Thyrotropin_Releasing Hormone
Merupakan cara langsung untuk memeriksa cadangan TSH dihipofisis dan akan
sangat berguna apabila hasil test T3 serta T4 tidak dapat dianalisa. Test ini sudah
jarang dikerjakan lagi pada saat ini, karena spesifisitas dan sensitifitasnya meningkat.
6. Tiroglobulin
Tiroglobulin merupakan prekursor untuk T3 dan T4 dapat diukur kadarnya dalam
serum dngan hasil yang bisa diandalkan melalui pemeriksaan radioimunnoassay.
Pemeriksaan ini diperlukan untuk tindak lanjut dan penanganan penderita karsinoma
tiroid, serta penyakit tiroid metastatik.

Melihat kondisi krisis tiroid merupakan suatu keadaan gawat medis maka diagnosis
krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Jika
gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh ditunda karena
menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas tirotoksikosis. Kecurigaan
akan terjadinya krisis tiroid harus diketahui dengan jelas oleh perawat. Kecurigaan
akan terjadinya krisis tiroid terdapat dalam triad 1). Menghebatnya tanda
tirotoksikosis 2). Kesadaran menurun 3). Hipertermi. Apabila terdapat tiroid maka
dapat meneruskan dengan menggunakan skor indeks klinis kritis tiroid dari Burch –
Wartofsky. Skor menekankan 3 gejala pokok hipertermia, takikardi dan disfungsi
susunan saraf.

G. Komplikasi
Meski tanpa adanya penyakit arteri koroner, krisis tiroid yang tidak diobati dapat
menyebabkan angina pektoris dan infark miokardium, gagal jantung kongestif, kolaps
kardiovaskuler, koma, dan kematian (Hudak&Gallo, 1996).

