Anda di halaman 1dari 23

1

TUGAS INDIVIDU :

MAKALAH EKOLOGI MANUSIA

PERBAIKAN KELEMBAGAAN LINGKUNGAN DENGAN TEKNIK


INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELING (ISM) DAN DINAMIKA
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN
LAHAN DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU, INDONESIA

OLEH :

SENAT
M1B1 15 063
IL. B

JURUSAN ILMU LINGKUNGAN

FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2021
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis limpahkan kehadirat Allah SWT, karena atas


pertolongannya_Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah perbaikan kelembagaan
lingkungan dengan teknik interpretative structural modeling (ism) dan dinamika
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di taman nasional
lore lindu, indonesia. Tidak lupa sholawat serta salam Penulis haturkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat, semoga selalu dapat menuntun penulis
pada ruang dan waktu yang lain.

  Dalam penyelesaian makalah ini tidak jarang penlis menemukan kesulitan-


kesulitan. Akan tetapi, berkat motivasi dan dukungan dari berbagai pihak, kesulitan-
kesulitan itu akhirnya dapat diatasi. Maka dari itu, melalui kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada berbagai pihak yang telah
membantu penulis.

Penulis menyadari selesainya makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya
penulis berharap agar makalah ini bermanfaat.

Penulis,
3

DAFTAR ISI

SAMPUL………………………………………………………………………………

KATA PENGANTAR……………………………………………………………….

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………

I     PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang…………………………………………………………………

2.      Maksud dan Tujuan……………………………………………………………

II    PEMBAHASAN

a. Bagaimana mengetahui kapasitas kelembagaan Taman Nasional Lore Lindu; …

b. Bagaimana mekanisme tujuan dan kendala pengembangan Taman Nasional Lore


Lindu;…………………………………………………………………………………

c. Bagaimana Mengetahui Faktor analisis penggunaan lahan (Analisis Logistik Biner);


…………………………………………………………………………………

d. Bagaimana mengetahui perubahan Penggunaan Lahan;……………………………

III    PENUTUP

Kesimpulan Dan Saran…………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………
4

I PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) merupakan kawasan konservasi sumber


daya alam hayati di Provinsi Sulawesi Tengah yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Kehutanan No. 593/kpts-ii/1993 dengan luas 229.000 hektar. TNLL berperan
penting sebagai buffer zone, khususnya bagi Kota Palu, Donggala, dan Kabupaten Poso.
TNLL secara administratif terletak di Kabupaten Donggala (Kabupaten Kulawi,
Sigibiromaru, Palolo dan Pipikoro) dan Poso (Kabupaten Lore Utara, Lore Tengah, Lore
Timur, Lore Piore, Lore Barat, dan Lore Selatan), Provinsi Sulawesi Tengah. Kawasan
ini berdiri sejak tahun 1993 yang merupakan perpaduan antara Cagar Alam Lore
Kalamata dan Hutan Lindung dan Taman Rekreasi Danau Lindu. Secara biogeografis
kawasan ini merupakan kawasan peralihan antara Zona Asia dan Zona Australia atau
disebut Garis Wallace yang membentang dari Taman Nasional Nani Wartabone di
Bolaang Mongondou hingga Donggala dan Poso melintasi hutan TNLL dan menembus
hutan tropis di Sulawesi Tenggara. Tidak  jauh dari Danau Poso yang unik dan memiliki
sejuta pesona. Kurang lebih 60 km sebelah barat Palu, TNLL merupakan hutan warisan
alam dunia yang sangat kaya akan keanekaragaman flora dan fauna. Tujuan dari kawasan
ini tidak hanya untuk rekreasi mendaki gunung, panjat tebing sambil menikmati
pemandangan alam yang indah dan sejuk, tetapi juga menjadi objek penelitian bagi para
peneliti dalam dan luar negeri. LLNP juga merupakan cagar biosfer dunia. Potensi flora
yang dominan di kawasanadalah pohon Wanga (TNLLFigafeta filaris sp.) dan Leda
(Eucalyptus deglupta). Selain itu, potensi fauna yang dapat ditemukan di kawasan ini
antara lain Anoa (Anoa quarlesi, Anoa depressicornis), babi rusa (Babyrousa babyrusa),
Monyet Hitam Sulawesi (Macaca tonkeana), kuskus (Phalanger ursinus, Phalanger
celebencis), Tangkasi (Tarsius spectrum).), dan Rusa (Cervus timorensis). Jenis burung
endemik yang ditemukan antara lain Maleo (Macrocephalon maleo), Rangkong (Buceros
rhinoceros), nuri (Tanygnatus sumatrana), kakatua (Cacatua sulphurea), dan (Aceros
cassidix) dan dandang ular (Anhinga rufa). Hidup juga berbagai jenis reptil, ikan, dan
serangga (https://indotimnet.wordpress.com/taman-nasional-lore-lindu).

Diperkirakan terdapat 266 jenis flora, beberapa di antaranya adalah endemik dan
sebagai hewan baru, dan banyak lagi lebih dari 200 jenis fauna yang sebagian endemik
terdapat di kawasan TNLL seperti Anoa, Babi Rusa, Monyet Hitam, Tarsius, Maleo,
5

dan Enggang Sulawesi. Terdapat 21 jenis kadal besar, 68 jenis ular, 21 jenis amfibi, dan
6 jenis ikan, serta ribuan serangga termasuk kupu-kupu, sehingga kawasan ini juga
dikenal sebagai kawasan Megabiodiversity. Selanjutnya sebagian besar masyarakat di
sekitar TNLL masih mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal sehingga kawasan TNLL
juga dikenal sebagai Cagar Biosfer yang ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 1977.
“Pengelolaan TNLL secara umum bertujuan untuk mewujudkan visi pengelolaan
mewujudkan Kawasan TNLL dan KSDAHE yang aman, terjamin, legal formal dan
partisipatif, didukung kelembagaan yang kuat dalam pengelolaannya serta mampu
memberikan manfaat yang optimal kepada masyarakat,”
(http://radarsultengonline.com/2017/01/13/mengenal -wisata-alam 
lore-lindu-and-history/ Mengenal Wisata Alam Lore Lindu dan Sejarahnya).  

