NIM : H1B120035
Prodi : Ilmu Politik
Fakultas : Hukum
Semester : Genap
Mata Kuliah : Pengantar Hukum Indonesia
Sumber :
Ali, Z. 2006. Sosiologi Hukum, Jakarta. Sinar Grafika Anwar, Y. dan Adang. 2008.
DARWIS, R. TRADISI HILEYIYA: PERSINGGUNGAN ANTARA AGAMA DAN TRADISI
PADA MASYARAKAT KOTA GORONTALO PERSEKTIF SOSIOLOGI HUKUM
ISLAM.
Mushafi, M., & Marzuki, I. (2018). Persinggungan Hukum dengan Masyarakat dalam Kajian
Sosiologi Hukum. Jurnal Cakrawala Hukum, 9(1), 50-58.
Sumber :
Azhary, M. Tahir, Negara Hukum: Suatu Study tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
Salman, Otje, dkk., Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung: PT. Alumni, 2012.
Umar, N. (2014). Konsep Hukum Modern: Suatu Perspektif Keindonesiaan, Integrasi Sistem
Hukum Agama dan Sistem Hukum Nasional. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan, 22(1), 157-180.
3. Hukum hadir dalam bentuk kodifikasi, unifikasi serta bersifat nasional dan etatistik.
Apa kaitannya dengan pluralisme hukum?
Dalam perkembangan ilmu hukum dominasi positivisme mengakibatkan ontologi hukum
dimaknai secara rigid. Hukum menjadi suatu sistem yang tertutup, logis, netral dan tetap.
Sebagai suatu sistem yang tertutup maka makna hukum mengalami reduksi sedemikian rupa
sehingga dalam positivisme hukum akan selalu dilihat dalam karakter kesatuan dan
penyatuan. Hukum juga hadir dalam bentuk unifikasi dan kodifikasi, dan juga bersifat
nasional dan etatistik (Luhman, 2002). Dari sejarahnya, positivisme hukum lahir dari
semangat untuk memodernisasi hukum dalam konteks kekuasaan negara. Hal tersebut
memungkinkan Negara sebagai pengejawantahan kehendak umum untuk menjadi suatu
kekuasaan hukum yang dominan. Dengan kata lain makna hukum identik dengan perintah
penguasa (Austin, 2000). Dalam konstruksi pemaknaan tersebut, negara menjadi otoritas
yang memonopoli kehadiran hukum. Unifikasi merupakan penyatuan hukum yang berlaku
secara nasional atau penyatuan pemberlakuan hukum secara nasional, sedangkan kodifikasi
adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang-undang dalam materi yang sama.
Hukum yang hanya bersandar pada hukum negara yang positivistik mempunyai suatu
patologi teoritik jika dihadapkan pada hakikat hukum secara empirik. Dalam kenyataan
sosial, hukum negara senyata-nyata problematik karena pada dasarnya ketertiban dalam
masyarakat sejatinya bekerja secara natural. Jagat ketertiban ini tidaklah serta merta hasil
dari ketertiban dari tatanan yang disebut hukum negara. Kompleksitas dalam masyarakat
memungkinkan pemaknaan hukum secara plural. Hal ini mempunyai konsekuensi bahwa
artikulasi keadilan pun akan dimaknai tidak dari hukum negara saja. Namun hakikat keadilan
akan diterjemahkan dari kompleksitas dan relasi interaktif antar tatanan hukum (formal-
nonformal). Dalam proyeksi hukum progresif, kajian pluralisme hukum memberi topangan
epistemik bagi hukum progresif oleh karena itu tujuan dari hukum progresif sebagai kritik
atas dominannya hukum negara tidak hanya membedah relasi hukum negara dan hukum non-
formal namun juga merekonstruksi akses keadilan bagi kelompok minoritas. Perjuangan
pluralisme hukum progresif dalam mewujudkan keadilan substansial-plural tidak terbatas
pada rekognisi negara atas hak-hak kaum minoritas namun juga yang terpenting bagaimana
merubah prakondisi yang menyebabkan struktur hierarki dan diskriminasi yang terjadi
didalam masyarakat.
Sumber :
Budi Hardiman, Fransiskus. (2009). Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan
‘Ruang Publik’ Dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Kanisius. Jogjakarta
Irianto, S. (2017). Sejarah dan perkembangan pemikiran pluralisme hukum dan konsekuensi
metodologisnya. Jurnal Hukum & Pembangunan, 33(4), 485-502.
Sumardi, D. (2016). Islam, Pluralisme Hukum dan Refleksi Masyarakat Homogen. Asy-Syir'ah:
Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum, 50(2), 481-504.
4. Apa yang dimaksud dengan hukum adat? Serta bagaimana revitalisasi hukum adat
sebagai sumber hukum dalam membangun sistem hukum di Indonesia?
Hukum Adat adalah hukum yang mencerminkan kepribadian dan jiwa bangsa, maka diyakini
bahwa sebagian pranata hukum Adat sebagian tentu masih relevan menjadi bahan dalam
membentuk sistem hukum Indonesia. Hukum Adat yang tidak lagi dapat dipertahankan akan
senyap dengan berjalannya waktu, sesuai dengan sifat hukum adat yang fleksibel dan
dinamis (tidak statis). Savigny sebagaimana dikutip oleh Soepomo menegaskan bahwa
Hukum Adat adalah hukum yang hidup, karena merupakan penjelmaan perasaan hukum yang
nyata dari rakyat. Sesuai fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh
dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Lembaga-lembaga hukum adat sebagian telah
terkodifikasi secara parsial dalam berbagai perundang-undangan dan sebagiannya lagi akan
menjadi sumber inspirasi pembentukan hukum nasional dan menjadi sumber hukum dalam
proses penemuan hukum. Selain itu, hukum adat diyakini berperan untuk menjaga nilai-nilai
yang dihasilkan oleh masyarakat, dan pada akhirnya diharapkan dapat menjaga hasil
pembangunan. Mengacu pada eksistensi hukum Adat dalam hukum potitif Indonesia, dapat
dikatakan bahwa baik hukum Adat yang bersifat netral maupun non netral masih diakui,
bahkan menjadi sumber hukum yang dapat dirujuk dalam mengantisipasi perkembangan
global. Pemerintah seyogyanya mengeksplorasi nilai-nilai dalam hukum adat sebagai hukum
asli bangsa Indonesia dalam pembentukan hukum nasional di masa yang akan datang.
Sumber :
Dewi, R. W. L. (2005). Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan dan Pembangunan KUHP
Nasional. Jurnal Perspektif, 10(3).
Hayati, N. (2016). Peralihan Hak dalam Jual Beli Hak Atas Tanah (suatu Tinjauan terhadap
Perjanjian Jual Beli dalam Konsep Hukum Barat dan Hukum Adat dalam Kerangka Hukum
Tanah Nasional). Lex Jurnalica, 13(3), 147934.
Jayus, J. A. (2011). Rekonstruksi Kedudukan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum
Dewasa Ini. LITIGASI JURNAL ILMU HUKUM, 12(01), 780-813.
Maladi, Y. (2010). Eksistensi hukum adat dalam konstitusi negara pasca amandemen. Mimbar
Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 22(3), 450-464.