Anda di halaman 1dari 13

MODUL 9

OTONOMI DAERAH DAN GOOD GOVENANCE


Jeanie Annissa,S.IP.,M.Si

PENDAHULUAN

Modul ini merupakan materi pembahasan yang membahas mengenai otonomi daerah dan
penyelenggaraannya di Indonesia. Setelah sebelumnya mempelajari pengantar kewarganegaraan
yang membahas penegakkan hukum dan Rule of Law, maka bab ini akan membahas otonomi
daerah dan penerapannya di Indonesia. Selain itu, penjabaran dalam undang-undang yang terkait
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Penjabarannya dijelaskan juga secara implementatif di
negara demokrasi, yakni Indonesia. Dalam penjabaran bab ini anda diharapkan dapat memahami
dan mencermati proses kehidupan berbangsa dan bernegara dalam pendekatan konteks sejara
kemunculannya hingga penerapannya dalam mewujudkan good governance serta melatih
kemampuan untuk mendeskripsikan beragam persoalan yang dibahas dalam modul ini serta
mendapatkan manfaatnya bagi pelaksanaan tugas-tugas anda.

Setelah mempelajari modul ini anda diharapkan dapat menjelaskan pemaknaan penerapan
sistem konstitusi di negara hukum dan memahami proses alur dalam pembentukan sebuah produk
hukum di negara berasakan demokrasi serta memahami tantangannya di era globalisasi dengan
lebih rinci dalam lingkup sebagai berikut:

1. Menjelaskan definisi dan pengertian dasar dari makna konstitusi dalam sebuah negara
demokrasi;
2. Mampu menjelaskan proses alur pembuatan skema sistem politik di negara demokratis;
3. Mampu menjelaskan dan mencermati tantangan sistem konstitusi dalam menyelesaikan
persoalan negara terhadap pengaruh globalisasi yang ditopang oleh kemajuan ICT
dalam wujud produk-prosuk hukum seperti Undang-Undang.

151
Penguasaan anda terhadap ruang lingkup tersebut sangat penting untuk membentuk dasar
pemahaman anda terhadap kajian pendidikan kewarganegaraan. Memahami sistem
konstitusi dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam ruang lingkup tantangan bernegara
di era globalisasi sehingga dapat dicermati untuk mencari solusi untuk menga jati diri
bangsa di lingkungan yang semakin global.

Untuk dapat mempelajari modul ini dengan baik, maka anda dapat mengikuti tahapan-
tahapannya sebagai berikut:

1. Baca dan pelajari dengan baik isi modul ini;

2. Gunakan kamus untuk memahami penggunaan kata-kata yang kurang dipahami


maknanya;

3. Bila anda menemukan kesulitan dalam modul ini maka anda dapat mendiskusikan materi
tersebut dengan orang lain yang dipandang mampu untuk memberikan pemahaman
yang lebih luas kepada anda.

4. Kerjakan tugas latihan yang telah tersedia dalam setiap kegiatan belajar.sebaiknya tugas
ini dikerjakan secara individual dan hasilnya didiskusikan dalam kelompok belajar anda.

~SELAMAT BELAJAR~

152
KEGIATAN BELAJAR

OTONOMI DAERAH DAN PEMBENTUKAN GOOD GOVERNANCE

A. Pengertian Otonomi Daerah


Berasal dari bahasa Yunani kata “autos” dan “nomos”. Autos artinya sendiri, sedang
nomos artinya aturan. Jadi otonomi dapat diartikan mengatur sendiri. Jadi Otonomi Daerah
adalah hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
usursan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1974 mendefinisikan otonomi
daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Jadi, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakasa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang menjadi wilayah otonomi
daerah itu sendiri disebut daerah otonom, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batasan daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Penyelenggaraan negara secara garis besar diselenggarakan dengan dua sistem, yakni
sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi. Sentralisasi berkaitan dengan wewenang yang
berkaitan dengan asepek kehidupan yang dikelola pemerintah pusat dan secara hakikat
merupakan konsekuensi dari sifat negara kesatuan. (Syahrial Syarbaini: 2009)
Sebaliknya, desentralisasi atau otonomi daerah didefinisikan dalam berbagai
pengertian. Rondinelli mendefinisikan desentralisasi dengan suatu transfer atau delegasi
kewenangan legal dan politik untuk merencanakan, membuat keputusan dan mengelola
fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat dan agen-agennya kepada petugas lapangan,
korporasi-korporasi public semi otonom, kewenangan pembangunan wilayah atau regional,
pemerintah local yang otonom atau organisasi non-pemerintah.

