Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
NIM : 2018310104
KELAS : A (FIA)
Dengan mengambil sebuah kota kecil di wilayah kebudayaan Jawa, para ilmuwan
muda ini memilih aspek-aspek tertentu dari kehidupan sosial. Ada yang merekam corak
dinamika kehidupan pasar, ada pula yang meneliti sistem dan kultur birokrasi, sedangkan
yang lain lebih suka memperhatikan kehidupan golongan Cina di tengah “lautan Pribumi”
dan yang lain lagi lebih tertarik pada masalah sistem kekerabatan dan sebagainya.
Realitas apakah yang ditemukan Geertz di bawah pernyataan umum “90 persen orang
Jawa adalah Muslim” di kota kecil, “Mojokuto”, yang dipakai sebagai gambaran mini ke-
Jawa-an itu? Tetapi apa pulakah yang dimaksudkannya dengan “agama dalam kajian
akademis”? Maka Geertz lebih dulu menentukan pemahaman akademis-nya tentang agama.
Sebagai kajian akademis, khususnya antropologis, agama tidak bisa diartikan sama saja
dengan pengakuan formal tentang hubungan manusia dengan konsep tentang sesuatu yang
disucikan dan bahkan disembah. Ia ingin memahami apa arti dan fungsi agama dalam
kehidupan sosial dan pribadi. Bukan ajaran formal agama, sebagaimana yang dinukilkan
dalam kitab suci ataupun yang diajarkan oleh para ulama ataupun rohaniwan, tetapi suatu
konsep kesucian yang diwujudkan dalam simbol yang dirasakan sebagai pancaran^ang sah
dari keyakinan yang dirasakan sebagai pancaran religius. Maka apakah arti dan fungsi dari
simbol yang diyakini sebagai pantulan keyakinan religius yang “sah” itu dalam kehidupan
sosial dan pribadi penganutnya? Memang dalam masa penelitian dan penulisan karyanya ini,
Geertz, sang ilmuwan muda, masih bertolak dari pendekatan fungsionalis (sesuatu berada
dalam realitas sosial dan kesadaran karena dirasakan mempunyai fungsi tertentu dalam
kelanjutan kehidupan kemasyarakatan), Ia kemudian melihat agama sebagai suatu “sistem
simbol”, yang membentuk pandangan tentang xii Clifford Geertz dunia, dan “etos”, yang
membayangkan cita-cita, nilai-nilai, dan cara hidup. Karena itulah agama bukan saja bisa
menentukan corak perasaan dan motivasi, tetapi bahkan juga memberi bimbingan bagi
terwujudnya kesesuaian antara realitas dengan cara hidup. Maka dapatlah dipahami betapa
pentingnya kedudukan ritual. Bukankah ritual tidak sekadar mengingatkan akan makna
keyakinan dari keyakinan religius, tetapijuga sesungguhnya jembatan antara diri dengan
sesuatu yang “di sana” yang diyakini mempunyai kekuatan tersembunyi. Tidak ada yang
mempersoalkan Geertz ketika ia menyebut penduduk desa yang menjadikan slametan sebagai
pusat aktivitas keagamaan mereka sebagai golongan abangan. Semua juga tahu bahwa
slametan bagi kelompok sosial ini sangat penting, meskipun secara statistik mereka selalu
saja dianggap sebagai ummat Islam. Tetapi ketika Geertz menamakan mereka yang
mempunyai kecenderungan ke-Islam-an yang kental sebagai golongan santri, maka masalah
pun muncul. Bukan saja dalam tradisi konsep abangan biasa dipertentangkan dengan mutihan
—jadi “merah” lawan “putih”—sedangkan kata santri dalam tradisi Jawa berarti mereka yang
belajar di pesantren. Jadi, santri adalah anak muda yang masih belajar berbagai cabang ilmu
keagamaan Islam. Tetapi terlepas dari masalah penamaan yang dirasakan kontroversial ini,
bayangkanlah apa yang teijadi ketika hasrat politik, yang ditempa dan dibentuk oleh wacana
ideologis yang saling bertabrakan, telah semakin mempengaruhi kehidupan sosial. Apakah
yang teijadi kalau bukannya intensifikasi dari kecenderungan kultural masing-masing? Maka
siapakah yang akan heran kalau dalam konteks masyarakat yang dilukiskan Geertz inilah
persaingan politik semakin meruncing. Ketika sebuah peristiwa dahsyat yang langsung
menusuk segala keseimbangan yang dijaga dengan penuh kecurigaan maka “teijadilah apa
yang harus teijadi”. Akibatnya, sampai kini pun bangsa masih juga belum terbebas
sepenuhnya dari dendam sejarah yang sempat tertanam.