Anda di halaman 1dari 21

BAB ll

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Kemih

2.1.1 Definisi

Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu infeksi yang melibatkan ginjal, ureter, buli-

buli, ataupun uretra. ISK adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme

dalam urin. Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria) adalah bakteriuria yang menunjukkan

pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105 colony forming unit (cfu/ml) pada biakan

urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria

asimtomatik (convert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai persentasi klinis

ISK dinamakan bakteriuria simtomatik. Piuria bermakna (significant pyuria), bila ditemukan

netrofil >10 per lapangan pandang.17 ISK yang dihubungkan dengan pemakaian kateter uretra

(indwelling urinary catheter) dikenal sebagai ISK terkait kateter (catheter associated urinary

tract infection).9

2.1.2 Etiologi

ISK pada pasien dengan kateterisasi urin dapat disebabkan oleh bakteri dan jamur yang

berasal dari dalam tubuh penderita (endogen) dan luar tubuh penderita (eksogen). Infeksi

eksogen dapat berasal dari lingkungan rumah sakit, staf, peralatan maupun tindakan medis.

Namun, bakteri merupakan penyebab tersering penyakit ISK pada pasien dengan kateterisasi

urin.4,5,6 Data dari National Nosocomial Infection Survailence (NNIS) melaporkan persentase

bakteri penyebab terjadinya ISK dengan kateterisasi di ICU yaitu Escherichia coli 26%,

6
7

Enterococci 17%, Pseudomonas aeruginosa 16%, Klebsiella pneumonie 10% dan Enterobacter

7%.4

2.1.2.1 Bakteri Gram Negatif

1. Escherichia coli

Escherichia coli adalah bakteri oportunis yang banyak ditemukan di dalam kolon

manusia. E.coli merupakan bakteri yang paling sering diisolasi dari pasien dengan infeksi

simtomatik maupun asimtomatik. Bakteri ini berbentuk batang pendek (kokobasil), Gram-

negatif, dan berukuran 0,4-0,7 µm x 1,4µm. Sebagian bakteri ini memiliki gerak positif dan

beberapa strain mempunyai kapsul. Strain E.coli yang berhasil diisolasi dari urin pasien ISK

klinis juga diduga mempunyai patogenesis khusus dan faktor virulensi. Pada isolat dari urin

E.coli dapat segera diidentifikasi dengan melihat hemolisisnya pada agar darah, morfologi yang

khas dengan koloni berwarna merah muda dan bersifat lactose fermented pada medium

diferensial seperti agar EMB.17,19,21

2. Klebsiella sp.

Klebsiella sp. merupakan bakteri enterik berbentuk batang pendek dengan ukuran 0,5µm

x 3,0µm, Gram-negatif, tidak berspora, tidak bergerak, mempunyai kapsul polisakarida yang

besar.19 Melalui polisakarida ekstraseluler tersebut, spesies Klebsiella akan cenderung

membentuk batu dan lebih sering didapatkan pada pasien dengan batu saluran kemih.22

3. Proteus sp.

Proteus sp. merupakan bakteri Gram-negatif, berbentuk batang pendek dengan ukuran

0,5µm x 3,0µm, tidak berspora, tidak berkapsul, tidak memfermentasi laktosa, bergerak aktif

dengan menggunakan flagel peritrik. Gerakan spontan Proteus dapat berpengaruh pada invasi

sistem saluran kemih. Proteus menyebabkan infeksi ketika bakteri tersebut meninggalkan
8

saluran cerna. Spesies yang menyebabkan ISK adalah Proteus mirabilis (P. mirabilis), yang

dimana spesies ini memproduksi urase dengan membebaskan amonia. Dengan demikian,

infeksi sistem saluran kemih yang disebabkan oleh Proteus akan membuat urin menjadi alkali

dan mengakibatkan endapan kalsium fosfat dan tripel kalsium, magnesium, dan ammonium

fosfat. Sensitivitas strain Proteus terhadap antibiotik sangat bervariasi. P. mirabilis sering

dihambat oleh penisilin. Untuk anggota lain dari kelompok ini adalah aminoglikosida dan

sefalosporin.7,17,19

4. Pseudomonas sp.

Bakteri batang Gram-negatif, berukuran 0,5-1,0µm x 3,0-4,0µm, bergerak dengan flagel