153
Prinsip dari desentralisasi adalah adanya pelimpahan atau penyerahan wewenang
dari pemerintha pusat kepada satuan-satuan pemerintah dibawahnya untuk mengurus rumah
tangganya sendiri (Syahrial Syarbaini: 2009).
Kewenangan mengurus rumah tangganya sendiri inilah yang disebut hak otonomi.
Terdapat banyak pengertian otonomi daerah seperti dalam sudut pandang Prof Soepomo,
(Abdullah: 2000) otonomi sebagai prinsip penghormatan terhadap kehidupan regional sesuai
dengan riwayat, adat istiadat, dan sifat-sifatnya dalam kadar negara kesatuan RI. Selain itu,
Price and Muellerm (2000) memandang otonomi sebagai seberapa banyak dan luas otoritas
pengambilan keputusan, maka semakin tinggi tingkat otonominya. Otonomi juga
dipersepsikan sebagai keadaan dimana masyarakat membuat dan mengatur peraturan
perundangan sendiri.
Kegiatan otonomi daerah ini juga ditunjang dengan landasan kekuatan hukum yang
diatur melalui Undang-Undang Dasar 1945 pada bab VI pasal 18 dalam penjelasannya
bahwa:
a. Daerah Indonesia dibagi dalam daerah provinsi dan daerah propinsi dibagi pula dalam
daerah yang lebih kecil;
b. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi yang pengaturannya
ditetapkan dengan undang-undang;
c. Di daerah-daerah yang bersifat otonom diadakan badan perwakilan daerah, karena di
daerah pemerintahan akan bersendi pada permusyawaratan
Undang-undang ini menjadi salah satu pertimbangan untuk menggantinya dengan
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 yang kemudia dipertegas tentang pembagian
kewenangan pemerintah daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

B. Sejarah Otonomi Daerah


Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan
daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU Nomor 1 tahun 1945. Ditetapkannnya
undang-undang ini erupakan hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan tentang sejarah
pemerintahan dimasa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme.
Undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan
pembentukan badan perwakilan tiap daerah. Dalam undang-undang ini ditetapkan tiga jenis

154
daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang
ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun belum da peraturan pemerintahan
yang mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang
ini berumur lebih kurang tiga tahun karena diganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun
1948.(Muhammad.Arthur 2012 :10) Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada
pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis.
Di dalam undang-undang ini ditetapkan dua jenis daerah otonom, yaitu daerah
otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta tiga tingkatan daerah yaitu provinsi,
kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor
22 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat
perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang
tentang pembentukan, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan
pemerintahan tentang penyerahan sebagaian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk
perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada
suatu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indoneia dari masa kemasa.
Tapi disisi lain hal ini dapat pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik”
penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Periode otonomi daerah di Indonesia pasca UU Nomor 22 tahun 1948 diisi dengan
munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 1 tahun 1957
(sebagai pngaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU
Nomor 18 tahun 1965 ( yang menganut sistem otonomi yang seluasluasnya) dan UU Nomor
5 tahun 1974. UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggara pemerintahan
yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian
otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan luas-luasnya” tetapi “otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-
luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian
otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang
berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang
yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-

