Anda di halaman 1dari 8

Kemampuan Spasial Siswa melalui Model Discovery Learning berbantuan Geogebra

Nurlia Elfa (a*), M.Ikhsan (b), dan Marwan(b)


a)
Jurusan Pendidikan matematika, FKIP, Universitas Syiah Kuala, Banda aceh 23111,
Indonesia
b)
Jurusan Pendidikan matematika, FKIP, Universitas Syiah Kuala, Banda aceh 23111,
Indonesia
*nurlia.elfa@gmail.com

Abstrak. Kemampuan spasial merupakan kunci dalam mempelajari geometri yang


membutuhkan interpretasi visual. Tidak hanya goemetri, kemampuan spasial juga
mempengaruhi pemahaman konsep aljabar. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk
menumbuhkembangkan kemampuan spasial siswa, yaitu melalui model pembelajaran
discovery learning berbantuan geogebra. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan spasial siswa setelah diajarkan melalui model discovery learning berbantuan
geogebra, dan mendeskripsikan profil spasial siswa. Penelitian ini merupakan penelitian mix
method dengan jenis sequential eksplanatory design. Data dikumpulkan melalui tes
kemampuan spasial yang diberikan kepada 30 siswa, dan melakukan wawancara pada 4 siswa
yang masing-masing berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: 1) terdapat 66,67% siswa yang memiliki kemampuan spasial yang baik setelah
diajarkan melalui model pembelajaran discovery learning berbantuan geogebra, 2) siswa
berkemampuan tinggi dan sedang memiliki kemampuan spasial yang relatif sama, namun siswa
berkemampuan sedang kesulitan menstransformasikan dan merepresentasi bangun geometri.
Sedangkan kemampuan spasial siswa berkemampuan rendah tergolong kurang dikarenakan
lemahnya pemahaman konsep dasar keruangan.

Kata Kunci: Kemampuan Spasial, Model Discovery Learning, Geogebra.

Pendahuluan
Geometri merupakan cabang matematika yang membahas tentang titik, garis, bidang
dan ruang. Konsep dasar geometri yang diajarkan di sekolah lebih menekankan pada
pengukuran. Oleh karena itu, NCTM merekomendasikan hendaknya pembelajaran geometri
dapat memberikan kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan kemampuan spasialnya
untuk memecahkan masalah. Pembelajaran geometri bertujuan agar siswa mampu
menganalisis bentuk dan sifat geometri dua dan tiga dimensi serta membuat hubungan
diantaranya, dan menggunakan visualisasi, penalaran spasial dan pemodelan geometri dalam
menyelesaikan masalah matematika (NCTM, 2000).
Kemampuan spasial didefinisikan sebagai kemampuan dalam membayangkan dan
memanipulasi objek yang ada dalam pikiran. Kemampuan spasial merupakan ketrampilan
kognitif yang melibatkan gabungan tiga unsur yaitu keruangan, representasi dan penalaran
(Council & Committee, 2005). Kemampuan spasial terdiri atas lima unsur yaitu persepsi
spasial yang melibatkan kemampuan untuk memahami letak objek secara vertikal atau
horizontal, visualisasi spasial melibatkan kemampuan untuk memvisualkan perubahan
penyusun suatu bangun, rotasi mental melibatkan kemampuan untuk menentukan perputaran
objek dua dan tiga dimensi secara tepat, relasi spasial yaitu kemampuan dalam memahami
konfigurasi suatu objek dan hubungannya dengan yang lain dan yang terakhir adalah orientasi
spasial, yang melibatkan kemampuan untuk mengamati suatu objek yang dilihat dari perpektif
yang berbeda.
Kemampuan spasial merupakan inti pemecahan masalah matematika dalam geometri.
Kemampuan ini berperan penting dalam mempelajari geometri karena objek geometri
membutuhkan interpretasi informasi visual (Giaquinto, 2007; Kösa, 2016; Yenilmez &
Kakmaci, 2015). Di samping itu, kemampuan visualisasi spasial juga mempengaruhi
kemampuan siswa dalam memahami makna simbol matematika dan menginterpretasikan
gambar objek tiga dimensi (Branoff & Dobelis, 2013). Selain bidang geometri, kemampuan
spasial juga dibutuhkan dalam bidang sains, teknologi, dan teknik (Hegarty & Waller, 2004).
Demikian pentingnya kemampuan spasial, maka setiap siswa perlu memiliki dan
mengembangkan kemampuan tersebut. Namun kenyataan menunjukkan kemampuan spasial
siswa masih rendah. Hal ini terlihat dari sebagian besar siswa kesulitan mengkontruksi bangun
geometri dan menyelesaikan masalah dikarenakan kurangnya kemampuan siswa dalam
memvisualkan bentuk bangun ruang (Siswanto, 2014). Siswa juga kesulitan dalam menentukan
banyak limas yang terbentuk dari perpotongan diagonal ruang pada kubus (lihat gambar 1.a)
Salah satu faktor penyebabnya yaitu saat mengajar, guru lebih banyak memberikan informasi
yang bersifat hafalan dan hitungan, siswa kurang diajak dalam menemukan suatu pola dari
bangun yang ditransformasikan (Syahputra, 2013). Berdasarkan studi pendahuluan di SMP
YPPU Sigli, siswa juga kesulitan dalam memvisualkan bangun geometri yang sisinya diberi
pola menjadi jaring-jaring yang tepat (lihat gambar 1.b).

