Volume 9, Nomor 1
ABSTRACT
Compilation of Islamic Law (KHI) has not accommodated an issue about the apostate actions
performed by a husband or wife proportionally. Chapter 70 of KHI does not mention the apostate
actions as a cause cancellation of a marriage. But, Chapter 75 mentions (implicitly) that it was
a cause for that. While the Chapter 116 does not mention that the apostate actions as the reason
for divorce, unless there is disharmony in the household. The legal decision was very ambiguous.
First, there were two chapters that give different decisions on the same issue. Second, KHI does
not mention apostasy as one of the causes of the cancellation of the marriage in Chapter 70, but
in the Chapter 75 mentions apostasy is one reason for it. To x the ambiguity, KHI should give a
clear decision. When KHI already mentioned that the apostate actions caused the cancellation of
the marriage, then this issue does not need to be mentioned again as one reason for divorce. When
in Chapter 75 the Compilation of Islamic Law mention apostasy is one reason for the cancellation
of the marriage, it should be clear in Chapter 70 mentions apostasy as one of the causes for it.
ABSTRAK
Hukum kompilasi islam belum mengakomodasi isu tentang Murtad yang ditunjukkan oleh seorang
suami atau istri secara proporsional. Pasal 70 dari Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan perlakuan
pengingkaran sebagai penyebab pembatalan pernikahan. Tapi pada pasal 75 menyebutkan secara implist
bahwa hal tersebut adalah alasan murtad. Sementara pada pasal 116 tidak menyebutkan bahwa murtad
sebagai alasan untuk bercerai, jika ada ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Keputusan hukum sangat
ambigu. Pertama, ada dua pasal yang memberikan dua keputusan yang berbeda pada isu yang sama. Kedua,
kompilasi hukum islam tidak menyebut Murtad sebagai salah satu dari penyebab pembatalan pernikahan pada
pasal 70 tapi pada pasal 75 menyebutkan Murtad penyebab pembatalan pernikahan. Untuk membenarkan
keambiguan ini, Kompilasi Hukum Islam harus memberikan keputusan yang jelas. Ketika kompilasi hukum
islam telah menyebutkan Murtad menyebabkan pembatalan penikahan, kemudian isu ini tidak perlu disebut
lagi sebagai salah satu alasan perceraian. Ketika pada pasal 75 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan Murtad
adalah salah satu alasan pembatalan pernikahan, itu harus dijelaskan pada pasal 70 yang menyebabkan bahwa
Murtad adalah penyebabnya.
Status Perkawinan Ketika Suami atau Isteri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam 121
Ahda Bina Aanto JURNAL HUMANITY, ISSN 0216-8995
tengah dimabuk asmara seperti itu melarikan dapat dibatalkannya perkawinan juga tidak
diri dan melangsungkan pernikahan dengan menyebut masalah murtad sebagai salah satu
tetap mempertahankan agamanya masing- sebab dapat dibatalkannya perkawinan.
masing. Sementara juga tidak kalah sering Berdasarkan paparan singkat di atas
terjadi, laki-laki non-muslim itu pura-pura jelas sudah, bahwa Pasal 70 dan Pasal
masuk Islam, lalu setelah beberapa waktu ia 71 tidak menyebutkan perbuatan murtad
kembali kepada agamanya yang asal. Laki- sebagai sebab batal atau dapat dibatalkannya
laki atau suami itu murtad setelah berhasil perkawinan. Namun demikian, tiba-tiba
menikahi wanita muslimah. Fenomena yang saja Pasal 75 menyebutkan (secara implisit)
ketiga ini amat menarik perhatian peneliti, bahwa perbuatan murtad yang dilakukan
karena pernikahan semacam ini ditengarai suami atau isteri merupakan sebab batalnya
merupakan salah satu jalan pemurtadan para perkawinan, meskipun batalnya perkawinan
wanita muslimah1. itu tidak berlaku surut terhadap status anak-
Di sisi yang lain, dalam al-Qur’an anak yang lahir dalam perkawinan tersebut.
disebutkan bahwa seorang laki-laki muslim Kemudian, Pasal 116 yang menyebutkan
diperbolehkan menikah dengan seorang apa saja yang dapat menyebabkan seorang
wanita ahli kitab; pemeluk agama Yahudi atau suami bercerai dari isterinya, KHI tidak
Nasrani (Katolik maupun Protestan). Dalam menyebutkan murtadnya salah seorang
hal ini, para ulama memberikan penjelasan, pasangan suami-isteri sebagai alasan
bahwa seorang muslim diperbolehkan perceraian, kecuali terjadi ketidakrukunan
menikahi wanita ahli kitab itu dalam kerangka dalam rumah tangga.
