Anda di halaman 1dari 8

MUHAMMADIYAH; TINJAUAN IDEOLOGIS

Oleh: Aly Aulia, Lc., M.Hum.

A. Pengertian Ideologi
Berasal dari bahasa Yunani idea (ide/gagasan) dan logos (studi tentang,
pengetahuan tentang). Pada akhir abad ke-18, Destutt de Tracy memunculkan kata
ideologi sebagai istilah yang menunjuk pada “ilmu tentang gagasan. Menurut
sejarahnya, memang istilah ideologi ini pertama-tama dikemukakan oleh de Tracy
oleh seorang filosof Perancis yang punya cita-cita membangun suatu sistem
pengetahuan, yang ia sebut sebagai “science of ideas”. Kata tersebut secara
bervariasi digunakan untuk mencirikan gagasan-gagasan, ideal-ideal, kepercayaan-
kepercayaan, keinginan-keinginan, nilai-nilai, weltanschauungen (pandangan
dunia), agama-agama, filsafat politik, dasar kebenaran moral.

Beberapa pengertian ideologi:


 Ideologi adalah setiap sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-
keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, sosial.
 Ideologi adalah sebuah sistem khusus tentang gagasan, khususnya dalam
bidang sosial dan politik.
 Ideologi adalah ilmu pengetahuan tentang gagasan.
 Ideologi adalah sebuah sistem filsafat yang menurunkan gagasan-gagasan
khusus dari penginderaan.
 Ideologi adalah pemikiran abstrak khususnya dari sebuah khayalan atau
sifat dasar yang tidak praktis.
Sedangkan menurut Alex Sobur, pakar komunikasi, pengertian ideologi
diklasifikasikan ke dalam tiga pengertian atau kecenderungan: yang positif , yang
negatif, dan yang netral.
Pengertian ideologi secara positif dan negatif dikemukakan Jorge Larrain.
Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia (worldview) yang
menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan
kepentingan-kepentingan mereka. Secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu
kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara
memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial.
Dalam pengertian netral, ideologi dipersepsi David Kaplan dalam
penggunaannya tentang nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen,
kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Atau
menurut Franz Magnis-Suseno pengertian ideologi sebagai keseluruhan sistem
berpikir, nilai-nilai, dan sikap-sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial
atau kebudayaan.
Menurut Sastra Pratedja, setiap ideologi pasti mengandung tiga unsur,
yaitu:
a. Adanya suatu penafsiran terhadap kenyataan atau realitas (interpretasi).
b. Setiap ideologi memuat seperangkat nilai atau suatu ketentuan
(preskripsi) moral. Dengan demikian berarti setiap ideologi secara
implisit memuat penolakan terhadap sistem moral lainnya.
c. Ideologi memuat suatu orientasi pada tindakan (program aksi), ideologi
merupakan suatu pedoman kegiatan untuk mewujudkan nilai-nilai yang
termuat di dalamnya.
Teori mengenai ideologi mempermasalahkan tiga soal. Pertama, “whether
or how self or group interest distorts their understanding” (apakah benar dan
bagaimanakah kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok mengacaukan
kemampuan untuk memahami sesuatu); kedua “whether the only validity any