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian focus
a. Identitas Klien
Hal yang perlu dikaji pada identitas klien yaitu nama, umur, suku/bangsa,
agama, pendidikan, alamat, lingkungan tempat tinggal.
b. Keluhan Utama
c. Riwayat Penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
a) Alasan masuk rumah sakit
b) Waktu kejadian hingga masuk rumah sakit
c) Mekanisme atau biomekanik
d) Lingkungan keluarga, kerja, masyarakat sekitar
2) Riwayat penyakit dahulu
a) Perawatan yang pernah dialami
b) Penyakit lainnya antara lain DM, Hipertensi, PJK, hipertiroid
3) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit yang diderita oleh anggota keluarga.
2. Pengkajian primer
1) Airway / Jalan Napas
Pemeriksaan / pengkajian menggunakan metode look, listen, feel.
a) Look
Lihat status mental, pergerakan/pengembangan dada, terdapat sumbatan
jalan napas/tidak, sianosis, ada tidaknya retraksi pada dinding dada,
ada/tidaknya penggunaan oto-totot tambahan.
b) Listen
Mendengar aliran udara pernapasan, suara pernapasan, ada bunyi napas
tambahan seperti snoring, gurgling, atau stidor.
c) Feel
Merasakan ada aliran udara pernapasan, apakah ada krepitasi, adanya
pergeseran / deviasi trakhea, ada hematoma pada leher, teraba nadi
katotis atau tidak.
2) Breathing / Pernapasan
Pemeriksaan / pengkajian menggunakan metode look, listen, feel.
a) Look
Nadi karotis / tidak, frekuensi pernapasan ada / tidak dan tidak terlihat
adanya pergerakan dinding dada, kesadaran menurun, sianosis
identifikasi pola pernapasan abnormal, periksa penggunaan otot bantu.
b) Listen
Mendengar hembusan napas
c) Feel
Tidak ada pernapasan melalui hidung / mulut
3) Circulation / Sirkulasi
Periksa denyut nadi karotis dan brakhialis pada klien, kualitas dan
karakternya.
a) Periksa perubahan warna kulit seperti sianosis.
b) Disability
Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
Alert (A)
Klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya atau tidak sadar
terhadap kejadian yang menimpa.
Respon Verbal (V)
Klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat.
Respon Nyeri (P)
Klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
Tidak Berespon (U)
Tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri.
c) Pemeriksaan penunjang
Menurut Smeltzer dan Bare terdapat beberapa jenis pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis keadaan
dan lokalisasi masalah pada kelenjar tiroid.
a. Test T4 serum
Test yang paling sering dilakukan adalah penentuan T4 serum dengan
tekhnik radioimmunoassay atau pengikatan kompetitif nilai normal
berada diantara 4,5 dan 11,5 µg/dl ( 58,5 hingga 150 nmol/L) dan
terjadi peningkatan pada krisis tiroid.
b. Test T3 serum
Adalah test yang mengukur kandungan T3 bebas dan terikat, atau T3
total dalam serum dengan batas normal adalah 70 hingga 220 µg/dl
( 1,15 hingga 3,10 nmol/L) dan meningkat pada krisis tiroid.
c. Test T3 Ambilan Resin
Merupakan pemeriksan untuk mengukur secara tidak langsung kadar
TBG tidak jenuh. Tujuannnya adalah untuk menentukan jumlah
hormon tiroid yang terikat dengan TBG dan jumlah tempat pengikatan
yang ada. Nilai Ambilan Resin T3 normal adal 25% hingga 35%
(fraksi ambilan relatif : 0,25 hingga 0,35 ) yang menunjukan bahwa
kurang lebih sepertiga dari tempat yang ada pada TBG sudah
ditempati oleh hormone tiroid. Pada krisis tiroid biasanya terjadi
peningkatan.
d. Test TSH ( Thyroid – Stimulating Hormone )
Pengukuran konsetrasi TSH serum sangat penting artinya dalam
menegakkan diagnosis serta penatalaksanaan kelainan tiroid dan untuk
membedakan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada kelenjar
tiroid sendiri dengan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada
hipofisis atau hipothalamus.
e. Test Thyrotropin_Releasing Hormone
Merupakan cara langsung untuk memeriksa cadangan TSH dihipofisis
dan akan sangat berguna apabila hasil test T3 serta T4 tidak dapat
dianalisa. Test ini sudah jarang dikerjakan lagi pada saat ini, karena
spesifisitas dan sensitifitasnya meningkat.
f. Tiroglobulin
Tiroglobulin merupakan prekursor untuk T3 dan T4 dapat diukur
kadarnya dalam serum dngan hasil yang bisa diandalkan melalui
pemeriksaan radioimunnoassay. Pemeriksaan ini diperlukan untuk
tindak lanjut dan penanganan penderita karsinoma tiroid, serta
penyakit tiroid metastatik.
Melihat kondisi krisis tiroid merupakan suatu keadaan gawat medis maka diagnosis krisis
tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Jika gambaran
klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh ditunda karena menunggu
konfirmasi hasiln pemeriksaan laboratorium atas tirotoksikosis. Kecurigaan akan
terjadinya krisis tiroid harus diketahui dengan jelas oleh perawat. Kecurigaan akan
terjadinya krisis tiroid terdapat dalam triad.
1. Menghebatnya tanda tirotoksikosis
2. Kesadaran menurun
3. Hipertermi.
Apabila terdapat tiroid maka dapat meneruskan dengan menggunakan skor indeks
klinis kritis tiroid dari Burch – Wartofsky. Skor menekankan 3 gejala pokok hipertermia,
takikardi dan disfungsi susunan saraf.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan status hipermetabolik
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan dengan kebutuhan
tubuh
3. penurunan curah jantung berhubungan dengan gagal jantung status hipermetabolik

Diagnosa Analisa Data Etiologi Masalah


Keperawatan
Hipertermia b.d  Suhu tubuh Respon trauma Hipertermia
meningkat
hipermetabolik
diatas 37,5°C
 Nadi 130
x/menit
 Nampak
Cemas
Intoleransi aktivitas b.d  Nampak lelah Kelemahan Intoleransi
 Tekanan darah
ketidakseimbangan berubah aktivitas
energi dengan
kebutuhan tubuh
Penurunan curah  Perubahan Perubahan irama Penurunan
irama jantung
jantung b.d jantung curah jantung
 Perilaku
hipermetabolik emosiaonal
 Cemas
 gelisah