Pentingnya analisis kelembagaan di kawasan TNLL karena pengelolaan TNLL


bersifat kompleks karena mencakup lintas sektoral, lintas wilayah, dan melibatkan
banyak pemangku kepentingan. Untuk itu diperlukan keterpaduan beberapa peran
pemangku kepentingan khususnya pengambil kebijakan untuk menjaga
keberlangsungan fungsi dan manfaat TNLL. Interpretative Structural Modeling (ISM)
merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk memudahkan pemahaman
terhadap permasalahan kompleks yang dihadapi dalam pengelolaan TNLL.  

Oleh karena itu, sangat penting untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi
unsur-unsur kelembagaan pengelolaan TNLL, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang disusun menjadi suatu model sistematis yang komprehensif (Attri,
2013). Elemen kelembagaan kunci diidentifikasi, hubungan kontekstualnya ditentukan,
diklasifikasikan, dan diatur secara hierarkis. Hasil analisis ISM dapat memberikan
gambaran tentang struktur hierarki kelembagaan yang memberikan nilai manfaat
tertinggi untuk merancang sistem kelembagaan yang efektif dan mendorong
pengambilan keputusan yang lebih baik (Eriyatno dan Larasati dalam Pancawati 2018).  

Faktor yang mempengaruhi Perubahan penggunaan lahan antara lain disebabkan


banyaknya sumberdaya lahan yang tersedia dipengaruhi oleh faktor kondisi sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat. Perubahan penggunaan lahan dapat menimbulkan
dampak negatif yang tidak diinginkan terhadap ekosistem, misalnya ketika lahan hutan
berubah menjadi penggunaan lain menyebabkan keanekaragaman hayati hutan
menurun. Lebih lanjut, perubahan penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan
merupakan dua sumber utama terjadinya pencemaran air, tanah, dan udara secara
6

signifikan. Perubahan tata guna lahan juga mampu meramaikan ekologi dan terjadinya
perubahan iklim. Seperti diketahui, perubahan tutupan lahan memegang peranan penting
di kawasan, secara global, berdampak pada fungsi ekosistem, jasa ekosistem, variabel
biofisik, dan manusia sehingga perlu analisis perubahan ini menggunakan penginderaan
jauh dan kebijakan pemerintah . Oleh karena itu, analisis atribut penggunaan lahan
secara simultan dengan menggunakan pendekatan penginderaan jauh nampaknya
menjadi metode untuk mengatasi permasalahan di atas [. Penelitian mengenai
penggunaan lahan dan tutupan lahan yang dilibatkan agar proses perubahan alam yang
kompleks dapat dipahami.
2.      Maksud dan Tujuan

     Adapun maksud dan tujuan disusunnya makalah ini yaitu:

a. Bagaimana mengetahui kapasitas kelembagaan Taman Nasional Lore Lindu;

b. Bagaimana mekanisme tujuan dan kendala pengembangan Taman Nasional Lore


Lindu;

c. Bagaimana Mengetahui Faktor analisis penggunaan lahan (Analisis Logistik Biner);

d. Bagaimana mengetahui perubahan Penggunaan Lahan;


7

II PEMBAHASAN

 A. kelembagaan Taman Nasional Lore Lindu

                 Program pengelolaannya adalah Balai Taman Nasional Lore Lindu, yang


merupakan elemen penggerak tingkat pertama di  struktur hierarkis dan membutuhkan
dukungan dari pemangku kepentingan dan pemerintah daerah, terutama para pemimpin
adat dan  pemimpin komunitas. Kendala utama pengelolaan TNLL, yang merupakan
elemen kunci, adalah pembukaan lahan secara besar-besaran  lahan di TNLL, lemahnya
pemantauan dan pengendalian kegiatan ilegal di TNLL, serta kurangnya koordinasi dan
integrasi  pengelolaan sumber daya alam antar pemangku kepentingan yang terkait
dengan pengelolaan TNLL. Hasil Interpretasi  Analisis Structural Modeling (ISM)
diharapkan antara pemangku kepentingan, lembaga kementerian, dan pemerintah daerah
untuk  menjamin kemitraan untuk keberlanjutan Taman Nasional Lore Lindu tidak hanya
untuk saat ini tetapi juga untuk masa depan.  

