Anda di halaman 1dari 19

Nama : Dewi Ayu Lestari

NIM : 190101230
Mata Kuliah : Sejarah Pendidikan Islam
Semester/Kelas : III/D-G
Dosen Pengampu : Muhammad, M.Pd.I

1. Pengertian Sejarah
a. Secara Etimologi
Menurut Louis Ma’luf, perkataan sejarah disebut tarikh atau sirah yang berarti
ketentuan masa atau waktu, dan ‘ilm tarikh yang berarti ilmu yang mengandung atau
membahas penyebutan peristiwa atau kejadian, masa atau terjadinya peristiwa, dan
sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.
b. Secara Terminologi
Majdi Wahab menyebutkan bahwa sejarah diartikan sebagai sejumlah keadaan dan
peristiwa yang terjadi di masa lampau, dan benar-benar terjadi pada diri individu dan
masyarakat, sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan
manusia.
Pendidikan Islam adalah proses bimbingan dari pendidik yang mengarahkan anak didiknya
kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan dan
terbentuknya pribadi muslim yang baik.
Sehingga sejarah pendidikan Islam, yaitu:
a. Catatan peristiwa tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari sejak
lahirnya hingga sekarang ini.
b. Satu cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi gagasan atau ide-ide, konsep, lembaga
maupun operasi onalisasi sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini.
2. Tahapan perkembangan Pendidikan Islam:
a. Pada masa Rasulullah SAW
a) Pendidik
Pada masa awal Islam nabi Muhammad saw. sendiri yang menjadi guru. Beliaulah
yang menyampaikan wahyu kepada sahabat-sahabatnya dan menjelaskan makna
yang dikandung di dalamnya. Selanjutnya dibantu oleh sahabat-sahabatnya yang
telah dikader dan dididik oleh beliau, termasuk isteri-isteri beliau sendiri. Khusus
untuk pendidikan membaca dan menulis Nabi saw. memanfaatkan tenaga-tenaga
non muslim, termasuk tawanan perang Badar.
b) Peserta didik
 Di Makkah
Tahap I: Secara sembunyi-sembunyi yaitu kepada karib kerabatnya dan teman-
teman sejawatnya.
Tahap II: Secara terang-terangan kepada seluruh penduduk Jazirah Arab baik
penduduk Makkah maupun dari luar Makkah.
 Di Madinah
Kaum Muhajirin dan kaum Ansar
Dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah sahabat-sahabat Nabi saw., dan
ummat Islam pada umumnya, terutama orang-orang yang baru masuk Islam agar
mereka dapat memahami ajaran Islam dengan baik dan mengamalkannya dalam
kehidupannya sehari-hari.
c) Kurikulum, materi, dan metode pendidikan
 Materi Pendidikan di Makkah
1) Pendidikan Tauhid, dalam teori dan praktik.
Materi ini lebih difokuskan kepada pemurnian ajaran agama yang dibawa
oleh Nabi Ibrahim yang telah banyak menyimpang dari yang sebenarnya.
Inti dari ajaran tersebut adalah ajaran tauhid yang terkandung dalam Q.S.
al-Fatihah: 1-7 dan Q.S. al-Ikhlas/112 : 1-4. Pendidikan tauhid diberikan
melalui cara-cara yang bijaksana menurut akal pikiran dengan mengajak
umatnya untuk membaca, memperhatikan dan memikirkan kekuasaan dan
kebesaran Allah swt., serta diri manusia sendiri. Kemudian beliau
mengajarkan bagaimana mengaplikasikan ajaran tauhid tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
2) Pengajaran al-Qur’an
Tugas Nabi Muhammad saw., di samping mengajarkan tauhid juga
mengajarkan al-Qur’an. Materi ini dirinci kepada materi baca tulis al-
Qur’an, materi menghafal ayat-ayat al-Qur’an, dan materi pemahaman al-
Qur’an. Para sahabat berkumpul membaca dan memahami setiap
kandungan ayat. Meskipun kenyataannya, masyarakat Arab pada masa itu
dikenal masyarakat ummi yang pada umumnya tidak dapat membaca dan
menulis, hanya sebagian dari mereka yang dapat menulis dan membaca.
Tradisi budaya lisan yang merupakan warisan budaya sehingga mereka
dikenal sebagai orang yang kuat hafalannya. Dan ini memberi indikasi
bahwa baca tulis belum membudaya dalam kehidupan mereka sehari-hari,
tetapi tidak berarti al-Qur’an tidak ada yang menulisnya, karena diantara
sahabat ada yang pandai menulis.