ideology view can have is relative to circumstances” (apakah suatu ideologi itu
diterima hanya jika sesuai dengan kenyataan); dan ketiga,”whether empirical
observation gives us any test of the validity of an ideology” (apakah observasi
empiris dapat memberi kita suatu batu ujian untuk mengetahui validitas suatu
ideologi).
Ada tiga dimensi yang dipakai untuk melihat dan mengukur kualitas sesuatu
ideologi, yakni (1) kemampuannya mencerminkan realitas yang hidup dalam
masyarakat, (2) mutu idealisme yang dikandungnya, dan (3) sifat fleksibilitas yang
dimilikinya.
Dimensi pertama ideologi ialah pencerminan realitas yang hidup dalam
masyarakat di mana ia muncul pertama kalinya, paling tidak pada saat-saat
kelahirannya itu. Dengan kata lain, ideologi itu merupakan gambaran tentang
sejauh mana sesuatu masyarakat berhasil memahami dirinya sendiri. Dengan
demikian, daya tahan sesuatu ideologi, antara lain, tergantung pada tinggi atau
rendahnya kemampuan intelektual mereka yang melahirkannya dalam meneliti dan
menganalisis masyarakatnya secara objektif. Jika kemampuan itu tinggi, maka
ideologi yang lahir akan mempunyai relevansi yang kuat dengan jiwa dan
kehidupan masyarakat dan sebaliknya.
Dimensi kedua dari ideologi ialah lukisan tentang kemampuannya
memberikan harapan kepada berbagai kelompok atau golongan yang ada dalam
masyarakat untuk mempunyai kehidupan bersama secara lebih baik dan untuk
membangun suatu masa depan yang lebih cerah. Dalam hal ini idealisme dapat
dianggap sebagai motor penggerak yang membangkitkan hasrat anggota-anggota
masyarakat untuk hidup bersama dan bersatu, menggairahkan partisipasi mereka
dalam usaha-usaha bersama seperti pembangunan. Tinggi rendahnya kualitas
idealisme merupakan ukuran penting lain untuk melihat daya tahan ideologi.
Kualitas ini, antara lain dapat diukur melalui persepsi masyarakat, yaitu adakah
idealisme dapat mereka rasakan dan anggap sebagai cita-cita yang wajar dan dapat
dicapai, ataukah hanya sebagai utopia atau sekadar lambungan angan-angan yang
sangat kabur dan oleh karena itu terasa tak mungkin dapat dijangkau.
Dimensi ketiga dari ideologi-erat kaitannya dengan kedua dimensi di atas-
mencerminkan kemampuan sesuatu ideologi dalam mempengaruhi dan sekaligus
menyesuaikan diri dengan pertumbuhan atau perkembangan masyarakatnya.
Mempengaruhi berarti ikut mewarnai proses perkembangan itu, sedangkan
menyesuaikan diri berarti bahwa masyarakat berhasil menemukan interpretasi-
interpretasi baru terhadap nilai-nilai dasar atau pokok dari ideologi itu sesuai
dengan realita-realita baru yang muncul dan mereka hadapi. Dengan demikian,
nilai-nilai dasar itu, seperti nasionalisme dan keadilan sosial, akan tampak selalu
relevan sebagai idealisme yang wajar. Jadi, supaya tetap relevan, ideologi itu
tampaknya perlu mempunyai sifat yang lentur agar dapat melahirkan interpretasi-
interpretasi baru tentang dirinya sesuai dengan perkembangan zaman. Ada atau
tidaknya, tinggi atau rendahnya sifat lentur ini dapat pula dipakai sebagai ukuran
penting ketiga dalam melihat kualitas dan daya tahan sesuatu ideologi dalam
masyarakat.