Berdasarkan hasil pengujian terhadap 13 sub-elemen pemangku kepentingan


(kelembagaan) menunjukkan bahwa lembaga yang berperan penting dalam analisis
kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu dengan teknik pemodelan struktur
interpretatif adalah Badan Taman Nasional Lore Lindu yang didukung langsung oleh
peran instansi daerah antara lain Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah, Bappeda Kabupaten
Poso, Bappeda Kabupaten Sigi, Bappeda Kabupaten Donggala, Badan Lingkungan Hidup
Provinsi Sulawesi Tengah dan Tokoh Adat/Lembaga Adat/ Tokoh Masyarakat. Hasil ini
menjelaskan pentingnya peran pemangku kepentingan utama, Balai Taman Nasional Lore
Lindu dan Badan Penataan Ruang, baik Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah,
Pemerintah Kabupaten Sigi, Poso, dan Donggala disaksikan oleh tokoh adat/lembaga
adat/masyarakat. Para pemimpin tersebut kemudian berkonsolidasi bersama dalam
mewujudkan pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu menjadi kawasan taman nasional
yang berkelanjutan. Hasil analisis ISM diharapkan dapat menjadi standar institusi dalam
upaya peningkatan pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu. Susunan struktur hierarki
Reachability Matrix dapat disajikan pada Tabel 3.
8

Tabel 1 : Final Struktural Self-Interaction Matrix pada elemen reachability matrix (RM) 

Hasil analisis menggunakan metode ISM pada 13 sub elemen stakeholder


(kelembagaan ) diperoleh matriks reachability akhir seperti pada Tabel 1. Berdasarkan
tabel tersebut dapat diketahui bahwa sub elemen yang memiliki peran penting dalam
pengelolaan dan perlindungan taman nasional adalah Balai Taman Nasional Lore Lindu
dengan dukungan pemerintah. Secara lokal, ini adalah sub-elemen kunci yang sangat
berguna dalam mengembangkan pengelolaan kawasan Taman Nasional Lore Lindu.  

Hasil analisis matriks sub-elemen dan klasifikasi matriks stakeholder (kelembagaan)


kawasan Taman Nasional Lore Lindu dapat disajikan pada Gambar 2. 

No  Sub-elemen 

A1 Balai Taman Nasional Lore Lindu 

A2 Bappeda Kabupaten Poso 

A3 Bappeda Kabupaten Sigi 

A4 Bappeda Kabupaten Donggala 

A5 Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah 

A6 Badan Lingkungan Hidup Daerah dan


Kehutanan Sulawesi Tengah

A7 Pihak Swasta 

A8 Pemerintah Desa/Pemerintah Kecamatan 


9

A9 Perguruan Tinggi 

A10 Forum Kemitraan Kawasan LLNP 

A11 Forum DAS Provinsi Sulawesi Tengah 

A12 Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah 

A13 Tokoh Adat/Lembaga Adat/ Tokoh


Masyarakat 

Gambar 2 : Model Matriks, Sub Unsur, dan Klasifikasi Perhitungan Analisis


Matrik

Hasil analisis matriks menunjukkan bahwa Sub Unsur Bappeda Provinsi Sulawesi
Tengah, Bappeda Kabupaten Poso, Bappeda Kabupaten Sigi, Bappeda Kabupaten
Donggala, Desa / Pemerintah Kabupaten Setempat, Badan Lingkungan Hidup Daerah
Provinsi Sulawesi Tengah, Forum Kemitraan Daerah TNLL, Tokoh Adat/Lembaga
Adat/Tokoh Masyarakat dan Forum DAS Provinsi Sulawesi Tengah berada pada sektor
linkage, artinya sub elemen sektor linkage tersebut perlu dikaji secara cermat dalam
menilai tolok ukur keberhasilan dalam analisis kelembagaan pengelolaan Taman
Nasional Lore Lindu. Ini karena sub elemen ini akan berdampak pada orang lain dan
umpan balik dari efeknya dapat memperkuat dampak itu. Sub elemen kawasan Taman
Nasional Lore Lindu berada pada sektor mandiri, dimana sub elemen ini memiliki daya
dorong yang besar dalam mencapai analisis kelembagaan dalam pengelolaan kawasan
Taman Nasional Lore Lindu.  

Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Pemangku Kepentingan


(kelembagaan) Berdasarkan struktur hierarki tersebut dapat diketahui bahwa selain
menjadi institusi kunci dalam program pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu, Taman
10

Nasional Lore Lindu (A1) juga merupakan penggerak sub-elemen pada tingkat pertama
atau elemen kunci ( tertinggi) dalam struktur hierarki. Peran masing-masing lembaga
dalam  

pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu harus mengikuti hierarkinya. Sub unsur
yang berada pada tingkat 2 (dua) yang berperan sebagai lembaga yang menjembatani
pelaksanaan pengelolaan taman nasional Lore Lindu di daerah penelitian antara lain
Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah, Bappeda Kabupaten Poso, Bappeda Kabupaten Sigi,
Bappeda Kabupaten Donggala, Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi
Tengah, dan Tokoh Adat/Lembaga Adat/Tokoh Masyarakat. Berdasarkan hasil penataan
struktur hirarki dalam pembenahan kelembagaan dan menjaga kondisi
ketidakseimbangan lingkungan di kawasan taman nasional, maka diperlukan upaya
pembenahan kelembagaan (Ostrom, 2012; Yelin et al., 2015; Nasir, 2016). Pandangan
ini menjelaskan bahwa ada lima dimensi dalam menjamin pengelolaan lingkungan, yaitu
aspek sosial, ekonomi, lingkungan, teknologi, dan kelembagaan yang harus menjadi
faktor penting dalam upaya meningkatkan keberlanjutan kawasan taman nasional
(Munawir et al., 2019; Zuhud, 2011; Rustiadi dkk., 2003; Tietenberg dan Lewis 2009).