dakwah, bukan semata-mata menyalurkan Dalam Pasal 116 itu KHI memberikan
nafsu birahi. Apabila diperhitungkan bahwa syarat, bahwa perceraian baru dapat
laki-laki itu mampu mendakwahi isterinya di dilakukan dengan alasan murtad apabila
kemudian hari sehingga masuk agama Islam, terjadi ketidakrukunan dalam rumah tangga.
maka pernikahan itu pun diperbolehkan. Dengan demikian, apabila suami-isteri masih
Sebaliknya, apabila diperhitungkan justru tetap rukun, perceraian tidak dapat dilakukan
laki-laki itu yang akan terseret oleh agama dengan alasan salah satu pihak telah murtad.
isterinya, maka pernikahan itu pun dilarang. Oleh karena itu, suami-isteri itu harus tetap
Berdasarkan fenomena pemurtadan hidup bersama dan beranak-pinak, dimana
yang sering terjadi dengan modus perkawinan anak-anak akan lahir, tumbuh dan dewasa
ini, sudah seharusnya kita lebih waspada dalam asuhan seorang ayah atau ibu yang
dalam menjaga keselamatan akidah generasi telah murtad.
muslim. Namun sayang, Kompilasi Hukum Berangkat dari paparan di atas,
Islam belum mengakomodasi permasalahan p erm asalah an dal am p enel iti an i ni
ini secara proporsional. Justru peneliti dirumuskan sebagai berikut:
menangkap lemahnya sensititas Kompilasi • Bagaimana Kompilasi Hukum Islam
Hukum Islam berkaitan dengan fenomena ini. memberikan putusan hukum terhadap
Hal ini bisa kita perhatikan dalam pasal-pasal murtadnya suami atau isteri?
KHI yang berkaitan dengan perbuatan murtad • Bagaimana seharusnya Kompilasi
yang dilakukan oleh suami atau isteri. Hukum Islam memberikan putusan
Pasal 70 yang menyebutkan sebab- terhadap masalah murtadnya suami atau
sebab batalnya perkawinan, Kompilasi isteri?
Hukum Islam tidak menyebutkan murtad
sebagai sebab batalnya perkawinan. Adapun
Pasal 71 yang menyebutkan sebab-sebab
Status Perkawinan Ketika Suami atau Isteri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam 123
Ahda Bina Aanto JURNAL HUMANITY, ISSN 0216-8995
Tabel 1. Pasal 70 tentang Batalnya Perkawinan dalam Perspektif Pasal-pasal Lain dalam KHI
Sebab Batalnya Perkawinan Analisa
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia Pasal 70 huruf a ini bersesuaian dengan Pasal 55 (1),
tidak berhak melakukan akad nikah karena bahwa beristri lebih satu orang pada waktu bersamaan,
sudah mempunyai empat orang istri sekalipun terbatas hanya sampai empat istri. Oleh karena itu,
salah satu dari keempat istrinya dalam iddah apabila seseorang yang sudah mempunyai empat
talak raj`’i. orang istri melakukan perkawinan, perkawinannya
yang terakkhir itu batal, sekalipun salah seorang dari
keempat istri sebelumnya dalam iddah talak raj’i.
b. seseorang menikahi bekas istrinya yang telah Pasal 70 ayat b ini bersesuaian dengan Pasal 43 ayat
dili’annnya. b yang menyatakan tentang larangan melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
bekas istrinya yang dili’annya.
Ayat ini bahkan dikuatkan oleh Pasal 125 yang
menyatakan, bahwa li’an menyebabkan putusnya
perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.
c. seseorang menikahi bekas istrinya yang Pasal 70 huruf c ini bersesuaian dengan Pasal 43 huruf
pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali a, tentang larangan melangsungkan perkawinan antara
bila bekas istri tersebut pernah menikah seorang pria dengan seorang wanita bekas istrinya
dengan pria lain kemudian bercerai lagi bada yang ditalak tiga kali.Ketentuan ini dikuatkan oleh
al dukhul dari pria tersebut dan telah habis Pasal 120: “Talak Ba’in Kubraa adalah talak yang
masa iddahnya. terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat
dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali
apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri,
menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi
perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.”
d. perkawinan dilakukan antara dua orang Secara keseluruhan, Pasal 70 huruf d ini bersesuaian
yang mempunyai hubungan darah, semenda dengan Larangan Kawin pada Pasal 39 yang mencakup
dan sesusuan sampai derajat tertentu yang larangan melangsungkan perkawinan antara seorang
menghalangi perkawinan menurut pasal 8 pria dengan seorang wanita disebabkan pertalian
Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu : nasab, pertalian kerabat semenda, dan pertalian
1. berhubungan darah dalam garis sesusuan. Sama dengan Pasal 70 ayat d yang merinci
keturunan lurus ke bawah atau ke atas. sebab batalnya perkawinan karena hubungan-
2. berhubungan darah dalam garis hubungan itu, Pasal 39 juga merincinya satu per satu.
keturunan menyimpang, yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua, dan antara seorang dengan
saudara neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu: mertua,
anak tiri, menantu dan ibu atau ayah
tiri.