C. Intervensi dan Rasional Keperawatan

No Diagnosis Tujuan Intervensi Rasional


Keperawatan
1 Hipertermia Setelah diberi asuhan 1. Pantau Tanda Vital (Suhu) 1. Menilai peningkatan
berhubungan keperawatan, tidak terjadi Tiap 1 jam dan penurunan suhu
dengan status hipertermia dengan kriteria : tubuh
hipermetabolik a. Suhu dalam batas normal 2. Anjurkan banyak minum bila 2. Hidrasi yang cukup

36-37,5°C tidak ada kontraindikasi dapat menurunkan suhu


tubuh
b. Tidak ada konvulsi
3. Beri kompres hangat 3. kompres hangat
c. Kulit tidak memerah
mendilatasi pembuluh
Tidak ada takikardi
darah sehingga
mengurangi panas
4. Gunakan pakaian tipis dan 4. Pakaian tipis dapat
menyerap keringat menyerap keringat
menurunkan
metabolisme sehingga
menurunkan panas.
5. pertahankan cairan intravena 5. Cairan intravena
sesuai program memenuhi kebutuhan
cairan sehingga
menurunkan panas.
6. berikan antipiretik sesuai 6. Antipiretik
program menghambat produksi
prostaglandin di
hipotalamus anterior
sehingga menurunkan
suhu.
2 Intoleransi aktivitas Setelah diberi asuhan 1. Pantau tanda vital dan catat 1. Nadi meningkat dan
berhubungan keperawatan, dengan nadi baik pada istirahat dan bahkan pada istirahat
dengan kriteria hasil : melakukan aktivitas (takikardi)
ketidakseimbangan a. Menunjukan perbaikan 2. Berikan sentuhan atau 2. dapat menurunkan
energy dengan kemampuan untuk message, bedak yang sejuk energy dalam saraf
kebutuhan tubuh berpartisipasi dalam yang selanjutnya
melakukan aktivitas meningkatkan relaksasi
3. Catat perkembangan 3. Kebutuhan dan
takipneu, dispneu dan konsumsi oksigen akan
sianosis ditingkatkan pada
keadaan
hipermetabolik.
4. Sarankan klien untuk 4. Membantu melawan
mengurangi aktivitas dan pengaruh dari
meningkatkan istirahat peningkatan
metabolism
5. Berikan obat sesuai indikasi 5. Untik mengurangi
kelelahan dan
meningkatkan energy.
3 Penurunan curah Setelah diberi asuhan 1. Pantau tekanan darah tiap 1. Hipotensi umum atau
jantung keperawatan, tidak terjadi hari ortostatik dapat terjadi
berhubungan penurunan curah jantung, sebagai akibat dari
dengan gagal dengan kriteria : vasodilatasi perifer
jantung, status a. Nadi perifer dapat teraba yang berlebihan dan
hipermetabolik normal (60-100 penurunan volume
x/menit,kuat) sirkulasi.
b. TD: 100-120/80-90 2. Periksa kemungkinan adanya 2. Merupakan tanda
x/menit, RR: 16- nyeri dada atau angina yang adanya peningkatan

20x/menit, S: 36-38,5³C dikeluhkan pasien kebutuhan oksigen oleh


otot jantung atau
c. Cspilary refill <2 detik
iskemia.
d. status mental baik
3. Auskultasi suara nafas, 3. Sı dan murmur yang
perhatikan adanya suara yang menonjol berhubungan
tidak normal (seperti krekers) dengan curah jantung
meningkat pada
keadaan
hipermetabolik.
4. dehidrasi yang cepat
4. Observasi tanda dan gejala dapat terjadi yang akan
haus yang hebat, mukosa menurunkan volume
membran kering, nadi lemah, sirkulasi dan
penurunan produksi urine menurunkan curh
dan hipotensi, pengisian jantung.
kapiler lambat Diberikan unruk
kolaborasi : berikan obat mengendalikan
sesuai dengan indikasi : pengaruh tirotoksikosis
penyekat beta seperti : terhadap takikardi,
propranolol, atenolol, tremor, dan gugup serta
nadolol. obat pilihan pertama
pada krisis tiroid akut.
menurunkan frekuensi/
kerja jantung oleh
daerah reseptor
penyekat beta
adrenergic dan
konversi dari T3 dan
T4.

Anda mungkin juga menyukai