Anda di halaman 1dari 6

NAMA : AURELIA ZERYANI WIJAYANTI

KELAS : X IPA 1

Kisah Raja Ampat dan Telur Naga

Alkisah, pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri yang tinggal di Desa


Wawiyai dekat Teluk Kabui, Papua. Meski telah bertahun-tahun menikah, mereka tak
kunjung memiliki momongan. Untuk itu, mereka selalu berdoa sepanjang malam agar segera
mendapatkan anak.
Pada suatu pagi, sang suami mengajak istrinya pergi ke hutan untuk mencari kayu
bakar. Sebab, persediaan kayu mereka telah habis dan sebentar lagi musim hujan akan tiba.
Sehingga, tak ada waktu lagi untuk mencari kayu.
“Istriku, sebentar lagi musim hujan datang. Sedangkan persediaan kayu kita telah habis.
Maukah kau menemaniku ke hutan untuk mencari kayu? Kita butuh persediaan yang banyak
agar tetap bisa memasak selama musim hujan?” pinta sang suami.
“Tentu saja, Suamiku. Aku akan membantumu mencari kayu bakar,” jawab sang istri.
Keesokan harinya, saat matahari belum terbit, mereka bergegas pergi ke hutan. Jarak dari
rumah ke hutan memang cukup jauh, sehingga mereka harus melakukan perjalanan sedini
mungkin.
Sesampainya di hutan, mereka bergegas mencari batang-batang kayu. Namun, pagi itu
mereka tak mendapatkan banyak kayu. Sampai dengan siang hari pun tak banyak yang
mereka dapatkan.
“Istriku, tampaknya tak banyak batang kayu di sini. Bagaimana kalau kita pergi ke tepi
Sungai Waikeo? Barangkali ada banyak kayu di sana,” pinta sang suami.
“Baiklah. Mari kita ke sana. Tampaknya aku juga butuh air segar,” jawab istrinya.
Mereka berdua lalu pergi ke Sungai Waikeo. Air sungai itu sangatlah jernih. Pemandangan
sekitarnya pun memukau. Lalu, sang istri memutuskan istirahat sejenak sementara suaminya
masih sibuk mencari kayu-kayu bakar.
Saat sedang mencari kayu, mata sang suami tertuju pada sebuah lubang besar yang
tertutup dedaunan. Ia pun penasaran dan mendekati lubang itu. Dedaunannya ia singkirkan,
lalu terlihatlah telur besar berjumlah enam butir. Ia sangat terkejut. Lalu, ia berteriak
memanggil istrinya.
“Istriku! Kemarilah! Aku menemukan sesuatu. Cepat kemari!” teriak sang suami.
Sang istri yang terkejut dengan teriakan suaminya langsung lekas berlari. Ia khawatir ada apa-
apa dengan suaminya. “Kenapa kau berteriak-teriak suamiku? Ada apa gerangan?”, tanyanya.
“Lihatlah, aku menemukan enam butir telur besar,” ucap sang suami.
“Telur apakah itu? Kenapa sangat besar?” tanya sang istri.
“Aku juga tak tahu. Bisa jadi, telur ini milik elang. Bagaimana kalau kita membawanya
pulang? Barangkali telur ini enak tuk kita makan,” ucap suami.
Tanpa pikir panjang, istrinya mengangguk setuju. Mereka pun menyimpan telur itu dalam
keranjang dan lanjut mencari kayu bakar. Saat sore telah tiba, mereka bergegas untuk pulang.
Sebenarnya, keenam butir itu adalah milik sang naga.
Setibanya di rumah, sang istri langsung masuk ke dapur untuk meletakkan telur. Ia
sudah tak sabar ingin memakannya. “Suamiku, aku akan segera menyiapkan bumbu untuk
memasak telur ini. Aku sudah tak sabar untuk menikmatinya,” ucapnya.
“Baiklah, Istriku. Setelah meletakkan kayu-kayu bakar ini, aku akan membantumu memasak,”
jawab sang suami.
Usai meletakkan seluruh kayu, sang suami lalu menuju ke dapur. Ia terkejut melihat kelima
telur itu bergerak-gerak. Tak lama kemudian, cangkangnya mulai retak-retak.
“Istriku, tampaknya kelima telur ini kan menetas. Kemarilah!” teriak sang suami.
Istrinya pun menghentikan aktivitasnya dan menemui suaminya. Tak berselang lama, telur itu
satu persatu mulai menetas. Betapa terkejutnya hati mereka, karena yang lahir adalah lima
bayi manusia. Empat laki-laki dan satu perempuan.
“Suamiku, apakah ini jawaban dari doa-doa kita selama ini untuk memiliki momongan?” ucap
sang istri sambil menangis. Ia merasa terharu bahagia melihat bayi-bayi mungil itu.
“Sepertinya benar. Kita harus merawat anak-anak ini dengan baik,” jawab sang suami.
Mereka lalu memberi nama War, Betani, Dohar, dan Mohammad pada keempat anak laki-
