Dalam kaitannya dengan makalah ini, maka penulis merumuskan masalah terkait
dengan Pemikiran Muhammad Abduh yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana Riwayat Hidup Tentang Muhammad Abduh?
2. Bagaimana Pemikiran Muhammad Abduh?
3. Bagaimana Pengaruh Pemikiran Muhammad Abduh Di Dunia Islam?
4. Corak pemikiran Muhammad Aduh?
5. Kelebihan dan kekurang pemikiran Muhammad Aduh?
6. Perbandingan pemikiran antara Muhammad Abduh dengan Sayyid Amir Ali?
1
PEMBAHASAN
Masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah universitas Al-Azhar dari
segi tempat belajar Al-Qur’an dan menghafalnya. Sistem pembelajaran dengan
menghafal nash (teks) dan ulasan serta hukum di luar kepala, yang tidak memberi
kesempatan untuk memahami, membuat Muhammad Abduh merasa tidak puas. Dia
meninggalkan Masjid dan bertekad untuk tidak kembali lagi ke kehidupan akademis.
Kemudian ia menikah pada usia enam belas tahun. Setelah empat puluh hari menikah,
Ia dipaksa orang tuanya kembali ke Tanta untuk belajar, Iapun meninggalkan
kampungnya tapi tidak pergi ke Tanta, malah bersembunyi dirumah pamannya yang
bernama Syekh Darwisy Khadr seorang terpelajar pengikut tarikat Syadli dan
merupakan alumni pendidikan tasawuf di Libia dan Tripoli. 3 Pada mulanya ia enggan
belajar, namun perjumpaannya dengan Syaikh Darwisy sangat mempengaruhi
kehidupannya secara mendalam sehingga dengan bimbingannya semangat belajarnya
kembali berkobar.
1
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan gerakan, (Jakarta; Bulan
Bintang,1975) hal 58-59.
2
Ibid., hal 59
3
Ibid., hal. 60
2
Setelah selesai belajar di Tanta, Ia meneruskan studinya di Al-Azhar pada tahun
1866. Sewaktu belajar di Al-Azhar inilah Muhammad Abduh bertemu dengan
Jamaludin Al-Afgani, ketika ia datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul. Dalam
perjumpaan ini Al-Afgani memberikan beberapa pertanyaan kepada Muhammad Abduh
dan kawan-kawan mengenai arti dan maksud beberapa ayat Al-Qur’an. Kemudian ia
memberikan tafsirannya sendiri. Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik didalam
diri Muhammad Abduh.4
Ketika Al-Afghani datang untuk menetap di mesir pada tahun 1871, Muhammad
Abduh segera menjadi muridnya yang paling setia. 5 Al-Afghani memberikan tekanan
pada mata kuliah teologi dan filsafat, yang pada waktu itu di Al-Azhar dianggap dan
disamakan dengan bid’ah. Sebelum berguru kepada Al-Afgani dan menekuni ilmu yang
dianggap berbahaya itu, Muhammad Abduh minta nasihat kepada Syaikh Darwisy.
Bukan saja guru sufy itu menghapus kecemasannya, bahkan menjamin bahwa filsafat
(al-Hikmah) dan ilmu pengetahuan merupakan jalan yang paling selamat untuk
mengenal dan menyembah Tuhan. Hanya orang-orang bodoh dan sembrono yang pada
hakikatnya merupakan musuh-musuh Tuhan yang paling jahat, yang memandang mata
kuliah ini sebagai bid’ah.
Akhirnya, atas bantuan temannya diantaranya seorang Inggris, pada tahun 1888
kemudian ia di izinkan pulang ke Kairo. Kesan keterlibatan Abduh dalam
pemberontakan Urabi Pasya tampaknya belum terhapus di hati Khedewi Tawfik
4
ibid., hal. 60-61
5
Ibid.,
6
Ibid., hal. 61
3
sebagai peguasa Mesir saat itu. Permohonan Abduh untuk agar di izinkan mengajar di
Daral- ‘Ulum ditolaknya. Sebaliknya ia menawarkan kepada Muhammad Abduh
jabatan yang dianggapnya bukan sarana yang ampuh bagi Abduh untuk menyebarkan
pemikiran politiknya. Jabatan yang ditawarkan adalah hakim diluar kota Kairo,
sebenarnya ia tidak menyenangi jabatan tersebut, akan tetapi karena ia melihat tidak ada
jalan lain yang lebih baik selain menerima jabatan tersebut, maka jabatan tersebut
diterimanya juga dan dimanfaatkan untuk merealisasikan cita-cita pembaharuannya. Ia
menjabat jabatan hakim di kota Benha dan beberapa kota lain di luar Kairo dan
kemudian sebagai penasihat pada Mahkamah Tinggi di Kairo. Di tahun 1894, ia
diangkat menjadi anggota Majlis A’la dari Al-azhar. Sebagai anggota dari Majlis ini ia
membawa perubahan-perubahan dan perbaikan ke dalam tubuh Al-azhar sebagai
Universitas. Di tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi ini
dipegangnya sampai ia meninggal dunia di tahun 1905.7
Dua persoalan pokok itu muncul ketika ia meratapi perkembangan ummat Islam
pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi ummat Islam saat ini
dapat digambarkan sebagian “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapt
pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau meng-
istibnat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya
pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang
berdasarkan khurafat-khurafat.
