Anda di halaman 1dari 6

Rabu, 19 November 2014

SEJARAH MUHAMMADIYAH
2.1. Sekilas Sejarah Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah
1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian
dikenal dengan KHA Dahlan. Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai
seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam
keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak
hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan
Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya
ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya
mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat
mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar
kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk
mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini
Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi
pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha".
Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk
anak-anak yang telah dewasa.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat
itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11,
Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang
Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi
Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga
tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.

2.2. Faktor Objektif


Kondisi Sosial Dan Keagamaan Bangsa Indonesia Pada Zaman Kolonial
a.    Kristenisasi
Faktor objektif yang bersifat eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran
Muhammadiyah adalah kristenisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis
untuk mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi kristen.
Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah
Kolonialisme Belanda. Missi Kristen, baik Katolik maupun Protestan di Indonesia, memiliki
dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda. Bahkan kegiatan-kegiatan kristenisasi ini
didukung dan dibantu oleh dana-dana negara Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristen
inilah yang terutama mengguggah KH. Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari
pemurtadan.
b.    Kolonialisme Belanda
Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi perkembangan Islam
di wilayah nusantara ini, baik secara sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ditambah
dengan praktek politik Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana
ingin menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan
perlawanan. Menyikapi hal ini, KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah
berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural,
terutama upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.
Faktor objektif yang kedua secara ekternal, yaitu disebabkan politik kolonialisme dan
imperialisme Belanda yang menimbulkan perpecahan di kalangan bangsa Indonesia.
1)    Periode Pertama (periode sebelum Snouck Hurgronje)
a.    Belanda berprinsip agar penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak memberontak.
b.    Menerapkan dua strategi yaitu membuat kebijakan-kebijakan yang sifatnya membendung
dan melakukan kristenisasi bagi penduduk Indonesia.
c.    Dalam  pelarangan  pengalaman ajaran  islam, Belanda  membatasi masalah ibadah haji
dengan berbagai aturan tetapi pelarangan ini justru kontraproduktif  bagi  Belanda karena
menjadi sumber  pemicu perlawanan terhadap Belanda sebagai penjajah karena menghalangi
kesempurnaan islam seseorang.
2)    Periode Kedua (periode setelah Snouck Hurgronje menjadi penasihat Belanda untuk urusan
pribumi di Indonesia)
a.    Dalam hal ini,tidak semua kegiatan pengamalan Islam dihalangi bahkan dalam hal tertentu
didukung. Kebijakan didasarkan atas pengalaman Snouck berkunjung ke Makkah dengan
menyamar sebagai seorang muslim bernama Abdul Ghaffar.
b.    Kebijakan Snouck didasarkan tiga prinsip utama,yaitu: Pertama rakyat indonesia dibebaskan
dalam menjalankan semua masalah ritual keagamaan seperti ibadah, Kedua pemerintah
berupaya mempertahankan dan menghormati keberadaan lembaga-lembaga sosial atau aspek
mu’amalah dalam islam, Ketiga pemerintah tidak menoleransi kegiatan apapun yang
dilakukan kaum muslimin yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme atau
menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda.

2.3. Faktor Subjektif


Keprihatinan Dan Keterpanggilan KH. Ahmad Dahlan Terhadap Umat Dan Bangsa
Faktor Subyektif yang sangat kuat, bahkan dikatakan sbagai faktor utama dan faktor
penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KHA. Dahlan
terhadap Al Qur'an dalam menelaah, membahas dan meneliti dan mengkaji kandungan isinya.
Sikap KHA. Dahlan seperti ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah
sebagaimana yang tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat MUhammad ayat
24 yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian
terhadap apa yang tersirat dalam ayat. Sikap seperti ini pulalah yang dilakukan KHA. Dahlan
ketika menatap surat Ali Imran ayat 104 : "Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung".
Memahami seruan diatas, KHA. Dahlan tergerak hatinya untuk membangan sebuah
perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmad
pada melaksanakan misi dakwah Islam amar Makruf Nahi Munkar di tengah masyarakat kita.