B. Elemen Kendala Pengelolaan Kawasan TNLL  

Hasil matriks reachability (RM) dari elemen reachability matrix (RM) final
disajikan pada tabel 2. sebagai berikut : 

Tabel 2 : Final Structural self-interaction matrix (SSIM) pada matriks


keterjangkauan elemen (RM)

 Peningkatan kelembagaan lingkungan menggunakan teknik interpretative structural modeling (ISM) di TamanLore Lindu
Nasional(TNLL), Provinsi Sulawesi Tengah-Indonesia 
11

Hasil sub-elemen Driven Power membahas sub-elemen kunci dari kendala yang
dihadapi dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Lore Lindu di wilayah studi,
seperti pembukaan lahan secara masif di TNLL, Lemahnya Pengawasan dan
Pengendalian Kegiatan Ilegal di TNLL, dan Kurangnya Koordinasi dan Integrasi
Pengelolaan Sumber Daya. Sifat antar Pemangku Kepentingan terkait Pengelolaan
TNLL.
C1 Implementation and supervision of regulations related to the management of
C2 Massive
LLNP hasillegal landoptimal
not been clearing in LLNP
C3 Decreased biodiversity of Flora and Fauna in LLNP
C4 The transfer of land functions in LLNP has led to the decline in springs
C5 Weak supervision and control of illegal activities in LLNP
C6 Lack of Supporting Facilities and Infrastructure in LLNP
C7 Lack of Coordination and Integration of Natural Resource Management among
Stakeholders related to LLNP
C8 Low awareness of communities around LLNP
C9 The vast coverage of the LLNP area
C10 Limited human resources at the LLNP Hall
C11 Lack of Budget and Program Allocation at the LLNP Hall
C12 Weak law enforcement

Gambar 3 : Model Matriks, Subelemen, dan Perhitungan Klasifikasi Analisis Matrik

Hasil dari Klasifikasi Matriks Subelemen dan Matriks menunjukkan bahwa


kendala utama elemen kunci dalam analisis kendala dalam pengelolaan Bangsa Lore
12

Lindu Kawasan TN adalah belum memadainya implementasi dan pengawasan regulasi


terkait pengelolaan TNLL, pembukaan lahan secara masif di TNLL, Penurunan
Keanekaragaman Hayati Flora dan Fauna di TNLL, lemahnya pengawasan dan
Pengendalian Kegiatan Ilegal di TNLL, Kurangnya Sarana dan Prasarana Pendukung di
TNLL, Kurangnya Koordinasi dan Integritas Pengelolaan SDA antar Pemangku
Kepentingan terkait Pengelolaan TNLL, Rendahnya Kesadaran Masyarakat di Sekitar
TNLL, Keterbatasan Sumber Daya Manusia di Balai TNLL, dan Lemahnya Penegakan
Hukum di sektor Linkage (Sektor 3). Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan
kawasan Taman Nasional Lore Lindu akan diselesaikan secara bertahap sesuai tingkatan
dan hierarkinya. Artinya, meningkatnya koordinasi dan integrasi Pengelolaan Sumber
Daya Alam antar pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNLL, pembukaan lahan
secara masif di TNLL, serta lemahnya pengawasan dan pengendalian kegiatan ilegal di
TNLL yang didukung dengan tersedianya rencana rinci berupa bimbingan teknis
operasional akan mampu mengatasi kendala tersebut. kendala yang ada pada level 1
(satu). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kendala tersebut harus diatasi dalam
mengatasi kendala utama dalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu.  

Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Kendala dalam Pengelolaan Taman
Nasional Lore Lindu Sub Elemen Kunci Pembukaan Lahan Ilegal Massal di TNLL,
Lemahnya Pengawasan dan Pengendalian Kegiatan Ilegal di TNLL, dan Kurangnya
Koordinasi dan Integrasi Pengelolaan Sumber Daya Alam antar Stakeholder terkait
kepada Manajemen LLNP. Hasil ini sejalan dengan penelitian Ahmad Jazuli (2017),
dalam rencana tata ruang memerlukan pelaksanaan penegakan hukum, dalam
(Wulandari dan Sumarti 2011) menyatakan bahwa diperlukan legislasi sehingga ada
rencana tata ruang kolaboratif untuk integrasi data. kawasan taman nasional untuk
meminimalkan potensi konflik antar wilayah, antar sektor, dan antara masyarakat dan
pemerintah (Schlager dan Ostrrom, 1992; Scott, 2008).  

Berdasarkan kendala dan peran serta pemangku kepentingan, maka perlu dilakukan
antisipasi terhadap kelembagaan yang disiapkan untuk mengatasi permasalahan
pengelolaan Lore Kawasan Taman Nasional Lindu dengan melakukan koordinasi nyata
dalam peningkatan peran masyarakat adat serta tokoh masyarakat dan pengelola balai
taman nasional untuk menjaga keberlanjutan pengelolaan kawasan taman nasional
(Ostrom, 2012; Mulyono, 2014).  
13

C. Faktor analisis penggunaan lahan (Analisis Logistik Biner) 

Pola distribusi penggunaan lahan berdasarkan penggunaan fungsi kawasan dapat


dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, jarak jalan, jarak pemukiman, jarak dari pusat
kota, jarak dari lereng, dan jenis tanah. Proses perubahan pemanfaatan tersebut bersifat
dinamis sejalan dengan faktor-faktor yang menjadi ciri khas suatu daerah. Dalam
memahami berbagai faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya pergeseran pola
penggunaan lahan dapat diidentifikasi dengan analisis statistik lahan dengan
menggunakan analisis logistik biner. 

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan di kawasan TNLL ini


berdasarkan hasil analisis regresi logistik biner adalah kepadatan penduduk (X5), jarak
dari pemukiman (X3), jarak dari jalan raya (X2), jarak dari ibukota (X4) , dan kondisi
topografi (X1). Dari kelima variabel tersebut, kepadatan penduduk memiliki koefisien
regresi negatif tertinggi, yaitu sebesar -0,068. Persamaan regresinya adalah Y =
-0,094X1-0,157X2-0,176X3-0,083X4- 0,068X5 dan signifikan pada taraf 0,001 persen
yang menunjukkan kelima faktor tersebut berpengaruh sangat tinggi terhadap perubahan
lahan di TNLL. Keadaan ini dapat disimpulkan bahwa persebaran bebas dan
pertumbuhan penduduk di Taman Nasional berpengaruh terhadap peningkatan konversi
kawasan hutan. 