7
Ibid.,
8
Harun Nasution, Muhammad abduh dan Teologi Rasional, (Jakarta:UI Press, 1987), hal 57
4
Atas dasar kedua fokus pikiran nya itu, Muhammad Abduh memberikan
peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa
Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal dari pada
Mu’tazilah. Menurut Abduh akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:9
9
Ibid., hal 57
5
Quthub sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, dalam bukunya yang berjudul
Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha,
memberikan gambaran singkat mengenai masyarakat tersebut yakni ”suatu masyarakat
yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam
memahami sari’at Allah atau mengistinbatkan hukum-hukum karena mereka telah
merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup
dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berlandaskan “khurofat”. Sementara itu
di Eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-
penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu. Keadaan masyarakat Eropa
tersebut sesungguhnya telah menanamkan benih pengaruhnya sejak kedatangan
ekspedisi prancis (Napoleon) ke Mesir pada tahu 1798. Namun secara jelas tumbuhnya
benih-benih tersebut mulai dirasakan Muhammad Abduh pada saat ia memasuki pintu
gerbang Al-Azhar. Waktu itu, lembaga pendidikan tersebut para pembina dan ulamanya
telah terbagi kedalam dua kelompok., mayoritas dan minoritas. Kelompok pertama
menganut pola taqlid, yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat
ulama terdahulu hanya sekedar dihapal, tanpa mengantarkan pada usaha penelitian,
perbandingan dan pentarjihan. Sedangkan kelompok kedua menganut pola tajdid
(pembaharu) yang menitik beratkan uraian-uraian mereka ke arah penalaran dan
pengembangan rasa.10
Berkat pengetahuan Abduh tentang ilmu tasawuf serta dorongan Syekh Darwisy
agar ia selalu mempelajari berbagai bidang ilmu, yang diterimanya ketika usia muda
dulu, maka tidak mengherankan jika naluri Abduh yang didukung Syaikh tersebut
membuat Abduh lebih condong untuk berpihak kepada kelompok minoritas yang ketika
itu dipelopori oleh Syekh Hasan Al -Thawil yang telah mengajarkan filsafat dan logika
jauh sebelum Al-Azhar mengenalnya. Pada sisi lain pertemuan Abduh dengan Al-
Afgani menjadikan Abduh aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik, dan kemudian
mengantarkannya untuk bertempat tinggal di Paris, menguasai bahasa Prancis,
menghayati kehidupan masyarakatnya, serta berkomonikasi dengan pemikir-pemikir
Eropa ketika itu.11
b. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai
kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia.
10
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 17
11
Ibid., hal 18
6
Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, ia bukan manusia lagi, tetapi mahluk lain.
Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang
dilakukannya. Kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan
selanjutnya mengwujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.12
Karena manusia menurut hukum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan
dalam menentukan kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan, faham perbuatan
yang dipaksakan manusia atau Jabariyah tidak sejalan dengan pandangan hidup
Muhammad Abduh. Manusia, menurutnya, mempunyai kemampuan berpikir dan
kebebasan dalam memilih, namun tidak memiliki kebebasan absolut. Ia menyebut orang
yang mengatakan manusia mempunyai kebesan mutlak sebagai orang yang angkuh.13
Pendidikan
Ide-ide pembaharuan adalam bidang pendidikan yang diajukan Muhammad
Abduh dilatarbelakangi situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu.
Pemikiran statis, taqlid, bid’ah, dan khurafat menjadi ciri dunia Islam pada saat itu.