polar, satu atau lebih. Pseudomonas aeruginosa bersifat invasif dan toksogenik, menyebabkan

infeksi pada pasien dengan penurunan daya tahan tubuh. Bakteri ini hidup aerob dan tersebar

luas pada tanah, air, tanaman dan binatang serta masuk ke dalam tubuh melalui mukosa atau

kulit yang luka karena tindakan invasif.7,19

2.1.2.2 Bakteri Gram Positif

1. Staphylococcus sp.

Staphylococcus adalah bakteri Gram-positif, berbentuk bola dengan diameter 1µm,

tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur. Bakteri ini bersifat nonmotil dan tidak

menghasilkan spora. Beberapa spesies Staphylococcus merupakan flora normal di kulit dan

membran mukosa manusia. Staphylococcus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan

hemolisis dan membentuk koagulasi.7,24 Staphylococcus saprophyticus menyebabkan 10-15%

ISK akut pada wanita muda. Staphylococcus aureus menyebabkan infeksi pada pasien dengan

batu ginjal atau pasien yang mendapatkan tindakan sebelumnya.22

2. Streptococcus sp.
9

Bakteri Gram-positif, berbentuk bola dan tersusun seperti rantai, dengan diameter 0,5-

1,0µm, serta tidak membentuk spora. Streptococcus memiliki kapsul berupa polisakarida yang

terdiri dari asam hyaluronat yang berfungsi untuk menghalangi proses fagositosis. Beberapa

strain dari bakteri ini bersifat nefritogenik.7,24

2.1.3 Patogenesis

Patogenesis ISK sangat kompleks karena melibatkan beberapa faktor, seperti faktor

pejamu (host) dan faktor organisme penyebabnya.25 Ada dua jalur utama terjadinya ISK, yaitu:

1. Infeksi hematogen

Penyebaran hematogen timbul akibat adanya fokus infeksi di salah satu tempat. Misalnya

infeksi S.aureus pada ginjal dapat terjadi akibat penyebaran hematogen dari fokus infeksi di

tulang, kulit, endotel, atau tempat lain. Akan tetapi hal ini jarang ditemukan.26

2. Infeksi asending

Mekanisme utama penyebaran mikroorganisme penyebab ISK adalah penyebaran

asending. Bakteri yang sebagian besar adalah flora normal usus, dapat mencapai kandung

kemih dari uretra. Kemudian diikuti oleh naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal

sehingga menimbulkan infeksi parenkim ginjal.22

Beberapa mekanisme pertahanan saluran kemih untuk mencegah terjadinya infeksi,

antara lain (1) tekanan dari aliran kemih menyebabkan saluran kemih normal mengeluarkan

bakteri yang ada, sebelum bakteri tersebut menyerang mukosa, (2) kerja antibakteri yang dimiliki

oleh selaput lendir uretra, (3) kemampuan urin untuk menghambat dan membunuh bakteri oleh

karena konsentrasi urea dan osmolaritas urin yang tinggi, serta pH urin yang rendah, (4) sifat
10

bakterisidal dari cairan prostat (protatic antibacterial factor) pada pria, dan (5) sifat fagositik

epitel kandung kemih.22,27

Meskipun terdapat mekanisme pertahanan tersebut, kemungkinan terjadinya infeksi tetap

ada, dan kemungkinan ini berkaitan dengan faktor-faktor predisposisi sebagai berikut:

1. Jenis kelamin

Wanita mempunyai insiden ISK lebih tinggi dibandingkan dengan pria, karena bentuk

uretranya lebih pendek (kira-kira 4 cm) dan letaknya yang berdekatan dengan anus sehingga

mudah terkontaminasi oleh bakteri feses.22,27

2. Refluk vesikoureter

Refluk vesikoureter adalah terjadinya aliran kemih retrograd dari kandung kemih ke

ureter dan kadang sampai pelvis renal, oleh karena peningkatan tekanan pada kandung kemih.