Mahmud Yunus mengemukakan materi pendidikan pada fase Makkah
adalah sebagai berikut:
 Pendidikan keagamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah
semata-mata, jangan dipersekutukan dengan nama berhala, karena
Tuhan itu Maha Besar dan Maha Pemurah.
 Pendidikan akliah dan ilmiah, yaitu mempelajari kejadian manusia
dari segumpal darah dan kejadian alam semesta. Untuk mempelajari
hal-hal itu haruslah dengan banyak membaca dan menyelidiki serta
memakai pena untuk membaca.
 Pendidikan Akhlak dan budi pekerti, yaitu si pendidik hendaklah suka
memberi/mengajar tanpa mengharapkan balasan dari orang yang
menerima pemberian itu, melainkan karena Allah semata-mata dan
mengharapkan keridaannya. Begitu juga si pendidik harus berhati
sabar dan tabah dalam melakukan tugasnya.
 Pendidikan Jasmani (kesehatan), yaitu mementingkan kebersihan,
bersih pakaian, bersih badan dan bersih tempat kediaman. Terutama si
pendidik harus bersih pakaian, suci hati, dan baik budi pekertinya
supaya menjadi contoh dan tiru teladan bagi anak-anak didikannya.
 Materi Pendidikan Islam di Madinah
Materi Pendidikan Islam pada fase ini tidak lagi terbatas pada masalah-
masalah aqidah, ibadah dan akhlak tetapi materinya lebih kompleks dan
cakupannya lebih luas dibanding dengan materi pendidikan Islam pada fase
Makkah. Ciri pokok pembinaan pendidikan Islam di Makkah adalah
pendidikan tauhid (dalam artinya yang luas), sedangkan ciri pokok pendidikan
Islam di Madinah adalah pembinaan pendidikan sosial dan politik (dalam
artinya yang luas pula). Namun kedua ciri pokok tersebut bukanlah merupakan
dua hal yang terpisah antara satu dengan lainnya, artinya bahwa pendidikan
sosial politik tetap harus dilandasi atau dijiwai oleh pendidikan tauhid/ aqidah.
Karena itu ruang lingkup materi pendidikan Islam tidak hanya terbatas pada
bidang keagamaan semata, dan juga tidak terbatas pada materi pendidikan yang
diarahkan untuk kehidupan dunia semata, akan tetapi keduanya dipadukan
menjadi satu kebulatan bahan pembelajaran. Konsep pendidikan yang demikian
ini memungkinkan manusia untuk mencapai kesempurnaan kehidupan duniawi
secara individual maupun secara sosial.
Mahmud Yunus mengemukakan bahwa, intisari pendidikan dan
pengajaran Islam yang diberikan Nabi saw., masa Madinah adalah selain
pendidikan keagamaan, pendidikan akhlak, dan pendidikan kesehatan juga
diperluas dengan materi pendidikan syariat yang berhubungan dengan
masyarakat.

Kurikulum Pendidikan Islam pada masa Rasulullah adalah al-Qur’an yang


diturunkan oleh Allah secara berangsur-angsur sesuai kondisi dan situasi serta
peristiwa yang dialami umat saat itu. Karena itu dalam prakteknya tidak saja logis
dan rasional tapi juga secara fitrah dan pragmatis.
Metode Pendidikan Islam Zaman Rasulullah
Metode mengajarkan agama Islam yang digunakan pada zaman Rasulullah saw.
sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahmud Yunus adalah:
 Tanya jawab, khususnya yang berkaitan dengan masalah keimanan.
 Demonstrasi, memberi contoh, khususnya yang berkaitan dengan masalah
ibadah (seperti: shalat, haji, dan lain-lain)
 Kisah-kisah umat terdahulu, orang-orang yang taat mengikuti Rasul dan orang-
orang yang durhaka dan balasannya masing-masing seperti: kissah Qarun,
kissah Musa, dan lain-lain. Metode ini digunakan khususnya dalam masalah
akhlak.
Selain metode-metode mengajar yang dikemukakan di atas masih banyak metode
mengajar pendidikan Islam yang digunakan oleh Rasulullah saw., yang bersumber
dari ayat-ayat al-Qur’an, antara lain sebagai berikut:
 Metode hikmah, memberi nasihat/ceramah dan dialog/diskusi (Q.S. : al-
Nahl/16: 125)
 Metode demonstrasi (Q.S.: al-Maidah/5: 27-31)
 Metode pembiasaan (Q.S.: al-Nisa/4 : 43, Q.S al-Baqarah/2: 219 dan
alMaidah/5: 90)
 Metode perumpamaan (Q.S.: al-Baqarah/2: 261)
 Metode eksperimen (Q.S.: al-Rum/30: 50).
