SEJARAH MUHAMMADIYAH
2.1. Sekilas Sejarah Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah
1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian
dikenal dengan KHA Dahlan. Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai
seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam
keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak
hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan
Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya
ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya
mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat
mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar
kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk
mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini
Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi
pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha".
Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk
anak-anak yang telah dewasa.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat
itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11,
Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang
Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi
Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga
tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
Menurut Dahlan, materi pendidikan yang diberikan adalah pengajaran Al-Qur’an dan Hadits,
membaca, menulis, berhitung, Ilmu bumi, dan menggambar. Materi Al-Qur’an dan Hadits
meliputi; Ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya,
musyawarah, pembuktian kebenaran Al-Qur’an dan Hadits menurut akal, kerjasama antara
agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak,
Demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan
manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).
Muhammadiyah yang ada sejak tahun 1912 telah menggarap dunia pendidikan, namun
perumusan mengenai tujuan pendidikan yang spesifik baru disusun pada 1936. Pada mulanya
tujuan pendidikan ini tampak dari ucapan K.H. Ahmad Dahlan: “ Dadiji kjai sing
kemajorean, adja kesel anggonu njambut gawe kanggo Muhammadiyah”( Jadilah manusia
yang maju, jangan pernah lelah dalam bekerja untuk Muhammadiyah). Untuk mewujudkan
tujuan pendidikan tersebut, menurut K.H. Ahmad Dahlan materi pendidikan atau kurikulum
pendidikan hendaknya meliputi:
Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang
baik berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah.
Pendidikan Individu yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu
yang utuh, yang kesinambungan antara perkembangan mental dan jasmani, antara
keyakinan dan intelek, antara perasaan dan akal pikiran serta antara dunia dan
akhirat.
Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesedihan
dan keinginan hidup masyarakat. Dilihat dari sudut kurikulum,sekolah tersebut
mengajrakan tidak hanya ilmu umum tetapi juga ilmu agama sekaligus. Hal ini
merupakan trobosan baru bahwa pada saat itu lembaga pendidikan umum
(sekolah) hanya mengajarkan pelajaran umum dan sebaliknya lembaga pendidikan
agama (pesantren) hanya mengajarkan pelajaran agama. Dengan kurikilum
tersebut, Ahmad Dahlan berusaha membentuk individu yang utuh dengan
memberikan pelajaran agama dan umum sekaligus.
Di dalam menyampaikan pelajaran agama K.H. Ahmad Dahlan tidak menggunakan
pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya
dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
Cara belajar-mengajar di pesantren pada umumnya menggunakan sistem Weton dan Sorogan,
sementara madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
Bahan pelajaran di pesantren mengambil dari kitab-kitab agama saja. Sedangkan di madrasah
Muhammadiyah bahan pelajarannya mengambil dari kitab agama dan buku-buku umum.
Menurut Toto Suharto, Ahmad Dahlan memadukan antara pendidikan Agama dan pendidikan
umum sedemikian rupa, dengan tetap berpegang kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab, kitab-kitab kontemporer berbahasa Arab juga
dipelajari dilembaga Muhammadyah yang dipadukan dengan pendidikan umum. Di pesantren
hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang
dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan
antara guru-murid yang akrab.
Bagi K.H. Ahmad Dahlan, ajaran Islam tidak akan membumi dan dijadikan pandangan hidup
pemeluknya, kecuali dipraktekkan. Betapa pun bagusnya suatu program, menurut Dahlan,
jika tidak dipraktekkan, tidak akan bisa mencapai tujuan bersama. Karena itu, K.H. Ahmad
Dahlan tidak terlalu banyak mengelaborasi ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi ia lebih banyak
mempraktikkannya dalam amal nyata. Praktek amal nyata yang fenomenal ketika
menerapkan apa yang disebut dalam surat Al-Maun yang secara tegas memberi peringatan
kepada kaum muslim agar mereka menyayangi anak-anak yatim dan membantu fakir miskin.
Untuk mengamalkan isi surat Al-Ma’un sK.H. Ahmad Dahlan juga mengajak santri-santrinya
ke pasar Beringharjo, Malioboro, dan Alun-alun utara Yogyakarta. Di tempat-tempat itu
berkeliaran pengemis dan kaum fakir. K.H. Ahmad Dahlam memerintahkan setiap santrinya
untuk membawa fakir itu ke Mesjid Besar. Dihadapan para santri, K.H. Ahmad Dahlan
membagikan sabun, sandang dan pangan kepada kaum fakir. K.H. Ahmad Dahlan meminta
fakir miskin untuk tampil bersih. Sejak saat itulah, Muhammadiyah aktif dalam menyantuni
fakir miskin dan yatim piatu.
Pemikiran Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal
kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Gagasan pembaruannya sempat mendapat
tantangan dari masyarakat waktu itu, terutama dari lingkunagan pendidikan tradisional.
Kendati demikian, bagi Dahlan, tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan
tantangan yang perlu dihadapi secara arif dan bijaksana. Arus dinamika pembaharuan terus
mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin
kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan
strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karena
pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media
ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dalam membaca peta
kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran
pendidikan K.H Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk
memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang
lebih proporsional.
REFERENSI
http://www.muhammadiyah.or.id/content-50-det-sejarah.html (diakses tanggal
3 Nopember 2014)
http://tonijulianto.wordpress.com/2012/12/14/sejarah-berdirinya-muhammadiyah-di-
indonesia/ (diakses tanggal 07 Nopember 2014)
http://violetaindriani.blogspot.com/2013/11/makalah-kemuhammadiyahan-latar-
belakang.html (diakses tanggal 07 Nopember 2014)
http://sevtolanang.blogspot.com/2013/01/sejarah-berdirinya-muhammadiyah.html (diakses
tanggal 07 Nopember 2014)
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan (diakses tanggal 07 Nopember 2014)