Untuk mengatasi distorsi penggunaan lahan yang tidak semestinya di Taman


Nasional Lore Lindu, diperlukan penelitian yang mengidentifikasi faktor-faktor dinamis
yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi upaya pengendalian penipisan kawasan hutan taman nasional
ini, dan juga untuk menjaga fungsi taman nasional dengan baik, serta menjadi masukan
untuk penyempurnaan pengembangan pengelolaan taman nasional ini. 
Nilai probabilitas pengukuran pada suatu peristiwa tertentu adalah rentang 0 dan
1. Nilai nol menunjukkan tidak ada kemungkinan terjadi perubahan lahan tertentu,
sedangkan yang lain mewakili kemungkinan terjadinya perubahan lahan. Metode regresi
logistik biner menerapkan persamaan berikut. 

Metode yang digunakan dalam analisis regresi biner logistik adalah metode
stepwise forward yaitu suatu pemodelan regresi yang dilakukan dengan cara mengulang
dan memasukkan variabel bebas secara berurutan satu per satu. Variabel signifikan akan
tetap berada dalam model dan variabel tidak signifikan akan dihapus dari model. Oleh
14

karena itu, semua variabel yang tersisa signifikan pada penggunaan lahan. Prosedur ini
dimaksudkan untuk menghilangkan multikolinearitas yang mungkin muncul antar
variabel [21]. Pada penelitian kali ini, variabel terikat yang digunakan adalah seluruh
penggunaan lahan selama tahun 2000, sedangkan variabel bebasnya adalah kepadatan
penduduk, curah hujan, ketinggian tempat, kemiringan lereng, jarak dari pusat kota, jarak
dari jalan raya, jarak dari sungai, dan jenis tanah di lokasi penelitian. 

D. Perubahan Penggunaan Lahan

1. Perubahan penggunaan lahan TNLL 

Penggunaan lahan memiliki perubahan fungsi yang berbeda setiap saat [3].
Interpretasi penggunaan lahan dengan teknik GIS menggambarkan dinamika
perubahan penggunaan lahan selama empat periode yaitu 1997, 2002, 2013, dan 2018.
Teknik ini dapat menganalisis dan melakukan pemetaan fitur perubahan penggunaan
lahan secara actual.

Gambar 3. Pemetaan penggunaan lahan dari empat periode tahun yang berbeda.

Perubahan penggunaan lahan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu sejalan


dengan laju pertumbuhan penduduk, aktivitas ekonomi, jumlah wisatawan, dan pasar
produksi pertanian yang semakin meningkat.
15

Berdasarkan Gambar 3, 4, dan 5, sebaran hutan di Taman Nasional Lore Lindu


terlihat jelas sejak tahun 1997 hingga 2018 yang cenderung menurun. Pada tahun 1997,
luas total hutan sekitar 221.005 ha dan menurun menjadi 218.362 ha pada tahun 2002
yang hanya terjadi selama lima tahun. Berkurang signifikan menjadi 214.098 ha dan
210.830 ha masing-masing selama tahun 2013 dan 2018. Temuan ini sesuai dengan hasil
penelitian [2] yang menunjukkan luas hutan Taman Nasional Lore Lindu berdasarkan
luas total STORMA cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

Gambar 5. Grafik perubahan total kawasan hutan di Taman Nasional Lore Lindu. 

Dari tahun 2013 hingga 2018 menurut matriks transisi dan dinamika grafik,
penggunaan lahan yang paling signifikan terjadi adalah areal tanaman percampuran,
kemudian disusul oleh lahan hutan dan lahan penggembalaan yang dialihfungsikan
menjadi empat penggunaan lainnya. Dari tahun 1997 hingga 2018, perubahannya cukup
signifikan yang ditunjukkan dengan besarnya penurunan hutan dan lahan penggembalaan
yang beralih menjadi lima penggunaan lain. Selain itu, badan air tidak mengalami
perubahan apa pun. Ditinjau dari luasnya, hutan dan lahan penggembalaan yang paling
banyak dialihfungsikan masing-masing sebesar 10.175 ha dan 1.726 ha menjadi
penggunaan lahan lain selama 21 tahun terakhir. 
Gambar 5. Grafik perubahan total kawasan hutan di Taman Nasional Lore Lindu. 
16

Tabel 1. Luas areal yang mengalami perubahan penggunaan lahan di dalam dan di luar
Kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Daerah di sekitar TNLL (Ha)
1997 % 2002 % 2013 % 2018 %
Insi 212,4 96.13 211,08 96.6 208,57 97.42 205,89 97
Outside
de 498,55 3.87 1 7,28 73.33 4 5,524 2.58 8 4,93 2
.
7
221,0 100.0 2
218,36 100.0 214,09 100.0 3
210,83 4
1
06 0 3 0 8 0 1 0
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 3, perubahan penggunaan lahan di taman
nasional tersebut selama tahun 1997 hingga 2002 untuk kawasan hutan kemungkinan
akan berkurang sebesar 1.368 ha. Penurunannya cukup signifikan selama sepuluh tahun
(2002-2013) yaitu 2.507 ha. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada periode berikutnya
(2013 hingga 2018), lahan hutan menurun tajam menjadi 2.676 ha. Perubahan luas hutan
yang semakin berkurang ini terjadi di seluruh kawasan taman nasional yang berbatasan
langsung dengan beberapa kabupaten di sekitarnya. Penggunaan lahan yang terjadi
sebagian besar adalah deforestasi daripada reboisasi. Perubahan penggunaan lahan di luar
taman nasional pada periode yang sama menunjukkan penurunan drastis sebesar 1.275 ha,
dan diikuti dengan perluasan lahan terbangun sebanyak 526 ha. 