 Metode keteladanan (Q.S.: al-Shaf/61 : 2-3).
d) Lembaga, dan sarana pendidikan
Tempat berlangsungnya pendidikan Islam adalah:
 Di Rumah
Mahmud Yunus mengatakan bahwa tempat pendidikan Islam yang pertama
dalam sejarah pendidikan Islam adalah rumah Al-Arqam bin Abil Arqam.
Selain di rumah Al-Arqam juga pendidikan Islam dilaksanakan di rumah Nabi
saw., sendiri di mana kaum Muslimin berkumpul untuk belajar dan
membersihkan aqidah mereka.
 Masjid
Pendidikan dalam Islam erat sekali hubungannya dengan masjid. Kaum
muslimin telah memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan sebagai
lembaga pendidikan keagamaan dimana dipelajari kaidah–kaidah Islam,
hukum-hukum agama dan sebagainya.
 Kuttab
Kuttab ini awalnya sebagai tempat belajar menulis dan membaca. Setelah Islam
datang, Kuttab dijadikan sebagai tempat mengajarkan al-Qur’an dan agama di
samping sebagai tempat menulis dan membaca.

b. Pada masa Khulafa’ al-Rashidin


a) Pendidik
Yang menjadi pendidik adalah Umar dan para sahabatnya yang lebih dekat dengan
Rasulullah yang memiliki pengaruh besar, sedangkan pusat pendidikanya selain
Madinah adalah Mesir, Syiria, dan Basyrah.
b) Peserta didik
Umat Islam dan yang baru masuk Islam
c) Kurikulum, materi, dan metode pendidikan
Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi
seorang, baik di kuttab atau di masjid pada tingkat menengah, dan pada tingkat
tinggi pelajaran diberikan guru dalam suatu halaqah yang dihadiri oleh pelajar
secara bersama-sama. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada kuttab pada mula-mulanya
adalah dalam keadaan sederhana yaitu:
 Belajar membaca dan menulis
 Membaca al Qur’an dan menghafalnya
 Belajar pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu’, sholat, puasa dan
sebagainya.
 Dan pada masa umar bin khattab dikuttab, beliau mengintruksikan kepada
anak-anak agar diajarkan berenang, mengendarai kuda, memanah, membaca
dan menghafal syair-syair mudah dan peribahasa.
Sedangkan ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari:
 Al Qur’an dan Tafsirnya
 Hadits dan mengumpulkannya
 Fiqhi (Tasyri’)
Selain itu, Di zaman khulafaur rasyidin, sahabat-sahabat Nabi SAW. Terus
melanjutkan peranannya yang selama ini mereka pegang, tetapi zaman ini muncul
kelompok tabi’in yang berguru kepada lulusan-lulusan pertama. Diantaranya yang
paling terkenal di Madinah adalah: Rabi’ah al-Raayi yang membuka pertemuan
ilmiah di Masjid Nabawi.

Pendidikan pada masa Khalifah Abu Bakar tidak jauh berbeda dengan pendidikan
pada masa Rasullah.
Pada masa khalifah Umar bin Khattab, pendidikan sudah lebih meningkat dimana
pada masa khalifah Umar guru-guru sudah diangkat dan digaji untuk mengajar ke
daerah-daerah yang baru ditaklukkan.
Pada masa khalifah Usman bin Affan, pendidikan diserahkan kepada rakyat dan
sahabat tidak hanya terfokus di Madinah saja, tetapi sudah dibolehkan ke daerah-
daerah untuk mengajar.
Pada masa khalifah Ali bin abi Thalib, pendidikan kurang mendapat perhatian, ini
disebabkan pemerintahan ali selalu dilanda konflik yang berujung pada kekacauan.

d) Lembaga, dan sarana pendidikan


Al-Kuttab, utamanya mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak, selanjutnya
mengajarkan membaca, menulis dan agama.
Khuda Bakhsh: pendidikan di al-kuttab berkembang tanpa campur tangan
pemerintah, dalam mengajar menganut sistem demokrasi.