B. Fungsi Ideologi
Fungsi ideologi adalah pembenaran yang menyamarkan sekumpulan
kepentingan-kepentingan tertentu. Ideologi sebagai sistem kepercayaan dapat
digunakan untuk menggerakkan massa untuk melakukan aksi. Ideologi juga
digunakan oleh suatu kelompok sosial agar dunia dapat memahami mereka.

C. Latarbelakang formulasi ideologi di Muhammadiyah


Ideologisasi (formulasi ideologi) pemikiran keagamaan Muhammadiyah
memperoleh momentumnya setelah memasuki zaman kemerdekaan, di mana
terjadi perubahan sosial-politik yang cukup mendasar. Sejak itu terjadi pergumulan
politik ideologi yang berkepanjangan (1945-1965). Dimulai dengan perdebatan
mengenai perumusan ideologi negara, di mana para politisi Islam menginginkan
Islam sebagai dasar negara, sementara golongan lain menolaknya, kemudian
berakhir dengan ditetapkannya pancasila sebagai dasar negara. Para politisi Islam
menginginkan tetap dicantumkannya tujuh kata “dengan menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta, tetapi akhirnya tetap
dihapuskan. Pergumulan politik golongan berdasarkan ideologi berlanjut terus dan
kemudian terkristalisasi menjadi benturan antara NASAKOM yaitu kekuatan
progresif Revolusioner, yaitu kekuatan yang mendukung pemerintah, dan
menyetujui terhadap seluruh kebijakan politik negara, berbenturan dengan
kelompok “Kontra Revolusi” yang berakhir dengan pemberontakan G.30 S-PKI
sebagai tragedi nasional.
Dalam merespon perubahan sosial yang diwarnai dengan pergumulan
politik ideologi tersebut, Muhammadiyah memerlukan sebuah ideologi yang jelas,
sebagaimana negara juga memerlukan ideologi. Proses ideologisasi ini nampaknya
berjalan terus sejak kemerdekaan sampai awal era Orde Baru.
Embrio formulasi ideologi Muhammadiyah sudah dimulai sejak
kepemimpinan K.H. Mas Mansur, ketika Muhammadiyah bersentuhan dengan
persoalan politik menjelang kemerdekaan. Pengganti K.H. Mas Mansur yaitu Ki
Bagus Hadikusumo (PB Muhammadiyah periode 1942-1953) merumuskan lebih
sistematis pemikiran ideologis Muhammadiyah dalam konsep Muqaddimah
Anggaran Dasar Muhammadiyah. Konsep tersebut kemudian dibahas pada
konggres (Muktamar) Muhammadiyah ke-31 tahun 1950. Dan baru disahkan di
sidang Tanwir tahun 1951.
Kondisi sosial-politik mengalami perubahan drastis di era Orde Baru yakni
merupakan titik balik dari sebelumnya. Dari politik ideologi ke deideologisasi
politik, menuju ideologi tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
ujungnya ialah penetapan Pancasila sebagai asas tunggal. Dalam merespon
perubahan sosial politik tersebut Muhammadiyah meninjau kembali pemikiran
ideologisnya yang telah berkembang sepanjang sejarahnya, kemudian
menformulasikannya secara eksplisit menjadi ideologi Muhammadiyah. Namun
karena istilah ideologi waktu itu menjadi barang tabu, maka Muhammadiyah
mengemasnya dengan terminologi lain yaitu “Matan Keyakinan dan Cita-Cita
Hidup Muhammadiyah (MKCH)” yang diproses melalui Sidang Tanwir di
Ponorogo tahun 1969 setelah disempurnakan.
Dengan menyimak perkembangan pemikiran ideologis Muhammadiyah,
tampak bahwa: pertama, faktor perubahan sosial-politik sangat mendorong upaya
formulasi ideologi, yang berarti ideologisasi merupakan tuntutan sejarah untuk
memelihara konsistensi perjuangan dan keutuhan warganya; kedua,
Muhammadiyah lewat tokoh-tokohnya yang memiliki kemampuan berpikir
substantif telah merumuskan cita-cita perjuangannya yaitu “terwujudnya
masyarakat Islam”.

a) Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM)


1. Latar Belakang Perumusan MADM
Adalah Ki Bagus Hadikusumo yang telah berhasil dengan cemerlang
merumuskan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, termasuk juga
formulasi maksud dan tujuan Muhammadiyah mengalami perubahan yang
cukup fundamental pada periode beliau.
Konsep MADM bukan ide murni Ki Bagus Hadikusumo, akan tetapi
hasil refleksi terhadap pokok-pokok pikiran, ide dan gagasan KHA Dahlan.
Oleh Ki Bagus Hadikusumo, ide-ide KHA Dahlan diformulasikan menjadi
rancangan atau konsep MADM. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
konsep MADM yang disusun oleh Ki Bagus Hadikusumo adalah
menggambarkan falsafah hidup dan falsafah perjuangan KHA Dahlan, yang
didalamnya secara jelas menegaskan tentang “dasar dan keyakinan hidup”,
“tujuan atau cita-cita hidup” dan “cara yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan hidup”.
MADM disusun setelah 38 tahun gerakan Muhammadiyah melancarkan
aktivitas dan usahanya. Hasil rumusan MADM pertama kali diperkenalkan
dalam Muktamar Darurat tahun 1946 di Yogyakarta. Selanjutnya dalam
Muktamar ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950 konsep MADM tersebut
diajukan kembali untuk dibahas dan disahkan secara resmi. Akan tetapi pada
waktu itu muncul pula konsep lain yang disusun oleh Prof. DR. HAMKA dan
kawan-kawannya yang isinya lebih menitikberatkan pada peranan dan
sumbangsih Muhammadiyah dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan
bangsa dan negara. Akhirnya konsep Ki Bagus Hadikusumo diterima oleh
Sidang Tanwir 1951 dengan penyempurnaan susunan redaksionalnya. Yang
menjadi tim penyempurna MADM adalah Prof. DR. HAMKA, Prof. Mr.
Kasman Singodimedjo, KH. Farid Ma’ruf dan Zein Djambek.
Dengan uraian singkat di atas dapat disebutkan beberapa latarbelakang
penyusunan MADM, antara lain.
1. Belum adanya rumusan formal tentang dasar dan cita-cita perjuangan
Muhammadiyah.
2. Kehidupan rohani keluarga Muhammadiyah menampakkan gejala
menurun, akibat terlalu berat mengejar kehidupan duniawi.
3. Makin kuatnya berbagai pengaruh alam pikiran dari luar, yang
langsung atau tidak langsung berhadapan dengan paham dan
keyakinan hidup Muhammadiyah.
4. Dorongan disusunya Pembukaan Undang-Undang Dasar RI tahun
1945.