laki. Sedangkan untuk yang anak perempuan, mereka memberinya nama Pintolee.
Pasangan suami istri ini merawat kelima bayi yang telah mereka anggap anak sendiri dengan
sangat baik. Seiring berjalannya waktu, kelima anak itu telah tumbuh menjadi dewasa.
Mereka sangat cerdas dan baik hati. Setiap hari, mereka senantiasa membantu kedua orang tua
untuk mencari makan.
Karenanya, pasangan suami istri yang sudah semakin tua itu tak perlu lagi bersusah payah
bekerja. “Suamiku, aku sangat bangga kepada anak-anak kita. Mereka patuh dan baik,” ucap
sang istri.
“Benar sekali Istriku. Kita harus terus bersyukur pada Tuhan karena telah memberikan
karunianya,” jawab suaminya.
Tiap hari, War, Betani, Dohar, dan Mohammad, menggarap pertanian yang berada di empat
pulau besar di sekitar Teluk Kabul. Lahan pertanian yang mereka garap berkembang dengan
sangat pesar. Sementara Pintolee, setiap hari ia membantu sang ibu di dapur.
Hanya ada lima telur yang menetas. Itu berarti, tersisa satu telur. Telur itu lalu
mengeras seperti batu. Pasangan suami istri itu lalu menyebutnya dengan nama Kapatnay.
Para warga sekitar mensakralkan telur itu dan memperlakukannya seperti selayaknya raja.
Mereka lalu meletakkan Kapatnay di sebuah tempat persemayaman di tepi Sungai Waikeo.
Bahkan, mereka juga meletakkan dua batu besar di kanan dan kiri pintu masuk untuk menjaga
Kapatnay.
Tak setiap saat orang-orang bisa melihat Kapatnay. Mereka hanya bisa menyaksikannya saat
prosesi memandikan Kapatnay dengan air suci. Sisa air untuk mencuci telur itu, mereka
gunakan untuk membaptis para warga Suku Kawi.
Pada suatu pagi, Pintolee pamit kepada kedua orang tuanya untuk pergi ke pasar
membeli beberapa bahan makanan. Keempat kakaknya telah pergi ke lahan pertanian. Ia lalu
melihat pemuda yang menarik hatinya. Begitu pula dengan sang pemuda, ia juga tampak
tertarik dengan Pintolee.
Karena jatuh cinta, Pintolee jadi lupa tugas-tugasnya membantu urusan rumah. Ia jadi kerap
pergi keluar rumah untuk bertemu dengan pemuda itu tanpa sepengetahuan keluarganya.
Karena penasaran, sang ibu pun diam-diam mengikuti anak putrinya yang cantik jelita itu.
Betapa terkejutnya ia saat melihat sang anak menuju ke tengah hutan yang sepi bersama
seorang laki-laki. Sontak hal itu membuat sang ibu murka.
Ia lalu datang menghampiri Pintolee yang sedang bermesraan dengan pemuda itu dan
memarahi mereka. Ia tak habis pikir dengan kelakuan putrinya yang sangat tidak hormat.
Lalu, sang ibu menyeret Pintolee ke rumah.
Kakak-kakaknya pun turut memarahi adik mereka. Pintolee pun tak lepas dari pengawasan
sang ibu, ayah, dan kakak-kakaknya. Ia tak mendapatkan izin untuk bertemu dengan pemuda
itu.
“Ibu, aku sangat mencintainya. Ia pun mencintaiku. Tolong, biarkan aku menikah
dengannya,” rengek Pintolee.
“Anakku, ketahuilah, pria yang mengajakmu ke semak-semak hutan itu bukanlah orang baik.
Ia tak pantas mendapatkanmu,” ucapnya.
Selang beberapa hari, tiba-tiba Pintolee merasa sering mual. Tiap pagi, ia muntah dan tak
nafsu makan. Ternyata, gadis cantik ini mengandung anak dari pemuda yang ia sukai.
Mau tak mau, keluarganya harus segera menikahkan Pintolee dengan pria itu. Sayangnya,
Pintolee tak kunjung menemukan keberedaan pemuda itu. Meski keempat kakaknya telah
membantu, pemuda itu tetap tak dapat mereka temukan.
Tak ingin menanggung malu karena Pintolee melahirkan anak tanpa bapak, akhirnya
keluarga ini memutuskan untuk mengasingkan gadis itu ke Pulau Numfor. Tak banyak
penghuni yang tinggal di pulau tersebut.
“Anakku, inilah balasan dari sikapmu yang gegabah. Kau harus tinggal dan merawat anakmu
di pulau ini sendirian,” ucap sang ibu. Dan itulah kalimat terakhir dari sang ibu untuk
Pintolee.
Tinggalah keempat anak laki-laki yang terus menjaga dan merawa kedua orang tua mereka
dengan baik. Mereka berjanji tak akan berbuat gegabah seperti Pintolee. Sebab, tindakan yang
anak perempuan itu lakukan telah membuat kedua orang tua mereka sangat terpukul.