Refluk vesikoureter dikaitkan dengan malformasi kongenital dari bagian ureter yang berada di

dalam kandung kemih, obstruksi pada bagian bawah kandung kemih (leher kandung kemih dan

uretra), dan sistitis. Refluk vesikoureter ini tampaknya merupakan salah satu cara bagi

mikroorganisme memasuki ginjal, sehingga menimbulkan jaringan parut di ginjal (nefropati

refluk).22,27

3. Obstruksi aliran urin

Penyebab umum terjadinya obstruksi adalah jaringan parut ginjal atau uretra, batu saluran

kemih, neoplasma, hipertrofi prostat, kelainan kongenital pada leher kandung kemih dan uretra,

serta penyempitan uretra. Akibat dari obstruksi yang lama akan menimbulkan stasis urin. Hal

ini akan meningkatkan kesempatan bakteri untuk berkembang biak, karena urin merupakan

medium biakan yaang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri. Selain itu, pembesaran kandung
11

kemih akan menyebabkan penurunan aliran darah ke dinding kandung kemih, sehingga dapat

menurunkan resistensi alami kandung kemih terhadap infeksi.27,28,29

4. Hubungan seksual

Pada wanita, gesekan uretra yang terjadi selama hubungan seksual dapat menyebabkan

masuknya bakteri ke dalam kandung kemih. Selain itu, penggunaan kontrasepsi, seperti

diafragma dan spermisida ternyata dapat meningkatkan kolonisasi E.coli pada vagina secara

nyata.22

5. Disfungsi neurogenik kandung kemih

Mekanisme patogenik yang menjadi predisposisi terhadap ISK pada disfungsi kandung

kemih neurogenik mencakup (1) iskemia dari dinding kandung kemih akibat distensi yang

berlebihan, sehingga resisten terhadap invasi bakteri, (2) residu kemih yang menjadi media

pertumbuhan bakteri, (3) refluk vesikoureter yang disertai peningkatan tekanan intravesikuler.

Selain itu, pemakaian kateter dan drainase kemih juga merupakan faktor-faktor predisposisi

tambahan.27

6. Penyakit metabolik

Patogenesis kepekaan terhadap ISK pada pasien diabetes melitus tidak diketahui pasti.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Balasoiu (1997), ditemukan hubungan faktor resiko

gangguan faal kandung kemih (bladder dysfunction) dengan peningkatan kepekaan terhadap

ISK pada diabetes melitus. Disfungsi kandung kemih ini diduga akibat disfungsi saraf otonom

dan gangguan fungsi leukosit polimorfonuklear.17

7. Instrumentasi
12

Kateterisasi uretra dan ureter serta sistoskopi sering menyebabkan infeksi kandung kemih

atau ginjal. Bahkan sekalipun sistem drainasenya tertutup dengan baik, kemih hanya steril

selama lima hingga tujuh hari. Bakteriuria dijumpai paling sedikit pada 10-15% pasien rawat

inap dengan kateter uretra yang terus terpasang. E.coli, Proteus, Pseudomonas, Klebsiella dan

Serratia, merupakan bakteri yang biasanya menyebabkan infeksi ini.22,27

8. Kehamilan

Selama masa kehamilan, terjadi hidronefrosis dan hidroureter. Hal ini sebagian

disebabkan oleh relaksasi otot akibat kadar progesteron yang tinggi, dan sebagian lagi

disebabkan oleh obstruksi ureter karena uterus yang membesar. Obstruksi tersebut akan

mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter.27

2.1.4 Gambaran Klinik dan Komplikasi

Secara klinis, kebanyakan ISK yang berhubungan dengan kateter sering tanpa gejala.

Hanya 10-20% pasien yang menggunakan kateter dengan bakteriuria yang menimbulkan gejala.

Gejala klinis yang timbul tergantung dari lokasi infeksi. Gejala lokal yang sering timbul adalah

nyeri pinggang, ataupun hanya perasaan tidak nyaman dan gejala sistemik antara lain seperti

mual, muntah atau pun demam. pemakaian kateter dalam jangka waktu yang lama dapat

mengakibatkan berbagai komplikasi lain yaitu obstruksi kateter, batu saluran kemih, dan

inflamasi ginjal kronik. Bakteriemia merupakan komplikasi yang paling penting. Sebesar 11-