Masjid dan Jami’. Mesjid mulai berfungsi sebagai sekolah sejak pemerintahan
khalifah kedua, Umar, yang mengangkat “penutur”, qashsh, untuk masjid di kota-
kota, umpamanya Kufah, Basrah, dan Yastrib guna membacakan Alquran dan
Hadits (Sunnah Nabi). Mesjid lembaga ilmu pengetahuan tertua dalam Islam.
c. Pada masa Daulah Umaiyah
a) Pendidik
Guru pada masa bani Umayyah memegang peranan yang penting dalam proses
pendidikan anak, mulai dari menentukan perencanaan sampai melaksanakannya.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa ini disebut dengan teacher
oriented.
b) Kurikulum, materi, dan metode pendidikan
Kurikulum Pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi. Berikut ini adalah
macam-macam kurikulum yang berkembang pada masa bani Umayyah:
 Kurikulum Pendidikan Rendah
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam,
tetapi tidak hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi
halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Di
lembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping Alquran.
Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.
 Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum pendidikan tinggi (halaqah) bervariasi tergantung pada syaikh yang
mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran
tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk
mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran di
sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain,
bahkan dari satu kota ke kota lain. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini
disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang
tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Alquran dan
agama. Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan
ilmu-ilmu agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum
al-aqliyah).
Pendidikan Islam di masa Dinasti Umayah tampaknya masih didominasi oleh
metode bayani, terutama selama abad I H di mana pendidikan bertumpu dan
bersumber pada nash-nash agama yang kala itu terdiri atas Alquran, sunnah, ijmak,
dan fatwa sahabat. Metode bayani dalam pendidikan Islam kala itu lebih bersifat
eksplanatif, yaitu sekedar menjelaskan ajaran-ajaran agama saja. Secara khusus,
metode ceramah dan demonstrasilah yang banyak digunakan dalam institusi-
institusi pendidikan yang ada di zaman itu. Baru pada masa-masa akhir
pemerintahan Umayah metode burhani mulai berkembang di dunia Islam, seiring
dengan giatnya penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.
c) Lembaga, dan sarana pendidikan
Lembaga pendidikan Islam di masa ini diklasifikasikan atas dasar muatan
kurikulum yang diajarkan. Dalam hal ini, kurikulumnya meliputi pengetahuan
agama (Lembaga pendidikan formal) dan pengetahuan umum (non formal).
Adapun lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah pada
masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
 Shuffah, adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan.
Biasanya tempat ini menyediakan tempat pemondokan bagi pendatang baru
dan mereka tergolong miskin. Disini para siswa diajarkan membaca dan
menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam dibawah bimbingan
langsung dari nabi. Pada masa ini setidaknya telah ada sembilan shuffah yang
tersebar dikota Madinah. Dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah
juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi,
geneologi, dan ilmu fonetik.
 Kuttab/Maktab, adalah Lembaga pendidikan Islam tingkat dasar yang
mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran
Alquran dan pengetahuan agama tingkat dasar.
 Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar mengajar di sini
dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru biasanya
duduk dilantai menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan
komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa terjadi di
masjid atau di rumah-rumah. Kegiatan halaqah ini tidak khusus untuk
mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan
umum, termasuk filsafat.
 Majlis, yang berarti sesi dimana aktivitas pengajaran atau diskusi berlangsung.
Ada beberapa macam majlis seperti; Majlis al-Hadits, majlis ini
diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli dalam bidang hadits. Majlis al-
Tadris, majlis ini basanya menunjuk majlis selain dari pada hadist, seperti
majlis fiqih, majlis nahwu, atau majlis kalam. Majlis al-Syu’ara, majlis ini
adalah lembaga untuk belajar syair, dan sering dipakai untuk kontes para ahli
syair. Majlis al-Adab, majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab
yang meliputi puisi, silsilah, dan laporan bersejarah bagi orang-orang yang
terkenal. Majlis al-Fatwa dan al-Nazar, majlis ini merupakan sarana pertemuan
untuk mencari keputusan suatu masalah dibidang hokum kemudian difatwakan.
 Masjid, Semenjak berdirinya pada masa Nabi Muhammad Saw, masjid telah
menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum Muslimin, baik
yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi.
 Khan, berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak
belajar hukum Islam pada suatu masjid. Disamping fungsi itu, khan juga
digunakan sebagai sarana untuk belajar privat.