155
undang nomor 25 tahun 1999 setelah tuntunan reformasi dikomandangkan. Kehadiran
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi
pada masa itu, dimana rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak berkehendak untuk
melakukan reformasi disemua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan kehendak reformasi itu, sidang Istimewa MPR tahun 1998 yang lalu
menetapkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi
daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Satu hal yang paling menonjol dari pergantian Undang-undang Nomor 5 tahun
1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan mendasar
pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi. Perubahan tersebut dapat diamati
dari kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal demi pasal pada Undang-Undang
tersebut. Beberapa butir yang terkandung di dalam kedua undang-undang tersebut (UU No.
22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999) secara teoritis akan menghasilkan suatu kesimpulan
bahwa desentralisasi dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 lebih cenderung pada
corak dekonsentrasi.
Sedangkan desentralisasi dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 lebih
cenderung pada corak devolusi. Hal ini lebih nyata jika dikaitkan dengan kedudukan kepala
daerah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus
kepala wilayah yang merupakan kepangjangan tangan dari pemerintah. Dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai kepala
wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi lebih dominan dibanding sebagai
kepala daerah. Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan kepada DPRD sebagai representasi dari
rakyat di daerah yang memilihnya. Dengan demikian yang melatarbelakangi
dilaksanankannnya otonomi daerah secara nyata di Indonesia adalah ketidakpuasan
masyarakat yang berada di daerah yang kaya sumber daya alam namun kehidupan
masyarakatnya tetap berada dibawah garis kemiskinan.Walaupun secara Undang-Undang
sudah sering diterbitkan namun dalam kenyataannya pengelolaan kekayaan alam dan sumber
daya alam daerah masih diatur oleh pusat.Sehingga masyarakat daerah yang kaya sumber
daya alamnya merasa sangat dirugikan.Akhirnya,pada masa reformasi mereka menuntut

156
dilaksanakannya otonomi daerah. Sehingga lahirlah UU no 22 tahun 1999 dan pelaksanaan
otonomi daerah mulai terealisasi sejak tahun 2000 secara bertahap. Setelah dilaksanakannya
otonomi daerah maka perimbangan keuangan sesuai UU no 25 tahun 1999 memberikan
peluang kepada daerah untuk mendapatkan 70% dari hasil pengelolaan kekayaan alamnya
sendiri untuk dimanfaatkan bagi kemajuan daerahnya sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah
ini diperbarui menurut UU no.32 tahun 2004 dan perimbangan keuangan diperbarui juga
menurut UU no.33 tahun 2004. Sehingga dengan adanya otonomi daerah ini , daerah yang
memiliki potensi sumber daya alam mengalami kemajuan Dalam pembangunan sedangkan
daerah yang tidak memiliki kekayaan alam mengalami kesulitan untuk memajukan
wilayahnya.

C. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia


Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut.
Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal
kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah
sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong
prakarsadan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah
yaitu:

1. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung
telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatuaturan tentang
pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan(community-
based). Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober yang memungkinkanbupati
mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negaradengan
cara yang berkelanjutan.

2. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM


setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil
mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan
tradisional/adatmereka.

157
Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat
membawa dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Ternyata pelaksanaan Otonomi
Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Daerah yang kaya sumber daya, daerah-daerah
tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya,
bagi daerah-daerah yang tidak kaya sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi
daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang
termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi
daerah-daerah yangtidak kaya sumber daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi
Daerah pertama kali diberlakukan. Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang
tidak kaya sumberdaya dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi
daerah juga dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah tersebut.

D. Pengertian Good Governance

Secara umum, istilah good and clean governance memiliki pengetian akan segala hal
yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan,
atau mempengaruhi urusan publik untuk mewujudkannilai-nilai tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Pengertian good governance tidak sebatas pengelolaan lembaga pemerintahan
semata, namun juga menyangkut semua lembaga baik pemerintahan mau pun non-
pemerintah lembaga swadaya masyarakat-masyarakat denngan istilah good corpporate.
Dalam praktiknya, pemerintah yang bersih adalah model pemerintahann yang efektif,
efisien, jujur, transparan, dan bertanggung jawab.