40% ISK dengan kateterisasi mengalami bakteriemia. Bakteriemia Gram-negatif, yang terjadi

pada 1-2% kasus bakteriuria yang berhubungan dengan kateter, merupakan komplikasi ISK

akibat kateter yang paling bermakna. Saluran kemih yang dipasang kateter sudah sering

ditunjukkan merupakan sumber bakteriemia Gram-negatif yang paling umum pada pasien rawat

inap. Juga diperkirakan bahwa bakteriuria pada pasien rawat inap yang dipasang kateter
13

berhubungan dengan peningkatan resiko relatif kematian kira-kira 3 kali dibandingkan dengan

pasien yang sama tanpa bakteriuria.4,7

2.1.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ISK pada pasien dengan kateterisasi urin dapat berupa pemberian

antibiotik. Antibiotik yang dianjurkan oleh kementrian kesehatan adalah sefalosporin golongan

ketiga, florokuinolon (siprofloksasin dan levofloksasin), beta laktam/penghambat beta laktamase

anti Pseudomonas, dan karbapenem.14

Beberapa prinsip yang mendasari pengobatan ISK, antara lain:2

1. Memastikan adanya infeksi dengan melakukan pemeriksaan penunjang seperti

pemeriksaan Gram, biakan urin kuantitatif, atau uji diagnostik lainnya sebelum dilakukan

pengobatan. Setelah didapatkan hasil biakan sebaiknya dilakukan uji sensitifitas untuk

menentukan pengobatannya.

2. Cari dan perbaiki faktor-faktor predisposisi terjadinya ISK.

3. Berkurangnya gejala klinis tidak selalu menunjukkan penyembuhan bakteriologis.

4. Setelah pengobatan selesai, setiap tahap pengobatan harus dikelompokkan menjadi gagal

(gejala atau bakteriuria tetap ada selama pengobatan atau pada biakan urin setelah

pengobatan), atau sembuh (berkurangnya gejala dan hilangnya bakteriuria). Infeksi

berulang harus digolongkan menjadi infeksi oleh jenis bakteri yang sama atau berbeda

serta infeksi dini (dalam 2 minggu setelah penghentian obat).

5. Secara umum ISK bagian bawah tanpa komplikasi memberi respon yang baik terhadap

pengobatan dengan dosis rendah dan jangka pendek, sedangkan ISK bagian atas

memerlukan pengobatan dalam jangka waktu yang lama.


14

6. Infeksi yang didapat dari komunitas, terutama infeksi pertama kali, biasanya akibat jenis

bakteri yang peka terhadap antibiotik.

7. Pasien dengan infeksi berulang, mengalami tindakan dan rawat inap berulang baru

dicurigai mengandung bakteri yang resisten.

2.2 Obat Antibiotika

2.2.1 Mekanisme Kerja

Antibiotik yang ideal menunjukkan toksisitas selektif. Artinya, obat tersebut haruslah

bersifat sangat toksik untuk bakteri, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes. Ada beberapa

mekanisme kerja antibiotik terhadap bakteri, antara lain:23

1. Menghambat metabolisme sel bakteri

Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamid, trimetropim, asam p-

aminosalisilat (PAS) dan sulfonamid. Bakteri membutuhkan asam folat untuk kelangsungan

hidupnya dan harus mensintesis sendiri asam folat dari asam para amino benzoat (PABA).

Apabila antibiotik lebih dominan dibanding PABA dalam pembentukan asam folat, maka akan

terbentuk analog asam folat yang nonfungsional, sehingga kehidupan bakteri akan terganggu.

Mekanisme kerja antibiotik golongan ini bersifat bakteriostatik.23

2. Mengganggu keutuhan membran sel bakteri

Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini adalah polimiksin, golongan polien serta

berbagai antibiotik kemoterapeutik, seperti antiseptik surface active agents. Antibiotik

golongan ini bekerja dengan meningkatkan permeabilitas membran sel bakteri sehingga

makromolekul dan ion keluar dari sel. Lalu sel menjadi rusak atau terjadi kematian.23
15

3. Menghambat sintesis dinding sel bakteri

Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini adalah golongan beta-laktam (penisilin,

sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase), basitrasin dan vankomisin.

Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan, yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida

(glikopeptida). Rusaknya dinding sel bakteri (misalnya oleh enzim lisozim) atau hambatan

pembentukannya (oleh karena obat), dapat menyebabkan sel bakteri lisis. Hal ini merupakan

dasar efek bakterisidal pada bakteri yang peka. Obat antibiotik yang menghambat pembentukan

dinding sel tersebut efektif pada saat bakteri sedang aktif membelah.7,30

4. Menghambat sintesis protein sel bakteri

Antibiotik yang termasuk dalam golongan ini adalah golongan aminoglikosida,

tetrasiklin, kloramfenikol, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin,

mupirosin, dan spektinomisin. Dasar toksisitas selektif dari antimikroba yang menghambat

sintesis protein adalah struktur ribosom bakteri (ribosom 70S). Ribosom 70S bakteri tersusun

dari unit 50S dan 30S. Antibiotik yang bekerja pada unit 50S adalah kloramfenikol, linkomisin,

dan eritromisin. Antibiotik yang bekerjapada unit ribosom 30S adalah streptomisin dan

tetrasiklin.23

5. Menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri

Antibiotik yang termasuk dalam golongan ini adalah rifampisin dan golongan kuinolon.

Rifampisin berikatan dengan enzim polimerase-RNA sehingga menghambat sintesis RNA dan

DNA bakteri. Sedangkan golongan kuinolon bekerja menghambat enzim DNA girase pada

bakteri yang berfungsi menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral sehingga

dapat masuk ke dalam sel bakteri yang kecil.23

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Antibiotika


16

Banyak faktor dan keadaan yang mempengaruhi penghambatan dan pembasmian

mikroorganisme oleh suatu bahan antibiotika. Faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan

untuk keefektifan penerapan metode-metode pengendalian. Faktor-faktor yang mempengaruhi

tersebut, antara lain:31

1. Kosentrasi zat antibiotika

Peluang mengenai bakteri sebanding dengan jumlah bakteri, dan konsentrasi zat

antibiotika. Jadi semakin tinggi konsentrasi zat antibiotik (sampai suatu batas tertentu) bakteri

akan terbunuh lebih cepat.

2. Jumlah mikroorganisme

Lebih banyak waktu yang diperlukan untuk membunuh populasi apabila jumlah selnya

banyak, dengan perlakuan yang lebih lama supaya kita cukup yakin bahwa semua sel tersebut

telah mati.

3. Suhu

Kenaikan suhu yang sedang secara besar dapat menaikkan keefektifan suatu desinfektan

atau bahan antibiotika lain, karena laju reaksi kimiawi dipercepat dengan meningkatkan suhu.

4. Jenis mikroorganisme

Setiap jenis mikroorganisme menunjukkan kerentaan yang berbeda-beda terhadap

perlakuan fisik dan bahan kimia. Misalnya spesies pembentuk spora, sel vegetatif yang sedang

tumbuh lebih mudah dibunuh dibandingkan dengan sporanya.

5. pH
17

Mikroorganisme yang terdapat pada bahan dengan pH asam dapat dibasmi pada suhu

yang lebih rendah dan dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan mikroorganisme

yang sama dalam lingkungan basa.

6. Adanya bahan organik

Adanya bahan organik asing dapat menurunkan keefektifan zat kimia antibiotika dengan

cara menginaktifkan bahan-bahan tersebut atau melindungi mikroorganisme dari zat

antibiotika.

2.2.3 Uji Sensitivitas Antibiotika

Uji senssitivitas antibiotika pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara yaitu metode

dilusi dan metode difusi cakram.21 Metode difusi terdiri dari metode difusi cakram (tes Kirby &

Bauer), E-test, ditch-plate technique, dan Cup-plate technique. Metode dilusi terdiri dari metode

dilusi cair dan dilusi padat.37

2.2.3.1 Metode Difusi

Pada metode difusi, yang diamati adalah diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri

karena obat berdifusi pada titik awal pemberian ke daerah difusi.38 Metode ini dilakukan dengan

cara menanam bakteri pada media agar padat tertentu kemudian diletakkan kertas samir atau disk

yang mengandung obat dan dilihat hasilnya. Diameter zona jernih inhibisi di sekitar cakram

diukur sebagai kekuatan inhibisi obat melawan bakteri yang diuji.7 Metode difusi dibagi menjadi

beberapa cara:

1. Metode difusi cakram (tes Kirby & Bauer)

Menggunakan cakram yang sudah mengandung agen antibakteri, kemudian diletakkan di

pelat agar yang mengandung organisme yang ingin diuji. Agen antibiotik terdifusi pada media
18

agar sampai pada titik antibiotik tersebut tidak menghambat pertumbuhan mikroba. Tampak

adanya zona yang jernih mengelilingi cakram mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan

bakteri oleh agen antibakteri pada permukaan media agar.39 Intepretasi zona hambat antibiotik

digolongkan ke dalam tiga kriteria sesuai dengan National Comitte for Clinical Laboratory

Standards (NCCLS) yaitu sensitif (˃20 mm), intermediet (11-19 mm), dan resisten (0-11

mm).40

2. Metode E-test

Digunakan untuk mengestimasi kadar hambat minimum (KHM), yaitu konsentrasi

terendah suatu agen antibakteri untuk dapat menghambat pertumbuhan bakteri. 41 Pada metode

ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antibakteri dari kadar terendah sampai

tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami bakteri sebelumnya.37

3. Ditch-plate technique

Disebut juga dengan giant colony method, pada metode ini sampel uji berupa agen

antibakteri yang diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam

cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan bakteri uji (maksimum 6 macam)

digoreskan ke arah parit yang berisi agen antibakteri tersebut.40,42

4. Cup-plate technique

Metode ini serupa dengan difusi cakram, dengan membuat sumur pada media agar yang

telah ditanami dengan 26 mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antibakteri yang

akan diuji.37,42

2.2.3.2 Metode Dilusi

Metode ini dilakukan dengan cara melarutkan antimikroba ke dalam media sehingga

diperoleh beberapa konsentrasi obat yang kemudian ditanami suspensi bakteri uji ke dalam
19

media. Pada metode ini sensitivitas diukur dengan melihat konsentrasi antibiotik terendah yang

masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri.41

Metode dilusi dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Dilusi perbenihan cair (Broth dilution test)

Metode ini digunakan untuk mengukur KHM dan kadar bunuh minimum (KBM). Cara

yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antibakteri pada medium cair

yang ditambahkan dengan bakteri uji. Larutan uji agen antibakteri pada kadar terkecil yang

terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang

ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan

bakteri uji ataupun agen antibakteri, dan diinkubasi selama 18 –24 jam. Media cair yang tetap

terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM.40,41

2. Dilusi perbenihan padat (Solid dilution test)

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat berupa

agar. Pada dilusi padat tiap konsentrasi obat dicampurkan dengan media agar lalu ditanami

bakteri dan diinkubasi.37 Salah satu kelebihan metode ini yaitu untuk penentuan KHM

Neisseria gonorrhoae yang tidak tumbuh pada metode dilusi cair.41

2.3 Meropenem

2.3.1 Definisi dan Struktur Kimia

Meropenem merupakan antibiotika sintetik dari 1β-methylcarbapenem dengan nama

kimia: 3-[5-(dimethylcarbamoyl) pyrrolidin-2-yl] sulfanyl-6- (1hydroxyethyl)-4-methyl-7-oxo-1

-azabicyclo[3.2.0] hept-2-ene-2-carboxylicacid yang memiliki struktur serupa dengan antibiotika

β-laktam seperti penisilin dan sefalosporin.32,33 Meropenem merupakan antibiotika ultra broad
20

spectrum golongan karbapenem yang aktif terhadap bakteri Gram-negatif dan Gram-positif,

bakteri aerob dan anaerob. 34

2.3.2 Farmakologi

Meropenem tidak diabsorbsi setelah pemberian oral. Meropenem dapat berpenetrasi

dengan baik ke dalam sebagian besar jaringan termasuk paru-paru, jaringan intraabdomen, cairan

intertitial, cairan peritoneal, dan cairan serebrospinal. Hanya 2% obat terikat pada protein

plasma. Antibiotik ini cepat diekskresikan oleh ginjal (oleh filtrasi glomerulus dan sekresi

tubular) dengan 80% dari ekskresi terjadi dalam 3 jam dan meningkat menjadi 95% dalam waktu