(a) (b)
Gambar 1. Bangun ruang kubus

Berdasarkan masalah tersebut, maka diperlukan upaya guru untuk memberikan


kesempatan kepada siswa dalam menumbuhkembangkan kemampuan spasial. Salah satu
alternatif yang dapat membantu siswa membangun sendiri pengetahuannya sehingga
pemahaman akan suatu konsep akan melekat secara permanen dalam ingatan siswa adalah
melalui pembelajaran discovery learning. Model pembelajaran discovery dapat digunakan
dalam pembelajaran geometri karena untuk bisa memahami konsep geometri sebaiknya siswa
menemukan sendiri sifat-sifat, prinsip, pola dan berbagai unsur dalam geometri (Siswanto &
Kusumah, 2017). Dikarenakan objek kajian geometri bersifat abstrak, maka diperlukan
bantuan teknologi yang dapat memvisualisasikan konsep geometri, yaitu menggunakan
software geogebra. Melalui geogebra siswa dapat mengkonstruksi sendiri bentuk geometri,
mengeksplorasi, dan membuat model konsep geometri serta membangun hubungan antara
konsep-konsep tersebut (Saha et al., 2010). Dengan demikian, pembelajaran Discovery
berbantuan GeoGebra dapat melatih siswa dalam melihat dan mengkonstruk sendiri hubungan
antara suatu objek geometri setelah objek tersebut ditransformasikan. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran inovatif berbantuan multimedia dapat
meningkatkan kemampuan spasial (Arıcı & Aslan-Tutak, 2015; Fajri et al., 2016; Kösa, 2016).
Berdasarkan uraian masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui
kemampuan spasial siswa setelah diajarkan melalui model discovery learning berbantuan
geogebra, dan mendeskripsikan profil spasial siswa.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada kelas VIII-1 SMP YPPU Sigli dengan jumlah siswa
30 orang. Subjek dalam penelitian ini terdiri atas empat siswa, yaitu masing-masing seorang
siswa dari kategori kelompok tinggi dan rendah dan dua siswa dari kategori kelompok sedang.
Pemilihan subjek didasarkan pada ketercapaian indikator spasial dan menggunakan standar
deviasi atas tiga rangking, dengan kriteria sebagai berikut.
Tabel 1. Pengelompokan Kemampuan Siswa
No. Batas Nilai Nilai Keterangan
1 𝑋 ≥ (𝑥̅ + 𝑆𝐷) 18 ≤ skor ≤ 25 Kelompok tinggi
2 (𝑥̅ − 𝑆𝐷) < 𝑋 < (𝑥̅ + 𝑆𝐷) 12 ≤ skor < 18 Kelompok sedang
3 𝑋 ≤ (𝑥̅ − 𝑆𝐷) 0 ≤ skor < 12 Kelompk rendah
Keterangan:
𝑋 : skor siswa
𝑥̅ : rata-rata skor siswa
𝑆𝐷 : standar deviasi
Instrumen yang digunakan berupa tes dan wawancara. Tes terdiri atas 25 soal pilihan
ganda yang terbagi dalam lima indikator, dengan masing-masing indikator terdiri atas lima
soal. Soal tes diadopsi dari tes kemampuan keruangan Hubert Maier yang dikembangkan oleh
Prabowo (2011) dengan kriteria tiap indikator terpenuhi jika siswa mampu menjawab benar
minimal 3 soal dan kemampuan spasial siswa dikatakan baik jika memenuhi minimal tiga dari
lima indikator spasial. Adapun wawancara yang dilakukan yaitu wawancara berbasis soal yang
merujuk pada lima unsur kemampuan keruangan Hubert Maier.
Pada tahap pertama dilakukan analisis data kuantitatif secara statistik deskriptif dalam
bentuk persentase. Kemudian pada tahap kedua dilakukan analisis data kualitatif yang melalui
tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan


Beradasarkan hasil analisis data, terdapat 66,67% siswa memiliki kemampuan spasial
yang baik setelah diajarkan melalui model discovery learning berbantuan GeoGebra. Hal ini
menunjukkan model pembelajaran tersebut berdampak positif terhadap kemampuan spasial
siswa. Beberapa dampak dari pembelajaran tersebut antara lain: 1) dengan menemukan sendiri
bentuk jaring-jaring kubus yang sisinya diberi warna yaitu melalui kegiatan mengelompokkan
pola jaring kubus pada tahap data collcection dan processing, siswa mengerti dalam
menentukan jaring-jaring kubus yang sisinya berpola, 2) memahami bagaimana tampilan
bentuk suatu bangun yang dilihat dari arah depan, atas dan samping melalui kegiatan
menentukan luas permukaan sisi atas menara yang dicat, sehingga mampu menentukan
tampilan objek yang dilihat dari arah tertentu, dan 3) memahami perubahan posisi suatu bangun
ketika diputar. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Fajri et al. (2016), Jelatu (2018), dan
Salimin (2017) yang mengungkapkan bahwa pembelajaran penemuan berbasis geogebra dapat
meningkatkan kemampuan spasial dan pemahaman konsep geometri. Sejalan dengan hal
tersebut, permendikbud (2014) juga menyebutkan bahwa discovery learning dapat membantu
meningkatkan keterampilan dan proses-proses kognitif siswa. Disamping kemampuan spasial,
penggunaan GeoGebra juga dapat menumbuhkan ketertarikan dan rasa ingin tahu siswa.
Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Akhirni & Mahmudi, (2015); Hakim et al., (2019);
Siswanto & Kusumah, (2017) yang menunjukkan bahwa pemanfaatan software geogebra
memberikan dampak positif dalam meningkatkan motivasi, ketertarikan dan rasa ingin tahu
siswa dalam mempelajari geometri.
Adapun profil kemampuan spasial siswa untuk tiap indikator spasial dipaparkan sebagai
berikut.
Persepsi spasial
Siswa dengan kategori kelompok tinggi dan sedang mampu menetukan posisi suatu objek yang
diletakkan secara horizontal. Namun siswa berkemampuan sedang hanya mampu
membayangkan dalam pikiran, tidak bisa menggambarkan pada bidang datar (lihat gambar
2.a). Hal ini dikarenakan untuk menggambarkan objek yang ada di pikiran pada bidang datar
dibutuhkan kemampuan representasi yang baik, sedangkan siswa berkemampuan sedang
belum mampu merepresentasikan objek. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh
Farisdianto & Budiarto (2014) yang menunjukkan bahwa siswa berkemampuan tinggi dan
sedang memiliki kemampuan menentukan objek yang diletakkan secara horizontal yang relatif
sama. Sedangkan siswa dengan kategori kelompok rendah tidak mampu menentukan posisi
suatu objek yang diletakkan secara horizontal. Siswa tersebut tidak mampu menggambarkan
bidang permukaan air dengan benar (lihat gambar 2.b). Hal ini dikarenakan kekeliruan
membayangkan posisi bidang permukaan air dalam wadah yang dimiringkan, yaitu posisinya
akan mengikuti alas wadah.