E. Syarat-syarat Good Governance

Untuk merealisasikan pemerintahan yang profesional dan akuntabel yang bersandar


pada prinsip-prinsip good governance. Lembaga administrasi negara merumuskan sembilan
aspek fundamental asas-asas dalam good governance yang harus diperhatikan, yiatu:

1. Partisipasi

Asas partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam pengambilan ke-
putusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah yang mewakili
kepentingan mereka. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh aspek

158
pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain kegiatan
politik, maka regulasi birokrasi harus diminimalisasi.

2. Penegak Hukum

Penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang profesional harus didukung


oleh penegakan hukum yang berwibawa. Sehubungan dengan hal tersebut, realisasi
wujud good and clean governance, harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk
menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Supremasi hukum, yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan
peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
didasarkan padahukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin
pelaksanaannya secara benar serta independen.
b. Kepastian hukum, bahwa setiap kehidupan berbangsa bernegara diatur oleh
hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara suku
dengan lainnya.
c. Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi
masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara
adil.
d. Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakan
hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan
penegak hukum yang memiliki integritas moral dan bertanggung jawab terhadap
kebenaran hukum.
e. Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh
penguasa atau kekuatan lainnya.

3. Transparansi

Asas transparansi adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good and clean
governance. Akibat tidak adanya prinsip transparan ini, Indonesia telah terjerembab
kedalam kubangan korupsi yang sangat parah. Dalam pengelolaan negara terdapat
delapan unsur yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:

a. Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.

159
b. kekayaan pejabat politik.

c. Pemberian penghargaan.

d. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.

e. Kesehatan.

f. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.

g. Keamanan dan ketertiban

h. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.

4. Responsif

Asas responsif adalah dalam pelaksanaan prinsip-prinsip good and clean governance
bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat.Sesuai
dengan asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika, yaknietika
indiviidual dan sosial.

5. Konsensus

Asas konsensus adalah bahwa keputusan apa pun harus dilakukan melalui
prosesmusyawarah melalui konsensus. Cara pengambilan keputusan konsensus, selain
dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, cara ini akan mengikat
sebagian besar komponen yang bermusyawarah dan memiliki kekuatan memaksa
terhadap semua yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.

6. Kesestaraan

Asas kesetaraan adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. &saskesetaraan
ini mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah untuk bersikap dan berperilaku adil
dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku, jenis kelamin,
dan kelas sosial.

7. Efektif dan efisiensi

Kriteria efektitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapatmenjangkau


sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial.

160
Adapun, asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk
kepentingan yang terbesar, maka pemerintahan tersebut termasuk dalam kategori
pemerintahan yang efisien.

8. Akuntanbilitas

Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyakarat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik
dituntut untuk mempertanggung jawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun
netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas
dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

9. Visi strategis

Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh kedepan atas tata
pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan terhadap apa saja
yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus
memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi
dasar bagi perspektif tersebut.

F. Pelaksanaan Good Governance di Indonesia

Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh tata cara
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya
timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang su-lit diberantas,
masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta
kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk. Masalah-masalah tersebut juga telah
menghambat proses pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga jumlah pengangguran semakin
meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah, tingkat kesehatan menurun,dan bahkan
telah menyebabkan munculnya konflik konflik di berbagai daerah yang dapat mengancam
persatuan dan kesatuan negara republik Indonesia.
Upaya untuk menghubungkan tata pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik
barangkali bukan merupakan hal yang baru. Namun keterkaitan antara konsep good
governance (tata pemerintahan) yang baik dengan konsep public service (pelayanan public)