2. Hakikat dan Fungsi MADM


Adapun hakikat MADM adalah suatu kesimpulan dari perintah dan
ajaran Al-Quran dan as-Sunnah tentang pengabdian manusia kepada Allah swt,
amal dan perjuangan bagi setiap muslim yang sadar akan kedudukannya selaku
hamba dan khalifah di muka bumi.
Sedangkan fungsi MADM sebagai jiwa, nafas dan semangat
pengabdian dan perjuangan ke dalam tubuh dan segala gerak organisasinya,
yang harus dijadikan asas dan pusat tujuan perjuangan Muhammadiyah.

3. Matan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.


Matan MADM terdiri dari 7 paragraf yang setiap paragraf berisi satu
pokok pikiran sebagaimana berikut di bawah ini:
PERTAMA : Hidup manusia harus berdasarkan “TAUHID”, yaitu
mengesakan Allah; bertuhan, beribadah serta patuh hanya
kepada Allah semata.
KEDUA : Hidup manusia harus bermasyarakat.
KETIGA : Hanya ajaran Islam satu-satunya ajaran hidup yang dapat
dijadikan sendi pembentuk pribadi utama dan mengatur
ketertiban hidup bersama (bermasyarakat) menuju hidup
bahagia sejahtera yang hakiki dunia dan akhirat.
KEEMPAT : Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
untuk mewujudkan masyarakat utama, adil dan makmur yang
diridhai Allah Swt adalah wajib, sebagai ibadah kepada Allah,
dan berbuat islah dan ihsan kepada sesama manusia.
KELIMA : Perjuangan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
hanyalah akan berhasil bila dengan mengikuti jejak (itiiba’)
perjuangan para Nabi, terutama perjuangan Nabi Muhammad
saw.
KEENAM : Perjuangan mewujudkan pokok-pokok pikiran seperti di atas
hanya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan akan
berhasil bila dengan cara berorganisasi.
KETUJUH : Seluruh perjuangan diarahkan kepada tercapainya tujuan
Muhammadiyah, yaitu terwujudnya masyarakat utama, adil
dan makmur yang diridhai Allah swt.
Ketujuh pokok pikiran yang tersimpul dalam MADM sebagaimana
di atas pada hakikatnya menggambarkan suatu ideologi yang dianut oleh
Muhammadiyah secara signifikan. Sebagaimana ideologi pada umumnya, di
dalam setiap ideologi pasti terdapat tiga unsur yang paling utama, yaitu:
a. Adanya suatu realitas yang diyakini dalam hidupnya (keyakinan hidup).
Keyakinan Muhammadiyah ini tergambar secara jelas pada pokok pikiran
I, II, III dan IV.
b. Keyakinan tersebut dijadikan landasan untuk merumuskan tujuan hidup
yang dicita-citakan (tujuan hidup). Tergambar dalam pokok pikiran VII.
c. Cara atau ajaran yang digunakan untuk merealisasikan tujuan yang dicita-
citakan. Tergambar dalam pokok pikiran V danVI.