4. berhubungan sesusuan, yaitu: orang tua
sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau
paman sesusuan.
e. istri adalah saudara kandung atau sebagai Pasal 70 huruf e ini bersesuaian dengan Pasal 41 yang
bibi atau kemenakan dari istri atau istri- menyatakan, bahwa seorang pria dilarang memadu
istrinya. istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai
hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan
istrinya:
a. saudara kandung, seayah, atau seibu, atau
keturunannya,
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
Larangan tersebut tetap berlaku meskipun istrinya
telah ditalak raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.
Status Perkawinan Ketika Suami atau Isteri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam 125
Ahda Bina Aanto JURNAL HUMANITY, ISSN 0216-8995
Demikianlah Pasal 70, tiap hurufnya perkawinan juga tidak menyebutkan perkara
merupakan konsekuensi dari larangan aturan murtad sebagai salah satu alasan dapat
sebelumnya. Demikian pula Pasal 71 yang dibatalkannya perkawinan.
mengatur alasan-alasan dapat dibatalkannya
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud.
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-
undang No.1 Tahun 1974.
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.”
Apabila penulis melakukan sinkronisasi lakukan pada Pasal 70, akan memberikan
tiap huruf dalam Pasal 71 itu dengan pasal- penjelasan sebagai berikut:
pasal sebelumnya, sebagaimana penulis
Tabel 2. Sinkronisasi tiap huruf dalam Pasal 71 itu dengan pasal-pasal sebelumnya
Kejanggalan dalam Larangan Perkawinan akan nampak satu kejanggalan yang amat
Beda Agama mencolok. Kejanggalan itu berkaitan dengan
larangan perkawinan beda agama.
Sampai di sini nampaknya tidak ada Untuk menghindarkan diri dari anggapan
masalah hubungan antara satu aturan dengan bahwa penulis melakukan tuduhan tanpa
aturan lain dalam KHI. Namun apabila bukti, maka berikut ini penulis paparkan satu
penulis melakukan cek ulang atas cek terbalik demi satu larangan dan akibat pelanggarannya
atas aturan dan akibat pelanggarannya, dalam sebuah tabel.
Tabel 3. Pasal 71 tentang Dapat Dibatalkannya Perkawinan dalam Perspektif Pasal Lain dalam
KHI
Sebab Dapat Dibatalkannya Perkawinan Analisa
a. seorang suami melakukan poligami tan- Hal ini bersesuaian dengan Pasal 56 ayat (1) yang me-
pa izin Pengadilan Agama. nyebutkan, “Suami yang hendak beristri lebih dari satu
orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.”
b. perempuan yang dikawini ternyata ke- Hal ini sebagai akibat dari ketentuan yang terkandung
mudian diketahui masih menjadi istri dalam Pasal huruf a yang menyatakan, bahwa dilarang
pria lain yang mafqud. melangsungkan perkawinan antara seorang pria den-
gan seorang wanita karena wanita yang bersangkutan
masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
c. perempuan yang dikawini ternyata ma- Hal ini sebagai akibat dari ketentuan Pasal 40 huruf b
sih dalam iddah dari suami lain. yang menyatakan, dilarang melangsungkan perkawi-
nan antara seorang pria dengan seorang wanita yang
masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
d. perkawinan yang melanggar batas umur Hal ini sebagai akibat ketentuan yang terkandung
perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 15 yang menyatakan, bahwa perkawi-
dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Ta- nan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
hun 1974. telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang No.1 tahun 1974, yaitu calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon is-
tri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Bagi calon
mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6
ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali Hal ini sebagai akibat dari ketentuan yang terkandung
atau dilaksanakan oleh wali yang tidak dalam Pasal 19, bahwa wali nikah dalam perkawinan
berhak. merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan-
nya.
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan Hal ini sebagai akibat dari ketentuan dalam Pasal 16
paksaan.” ayat 1, bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan
calon mempelai.
Kejanggalan dalam Larangan Perkawinan akan nampak satu kejanggalan yang amat
Beda Agama mencolok. Kejanggalan itu berkaitan dengan
larangan perkawinan beda agama.
Sampai di sini nampaknya tidak ada Untuk menghindarkan diri dari anggapan
masalah hubungan antara satu aturan dengan bahwa penulis melakukan tuduhan tanpa
aturan lain dalam KHI. Namun apabila bukti, maka berikut ini penulis paparkan satu
penulis melakukan cek ulang atas cek terbalik demi satu larangan dan akibat pelanggarannya
atas aturan dan akibat pelanggarannya, dalam sebuah tabel.