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan

Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan di Taman


Nasional Lore Lindu menggunakan regresi logistik biner menunjukkan enam variabel
yang diduga mempengaruhi peningkatan penggunaan lahan. Keenam variabel yang
teridentifikasi tersebut adalah kepadatan penduduk, jarak dari pemukiman, jarak dari jalan
raya, jarak dari pusat kota, kemiringan lereng, dan jenis tanah. Secara spasial keenam
variabel tersebut disajikan pada Gambar 6. Peta jarak dari jalan utama Peta jarak dari
pemukiman.
Model Koefisien Tidak Terstandar Koefisien Terstandart
17

Berdasarkan tabel Tabel 2 di atas, lima variabel bebas yang memiliki tingkat
signifikansi secara statistik kurang dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa kelima variabel
tersebut berpengaruh signifikan terhadap peningkatan perubahan lahan di Taman
Nasional Lore Lindu. Variabel selebihnya, jenis tanah, tidak berpengaruh nyata terhadap
perubahan penggunaan lahan dengan tingkat signifikansi lebih besar dari 0,05 yaitu
0,565.

Dari kelimanya variabel bebas yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan


di Taman Nasional Lore Lindu, kepadatan penduduk merupakan variabel bebas dengan
koefisien negatif tertinggi yaitu -0,068. Hasil analisis regresi ini menghasilkan persamaan
regresi Y=-0,094X1-0,157X2-0,176X3-0,083X4-0,068X5) dimana Y, X1, X2, X3, X4,
dan X5 mewakili penggunaan lahan, kemiringan lereng, jarak dari jalan utama, jarak dari
pemukiman, jarak dari pusat kota, dan kepadatan penduduk, masing-masing. Hasil ini
sejalan dengan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa tingginya perubahan lahan
kawasan hutan sangat ditentukan oleh faktor demografi, sosial, dan ekonomi [27, 28, 29]. 

Selanjutnya, pengujian Hosmer dan Lameshow yang dilakukan terhadap hasil


statistik yang dihasilkan bertujuan untuk mencari kesesuaian variabel independen dalam
menyiapkan model. Dalam pengujian tersebut, model ditentukan fit oleh variabel
estimator jika nilai signifikansi kedua pengujian tersebut lebih tinggi dari taraf
signifikansi 0,005. Hasil yang diperoleh dari kedua pengujian ini sesuai dengan data
empiris dengan nilai P-value of goodness of fit sebesar 0,059 (lebih dari 0,05) yang
menunjukkan model mampu memprediksi nilai observasinya atau berdistribusi normal.
Artinya model diterima karena fit dengan variabel estimatornya. 
18

Hasil analisis perubahan penggunaan lahan divalidasi menggunakan akurasi


keseluruhan dan akurasi kappa. Akurasi umum adalah penghitungan akurasi berdasarkan
jumlah piksel yang dikelompokkan dengan benar ke semua kelas, kemudian dibagi
dengan jumlah piksel yang digunakan. Akurasi ini cenderung menghasilkan over estimasi
karena proses perhitungannya hanya melibatkan piksel-piksel yang diklasifikasikan
dengan benar. Selain itu, untuk kasus ini, evaluasi hasil klasifikasi sangat disarankan
untuk memanfaatkan akurasi kappa. Piksel yang terlibat dalam perhitungan akurasi kappa
adalah semua piksel yang digunakan sebagai acuan untuk mengukur akurasi hasil
klasifikasi. Secara umum akurasi kappa lebih akurat dalam mengevaluasi hasil klasifikasi.
Nilai akurasi umum hasil klasifikasi terawasi perubahan penggunaan lahan di Taman
Nasional Lore Lindu pada penelitian saat ini adalah sekitar 88,9%, sedangkan akurasi
kappa yang diperoleh sekitar 86,6%. 

III PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

• Unsur-unsur kunci pemangku kepentingan dan lembaga dalam pengelolaan Taman


Nasional Lore Lindu memiliki peran penting di Balai Taman Nasional Lore Lindu
bekerja sama dengan pemerintah daerah serta tokoh adat dan masyarakat.  

• Elemen kunci kendala utama pengelolaan TNLL yang menjadi elemen kunci adalah
maraknya pembukaan lahan secara liar di TNLL, Lemahnya Pengawasan dan
19

Pengendalian Kegiatan Ilegal di TNLL, dan Kurangnya Koordinasi dan Integrasi


PengelolaanAlam 
Sumber Dayaantar Pemangku Kepentingan terkait dengan Pengelolaan LLNP.  

• Hasil analisis Interpretative Structural Modeling (ISM) diharapkan antara pemangku


kepentingan dengan lembaga kementerian dan pemerintah daerah dapat menjamin
kemitraan pengelolaan lingkungan untuk keberlanjutan Taman Nasional Lore Lindu
tidak hanya untuk saat ini tetapi juga untuk masa depan.  

• Perubahan penggunaan lahan di Taman Nasional Lore Lindu telah terjadi sejak lama
sejak ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada tahun 1993 atau lebih dari 30 tahun.
Berdasarkan interpretasi analisis citra Landsat, kawasan hutan mengalami perubahan
signifikan menjadi penggunaan lahan lain. Hasil analisis logistik biner menyimpulkan
bahwa variabel signifikan yang mempengaruhi laju penggunaan lahan adalah kepadatan
penduduk dan jarak dari pemukiman dengan persamaan regresi Y= -0,094X1-
0,157X2- 0,176X3-0,083X4-0,068X5.