(a) (b)
Gambar 2. Jawaban subjek berkemampuan sedang dan rendah

Visualisasi
Siswa dengan kategori kelompok tinggi mampu menggambarkan bentuk jaring-jaring
yang tepat sesuai dengan kubus yang sisinya diberi pola (lihat gambar 3.a). Hal ini dikarenakan
siswa mampu mengamati dan memahami dengan baik bagaimana membuat jaring-jaring kubus
saat belajar melalui discovery menggunakan GeoGebra. Sedangkan siswa kelompok sedang
dan rendah tidak mampu menggambarkan jaring-jaring yang sesuai dengan kubus yang
diberikan karena mereka sulit membayangkan letak pola pada sisi kubus tersebut (lihat gambar
3.b). Untuk menggambarkan jaring-jaring kubus, siswa harus memahami posisi pola pada sisi
kubus tersebut dan diperlukan kemampuan representasi gambar yang baik, yang mana hal ini
belum dimiliki oleh siswa kelompok sedang dan rendah. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Febriana (2015) dan Rahmatulwahidah & Zubainur (2017) yang menunjukkan bahwa hanya
sebagian kecil siswa yang mampu memvisualisasikan objek bangun tiga dimensi yang ada di
pikiran.

(a) (b)
Gambar 3. Jawaban subjek menggambar jaring-jaring kubus

Rotasi mental
Siswa dengan kategori kelompok tinggi dan sedang mampu memahami perubahan
posisi dari unsur-unsur objek setelah dirotasi. Saat melakukan rotasi melalui GeoGebra, siswa
menemukan sendiri bahwa dalam menentukan hasil rotasi suatu bangun, hanya perlu
diperhatikan perubahan pada salah satu unsur penyusun bangun tersebut. Sedangkan siswa
pada kategori kelompok rendah tidak dapat menentukan posisi bangun yang sesuai dengan
hasil rotasi dikarenakan dalam menentukan hasil rotasi suatu bangun, siswa tersebut
memperhatikan seluruh penyusun bentuk bangun yang dirotasi sebagai satu kesatuan, tidak
dipilah-pilah. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Farisdianto & Budiarto (2014) dan
Permatasari et al. (2018) yang menyatakan bahwa siswa yang memiliki kemampuan spasial
rendah tidak dapat menentukan posisi suatu bangun ruang yang diputar.