Status Perkawinan Ketika Suami atau Isteri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam 127
Ahda Bina Aanto JURNAL HUMANITY, ISSN 0216-8995
Waktu Batalnya Perkawinan karena para mazhab itu seragam dalam hal fasaknya
Murtad perkawinan.
Secara garis besar, empat mazhab
Dengan mengabaikan kejanggalan menyatakan bahwa perkawinan itu fasakh
di atas, sekarang penulis akan membahas dengan seketika, yaitu Mazhab Hanafi
tentang waktu dimulainya pembatalan (kecuali Muhammad dalam kasus suami
perkawinan karena perkara murtad ini. Secara murtad), Mazhab Maliki (kecuali kasus
eksplisit Pasal 75 di atas menyebutkan, murtad setelah dukhul yang ada beda
bahwa meskipun sebuah perkawinan batal pendapat), Mazhhab Sha ’i, dan Mazhab
karena perkara murtad, tapi putusan itu Hambali (dalam salah satu riwayat).
tidak sampai membatalkan akad perkawinan.
Dengan demikian, perkawinan itu tetap Mazhab Hana
diakui keberadaannya secara hukum, sampai
ia dinyatakan batal. Ia tetap diakui sebagai Dalam Mazhhab Hana4, perbuatan
perkawinan yang pada mulanya sah, lalu harus murtad yang dilakukan oleh salah seorang
dihentikan. Namun batalnya perkawinan itu suami-isteri itu mengakibatkan dampak yang
harus melalui putusan Pengadilan Agama, serius terhadap status perkawinan, yaitu:
dan dimulai setelah putusan Pengadilan Bila yang murtad adalah pihak isteri,
Agama mempunyai kekuatan hukum yang Mazhab Hanafi sepakat, perkawinan itu
tetap dan berlaku sejak saat putusan tersebut. putus tanpa talak, alias fasakh. Putusnya
Untuk selain perkara murtad berlaku perkawinan itu terjadi sejak dilakukannya
ketentuan Pasal 74 yang menyatakan, bahwa perbuatan murtad. Putusnya perkawinan di
batalnya perkawinan berlaku sejak saat sini merupakan ba’in, di mana suami tidak
berlangsungnya perkawinan. Sedangkan bisa merujuk isterinya, meskipun isterinya
batalnya perkawinan karena perkara murtad sudah kembali masuk Islam.
tidak dimulai sejak saat berlangsungnya Bila yang murtad adalah pihak suami,
perkawinan. terjadi beda pendapat. Pendapat pertama,
Pasal 74 perkawinan itu putus dengan fasakh (pendapat
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai al-Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf).
setelah putusan Pengadilan Agama Pendapat kedua, perkawinan itu putus dengan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap talak (pendapat Muhammad).
dan berlaku sejak saat berlangsungnya
Secara ringkas, putusnya perkawinan
perkawinan.
karena perkara murtad yang dilakukan suami
atau isteri dalam Mazhab Hana dapat penulis
Analisa Pasal 75 dalam Perspektif Mazhab-
gambarkan melalui tabel berikut:
mazhab Fikih
Status Perkawinan Ketika Suami atau Isteri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam 129
Ahda Bina Aanto JURNAL HUMANITY, ISSN 0216-8995
Berdasarkan paparan singkat pada tabel akibat, mereka berbeda pendapat. Di antara
5, secara umum Pasal 75 ini sesuai dengan mereka ada yang berpendapat, bahwa akibat
kitab-kitab Mazhab Hanafi, khususnya perbuatan murtad itu adalah terhapusnya
pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf dan status orang yang murtad, hingga hilangnya
Muhammad untuk kasus murtadnya isteri, al-‘ismah. Lalu orang-orang yang berpendapat
serta pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf demikian berbeda pendapat lagi tentang
untuk kasus murtadnya suami. bagaimana terputusnya al-‘ismah. Di antara
mereka ada yang memandang masih sahnya
Mazhab Maliki perkawinan itu menjadikan terputusnya al-
‘ismah sebagai talak.
Apabila salah seorang suami atau Dan orang yang memandang lebih
isteri murtad, terdapat beda pendapat dalam dominannya fasakh menjadikannya fasakh
Mazhab Maliki mengenai status perkawinan tanpa talak.
mereka.5 Adapun orang yang memandang dampak
Berikut ini rincian pendapat-pendapat perbuatan murtad itu adalah terhalangnya
para ahli kih dalam Mazhab Maliki tersebut: al-‘ismah, bukan terputusnya al-‘ismah, ia
• Bila yang murtad adalah pihak isteri, menghukumi talak raj’i.