DAFTAR PUSTAKA

Eriyatno (2003). Ilmu Sistem : peningkatan Mutu dan Efektifitas Manajeme. IPB Press,
Bogor.  
Ernan, R.; Saefulhakim dan, S. dan Panuju, DR (2003). Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah Konsep Dasar dan Teori. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.  
Hana, S. dan Munasinghe, M. (1995). Hak Milik dan Lingkungan. Isu Sosial dan
Ekologis. Institut Ekonomi Ekologi Internasional Beijer dan Bank Dunia. Washington
DC.  
20

Hora, SC (2004). Penilaian probabilitas untuk kuantitas kontinu: kombinasi linier dan
kalibrasi, Ilmu Manajemen 50: 597-604.  
Kartodihardjo, H. (1999). Masalah Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Bogor
[ID]: Pustaka Latin. Kartodihardjo, H.; Murtilaksono, K. dan Sudadi, U. (2004).
Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.  
Muhammad, N. dkk (2016). Survei Kelembagaan Masyarakat Pesisir di Provinsi
Sulawesi Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan. Kota Makassar.  
Munawir, A.; Juni, T.; Kusmana, C. dan Setiawan, Y. (2019). Faktor dinamika yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di Taman Nasional Lore Lindu. Prosiding  
SPIE 11372, Acara : Simposium Internasional Keenam Satelit LAPAN-IPB, Bogor
Indonesia.  
Nasution, M. (2002). Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan Untuk
Agroindustri. Bogor: IPB Press. Ostrom, E. (1990). Pemerintahan umum. Evolusi
Institusi untuk Aksi Kolektif. Pers Universitas Cambridge.  
Ostrom, E. (1992). Kelembagaan Pembuatan Sistem Irigasi Mandiri. San Francisco: Pers
Institut Studi Kontemporer.  
Ostrom, E. (2012). Memahami Keragaman Kelembagaan. New Jersey (AS). Universitas
Princeton.  
Puspitojati, T.; Darusman, D.; Tarumingkeng, RC dan Purnama, B. (2012). Preferensi
Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan Produksi: Studi Kasus Di Kesatuan
Pemangkuan Hutan Bogor. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 9(2): 96-113.  
Schmid, A. (1987). Kecepatan ion besi dalam angin matahari. Properti, Kekuasaan, dan
Penyelidikan Hukum dan Ekonomi Ic. Newyork; Praeger.  
Schlager, E. dan Ostrom, E. (1992). Rezim hak milik dan sumber daya alam: Sebuah
analisis konseptual. Ekonomi Tanah 68(3): 249-262.  
Siti, A. (2004). Perencanaan Strategi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu di
Kelurahan Pulau Penggang Kecamatan Seribu Utara Kabupaten Kepulauan Seribu
Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Buletin Ekonomi Perikanan. Bogor.  
Sinukaban, (2007). Karena penutupan mulsa jerami terhadap aliran permukaan, erosi dan
selektivitas erosi.  Dalam Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan.
Cetakan pertama. Jakarta: Direktorat 
Jenderal RLPS. hal 46-60.  
21

Tietenberg, T. dan Lewis, L. (2009). Ekonomi Lingkungan dan Sumber Daya Alam.
“Edisi ke-8”. Amerika Serikat: Pearson Education, Inc.  
Yelin, A.; Dodik, RN; Darusman, D. dan Leti, S. (2015). Kondisi Sosial Ekonomi
Masyarakat Di Sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jurnal Penelitian hutan
dan Konservasi Alam., 12(2): 105-118.  
Yusuf, D. (2018). Analisis Data Penelitian, Teori dan Aplikasi Dalam Bidang Perikanan.
Pers IPB.  
Yusuf, M.; Fahrudin, A.; Kusmana, C. dan Mukhlis, M. (2016). Analisis Faktor Penentu
Dalam pengelolaan Berkelanjutan Estuaria Das Tallo. Jurnal Analisis Kebijakan, 13(1):
41-51.  
Zuhud, EAM (2011). Pengembangan Desa Konservasi Hutan Keanekaragaman Hayati
Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Dan Obat Kelaurga Idonesia Dalam Menghadapi
Ancaman Krisis Baru Ekonomi Dunia Di Era Globalisasi [Orasi Ilmiah Guru Besar IPB].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Widjajanto, D., [Degradasi Lahan Dikawasan Taman Nasional Lore Lindu dan
Sekitarnya], Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor, (2003) 
Erasmi, S., Twele, A., Ardiansyah, M. , Malik, A. dan Kappas, M., “Pemetaan
deforestasi dan konversi tutupan lahan di tepi hutan hujan di Sulawesi Tengah,
Indonesia,” EARSeL eProceedings 3, 3 (2004).
Sitorus, SRP, [Perencanaan Penggunaan Lahan] IPB Press Pub., Bogor, (2017). 
Meyer, WB dan Turner, BL, "Perubahan penggunaan lahan dan tutupan lahan: perspektif
global," Cambridge University Press, Cambridge, (1994). 
Sandin, L., "Hubungan antara penggunaan lahan, hidromorfologi dan biota sungai pada
skala spasial dan temporal yang berbeda: sintesis dari tujuh studi kasus." Limnologi
Dasar dan Terapan 174(1), 1-5 (2009).
Klein, I., Gessner, U. dan Kuenzer, C., “Pemetaan tutupan lahan regional dan deteksi
perubahan di Asia Tengah menggunakan rangkaian waktu MODIS,” Appl. Geogr 35,
219-234 (2012).  
Anaba, LA, Banadda, N., Kiggundu, N., Wanyama, J., Engel, B. dan Moriasi, D.,
“Penerapan SWAT untuk Menilai Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Teluk
Murchison di Uganda,” Komputasi Air, Energi, dan Teknik Lingkungan 6, 24-40 (2017). 
22