Relasi spasial
Siswa dengan kategori kelompok tinggi dan sedang mampu memahami susunan suatu
bangun dan hubungannya dengan bangun yang lain, sehingga dapat menentukan dua bangun
yang identik. Ini dikarenakan dalam menentukan relasi dua kubus, mereka memiliki
pemahaman yang baik mengenai konsep relasi dua bangun dan memperhatikan posisi pola
yang ada pada setiap sisi kubus yang tampak ketika kubus diputar atau dibalik ke segala arah.
Namun, ada juga sebagian siswa kategori sedang yang tidak mampu menentukan relasi dua
bangun, begitu juga dengan siswa dalam kelompok sedang. Hal ini dikarenakan kekeliruan
dalam memahami konsep dasar relasi dua bangun. Siswa tersebut berasumsi bahwa dua kubus
yang identik itu jika pola yang ada pada setiap sisi kubus yang tampak tersebut sama dengan
kubus lainnya dan kubus hanya bisa diputar atau dibalik sekali untuk melihat kesamaan dua
kubus tersebut. Siswa berkemampuan rendah tidak memahami bagian suatu objek geometri
dan hubungannya dengan yang lain (Permatasari et al., 2018)
Orientasi spasial
Siswa dengan kategori kelompok tinggi dan rendah mampu menentukan tampilan objek
yang dilihat dari berbagai sudut pandang (lihat gambar 4.a). Ini dikarenakan saat belajar
melalui discovery learning berbantuan geogebra, mereka dapat melihat bagaimana tampilan
bangun geometri dari arah depan, samping dan atas. Dari kegiatan tersebut, siswa mulai bahwa
untuk melihat tampilan objek dari perspektif yang berbeda, maka cukup dibayangkan bentuk
bagian depan dari sudut pandang yang dilihat. Namun siswa kelompok rendah kesulitan dalam
menggambarkan tampilan objek tersebut pada bidang datar. Hal ini dikarenakan kemampuan
representasi siswa berkemampuan rendah tergolong kurang. Adapun siswa berkemampuan
sedang kesulitan dalam membayangkan bagaimana tampilan suatu objek selain dari arah depan
sehingga tidak mampu menggambarkan tampilan objek yang dilihat dari berbagai arah (lihat
gambar 4.b).

(a) (b)
Gambar 3. Tampilan objek dari arah depan, samping dan atas

Berdasarkan pemaparan ketercapaian tiap indikator spasial, maka siswa berkemampuan


tinggi dan sedang memiliki kemampuan spasial yang baik karena memenuhi minimal tiga dari
lima indikator spasial yang diukur. Namun, siswa berkemampuan sedang kesulitan dalam
merepresentasikan bangun geometri yang ada dalam pikiran pada bidang datar. Sedangkan
kemampuan spasial siswa berkemampuan rendah tergolong kurang.

Kesimpulan
Pembelajaran discovery leraning berbantuan geogebra memberikan dampak positif
terhadap kemampuan spasial siswa, yaitu sebesar 66,67% siswa memiliki kemampuan spasial
yang baik. Di sisi lain, model pembelajaran ini juga dapat menumbuhkan rasa ingin tahu siswa.
Profil siswa berkemampuan tinggi memiliki kemampuan spasial yang baik. Hal ini terlihat dari
siswa mampu membayangkan, mengubah, dan merepresentasikan objek geometri yang ada
dipikiran. Adapun siswa berkemampuan sedang memiliki kemampuan spasial yang relatif
sama dengan siswa berkemampuan tinggi, hanya saja siswa tersebut dapat menentukan hasil
transformasi suatu bangun hanya jika terdapat pilihan gambar dari hasil transformasi bangun
tersebut. Di sisi lain, siswa kelompok sedang juga kesulitan dalam merepresentasikan objek
geometri. Sedangkan siswa berkemampuan rendah memiliki kemampuan spasial yang kurang
dikarenakan belum mencapai kriteria spasial yang baik. Hal ini terlihat dari belum mampunya
siswa tersebut melakukan perubahan pada bangun geometri karena pemahaman konsep dasar
keruangan yang masih lemah.
Daftar Pustaka
Akhirni, A., & Mahmudi, A. (2015). Pengaruh pemanfaatan cabri 3D dan geogebra pada
pembelajaran geometri ditinjau dari hasil belajar dan motivasi. Jurnal Pendidikan
Matematika Dan Sains, 3(2), 91–100.

Arıcı, S., & Aslan-Tutak, F. (2015). The effect of origami-based instruction on spatial
visualization, geometry achievement, and geometric reasoning. International Journal of
Science and Mathematics Education, 13(1), 179–200.