2.4. Profil KH. A. Dahlan Dan Pemikirannya


Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1
Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari1923 pada umur 54 tahun) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari
keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka
di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan
adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat pada masa itu.
Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak
keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah
seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di
Jawa. Silsilahnya tersebut ialahMaulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul
Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas,
Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy
(Ahmad Dahlan).
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode
ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam,
seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang
kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa
ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH.
Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampungKauman,
Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad
Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan,
Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir
Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai
Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah
dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan dimakamkan
di KarangKajen, Yogyakarta.
PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN MENGENAI ISLAM DAN UMMATNYA
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha
membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan
dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling
bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model
Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang
salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan
pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Melihat
ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang
sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum,
material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi K.H. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut
(agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan
pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.

Menurut Dahlan, materi pendidikan yang diberikan adalah pengajaran Al-Qur’an dan Hadits,
membaca, menulis, berhitung, Ilmu bumi, dan menggambar. Materi Al-Qur’an dan Hadits
meliputi; Ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya,
musyawarah, pembuktian kebenaran Al-Qur’an dan Hadits menurut akal, kerjasama antara
agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak,
Demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan
manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).

Muhammadiyah yang ada sejak tahun 1912 telah menggarap dunia pendidikan, namun
perumusan mengenai tujuan pendidikan yang spesifik baru disusun pada 1936. Pada mulanya
tujuan pendidikan ini tampak dari ucapan K.H. Ahmad Dahlan: “ Dadiji kjai sing
kemajorean, adja kesel anggonu njambut gawe kanggo Muhammadiyah”( Jadilah manusia
yang maju, jangan pernah lelah dalam bekerja untuk Muhammadiyah). Untuk mewujudkan
tujuan pendidikan tersebut, menurut K.H. Ahmad Dahlan materi pendidikan atau kurikulum
pendidikan hendaknya meliputi:
 Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang
baik berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah.
 Pendidikan Individu yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu
yang utuh, yang kesinambungan antara perkembangan mental dan jasmani, antara
keyakinan dan intelek, antara perasaan dan akal pikiran serta antara dunia dan
akhirat.
 Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesedihan
dan keinginan hidup masyarakat. Dilihat dari sudut kurikulum,sekolah tersebut
mengajrakan tidak hanya ilmu umum tetapi juga ilmu agama sekaligus. Hal ini
merupakan trobosan baru bahwa pada saat itu lembaga pendidikan umum
(sekolah) hanya mengajarkan pelajaran umum dan sebaliknya lembaga pendidikan
agama (pesantren) hanya mengajarkan pelajaran agama. Dengan kurikilum
tersebut, Ahmad Dahlan berusaha membentuk individu yang utuh dengan
memberikan pelajaran agama dan umum sekaligus.
Di dalam menyampaikan pelajaran agama K.H. Ahmad Dahlan tidak   menggunakan
pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya
dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
Cara belajar-mengajar di pesantren pada umumnya menggunakan sistem Weton dan Sorogan,
sementara madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
Bahan pelajaran di pesantren mengambil dari kitab-kitab agama saja. Sedangkan di madrasah
Muhammadiyah bahan pelajarannya mengambil dari kitab agama dan buku-buku umum.
Menurut Toto Suharto, Ahmad Dahlan memadukan antara pendidikan Agama dan pendidikan
umum sedemikian rupa, dengan tetap berpegang kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab, kitab-kitab kontemporer berbahasa Arab juga
dipelajari dilembaga Muhammadyah yang dipadukan dengan pendidikan umum. Di pesantren
hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang
dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan
antara guru-murid yang akrab.
Bagi K.H. Ahmad Dahlan, ajaran Islam tidak akan membumi dan dijadikan pandangan hidup
pemeluknya, kecuali dipraktekkan. Betapa pun bagusnya suatu program, menurut Dahlan,
jika tidak dipraktekkan, tidak akan bisa mencapai tujuan bersama. Karena itu, K.H. Ahmad
Dahlan tidak terlalu banyak mengelaborasi ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi ia lebih banyak
mempraktikkannya dalam amal nyata. Praktek amal nyata yang fenomenal ketika
menerapkan apa yang disebut dalam surat Al-Maun yang secara tegas memberi peringatan
kepada kaum muslim agar mereka menyayangi anak-anak yatim dan membantu fakir miskin.
Untuk mengamalkan isi surat Al-Ma’un sK.H. Ahmad Dahlan juga mengajak santri-santrinya
ke pasar Beringharjo, Malioboro, dan Alun-alun utara Yogyakarta. Di tempat-tempat itu
berkeliaran pengemis dan kaum fakir. K.H. Ahmad Dahlam memerintahkan setiap santrinya
untuk membawa fakir itu ke Mesjid Besar. Dihadapan para santri, K.H. Ahmad Dahlan
membagikan sabun, sandang dan pangan kepada kaum fakir. K.H. Ahmad Dahlan meminta
fakir miskin untuk tampil bersih. Sejak saat itulah, Muhammadiyah aktif dalam menyantuni
fakir miskin dan yatim piatu.

Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran islam pada sumbernya yaitu Al-Qur’an  dan


Hadis. Muhammadiyah bertujuan meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama Islam,
sehingga terwujud masyaraIslam yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu,
Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam
dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah mengadakan pembaruan pendidikan
agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan dijalankan dengan menukar sistem pondok
pesantren dengan pendidikan modern sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman.
Pengajaran agama Islam diberikan di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta.
Muhammadiyah telah mendirikan sekolah-sekolah baik yang khas agama maupun yang
bersifat umum. Metode baru yang diterapkan oleh sekolah  Muhammadiyah mendorong
pemahaman Al-Qur’an dan Hadis secara bebas oleh para pelajar sendiri

Sebagai sebuah organisasi yang memperhatikan perkembangan pendidikan di Indonesia,


maka Muhammadiyah melakukan usaha mengembangkan pendidikan dengan cara
mendirikan sekolah-sekolah umum dan mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi
pendidikan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum.

Perkembangan Muhammadiyah di Indonesia, sebagai berikut :

1. Perkembangan secara Vertikal


Dari segi perkembangan secara vertikal, Muhammadiyah telah berkembang ke seluruh
penjuru tanah air. Akan tetapi, dibandingkan dengan perkembangan organisasi NU,
Muhammadiyah sedikit ketinggalan. Hal ini terlihat bahwa jamaah NU lebih banyak dengan
jamaah Muhammadiyah. Faktor utama dapat dilihat dari segi usaha Muhammadiyah dalam
mengikis adat-istiadat yang mendarah daging di kalangan masyarakat, sehingga banyak
menemui tantangan dari masyarakat.

2. Perkembangan secara Horizontal


Dari segi perkembangan secara Horizontal, amal usaha Muhamadiyah telah banyak
berkembang, yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Perkembangan Muhamadiyah dalam
bidang keagamaan terlihat dalam upaya-upayanya, seperti terbentukanya Majlis Tarjih
(1927), yaitu lembaga yang menghimpun ulama-ulama dalam Muhammadiyah yang secara
tetap mengadakan permusyawaratan dan memberi fatwa-fatwa dalam bidang keagamaan,
serta memberi tuntunan mengenai hukum.

Pemikiran Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal
kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Gagasan pembaruannya sempat mendapat
tantangan dari masyarakat waktu itu, terutama dari lingkunagan pendidikan tradisional.
Kendati demikian, bagi Dahlan, tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan
tantangan yang perlu dihadapi secara arif dan bijaksana. Arus dinamika pembaharuan terus
mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin
kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan
strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karena
pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media
ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dalam membaca peta
kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran
pendidikan K.H Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk
memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang
lebih proporsional.

REFERENSI
http://www.muhammadiyah.or.id/content-50-det-sejarah.html (diakses tanggal
3 Nopember 2014)
http://tonijulianto.wordpress.com/2012/12/14/sejarah-berdirinya-muhammadiyah-di-
indonesia/ (diakses tanggal 07 Nopember 2014)
http://violetaindriani.blogspot.com/2013/11/makalah-kemuhammadiyahan-latar-
belakang.html (diakses tanggal 07 Nopember 2014)
http://sevtolanang.blogspot.com/2013/01/sejarah-berdirinya-muhammadiyah.html (diakses
tanggal 07 Nopember 2014)
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan (diakses tanggal 07 Nopember 2014)

Anda mungkin juga menyukai