Liu, J., Liu, S., Loveland, TR dan Tieszen, LL, “Mengintegrasikan pengamatan tutupan
lahan penginderaan jauh dan model biogeokimia untuk memperkirakan dinamika karbon
ekosistem hutan,” Ecol. Model 219, 361-372 (2008). 
Efroymson, D., Pham, HA, Jones, L., Fitzgerald, S., Thu, LT dan Hien, LTT, “Tobacco
and Poverty: Evidence from Vietnam,” Tobacco Control 20(4), 296-301 (2011)
Luneta, RS, Joseph, FK, Jayantha, E., John, G., Lyon, L. dan Worthy, D., “Deteksi
perubahan tutupan lahan menggunakan data NDVI MODIS multitemporal,” Jurnal
Penginderaan Jauh Lingkungan (2006 ). 
Setiawan, Y. dan Yoshino, K., "Deteksi perubahan dalam dinamika penggunaan lahan
dan tutupan lahan pada skala regional dari citra deret waktu yang modis," Jurnal
Penginderaan Jauh dan Ilmu Informasi Spasial 7-243 (2012).
[Achard, F., Eva, HD, Mayaux, P., Stibig, HJ dan Belward, A., Peningkatan perkiraan
emisi karbon bersih dari perubahan tutupan lahan di daerah tropis untuk tahun 1990-an,”
Global Biogeochem. Siklus 18, 1-11 (2004).
Easterlin, RA, Pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap pembangunan ekonomi negara
berkembang,” ANNALS dari American Academy of Political and Social Science 369(1),
98-108 (1967). 
Penjual, PJ, Dickinson, RE, Randall, DA, Betts, AK, Hall, FG, Berry, JA, Collatz, GJ,
Denning, AS, Mooney, HA, Nobre, CA, Sato, N., Field, CB dan Henderson-Sellers, A.,
"Memodelkan pertukaran energi, air, dan karbon antara benua dan atmosfer," Science 80
(275), 502-209 (1997). 
Lillesand, TM, Kiefer, RW dan Chipman, JW, [Penginderaan Jauh dan Interpretasi
Gambar. Edisi Kelima], John Wiley & Sons, AS, (2004). 
Trisakti, B., and Nugroho, G., “Standarisasi koreksi data satelit multiwaktu dan
multisensor (Landsat TM/ETM+ dan SPOT-4)” Jurnal Penginderaan Jauh dan
Pengolahan Data Citra Digital 9, 25-34 (2012).
Howarth, PJ, dan Wickware, GM, "Prosedur untuk deteksi perubahan menggunakan data
digital Landsat," Jurnal Internasional Penginderaan Jauh 2(3), 277-291 (1981). 
Weismiller, R., Kristof, S., Scholz, D., et al., "Deteksi perubahan di lingkungan zona
pesisir," Rekayasa Fotogrametri Penginderaan Jauh 43 (12), 1533-1539 (1977). 
USGS, [BUKU PEDOMAN PENGGUNA DATA LANDSAT 8 (L8)], Departemen
Survei Geologi Dalam Negeri AS (2016). 
Jaya, I., [Analisis Citra Digital: Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumber
Daya Alam Teori dan Praktik Menggunakan Erdas Imagine], IPB Press, (2015). 
23

Gwet, K., "Statistik Kappa tidak memuaskan untuk menilai sejauh mana kesepakatan
antara penilai," Stat. Metode Inter-Rater Reliab Menilai. 76 378–382 (2002). 
Alikodra, HS, [Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Dekat Ecosophy bagi
Penyelamatan Bumi, beton ke-1] Gadjah Mada Universityy Press, Yogyakarta (2012). 
Jaya, INS, [Analisis Citra Digital: Perspektif Penginderaan Jarak Jauh untuk Pengelolaan
Sumberdaya Alam] IPB Press, Bogor (2010). 
Barbier, EB, Burgess, JC dan Grainger, A., “The Forest Transition: Towards a More
Comprehensive Theoretical Framework,” Land Use Policy 27(2), 98-107 (2010). 
Rudel, TK, Coomes, OT, Moran, E., Achard, F., Angelsen, A., Xu, J. dan Lambin, E.,
“Transisi hutan: menuju pemahaman global tentang perubahan penggunaan lahan,”
Perubahan Lingkungan Global 15(1), 23-31 (2005). [26]Juni, T., Meijide, A., Stiegler,
C., Kusuma, AP dan Knohl, A., “Pengaruh kekasaran permukaan dan  turbulensi pada
fluks panas dari perkebunan kelapa sawit di Jambi, Indonesia,” TIO Kon. Seri: Ilmu
Bumi dan Lingkungan 149, 1-11 (2018). 
Kothke, M., Leischner, B. dan Elsasser, P., “Pola deforestasi global yang seragam -
analisis empiris,” Kebijakan Hutan dan Ekonomi 28, 23-37 (2013). 
Lambin, EF dan Meyfroidt, P., “Transisi penggunaan lahan: Umpan balik sosio-ekologis
versus perubahan sosial-ekonomi,” Kebijakan Penggunaan Lahan 27(2), 108-118 (2010). 
Mather, AS, “Transisi hutan,” Area 24(4), 367-379 (1992).

Anda mungkin juga menyukai