 Badi’ah, Secara harfiah badiah artinya dusun Badui di padang sahara yang di
dalam terdapat padang sahara yang didalam terdapat bahasa Arab yang masih
fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Lembaga Pendidikan ini
muncul seiring dengan kebijakan pemerintahan Bani Umayyah untuk
melakukan program Arabisasi yang digagas oleh khalifah Abdul Malik Ibn
Marwan. Akibat dari Arabisasi ini maka muncullah ilmu qawaid dan cabang
ilmu lainnya mempelajari bahasa Arab. Melaui pendidikan di Badiah ini,maka
bahasa Arab dapat sampai ke Irak, Syiria, Mesir, Lebanon, Tunisia, Al-Jazair,
Maroko, di samping Saudi Arabia, Yaman, Emirat Arab,dan sekitarnya.
Dengan demikian banyak para penguasa yang mengirim anaknya untuk belajar
bahasa Arab ke Badiah.
 Al-Bimaristan adalah rumah sakit tempat berobat dan merawat sekaligus
tempat penelitian calon dokter. Di masa sekarang al-Bamaristan dikenal
dengan istilah teaching hospital (rumah sakit pendidikan). Khalid ibn
Yazid,cucu Muawiyah itu tertarik dengan ilmu kimia dan kedokteran. Melalui
wewenang, ia menyediakan sejumlah dana dan memerintahkan para sarjana
Yunani yang ada dimesir untuk menterjemahkan buku kimia dan kedokteran ke
dalam bahasa arab.
Sedangkan Madrasah-madrasah yang ada pada masa Bani Umayyah adalah sebagai
berikut:
 Madrasah Mekkah: Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah
penduduk Mekkah takluk, ialah Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al
Qur’an dan mana yang halal dan haram dalam Islam.
 Madrasah Madinah: Madrasah Madinah lebih termasyur dan lebih dalam
ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat nabi. Berarti disana
banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
 Madrasah Basrah: Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa
Al-asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli
hadist, serta ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu
hadis.
 Madrasah Kufah: Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang
ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais
dan ‘Amr bin Syurahbil.
 Madrasah Damsyik (Syam): Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian
negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri
Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan imam
penduduk Syam, yaitu Abdurrahman Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya
dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah.
 Madrasah Fistat (Mesir): Setelah Mesir menjadi negara Islam ia menjadi pusat
ilmu-ilmu agama. Ulama yang mula-mula madrasah madrasah di Mesir ialah
Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘As, yaitu di Fisfat (Mesir lama).
d. Pada masa Daulah Abbashiyah
a) Kurikulum, materi, dan metode pendidikan
Pada masa kejayaan Islam, dalam mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat
rendah adalah Al-Qur’an dan agama, membaca, menulis, dan syair. Kurikulum
pendidikan Islam pada masa Daulah Abbasiyah didominasi oleh ilmu-ilmu agama
khususnya Al-Qur’an sebagai fokus pengajarannya.
Selain Al-Qur’an, hadits juga merupakan mata pelajaran yang paling penting
karena merupakan sumber agama kedua setelah Al-Qur’an. Mempelajari Hadits
banyak diminati oleh para penuntut ilmu, terbukti dengan banyaknya kelas-kelas
Hadits. Selain Hadits, ilmu Tafsir juga menjadi salah satu materi kurikulum
pendidikan Islam yang sangat penting pada masa itu, meskipun secara umum para
sahabat melarang untuk menafsirkan Al-Qur’an.
Pengajaran yang diberikan kepada murid-murid dilakukan seorang demi seorang
dan belum berkelas-kelas seperti sekarang. Jadi guru harus mengajar muridnya
dengan berganti-ganti. Mereka belajar dengan duduk bersila mengelilingi gurunya
atau yang disebut berhalaqah. Cara halaqah ini merupakan metode mengajar yang
dipakai di lembaga pendidikan tingkat tinggi. Sedangkan menurut Hanun Asrohah,
metode pengajaran pada masa Daulah Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi
tiga macam, yaitu lisan, hafalan, dan tulisan. Metode lisan
bisa berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi.
b) Lembaga, dan sarana pendidikan
Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat,
karena upaya upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita
lihat dari bangunan-bangunan yang berupa:
 Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
 Majlis Muhadharah, yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana,ahli pikir dan
pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
 Darul Hikmah, adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini
Merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat
ruangan Belajar.
 Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula
mendirikan Sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama
Madrasah.