Tahun pun berganti. Ayah dan ibu mereka semakin tua. Tubuh mereka semakin kurus dan
keriput. Sebelum ajal tiba, sang ayah pun membagikan warisan kepada keempat anaknya.
“Anak-anakku, Ayah dan Ibu sangat menyayangi kalian. Karena sudah semakin tua, akan
kuserahkan hak milik beberapa pulau kepada kalian. Aku akan memberikan Pulau Waigeo
pada War. Pulau Salawasti kuberikan Pada Betani. Pulau Batanta untuk Dohar. Terakhir,
Pulau Misool untuk Mohammad,” ucap sang ayah.
“Tolong kalian jaga baik-baik pulau yang Ayah wariskan pada kalian,” imbuhnya.
“Baiklah Ayah. Kami akan menjaga apa yang telah kau berikan dengan baik,” jawab War
mewakili adik-adiknya.
Tak berselang lama, sang ayah dan ibu pun meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan.
Anak-anak itu pun mematuhi amanat sang ayah, yakni menjaga pulau yang ia wariskan tuk
mereka.
Mereka merawat dan menjaga pulau masing-masing dengan sangat baik. Lalu, mereka
menjadi raja dari setiap pulau. Sejak saat itulah sebutan Raja Ampat yang berarti empat orang
raja mulai dikenal.
Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema atau inti cerita dari kisah asal usul Raja Ampat dan Telur Naga adalah tentang
terbentuknya nama kepulauan Raja Ampat. Lebih tepatnya menceritakan tentang
empat laki-laki berbakti dan baik hati yang memimpin empat jajaran pulau di Papua.
2. Tokoh dan Perwataka
Ada beberapa tokoh utama dalam kisah asal usul Raja Ampat dan Telur Naga. Sebut
saja pasangan suami istri, War, Betani, Dohar, Mohammad, dan Pintolee. Pasangan
suami istri memiliki watak yang sabar.
Meski tak kunjung mendapat momongan, mereka tak pernah berhenti berusaha dan
berdoa kepada Tuhan. Keempat anak laki-laki mereka, War, Betani, Dohar, dan
Mohammad sangatlah berbakti kepada orang tua. Mereka tak pernah membuat onar.
Tak seperti adik perempuan mereka, Pintolee. Karena jatuh cinta, ia menjatuhkan
kehormatannya pada seorang laki-laki yang tak bertanggung jawab. Akibatnya, ia
harus mengasingkan dirinya di sebuah pulau.
3. Latar
Kisah asal usul Raja Ampat dan Telur Naga menggunakan beberapa latar tempat yang
berpusat di Papua Barat. Lebih tepatnya, di sebuah desa bernama Wawiyai, hutan, tepi
Sungai Waikeo, Pulau Numfor, Pulau Waigeo, Pulau Salaswati, Pulau Lilinta, dan
Pulau Waiga.
4. Alur
Alur cerita dari kisah asal usul Raja Ampat dan Telur Naga adalah maju. Cerita
bermula dari pasangan suami istri yang mengambil enam telur naga yang mrereka kira
adalah kepunyaan burung elang.
Setibanya mereka di rumah, kelima telur itu menetas. Namun, isinya bukanlah burung,
melainkan anak manusia. Mereka lalu beranggapan kalau anak-anak itu adalah karunia
dari Tuhan. Sebab, mereka selama ini hidup tanpa anak.
Kelima anak itu terdiri dari empat laki-laki dan satu perempuan. Mereka tumbuh
dengan sangat baik. Sayangnya, sang anak perempuan terjerat cinta buta yang
membuatnya hamil dan harus hidup seorang diri di Pulau Numfor.
Keempat anak laki-laki itu lalu mendapatkan warisan berupa pulau, yaitu  Pulau
Waigeo, Pulau Batanta, Pulau Salawati, dan Pulau Misool. Mereka lalu menjadi raja
untuk empat pulau yang kemudian terkenal dengan nama Raja Ampat.
5. Pesan Moral
Pesan moral apa sajakah yang bisa kamu petik dari kisah asal usul Raja Ampat dan
Telur Naga ini? Ada tiga amanat yang terkandung. Pertama, janganlah berhenti
berharap dan berdoa pada Tuhan yang Maha Esa. Seperti halnya yang pasangan suami
istri dalam kisah ini lakukan.
Karena tak berhenti berdoa agar mendapatkan momongan, Tuhan lalu memberikan
mereka anak-anak lewat cara yang tak terduga. Pesan moral kedua, jadilah anak yang
berbakti. Bantulah kedua orang tua yang telah merawat dan menjagamu dengan
sepenuh hati.
Terakhir, janganlah kamu mudah terpengaruh oleh cinta buta. Jatuh cinta itu hal
lumrah. Tapi, sebelum menjalin hubungan dengan orang yang kamu cintai, pastikan
kamu telah mengenalnya dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai