Kemampuan Spasial
Kemampuan Spasial
Pendahuluan
Geometri merupakan cabang matematika yang membahas tentang titik, garis, bidang
dan ruang. Konsep dasar geometri yang diajarkan di sekolah lebih menekankan pada
pengukuran. Oleh karena itu, NCTM merekomendasikan hendaknya pembelajaran geometri
dapat memberikan kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan kemampuan spasialnya
untuk memecahkan masalah. Pembelajaran geometri bertujuan agar siswa mampu
menganalisis bentuk dan sifat geometri dua dan tiga dimensi serta membuat hubungan
diantaranya, dan menggunakan visualisasi, penalaran spasial dan pemodelan geometri dalam
menyelesaikan masalah matematika (NCTM, 2000).
Kemampuan spasial didefinisikan sebagai kemampuan dalam membayangkan dan
memanipulasi objek yang ada dalam pikiran. Kemampuan spasial merupakan ketrampilan
kognitif yang melibatkan gabungan tiga unsur yaitu keruangan, representasi dan penalaran
(Council & Committee, 2005). Kemampuan spasial terdiri atas lima unsur yaitu persepsi
spasial yang melibatkan kemampuan untuk memahami letak objek secara vertikal atau
horizontal, visualisasi spasial melibatkan kemampuan untuk memvisualkan perubahan
penyusun suatu bangun, rotasi mental melibatkan kemampuan untuk menentukan perputaran
objek dua dan tiga dimensi secara tepat, relasi spasial yaitu kemampuan dalam memahami
konfigurasi suatu objek dan hubungannya dengan yang lain dan yang terakhir adalah orientasi
spasial, yang melibatkan kemampuan untuk mengamati suatu objek yang dilihat dari perpektif
yang berbeda.
Kemampuan spasial merupakan inti pemecahan masalah matematika dalam geometri.
Kemampuan ini berperan penting dalam mempelajari geometri karena objek geometri
membutuhkan interpretasi informasi visual (Giaquinto, 2007; Kösa, 2016; Yenilmez &
Kakmaci, 2015). Di samping itu, kemampuan visualisasi spasial juga mempengaruhi
kemampuan siswa dalam memahami makna simbol matematika dan menginterpretasikan
gambar objek tiga dimensi (Branoff & Dobelis, 2013). Selain bidang geometri, kemampuan
spasial juga dibutuhkan dalam bidang sains, teknologi, dan teknik (Hegarty & Waller, 2004).
Demikian pentingnya kemampuan spasial, maka setiap siswa perlu memiliki dan
mengembangkan kemampuan tersebut. Namun kenyataan menunjukkan kemampuan spasial
siswa masih rendah. Hal ini terlihat dari sebagian besar siswa kesulitan mengkontruksi bangun
geometri dan menyelesaikan masalah dikarenakan kurangnya kemampuan siswa dalam
memvisualkan bentuk bangun ruang (Siswanto, 2014). Siswa juga kesulitan dalam menentukan
banyak limas yang terbentuk dari perpotongan diagonal ruang pada kubus (lihat gambar 1.a)
Salah satu faktor penyebabnya yaitu saat mengajar, guru lebih banyak memberikan informasi
yang bersifat hafalan dan hitungan, siswa kurang diajak dalam menemukan suatu pola dari
bangun yang ditransformasikan (Syahputra, 2013). Berdasarkan studi pendahuluan di SMP
YPPU Sigli, siswa juga kesulitan dalam memvisualkan bangun geometri yang sisinya diberi
pola menjadi jaring-jaring yang tepat (lihat gambar 1.b).
(a) (b)
Gambar 1. Bangun ruang kubus
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada kelas VIII-1 SMP YPPU Sigli dengan jumlah siswa
30 orang. Subjek dalam penelitian ini terdiri atas empat siswa, yaitu masing-masing seorang
siswa dari kategori kelompok tinggi dan rendah dan dua siswa dari kategori kelompok sedang.
Pemilihan subjek didasarkan pada ketercapaian indikator spasial dan menggunakan standar
deviasi atas tiga rangking, dengan kriteria sebagai berikut.
Tabel 1. Pengelompokan Kemampuan Siswa
No. Batas Nilai Nilai Keterangan
1 𝑋 ≥ (𝑥̅ + 𝑆𝐷) 18 ≤ skor ≤ 25 Kelompok tinggi
2 (𝑥̅ − 𝑆𝐷) < 𝑋 < (𝑥̅ + 𝑆𝐷) 12 ≤ skor < 18 Kelompok sedang
3 𝑋 ≤ (𝑥̅ − 𝑆𝐷) 0 ≤ skor < 12 Kelompk rendah
Keterangan:
𝑋 : skor siswa
𝑥̅ : rata-rata skor siswa
𝑆𝐷 : standar deviasi
Instrumen yang digunakan berupa tes dan wawancara. Tes terdiri atas 25 soal pilihan
ganda yang terbagi dalam lima indikator, dengan masing-masing indikator terdiri atas lima
soal. Soal tes diadopsi dari tes kemampuan keruangan Hubert Maier yang dikembangkan oleh
Prabowo (2011) dengan kriteria tiap indikator terpenuhi jika siswa mampu menjawab benar
minimal 3 soal dan kemampuan spasial siswa dikatakan baik jika memenuhi minimal tiga dari
lima indikator spasial. Adapun wawancara yang dilakukan yaitu wawancara berbasis soal yang
merujuk pada lima unsur kemampuan keruangan Hubert Maier.
Pada tahap pertama dilakukan analisis data kuantitatif secara statistik deskriptif dalam
bentuk persentase. Kemudian pada tahap kedua dilakukan analisis data kualitatif yang melalui
tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
(a) (b)
Gambar 2. Jawaban subjek berkemampuan sedang dan rendah
Visualisasi
Siswa dengan kategori kelompok tinggi mampu menggambarkan bentuk jaring-jaring
yang tepat sesuai dengan kubus yang sisinya diberi pola (lihat gambar 3.a). Hal ini dikarenakan
siswa mampu mengamati dan memahami dengan baik bagaimana membuat jaring-jaring kubus
saat belajar melalui discovery menggunakan GeoGebra. Sedangkan siswa kelompok sedang
dan rendah tidak mampu menggambarkan jaring-jaring yang sesuai dengan kubus yang
diberikan karena mereka sulit membayangkan letak pola pada sisi kubus tersebut (lihat gambar
3.b). Untuk menggambarkan jaring-jaring kubus, siswa harus memahami posisi pola pada sisi
kubus tersebut dan diperlukan kemampuan representasi gambar yang baik, yang mana hal ini
belum dimiliki oleh siswa kelompok sedang dan rendah. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Febriana (2015) dan Rahmatulwahidah & Zubainur (2017) yang menunjukkan bahwa hanya
sebagian kecil siswa yang mampu memvisualisasikan objek bangun tiga dimensi yang ada di
pikiran.
(a) (b)
Gambar 3. Jawaban subjek menggambar jaring-jaring kubus
Rotasi mental
Siswa dengan kategori kelompok tinggi dan sedang mampu memahami perubahan
posisi dari unsur-unsur objek setelah dirotasi. Saat melakukan rotasi melalui GeoGebra, siswa
menemukan sendiri bahwa dalam menentukan hasil rotasi suatu bangun, hanya perlu
diperhatikan perubahan pada salah satu unsur penyusun bangun tersebut. Sedangkan siswa
pada kategori kelompok rendah tidak dapat menentukan posisi bangun yang sesuai dengan
hasil rotasi dikarenakan dalam menentukan hasil rotasi suatu bangun, siswa tersebut
memperhatikan seluruh penyusun bentuk bangun yang dirotasi sebagai satu kesatuan, tidak
dipilah-pilah. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Farisdianto & Budiarto (2014) dan
Permatasari et al. (2018) yang menyatakan bahwa siswa yang memiliki kemampuan spasial
rendah tidak dapat menentukan posisi suatu bangun ruang yang diputar.
Relasi spasial
Siswa dengan kategori kelompok tinggi dan sedang mampu memahami susunan suatu
bangun dan hubungannya dengan bangun yang lain, sehingga dapat menentukan dua bangun
yang identik. Ini dikarenakan dalam menentukan relasi dua kubus, mereka memiliki
pemahaman yang baik mengenai konsep relasi dua bangun dan memperhatikan posisi pola
yang ada pada setiap sisi kubus yang tampak ketika kubus diputar atau dibalik ke segala arah.
Namun, ada juga sebagian siswa kategori sedang yang tidak mampu menentukan relasi dua
bangun, begitu juga dengan siswa dalam kelompok sedang. Hal ini dikarenakan kekeliruan
dalam memahami konsep dasar relasi dua bangun. Siswa tersebut berasumsi bahwa dua kubus
yang identik itu jika pola yang ada pada setiap sisi kubus yang tampak tersebut sama dengan
kubus lainnya dan kubus hanya bisa diputar atau dibalik sekali untuk melihat kesamaan dua
kubus tersebut. Siswa berkemampuan rendah tidak memahami bagian suatu objek geometri
dan hubungannya dengan yang lain (Permatasari et al., 2018)
Orientasi spasial
Siswa dengan kategori kelompok tinggi dan rendah mampu menentukan tampilan objek
yang dilihat dari berbagai sudut pandang (lihat gambar 4.a). Ini dikarenakan saat belajar
melalui discovery learning berbantuan geogebra, mereka dapat melihat bagaimana tampilan
bangun geometri dari arah depan, samping dan atas. Dari kegiatan tersebut, siswa mulai bahwa
untuk melihat tampilan objek dari perspektif yang berbeda, maka cukup dibayangkan bentuk
bagian depan dari sudut pandang yang dilihat. Namun siswa kelompok rendah kesulitan dalam
menggambarkan tampilan objek tersebut pada bidang datar. Hal ini dikarenakan kemampuan
representasi siswa berkemampuan rendah tergolong kurang. Adapun siswa berkemampuan
sedang kesulitan dalam membayangkan bagaimana tampilan suatu objek selain dari arah depan
sehingga tidak mampu menggambarkan tampilan objek yang dilihat dari berbagai arah (lihat
gambar 4.b).
(a) (b)
Gambar 3. Tampilan objek dari arah depan, samping dan atas
Kesimpulan
Pembelajaran discovery leraning berbantuan geogebra memberikan dampak positif
terhadap kemampuan spasial siswa, yaitu sebesar 66,67% siswa memiliki kemampuan spasial
yang baik. Di sisi lain, model pembelajaran ini juga dapat menumbuhkan rasa ingin tahu siswa.
Profil siswa berkemampuan tinggi memiliki kemampuan spasial yang baik. Hal ini terlihat dari
siswa mampu membayangkan, mengubah, dan merepresentasikan objek geometri yang ada
dipikiran. Adapun siswa berkemampuan sedang memiliki kemampuan spasial yang relatif
sama dengan siswa berkemampuan tinggi, hanya saja siswa tersebut dapat menentukan hasil
transformasi suatu bangun hanya jika terdapat pilihan gambar dari hasil transformasi bangun
tersebut. Di sisi lain, siswa kelompok sedang juga kesulitan dalam merepresentasikan objek
geometri. Sedangkan siswa berkemampuan rendah memiliki kemampuan spasial yang kurang
dikarenakan belum mencapai kriteria spasial yang baik. Hal ini terlihat dari belum mampunya
siswa tersebut melakukan perubahan pada bangun geometri karena pemahaman konsep dasar
keruangan yang masih lemah.
Daftar Pustaka
Akhirni, A., & Mahmudi, A. (2015). Pengaruh pemanfaatan cabri 3D dan geogebra pada
pembelajaran geometri ditinjau dari hasil belajar dan motivasi. Jurnal Pendidikan
Matematika Dan Sains, 3(2), 91–100.
Arıcı, S., & Aslan-Tutak, F. (2015). The effect of origami-based instruction on spatial
visualization, geometry achievement, and geometric reasoning. International Journal of
Science and Mathematics Education, 13(1), 179–200.
Branoff, T. J., & Dobelis, M. (2013). The relationship between spatial visualization ability
and students’ ability to model 3D objects from engineering assembly drawings. The
Engineering Design Graphics Journal, 76(3).
Council, N. R., & Committee, G. S. (2005). Learning to Think Spatially. National Academies
Press.
Fajri, H. N., Johar, R., & Ikhsan, M. (2016). Peningkatan kemampuan spasial dan self-
efficacy siswa melalui model discovery learning berbasis multimedia. Beta Jurnal
Tadris Matematika, 9(2), 180–196.
Farisdianto, D., & Budiarto, M. (2014). Profil kemampuan spasial siswa SMP dalam
menyelesaikan masalah geometri ditinjau dari perbedaan kemampuan matematika.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, 3(2), 77–84.
Febriana, E. (2015). Profil Kemampuan Spasial Siswa Menengah Pertama (SMP) dalam
Menyelesaikan Masalah Geometri Dimensi Tiga Ditinjau dari Kemampuan Matematika.
Jurnal Elemen, 1(1), 13.
Hakim, H. A., Koswara, K., & Setiawan, W. (2019). Analisis motivasi belajar siswa SMP
kelas VIII melalui media pembelajaran geogebra. JPMI, 2(5), 237–244.
Hegarty, M., & Waller, D. (2004). A dissociation between mental rotation and perspective-
taking spatial abilities. Intelligence, 32(2), 175–191.
National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School
Mathematics. In School Science and Mathematics, 47(8).
Permatasari, I., Pramudya, I., & Kusmayadi, T. A. (2018). Spatial ability of slow learners
based on Hubert Maier theory. Journal of Physics: Conference Series, 983(1).
Prabowo, A., & Artikel, I. T. (2011). Rancang bangun instrumen tes kemampuan keruangan
pengembangan tes kemampuan keruangan Hubert Maier dan identifikasi penskoran
berdasar teori van hielle. Kreano: Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif, 2(2), 72–87.
Rahmatulwahidah, N., & Zubainur, C. M. (2017). The analysis of students ’ spatial ability at
senior high school in banda aceh. 7, 745–752.
Saha, R. A., Ayub, A. F. M., & Tarmizi, R. A. (2010). The effects of GeoGebra on
mathematics achievement: enlightening coordinate geometry learning. Procedia-Social
and Behavioral Sciences, 8, 686–693.
Siswanto, Rizki Dwi, & Kusumah, Y. S. (2017). Peningkatan kemampuan geometri spasial
siswa SMP melalui pembelajaran inkuiri terbimbing berbantuan geogebra. Jurnal
Penelitian Dan Pembelajaran Matematika, 10(1).
Virgiawan, D. B. (2018). Pengaruh Model Discovery Learning terhadap Tingkat Efikasi Diri
dan Kemampuan Berpikir Spasial. Doctoral Dissertation Universitas Negeri Malang.
Yenilmez, K., & Kakmaci, O. (2015). Investigation of the Relationship between the Spatial
Visualization Success and Visual/Spatial Intelligence Capabilities of Sixth Grade
Students. International Journal of Instruction, 8(1), 189–204.