161
tentu sudah cukup jelas logikanya publik de-ngan sebaik-baiknya. Argumentasi lain yang
membuktikan betapa pentingnya pelayanan publik ialah keterkaitannya dengan tingkat
kesejahteraan rakyat. Inilahyang tampaknya harus dilihat secara jernih karena di negara-
negara berkembang kesadaran para birokrat untuk memberikan pelayanan yang terbaik
kepada masyarakat masih sangat rendah. Pendidikan, Kesehatan dan Hukum administrasi
adalah tiga komponen dasar pelayanan publik yang harus diberikan oleh penyelenggaran
negara pemerintah kepada rakyat. Hingga saat ini, pelayanan tersebut tampak belum
maksimal. Kondisi iklim investasi, kesehatan, dan pendidikan saat ini sangat tidak
memuaskan, sebagai akibat tidak jelasnya dan rendahnya kualitas pelayanan yang
ditawarkan oleh institusi-institusi pemerintahan. Bahkan muncul berbagai permasalahan
masih terjadinya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan, birokrasi yang
terkesan berbelit-belit serta rendahnya tingkat kepuasan masyarakat. Faktor-faktor penyebab
buruknya pelayanan publik antara lain:

1. Kebijakan dan keputusan yang cenderung menguntungkan para elit politik dan sama
sekali tidak pro rakyat.

2. Kelembagaan yang dibangun selalu menekankan sekedar teknis-mekanis saja dan


bukan pendekatan pe-martabat-an manusia.

3. Kecenderungan masyarakat yang mempertahankan sikap nerima pasrah (apa adanya)


yang telah diberikan oleh pemerintah sehingga berdampak pada sikap kritis
masyarakat yang tumpul.

4. Adanya sikap-sikap pemerintah yang berkecenderungan mengedepankan informality


birokrasi dan mengalahkan proses formalnya dengan asas mendapatkan keuntungan
pribadi.

G. RANGKUMAN

Otonomi daerah merupakan bentuk pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah


secara menyeluruh dengan memanfaatkan seluas-luasnya, sebesar-besarnya sumber
daya yang dimiliki demi mencapai kesejahteraan masyarakat daerah secara luas.
Praktik pelaksanaan otonomi daerah terbentuk dari tahun 1999 di masa preseiden
Megawati yang dikukuhkan melalui penyelenggaraan desentralisasi melalui Undang-

162
Undang Nomor 22 tahun 1999 yang disempurnakan penerapannya menjadi otonomi
daerah di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono melalui penetapan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Penetapan ini menjadi sebuah proses negara
untuk mengefisiensikan kinerja birokrasi baik yang bersifat administrative dan
manajerial agar tercapai pertumbuhan di masing-masing daerah secara
berkesinambungan sebagai wujud membentuk pemerintahan dan pelayanan
pemerintahan yang baik (good government menuju good governance).

G. LATIHAN SOAL
1. Apa yang dimaksud dengan Otonomi daerah?
2. Undang-Undang Apa saja yang mengatur pembentukan otonomi daerah?
3. Jelaskan Tujuan penerapan otonomi daerah?
4. Jelaskan sejarah pembentukan otonomi daerah di Indonesia?
5. Sebutkan dan jelaskan asas-asas good governance?
6. Jelaskan konsep good government dan good governance?
7. Jelaskan prinsip-prisip dari desentralisasi?
8. Apa yang dimaksud akuntabilitas di dalam pelaksanaan pemerintahan?
9. Jelaskan factor-faktor penyebab buruknya pelayanan publikc?
10. Berikan gambaran positif dari pelaksanaan otonomi daerah?

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Ilham Ariasaputra, Penerapan Prinsip-Prinsip good Governance Dalam


Penyelenggaraan Reforma Agraria Di Indonesia, Yuridika Volume 28 Nomor 2, 2013.

Nasrullah Nazir, Good Governance, MediaTor Volume 4 Nomor 1 tahun 2003.

Putro Astomo, Penerapan Prinsip-Prinsip Pemerintahan Yang baik Dalam Penyelenggaraan


Pemerintahan (Good Governance Principles In Running Governance), Kanun Jurnal Ilmu
Hukum Nomor 64 Tahun 2014.

Saeful Bahri, Makalah Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah,
2011.

http://digilib.uinsby.ac.id/9402/5/Bab%202.pdf tanggal akses 24 Oktober 2019

163

Anda mungkin juga menyukai