 Masjid, biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
3. Masa keemasan islam terjadi pada masa dinasti abbasiyah dengan didirikannya baitul
hikmah sebagai pusat perpustakaan di kota bagdhad dan dari sinilah awal mulanya gerakan
penerjemah sebagai respon masyarakat terhadap pentingnya menerjemahkan literatur non
Arab ke dalam bahasa Arab untuk mengerti suatu ilmu yang dipelajari, juga dikarenakan
pada waktu itu pemerintah sangat memperhatikan gerakan penerjemah sebagai bentuk
usaha dalam memperbanyak ilmu sehingga pada masa itu begitu banyak ilmu yang muncul
dikarenakan dari hasil usaha penerjemahan buku literatur non Arab ke dalam bahasa Arab,
diantaranya menerjemahkan karya filsafat yunani.
4. Faktor pendukung terciptanya intelektual muslim pada era tersebut
Kehidupan intelektual di zaman dinasti Abbasiyah diawali dengan berkembangnya
perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan terutama dari dua sumber
utama yaitu al-Qur’an dan Hadis. Dalam bidang pendidikan di awal kebangkitan Islam
lembaga pendidikan sudah mulai berkembang.
Berkembangnya pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini antara lain karena
kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan
mengembangkannya secara kreatif, ditambah dengan dukungan dari khalifah pada waktu
itu dengan memfasilitasi terciptanya iklim intelektual yang kondusif. Tradisi yang
berkembang pada waktu itu adalah tradisi membaca, menulis, berdiskusi,
keterbukaan/kebebasan berfikir, penelitian serta pengabdian mereka akan keilmuan yang
mereka kuasai.
Bagi mereka adalah kepuasan tersendiri bisa mempunyai kekayaan ilmu. Tradisi
intelektual terlihat dari kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu dibarengi dengan
adanya perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang diperuntukkan kepada
khalayak umum atau disponsori oleh khalifah. Hasil membaca mereka kemudian
didiskusikan dan dikembangkan lagi, mereka menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai
tempat berdiskusi. Dari sinilah memunculkan ide/ keilmuan baru, tercipta tradisi menulis,
menyadarkan kebutuhan untuk berkarya yang sangat tinggi. Tradisi penelitian juga kita
lihat dari temuan-temuan (eksperimen) ilmu dalam bidang sains, matematika, kedokteran,
astronomi, dan lain-lain.
5. Pendidikan Islam pada fase kemunduran
Gejala-gejala kemunduran dan kemacetan intelektual ini diungkapkan oleh Fazlurrahman,
bahwa tertutupnya pintu ijtihad (yakni pemikiran yang orisinil dan bebas) selama abad ke-
4 H/10 M dan 5 H/11 M telah membawa kemacetan umum dalam ilmu hukum dan ilmu
intelektual khususnya yang pertama. Ilmu-ilmu intelektual yakni teologi, dan pemikiran
keagamaan, sangat mengalami kernunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka
yang disengaja dari intelektualisme sekuler dan karena kemunduran yang disebut terakhir
ini, khususnya filsafat, dan juga pengucilannya dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan
seperti yang dibawa oleh sufisme.
Sejak itulah ilmu-ilmu agama yang seharusnya lebih banyak dikembangkan untuk
menjawab tantangan zaman boleh dikatakan sudah pudar. Kegiatan kaum muslimin boleh
dikatakan sudah berhenti, sekalipun tidak sama sekali. Ini sejalan dengan kehancuran
Bagdad dan Spanyol, dua wilayah yang dianggap sebagai pusat pengembangan pendidikan
dan kebudayaan Islam. Dengan hancurnya secara total Bagdad dan Granada di Spanyol
sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam menandai runtuhnya sendi-sendi
pendidikan dan kebudayaan Islam. Musnahnya lembaga pendidikan dan semua buku-buku-
buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan di bagian Timur dan Barat dunia Islam
tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam terutama
bidang intelektual dan material, tetapi tidak demikian halnya dalam bidang kehidupan batin
atau spiritual.
Jadi, jelaslah kemunduran pendidikan disebabkan dua faktor yaitu internal dan eksternal.
Faktor internal yaitu macetnya salah satu bentuk pola pendidikan (pola pendidikan
intelektual) sehingga tidak ada lagi keseimbangan pengetahuan aqliah (intelektual) dan
nakliah.
Jadi jelaslah bahwa semenjak jatuh Bagdad tidak banyak yang dicapai dalam
pengembangan pendidikan Islam, memang banyak diperoleh madrasah-madrasah tetapi
dari segi materi yeng diajarkan itu semakin sedikit. Sehingga kita tidak melihat penemuan-
penemuan baru yang berarti, usaha untuk mencari yang baru, dan bahkan sebaliknya apa
yang telah dicapai sebelumnya tidak dapat terpelihara atau hilang apalagi untuk
mengembangkannya. Keadaan pendidikan zaman ini digambarkan juga oleh Fazlurrahman,
di madrasah-madrasah yang bergabung pada khalaqah-khalaqah dan zawiyah-zawiyah sufi.