Demikian pula halnya yang terjadi di Mesir. Kejumudan telah merambah ke berbagi
bidang dan sistem kehidupan masyarakat. Kejumudan dalam bidang-bidang kehidupan
itu tampak saling terkait dan saling mempengaruhi antara bidang kehidupan yang satu
dengan bidang kehidupan yang lain, terutama bidang akidah terlihat sangat
mempengaruhi bidang-bidang kehidupan yang lain.14 Program pembaharuan pendidikan
yang diajukannya adalah; memahami dan menggunakan ajaran Islam dengan benar,
sebagai salah satu fondasi utama untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia
mengkritik sekolah-sekoalah modern yang didirikan oleh misionaris asing, juga
mengkritik sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah. Menurutnya, di sekolah-sekolah
misionaris yang didirikan bangsa asing (al-madrasah al-ajnabiyyah) siswa dipaksa
untuk mempelajari kristen, sementara itu di sekolah-sekolah pemerintah, siswa tidak
diajar agama sama sekali. Sementara sekolah-sekolah pemerintah tampil dengan
kurikulum barat sepenuhnya, tanpa memasukkan agama ke dalam kurikulumnya, pada
sisi yang lain sekolah-sekolah agama tidak memberikan kurikulum modern (Barat)
12
Nasution, Op,Cit., hal 65
13
Ibid., hal 66
14
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hal
152-153
7
sama sekali. Pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual
sama sekali, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut
sejajar dengan aspek jiwa yang lain. Antara tipe sekolah modern yang dibangun oleh
pemerintah dan misionaris, dengan tipe sekolah agama di mana Al-Azhar sebagai
pendidikan tertingginya, tidak mempunyai hubungan sama sekali antara yang satu
dengan yang lain.15
Dualisme pendidikan sebagaimana tersebut di atas, melahirkan dua kelas sosial
dengan dua spirit yang berbeda. Tipe sekolah modern menghasilkan kelas elit generasi
muda dengan pengetahuan modern tanpa pengetahuan agama, sedangkan tipe sekolah
agama menghasilkan ulama-ulama yang tidak berpengetahuan modern. Pola pemikiran
pada sekolah tipe pertama akan membahayakan dan mengancam sendi-sendi agama dan
moral, sementara itu mempertahankan pola pemikiran pada sekolah tipe kedua hanya
akan menyebabkan ummat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan
pemikiran modern. Dengan memperkuat pendidikana agama di sekolah-sekolah modern
dan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam sekolah-sekolah agama, jurang
yang memisahkan golongan ahli ilmu modern dari golongan ulama akan dapat
diperkecil.16
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan
pendidikan yang luas, yang mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif).
Aspek kognitif untuk menanamkan kebiasaan berfikir, dan dapat membedakan antara
yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang membawa mudharat.
Aspek afektif untuk menanamkan akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Dengan
pendidikan spiritual diharapkan moral yang tinggi akan terbentuk, sehingga sikap-sikap
yang mencermnkan kerendahan moral dapat terhapuskan. Dengan tujuan pendidikan
yang demikian, Muhammad Abduh menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi yang
utuh, yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya memiliki
kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual. Ia berkeyakinan jika
akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka ummat Islam akan dapat
berpacu dengan Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat
mengimbangi mereka dalam kebudayaan. 17
15
Ibid.,
16
Nasution, Op,Cit., hal 67
17
Lubis, Op.Cit., hal 156
8
Dalam metode pengjaran, Muhammad Abduh membawa cara baru dalam dunia
pendidikan saat itu. Ia mengkritik tajam metode yang hanya menonjolkan hafalan tanpa
pengertian yang pada umumnya diterapkan di sekolah-sekolah. Walaupun tidak
menjelaskan dalam tulisan-tilisannya, dari apa yang dipraktekkan ketika mengajar di
Al-Azhar, tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi untuk memberikan
pengertian yang mendalam kepada murid. Ia menekankan pentingnya memberikan
pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan, dan memperingatkan para pendidik
agar tidak menonjolkan hafalan, karena metode yang demikian menurutnya hanya akan
merusak daya nalar.18
18
Ibid,. hal 160
9
Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan
pemikiran Islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan
diantaranya:
1. Reformasi Pendidikan
Muhammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan. Menjadikan
pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat mesir.
menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim
yang shaleh.
2. Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial
Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya
terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan dan
Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-
lembaga sosial. Diantaranya: Jamiâah khairiyah islamiyah, jami’ah ihya al-ulum
al-arabiyah, dan juga jami’ah at-taqorrub baina al-adyan.
3. Mendirikan Sekolah Pemikiran
Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran
kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran islam
dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh islam yang
sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini.
Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran
kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran islam dan
kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh islam yang sedang
dengan gencar menyerang umat muslim saat ini.
10
D. Corak pemikiran Muhammad Abduh
11
KESIMPULAN
12
Daftar Pustaka
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan gerakan.
Nasution, Harun. 1987. Muhammad abduh dan Teologi Rasional. Jakarta:UI Press.
13