ikatan perkawinan mereka putus seketika. Adapun orang yang memandang
Putusnya perkawinan itu dengan jalan bahwa perbuatan murtad tidak menimbulkan
talak ba’in. Ini adalah pendapat Ibn al- dampak pada perbuatan yang telah lalu,
Qasim, Ashhab, dan al-Qayrwani. maka ia memandang bahwa hukum bagi
• Namun Ashhab memberikan pendapat perbuatan murtad itu terhapus dengan
tambahan, bahwa bila wanita itu kembali taubat, sehingga ia memiliki kesempatan
masuk agama Islam, ia tetap menjadi untuk mendapat kembali apa yang menjadi
isteri bagi suaminya. haknya sebelumnya. Orang yang berpendapat
• Bila yang murtad adalah pihak suami, demikian memberikan hukum bahwa ia tetap
ikatan perkawinan mereka putus seketika. bersama isterinya, sama dengan ia tetap
Bagaimana putusnya perkawinan itu, ada memiliki hak atas hartanya, sebagaimana
dua pendapat. pendapat mazhab ini dalam masalah harta
Pendapat pertama, perkawinan itu orang yang murtad ini.
putus dengan talak ba’in. Suami tidak Argumen pendapat bahwa kedua orang
diperbolehkan rujuk, meskipun pihak suami itu harus fasakh berdasarkan rman Allah:
kembali masuk Islam dalam masa iddah,
karena suami itu telah meninggalkan isterinya رفاوكلا مصعب اوكسمتالو.
ketika ia murtad. Ini adalah pendapat al-Imam
Malik. “Dan janganlah kamu tetap berpegang
Sementara itu, ada pendapat lain bahwa pada tali (perkawinan) dengan perempuan-
bila suami kembali masuk Islam dalam masa perempuan kar.”6
iddah isterinya, maka suami itu memiliki Argumen pendapat yang mengatakan
hak atas isterinya secara keseluruhan. Sama putusnya perkawinan dengan talak, bahwa
seperti kasus ketika isterinya masuk Islam perkawinan itu tetap sah dan eksis, maka ia
kemudian suaminya masuk Islam. Ini adalah tidak bisa lepas tanpa talak.
pendapat Ibn al-Majishun. ‘Ala kulli hal, meskipun ada perbedaan
Sebab perbedaan pendapat itu: apakah pendapat, fuqaha’ dalam Mazhab Maliki
perbuatan murtad itu menimbulkan akibat bersepakat, bahwa perbuatan murtad
atau tidak? Orang-orang yang memandang menyebabkan perkawinan menjadi putus,
bahwa perbuatan murtad itu menimbulkan paling tidak untuk sementara waktu.
5. Ibid 6. QS. Al-Mumtahanah: 10.
Tabel 6. Putusnya Perkawinan karena Murtadnya Suami atau Isteri dalam Mazhab Maliki
Akibat Hukum terhadap Status
No. Waktu Murtad Waktu Putusnya Perkawinan
Perkawinan
1. Sebelum dukhul. Fuqaha’ Mazhab Maliki sepakat bahwa Dihitung sejak terjadinya perbua-
perkawinan mereka putus. Tapi mereka tan murtad.
berbeda pendapat tentang bagaimana pu-
tusnya perkawainan itu; talak ba’in atau
fasakh.
2. Setelah dukhul. Fuqaha’ Mazhab Maliki sepakat bahwa s.d.a.
perkawinan mereka putus. Tapi mereka
berbeda pendapat tentang bagaimana pu-
tusnya perkawinan itu; talak ba’in, talak
raj’i, dan fasakh.
Tabel 7. Putusnya Perkawinan karena Murtadnya Suami atau Isteri dalam Mazhab Sha’i
Akibat Hukum terhadap Status
No. Murtad Waktu Putusnya Perkawinan
Perkawinan
1. Sebelum dukhul. Perkawinan mereka putus seketika Perkawinan mereka putus seketika se-
(ba’in) dengan jalan fasakh. jak terjadinya perbuatan murtad.
2. Setelah dukhul. Perkawinan mereka putus dengan Perkawinan mereka diberi tenggang
fasakh. hingga berakhirnya masa iddah. Tapi
ketika putus, putusnya dihitung sejak
terjadinya perbuatan murtad
Status Perkawinan Ketika Suami atau Isteri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam 131
Ahda Bina Aanto JURNAL HUMANITY, ISSN 0216-8995
berakhirnya masa iddah, maka suami-isteri sama dengan talak raj‘i atau perbedaan agama
tetap dalam statusnya. Namun bila belum juga setelah dukhul, sehingga tidak diharuskan
kembali masuk Islam hingga berakhirnya fasakh seketika, seperti Islamnya seorang
masa iddah, isteri seketika ba’in dimulai habiyah yang dalam perkawinan dengan
sejak terjadinya perbuatan murtad. Karena seorang harbi.
ia merupakan lafadh yang dengannya terjadi Secara ringkas, pendapat-pendapat
furqah. Bila ia ada setelah dukhul, ia boleh fuqaha’ yang terhimpun dalam Mazhab
menunggu hingga berakhirnya masa iddah, Hambali dapat digambarkan melalui tabel
berikut:
Tabel 8. Putusnya Perkawinan karena Murtadnya Suami atau Isteri dalam Mazhab Hambali
No. Murtad Akibat Hukum terhadap Status Perkawinan
1. Sebelum dukhul. Perkawinan mereka putus seketika dengan fasakh.
2. Setelah dukhul. Perkawinan mereka putus. Tapi ada dua riwayat yang berbeda, antara fasakh
seketika atau fasakh dengan menunggu masa iddah selesai.
Tabel 9. Jenis Fasakh pada Kasus Murtadnya Salah Seorang Suami atau Isteri dalam Mazhab-
mazhab Fikih
No. Mazhab Keputusan Fasakh
1. Hana Fasakh seketika.
2. Maliki Fasakh seketika untuk murtad sebelum dukhul, dan ada beda pendapat
untuk murtad setelah dukhul.
3. Sha’i Sebelum dukhul, murtad seketika membatalkan perkawinan. Setelah
dukhul, fasakh ditunggu hinga berakhirnya masa iddah.
4. Hambali Sebelum dukhul, murtad seketika membatalkan perkawinan.
Setelah dukhul, ada dua riwayat, antara seketika dan menunggu berakh-
irnya masa iddah.
5. Zhahiri Fasakh, tanpa keterangan apakah secara seketika, atau menunggu habisnya
masa iddah.
Pasal 116
Pasal 116 yang mengatur apa saja yang
dapat diajukan sebagai alasan perceraian
Analisa Pasal 116 dalam Perspektif Pasal-
menyebutkan:
pasal KHI Yang Lain
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan.
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewa-
jibannya sebagai suami atau istri.
f. antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Berdasarkan Pasal 116 itu, apabila keharmonisan dalam rumah tangga. Dalam
seorang suami atau istri murtad, terlebih hal perbuatan murtad itu malah menyebabkan
dahulu dilihat, apakah perbuatan murtad itu bertambahnya keharmonisan dalam rumah
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan tangga, tentu ia semakin tidak mungkin
dalam rumah tangga? diajukan sebagai sebab perceraian.
Bila perbuatan murtad itu menyebabkan Dalam Pasal 116 ini Tim Penyusun KHI
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah sudah menyusun alasan-alasan perceraian
tangga, maka ia dapat dijadikan alasan dengan cukup baik. Apa yang menjadi alasan
perceraian. Sebaliknya, bila perbuatan perceraian itu memang bersesuaian dengan
murtad itu tidak menyebabkan terjadinya tujuan perkawinan yang dirumuskan oleh
ketidakrukunan dalam rumah tangga, maka KHI sendiri. Sebelum membahas perkara
ia tidak dapat dijadikan alasan perceraian. murtad dalam Pasal 116, penulis akan
Untunglah dalam KHI ini tidak melakukan analisis ringan atas masing-
disebutkan adanya kemungkinan perbuatan masing huruf dalam pasal ini sebagai berikut:
murtad itu malah menyebabkan bertambahnya
Tabel 10. Pasal 116 dalam Perspektif Pasal Lain dalam KHI
Alasan Perceraian Analisa
a. salah satu pihak berbuat Perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
zina, atau menjadi sakinah, mawaddah, dan rahmah (Pasal 8).
pemabuk, pemadat, Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
penjudi dan lain tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
sebagainya yang sukar dan susunan masyarakat (Pasal 77 ayat 1).
disembuhkan. Suami-istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain (Pasal
77 ayat 2).
Suami-istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya (Pasal 77 ayat 3).
Suami-istri wajib memelihara kehormatannya (Pasal 77 ayat 4).
Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama (Pasal 77 ayat 5).
Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya (Pasal 80
ayat 3).
Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada
suami yang dibenarkan oleh hukum Islam (Pasal 83 ayat 1).
b. salah satu pihak Perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
meninggalkan pihak lain sakinah, mawaddah, dan rahmah (Pasal 8).
selama 2 (dua) tahun Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
berturut-turut tanpa izin tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
pihak lain dan tanpa dan susunan masyarakat (Pasal 77 ayat 1).
alasan yang sah atau Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
karena hal lain di luar anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kemampuannya. kecerdasannya dan pendidikan agamanya (Pasal 77 ayat 3).
Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama (Pasal 77 ayat 5).
Status Perkawinan Ketika Suami atau Isteri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam 133
Ahda Bina Aanto JURNAL HUMANITY, ISSN 0216-8995
c. salah satu pihak mendapat Perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
hukuman penjara 5 (lima) sakinah, mawaddah, dan rahmah (Pasal 8).
tahun atau hukuman Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
yang lebih berat setelah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
perkawinan berlangsung. dan susunan masyarakat (Pasal 77 ayat 1).
Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya (Pasal 77 ayat 3).
Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama (Pasal 77 ayat 5).
d. salah satu pihak melaku- Perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
kan kekejaman atau pen- sakinah, mawaddah, dan rahmah (Pasal 8).
ganiayaan berat yang Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
membahayakan pihak tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
lain. dan susunan masyarakat (Pasal 77 ayat 1).
Suami-istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain (Pasal
77 ayat 2).
Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama (Pasal 77 ayat 5).
e. salah satu pihak mendapat Perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
cacat badan atau penyakit sakinah, mawaddah, dan rahmah (Pasal 8).
dengan akibat tidak dapat Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
menjalankan kewajiban- tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
nya sebagai suami atau dan susunan masyarakat (Pasal 77 ayat 1).
istri. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama (Pasal 77 ayat 5).
f. antara suami dan istri Perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
terus-menerus terjadi sakinah, mawaddah, dan rahmah (Pasal 8).
perselisihan dan perteng- Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
karan dan tidak ada hara- tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
pan akan hidup rukun dan susunan masyarakat (Pasal 77 ayat 1).
lagi dalam rumah tangga. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama (Pasal 77 ayat 5).
g. suami melanggar taklik Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam
talak. bentuk taklik talak (Pasal 45 ayat 1).
Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi
kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-
sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan
Agama (Pasal 46 ayat 2).
h. peralihan agama atau Perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
murtad yang menyebab- sakinah, mawaddah, dan rahmah (Pasal 8).
kan terjadinya ketidak- Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
rukunan dalam rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
tangga.” dan susunan masyarakat (Pasal 77 ayat 1).
Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya (Pasal 77 ayat 3).
Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama (Pasal 77 ayat 5).
Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya (Pasal 80
ayat 3).
Ditinjau dari perspektif mazhab-mazhab jelasnya, penulis akan memaparkan data dan
kih, Pasal 116 ini tidak bersesuaian dengan analisa ini dalam bentuk tabel sebagai berikut:
mazhab-mazhab fikih, termasuk Mazhab
Hanafi dan Mazhab Maliki. Untuk lebih
Status Perkawinan Ketika Suami atau Isteri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam 135
Ahda Bina Aanto JURNAL HUMANITY, ISSN 0216-8995
Tabel 13. Talak dalam Kitab Klasik Ketika Salah Seorang Suami atau Isteri Murtad
No. Mazhab Keputusan Jenis Talak
1. Hana Mereka sepakat bahwa perkawinan seketika ba’in terhitung Talak ba’in, hanya ke-
sejak terjadinya perbuatan murtad. tika suami yang mur-
• Mereka beda pendapat berdasarkan pelaku murtad, sua- tad.
mi atau isteri.
• Bila pelaku pihak perempuan, mereka sepakat perkawi-
nan putus dengan fasakh.
• Bila pelaku pihak suami, mereka berbeda pendapat, an-
tara fasakh dan talak ba’in.
2. Maliki Mereka sepakat, bahwa perkawinan itu putus. Sebelum dukhul, ta-
Mereka beda pendapat tentang bagaimana putusnya perkawi- lak ba’in.
nan itu, baik sebelum dukhul maupun setelah dukhul, dengan Setelah dukhul, antara
perincian: talak raj’i dan talak
• Sebelum dukhul, perkawinan seketika putus, tapi ada ba’in.
beda pendapat antara talak ba’in atau fasakh.
• Setelah dukhul, perkawinan putus, tapi ada beda pendapat
antara talak raj’I, talak ba’in atau fasakh.
3. Sha’i Mereka sepakat bahwa perkawinan dapat dibatalkan. Bukan talak.
Tidak ada beda pendapat, hanya saja dibedakan antara mur-
tad sebelum dukhul dan setelah dukhul.
• Sebelum dukhul: seketika perkawinan batal.
• Setelah dukhul: fasakh ditangguhkan hingga masa iddah.
Bila pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah
selesai, perkawinan bisa diselamatkan. Bila pihak yang
murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya
iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya
murtad.
4. Hambali Mereka sepakat bahwa perkawinan itu dapat dibatalkan (fa- Bukan talak.
sakh).
Bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul, seketika
perkawinan batal (fasakh).
Bila perbuatan murtad terjadi setelah dukhul, ada dua riwayat:
• Seketika perkawinan batal (fasakh).
• Pembatalan perkawinan ditangguhkan hingga habisnya
masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali sebelum
masa iddah selesai, perkawinan bisa diselamatkan. Bila
pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga
habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak
terjadinya murtad.
5. Zhahiri Perbuatan murtad menyebabkan perkawinan fasakh. Bukan talak.
Bila perbuatan murtad itu terjadi setelah terjadinya ketidakrukunan itu menjadi
dukhul, perkawinan itu juga putus, tapi juga diterimanya alasan perceraian atau tidak
ada beda pendapat, antara ditangguhkan diterimanya.
hingga berakhirnya masa iddah, talak ba’in, Oleh karena itu, berdasarkan Mazhab
atau fasakh. Maliki, apabila seorang suami atau isteri
N am u n s es u n g g u h ny a t er d a pa t murtad, seketika perkawinan mereka masuk
perbedaan yang cukup signifikan antara dalam tahap perceraian. Hal ini diputuskan
putusan dalam Mazhhab Maliki dan KHI. tanpa memandang apakah perbuatan murtad
Apabila Mazhab Maliki membedakan itu menyebabkan terjadinya ketidakrukunan,
perbuatan murtad antara sebelum dukhul dan atau (siapa tahu) malah menambah kemesraan
sesudah dukhul, KHI membedakan perbuatan rumah tangga.
murtad antara yang menyebabkan terjadinya Apabila sebelum dukhul, perbuatan
ketidakrukunan dalam rumah tangga murtad yang dilakukan suami atau isteri
dan yang tidak menyebabkan terjadinya menyebabkan perkawinan mereka seketika
ketidakrukunan dalam rumah tangga. talak ba’in. Apabila setelah dukhul, maka
Dalam Mazhab Maliki, pemilahan ditunggu sampai masa iddah berakhir.
sebelum dan setelah dukhul itu bukan Bila sebelum masa iddah berakhir pihak
untuk menentukan furqah atau tidaknya yang murtad kembali kepada Islam, maka
perkawinan, tapi untuk menentukan kapan perkawinan itu tetap utuh. Bila sampai masa
terjadinya furqah. Sementara dalam KHI, iddah berakhir pihak yang murtad belum juga
pemilahan yang menyebabkan terjadinya kembali kepada Islam, maka perkawinan itu
ketidakrukunan dan yang tidak menyebabkan putus.
Tabel 14. Pemilahan Murtad dalam Mazhab Maliki
Dukhul/Belum Akibat Hukum Keterangan
1. Belum dukhul Perkawinan mereka seketika Perkawinan itu furqah dengan talak.
furqah.
2. Sudah dukhul Perkawinan mereka langsung Apabila sebelum masa iddah berakhir pihak
masuk masa iddah, atau putus yang murtad sudah kembali pada Islam, maka
seketika, menurut salah satu perkawinan itu tetap utuh. Apabila sampai
pendapat. masa iddah berakhir pihak yang murtad belum
juga kembali pada Islam, maka perkawinan itu
talak.
Sekali lagi, di sini terdapat perbedaan mati. Sedangkan pelaku perjudian dan
yang sangat signikan antara mazhab-mazhab peminum minuman keras dijatuhi hukuman
kih dan Pasal 116. Menurut mazhab-mazhab yang lebih ringan dari hukuman mati. Adapun
kih, perbuatan murtad itu merupakan suatu hukuman rajam bagi pelaku perzinahan harus
tindakan yang berbahaya, lebih berbahaya memenuhi beberapa syarat yang hampir
daripada kebiasaan mengkonsumsi minuman mustahil untuk dipenuhi, kecuali pelakunya
keras, berjudi atau berzina. Sementara KHI mengaku sendiri.
memandang kebiasaan mengkonsumsi Sementara KHI yang hidup di Indonesia,
minuman keras, berjudi dan berzina itu menganggap perbuatan murtad itu sebagai
sebagai perbuatan yang lebih berbahaya salah satu hak azasi manusia. Kita ingat bahwa
daripada perbuatan murtad. dasar negara Indonesia adalah Pancasila yang
Hal ini sungguh layak untuk memperoleh melindungi tiap warganya untuk memilih
perhatian. Bila kita amati, perbuatan murtad agama sesuai dengan keyakinannya. Hanya
dalam mazhab-mazhab fikih itu dibahas saja nampaknya sampai saat ini belum
dalam bab jinayah. Perbuatan murtad dalam ada Undang-undang yang bisa digunakan
taraf tertentu pelakunya bisa dijatuhi hukuman untuk menjerat seseorang yang terbukti
Status Perkawinan Ketika Suami atau Isteri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam 137
Ahda Bina Aanto JURNAL HUMANITY, ISSN 0216-8995
Kedudukan KHI
9. Ia adalah Bapak Zainal Arin dengan NIP
Hingga saat ini Kompilasi Hukum Islam 196612311993031025, yang penulis temui
belum memiliki kekuatan hukum yang bersifat ketika mengantar seorang mahasiswa yang akan
melaksanakan PKN. Dalam kesempatan itu secara
mengikat dan memaksa. Dengan demikian, serius penulis melakukan dialog dengannya
KHI hanya bersifat saran atau pertimbangan mengenai masalah ini.
bagi para hakim dalam memutuskan perkara
Status Perkawinan Ketika Suami atau Isteri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam 139
Ahda Bina Aanto JURNAL HUMANITY, ISSN 0216-8995
DAFTAR PUSTAKA