Karya-karya sufi dimasukkan ke dalam kurikulum yang formalis, misalnya di India sejak
abad 8/14 M. Karya-karya al-Suhrawardi dan Al-Arabi dan kemudian karya-karya Jami'
telah diajarkan, sedangkan di pusat-pusat sufi terutama di Turki kurikulum akademis
hampir seluruhnya buku-buku tentang sufi. Ajaran sufi yang diajarkan sebagian besarnya
dikuasai oleh ajaran pantheisme yang bertentangan tajam dengan lembaga-lembaga
pendidikan ortodoks, sehingga terjadilah dualisme spiritual yang tajam dan berlarut-larut
diantara madrasah dan khalaqah.
Di samping itu kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran nampak jelas dengan sangat
sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran di madrasah-madrasah yang ada. Dengan
telah menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum, dan tiadanya perhatian
kepada ilmu-ilmu kealaman maka kurikulum pada umumnya madrasah-madrasah terbatas
pada ilmu keagamaan, ditambah dengan sedikit gramatika dan bahasa sebagai alat yang
diperlukan. Ilmu-ilmu keagamaan yang murni tinggal terdiri atas Tafsir Alquran, hadis,
Fiqh (termasuk ushul fiqh dan prinsip-prinsip hukum), dan ilmu kalam atau teologi Islam.
Bahkan di madrasah-madrasah tertentu ilmu kalam dicurigai. Madrasah-madrasah yang
diurus kaum sufi ditambah dengan pendidikan sufi.
Pendidikan umat Islam setelah masa disintegrasi atau setelah penghancuran Bagdad,
mengalami kemunduran dari segi intelektual dalam arti bahwa tidak ada usaha pencarian,
mempertahankan apa yang sudah ada apalagi untuk mengembangkannya. Dari segi ilmu
kealaman, pendidikan Islam boleh dikatakan macet total. Proses-proses pendidikan tidak
lagi dinamis. Materi-materi pendidikan semakin sempit dan tidak lagi berkembang, dan
paling tinggi perkembangannya adalah mengomentari, keadaan ini berlaku bagi semua
ilmu pengetahuan, dan ditambah dengan dominasinya sufi yang dipengaruhi pantheisme
dalam pendidikan Islam.
6. Tiga teori yang menjelaskan masuknya Islam di Indonesia
a. Teori Gujarat
Teori ini dipopulerkan oleh seorang orientalis Belanda yang meneliti tentang Islam di
Indonesia bernama Snouck Hurgronje. Ia menyatakan bahwa agama Islam baru masuk
ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Cambay,
Gujarat, India. Memang sebagian besar Sejarahwan asal Belanda, memegang teori
bahwa Islam di Indonesia berasal dari Anak Benua India. Salah seorang ilmuwan Barat
tersebut adalah Pijnappel yang mengkaitkan asal mula Islam di Indonesia dengan
daerah Gujarat dan Malabar. Menurutnya, orang-orang Arab bermadzhab Syafi’I yang
bermigrasi dan menetap di wilayah India yang membawa Islam ke Nusantara. Snouck
Hurgronje kemudian mengembangkan teori ini, dia berpendapat bahwa ketika Islam
tiba di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, banyak di antara penduduknya
yang beragama Islam dan tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam
perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Lalu mereka datang ke dunia Melayu
(Indonesia) sebagai para penyebar Islam pertama, setelah itu disusul oleh orang-orang
Arab. Dia mengatakan bahwa abad ke-12 sebagai periode paling mungkin dari
permulaan penyebaran Islam di Nusantara.
b. Teori Arab
Dalam sejarah masuknya Islam ke Indonesia mengatakan bahwa Islam datang ke
Indonesia secara langsung dari Arab, tidak melalui perantara bangsa lain. Beberapa
bukti sejarah dikemukakan untuk menguatkan teori ini. Teori ini mengatakan bahwa
Islam masuk ke Indonesia langsung dari Makkah (Arab) sebagai pusat agama Islam
sejak abad ke-7. Salah satu Sejarahwan yang mendukung teori ini ialah Prof. Hamka.
Dia menyatakan bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriah
(abad ke 7-8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur perdagangan yang ramai dan
bersifat internasional sudah dimulai melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti
Tang di China (Asia timur), Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Bani Umayyah di Asia
Barat. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai-
nilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam.
Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah
berlangsung jauh sebelum tarikh Masehi.
c. Teori persia
Pencetus teori Persia ini adalah Hoesein Djajaningrat. Teori Persia lebih
menitikberatkan tinjauannya pada aspek kebudayaan yang hidup di kalangan
masyarakat Islam Indonesia yang dianggap mempunyai persamaan dengan Persia, di
antaranya:
 Adanya peringatan 10 Muharram atau ‘Asyura atas meninggalnya Hasan dan
Husein cucu Nabi Muhammad SAW, yang sangat dijunjung oleh kaum muslim
Syiah di Iran (Persia). Di Sumatra Barat, peringatan tersebut disebut dengan
upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan Bubur
Syuro.
 Adanya kesamaan konsep ajaran sufisme yang dianut Syaikh Siti Jenar dengan Al-
Hallaj, seorang sufi besar dari Persia.
 Penggunaan istilah bahasa Iran (Persia) dalam sistem mengeja huruf Arab untuk
tanda-tanda bunyi Harakat.
 Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
 Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri, daerah Gresik. Leren adalah nama
salah satu pendukung teori ini, yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein
Djayadiningrat.
7. Sarana penyebaran (lembaga) pendidikan Islam
a. Pengertian
 Meunasah
Secara bahasa, bangunan umum di desa-desa sebagai tempat melaksanakan upacara
agama, pendidikan agama, bermusyawarah, dan sebagainya (di Aceh) tidur. Secara
istilah, tempat berbagai aktivitas, baik yang berhubungan dengan masalah dunia
(adat), maupun yang berhubungan dengan masalah agama, yang dikepalai (diampu)
teungku meunasah serta tempatb penggemblengan masyarakat gampông atau desa,
agar masyarakat gampông tersebut menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT
 Rangkang
Menurut bahasa, pondok kecil di ladang yang bertiang, tempat tinggal laki-laki
yang tidak beristri selama beberapa waktu, tempat tinggal pelajar agama.
Menurut istilah adalah tempat laki laki yang menginap untuk belajar agama di
dayah.
 Dayah
Menurut bahasa, tempat belajar sahabat dan Nabi langsung yang menjadi gurunya.
Menurut terminology, lembaga pendidikan Islam yang dikelola secara konvensional
dan dilaksanakan dengan sistem asrama dengan Kyai sebagai sentra utama dan
masjid sebagai pusat lembaga
 Surau
Menurut bahasa, tempat (rumah) umat Islam melakukan ibadatnya (mengerjakan
salat, mengaji, dsb). Menurut istilah, pusat kegiatan keagamaan masyarakat dan
pendidikan dasar keislaman. Yang relatif lebih kecil dari masjid dan biasanya
berdampingan
 Langgar
Menurut bahasa, orang-orang yang telah berubah atau beralih kepercayaan.
Menurut istilah, ruangan, tempat atau rumah kecil menyerupai masjid yang
digunakan sebagai tempat salat dan mengaji bagi umat Islam.
 Pesantren
Menurut bahasa, tempat belajar para santri. Menurut istilah, sebuah pendidikan
tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan
guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai dan mempunyai asrama untuk tempat
menginap santri.
Jadi dapat di simpulkan bahwa semuanya itu memiliki arti yang sama yakni tempat
belajar dan beribadah umat islam.
b. Kurikulum, materi, metode, media, dan sumber belajar
Kurikulum, yaitu pendidikan agama, pengalaman dan pendidikan moral, sekolah dan
pendidikan umum, serta keterampilan dan kursus.
Materi yang di gunakan sangat banyak entah itu umum ataupun agama namun
cendrung lebih ke agama.
Metode yang digunakan: Metode tanya jawab, imlak, problem solving, mutholaah,
pembiasaan, dan hafalan/ verbalisme serta bnyak lagi metode yang digunakan
Media yang di gunakan adalah bertahap dari kitab-kitab terdahulu sampai dengn
komputer pada masa pesantren moderen saat ini
Sumber belajar nya adalah al-Quran, hadist, fiqih bahkan sampai ilmu umum seperti
matematika.
c. Istilah-istilah yang di gunakan untuk menyebut pendidik dan peserta didik
Pendidik yaitu kyai, syekh, ustadz, mu’alim, guru dan banyak lagi
Peserta didik yaitu santri, murid, adek, kakak, nanda Dan bnayak lagi
Cara belajar yaitu bandongan, sorogan, dan wetonan.

Anda mungkin juga menyukai