C. Kepribadian Muhammadiyah
1. Latar Belakang Perumusan Kepribadian Muhammadiyah
Perumusan Kepribadian Muhammadiyah sesungguhnya tidak dapat
dilepaskan dari keterkaitannya dengan kondisi dan situasi negara pada sekitar
tahun 1962. Sebagaimana telah dimaklumi secara luas bahwa dengan
dimulainya peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 negara Indonesia memasuki
zaman baru yang dikenal dengan zaman demokrasi Terpimpin, atau lebih
terkenal dengan sebutan zaman Nasakom atau pemerintahan Nasakom.
Secara realitas obyektif dan jujur harus diakui bahwa waktu itu kekuatan
ideologis politis bangsa Indonesia terkelompok dalam tiga kekuatan, yaitu
kelompok Kebangsaan atau Nasionalis, kelompok Islam dan Kelompok
Komunis.
Dalam kenyataannya Muhammadiyah yang berafiliasi dengan Partai
Masyumi menjadikan hubungan Muhammadiyah dengan pemerintah tidak
harmonis. Partai Masyumi memiliki hubungan yang buruk dengan pemerintah
karena selalu menolak kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, partai Masyumi
menentang sistem “Demokrasi Terpimpin”, dan menolak untuk duduk di
kabinet bila harus bekerjasama dengan PKI.
Masyumi adalah suatu Partai Islam hasil Muktamar Islam Indonesia
yang berlangsung di Gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah
Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Dan dalam sejarah perjalanan Partai
Masyumi maka sekian banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah mengambil peran
serta sebagai anggota Pimpinan Masyumi.
Akhirnya Partai Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno pada tahun
1960 yang tentunya tidak menguntungkan bagi perjalanan Muhammadiyah.
Dalam kondisi demikian, Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1961
(menjelang Muktamar setengah abad tahun 1962 ) menyelenggarakan kursus
pimpinan Muhammadiyah seluruh Indonesia yang berlangsung di Yogyakarta.
Salah satu pembicaranya yaitu, KH. Faqih Usman membawakan makalah yang
berjudul “Apakah Muhammadiyah itu?” Dalam makalah ini Fakih Usman
menguraikan secara tepat tentang jati diri Muhammadiyah yang sebenarnya,
menguraikan tentang hakekat apa dan siapa Muhammadiyah itu.
Makalah yang disampaikan oleh Fakih Usman itu kemudian disepakati
untuk dirumuskan menjadi “KEPRIBADIAN MUHAMMADIYAH”. Yang
menjadi tim perumusnya adalah Prof. DR. HAMKA, KH. Wardan Diponingrat,
H. Djarnawi Hadikusumo, HM. Djindar Tamimy, HM. Saleh Ibrahim, serta
KH. Fakih Usman.
2. Fungsi Kepribadian Muhammadiyah
Kepribadian Muhammadiyah berfungsi sebagai landasan, pedoman dan
pegangan bagi gerak Muhammadiyah menuju cita-cita terwujudnya masyarakat
utama, adil makmur yang diridhai Allah swt.

3. Matan Kepribadian Muhammadiyah


I. Apakah Muhammadiyah itu?
Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan gerakan Islam.
Maksud geraknya adalah Da’wah Islam amar ma’ruf nahi-mungkar yang
ditujukan pada dua bidang: perseorangan dan masyarakat. Dakwah dan amar-
ma’ruf nahi-mungkar pada bidang yang pertama terbagi menjadi dua golongan,
kepada yang Islam bersifat pembaharuan (tajdid) yaitu mengembalikan kepada
ajaran-ajaran Islam yang murni. Yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat
seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam. Adapun dakwah dan amar ma-
ruf nahi-mungkar kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat perbaikan dan
bimbingan serta peringatan.
Dalam melaksanakan dakwah dan amar-ma’ruf nahi mungkar dengan
caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan
masyarakat menuju tujuannya ialah: terwujudnya masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.

II. Dasar Amal Usaha Muhammadiyah


Dalam perjuangan melaksanakan usaha menuju tujuan terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang dapat mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagian di muka bumi, Muhammadiyah mendasarkan
segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, yaitu:
a. Hidup manusia harus berdasarkan tauhid, ibadah dan taat kepada Allah.
b. Hidup manusia harus bermasyarakat.
c. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran
Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk
kebahagiaan dunia dan akhirat.
d. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah
kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kepada manusia.
e. Ittiba’ kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad saw.
f. Melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.

III. Pedoman Amal Usaha dan Perjuangan Muhammadiyah


Meninjau dasar prinsip tersebut di atas maka apa pun yang diusahakan
dan bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan
tunggalnya harus berpedoman: “Berpegang teguh akan ajaran Allah dan
Rasulnya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan
menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridhai Allah”.
IV. Sifat-sifat Muhammadiyah
Memperhatikan uraian tersebut di atas tentang: a. Apakah
Muhammadiyah itu? b. Dasar dan amal-usaha Muhammadiyah dan c. Pedoman
amal-usaha dan perjuangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah memiliki
dan wajib memelihara sifat-sifatnya, terutama yang terjalin di bawah ini:
1. Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan.
2. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.
3. Lapang dada, luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam.
4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.
5. Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan serta dasar
dan falsafah negara yang sah.
6. Amar-maruf nahi-mungkar dalam segala lapangan serta menjadi
contoh tauladan yang baik.
7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan
pembanguan sesuai dengan ajaran Islam.
8. Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha
menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela
kepentingannya.
9. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam
memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang
adil dan makmur yang diridhai Allah.
10. Bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.

Anda mungkin juga menyukai