Branoff, T. J., & Dobelis, M. (2013). The relationship between spatial visualization ability
and students’ ability to model 3D objects from engineering assembly drawings. The
Engineering Design Graphics Journal, 76(3).

Council, N. R., & Committee, G. S. (2005). Learning to Think Spatially. National Academies
Press.

Fajri, H. N., Johar, R., & Ikhsan, M. (2016). Peningkatan kemampuan spasial dan self-
efficacy siswa melalui model discovery learning berbasis multimedia. Beta Jurnal
Tadris Matematika, 9(2), 180–196.

Farisdianto, D., & Budiarto, M. (2014). Profil kemampuan spasial siswa SMP dalam
menyelesaikan masalah geometri ditinjau dari perbedaan kemampuan matematika.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, 3(2), 77–84.

Febriana, E. (2015). Profil Kemampuan Spasial Siswa Menengah Pertama (SMP) dalam
Menyelesaikan Masalah Geometri Dimensi Tiga Ditinjau dari Kemampuan Matematika.
Jurnal Elemen, 1(1), 13.

Giaquinto, M. (2007). Visual Thinking in Mathematics. Oxford: Oxford University Press.

Hakim, H. A., Koswara, K., & Setiawan, W. (2019). Analisis motivasi belajar siswa SMP
kelas VIII melalui media pembelajaran geogebra. JPMI, 2(5), 237–244.

Hegarty, M., & Waller, D. (2004). A dissociation between mental rotation and perspective-
taking spatial abilities. Intelligence, 32(2), 175–191.

Jelatu, S. (2018). Effect of geogebra-aided REACT strategy on understanding of geometry


concepts. International Journal of Instruction, 11(4), 325–336.

Kösa, T. (2016). Effects of using dynamic mathematics software on preservice mathematics


teachers’ spatial visualization skills: the case of spatial analytic geometry. Educational
Research and Reviews, 11(7), 449–458.

National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School
Mathematics. In School Science and Mathematics, 47(8).

Permatasari, I., Pramudya, I., & Kusmayadi, T. A. (2018). Spatial ability of slow learners
based on Hubert Maier theory. Journal of Physics: Conference Series, 983(1).
Prabowo, A., & Artikel, I. T. (2011). Rancang bangun instrumen tes kemampuan keruangan
pengembangan tes kemampuan keruangan Hubert Maier dan identifikasi penskoran
berdasar teori van hielle. Kreano: Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif, 2(2), 72–87.

Rahmatulwahidah, N., & Zubainur, C. M. (2017). The analysis of students ’ spatial ability at
senior high school in banda aceh. 7, 745–752.

Saha, R. A., Ayub, A. F. M., & Tarmizi, R. A. (2010). The effects of GeoGebra on
mathematics achievement: enlightening coordinate geometry learning. Procedia-Social
and Behavioral Sciences, 8, 686–693.

Salimin, M. H. (2017). Pembelajaran Discovery Berbantuan Geogebra Untuk Meningkatkan


Kemampuan Spasial Siswa. UNPAS.

Siswanto, Rizki Dwi, & Kusumah, Y. S. (2017). Peningkatan kemampuan geometri spasial
siswa SMP melalui pembelajaran inkuiri terbimbing berbantuan geogebra. Jurnal
Penelitian Dan Pembelajaran Matematika, 10(1).

Syahputra, E. (2013). Peningkatan kemampuan spasial siswa melalui penerapan pembelajaran


matematika realistik. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 3(3), 353–364.

Virgiawan, D. B. (2018). Pengaruh Model Discovery Learning terhadap Tingkat Efikasi Diri
dan Kemampuan Berpikir Spasial. Doctoral Dissertation Universitas Negeri Malang.

Yenilmez, K., & Kakmaci, O. (2015). Investigation of the Relationship between the Spatial
Visualization Success and Visual/Spatial Intelligence Capabilities of Sixth Grade
Students. International Journal of Instruction, 8(1), 189–204.

Anda mungkin juga menyukai