8 jam. Sekitar 2% dari obat diekskresikan dalam bentuk feses. 20,36

Pada lansia, penurunan klirens meropenem berhubungan dengan penurunan kreatinin

klirens karena usia dan kemungkinan diperlukan penurunan dosis. Farmakokinetik meropenem

tidak berubah pada pasien dengan kerusakan hati.35

2.3.3 Mekanisme Kerja

Meropenem mengganggu sintesis dinding sel bakteri, sehingga menghambat

pertumbuhan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Meropenem berpenetrasi dengan cepat ke

dalam dinding sel bakteri dan berikatan dengan Penicillin-Binding Proteins (PBP) dengan

afinitas yang tinggi, sehingga menginaktivasi bakteri.35

2.3.4 Indikasi

Meropenem diindikasikan sebagai terapi empiris sebelum mikroorganisme penyebab

infeksi teridentifikasi dan juga untuk penyakit yang disebabkan oleh satu bakteri atau banyak

bakteri baik pada oraang dewasa maupun anak-anak. Meropenem disetujui di USA untuk

digunakan dalam terapi complicated intraabdominal infection, complicated skin and skin

structure infection dan meningitis yang disebabkan bakteri. Di negara lain meropenem juga
21

disetujui untuk digunakan dalam terapi pneumonia nosokomial, septikemia, ISK, febrile

neutropenia, cystic fibrosis dan community acquaired pneumonia.35

2.3.5 Efek Samping

Penelitian terhadap lebih dari 6000 pasien yang diobati dengan meropenem, didapatkan

bahwa kejadian efek samping meropenem secara keseluruhan kurang dari 3%.43 Efek samping

meropenem yang sering terjadi adalah diare, kulit kemerahan, mual dan muntah, dan inflamasi di

tempat injeksi yang terjadi pada ˂2,5% pasien.35

2.3.6 Dosis

Dosis orang dewasa berkisar pada 1,5-6 gram/hari setiap 8-12 jam, tergantung tipe dan

keparahan infeksi, kepekaan mikroorganisme dan kondisi pasien. Dosis orang dewasa disarankan

pada anak-anak dengan berat badan lebih dari 50 kilogram. Pada bayi dan anak-anak berusia

antara 3 bulan sampai 12 tahun dosis yang direkomendasikan adalah 10-40 mg/kbBB diberikan

secara intravena.35

2.4 Kateterisasi

2.4.1 Definisi

Kateterisasi uretra adalah memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra.

Bernard memperkenalkan kateter yang terbuat dari karet pada tahun 1779, sedangkan Foley

membuat kateter menetap pada tahun 1930. Kateter Foley ini sampai saat ini masih dipakai

secara luas di dunia sebagai alat untuk mengeluarkan urin dari buli-buli.28

2.4.2 Tujuan Kateterisasi

Tindakan kateterisasi bertujuan untuk diagnosis dan terapi. Tujuan untuk diagnosis

yaitu:28
22

1. Untuk perempuan dewasa untuk memperoleh contoh urin guna pemeriksaan kultur urin.

Tindakan ini diharapkan dapat mengurangi faktor resiko terjadinya kontaminasi sampel

urin oleh bakteri komensal yang terdapat sekitar vulva dan vagina.

2. Mengukur residu (sisa) urin yang dikerjakan sesaat setelah pasien miksi.

3. Memasukkan bahan kontras radiologi untuk sistografi atau pemeriksaan adanya refluks

vesikoureter melalui pemeriksaan vioding cysto-urethrography (VCUG).

4. Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intravesika.

5. Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar.

Tujuan untuk terapi, antara lain:28

1. Mengeluarkan urin dari kandung kemih pada keadaan obstruksi intravesika baik yang

disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun oleh benda asing (bekuan darah) yang

menyumbat uretra.

2. Mengeluarkan urin dari kandung kemih.

3. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu pada

prostatektomi atau vesikolitotomi.

4. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik untuk

kandung kemih.

2.4.3 Teknik Kateterisasi

2.4.3.1 Teknik Kateterisasi pada Laki-laki

1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya maksud tindakan kateterisasi.

2. Menulis dalam surat persetujuan untuk dilakukan tindakan kateterisasi (inform concent).

3. Mempersiapkan alat dan bahan.

4. Memasang sarung tangan pada kedua tangan.


23

5. Mempersilahkan pasien berbaring terlentang tidak bergerak.

6. Posisi operator di kiri pasien apabila right handed, begitu juga sebaliknya.

7. Setelah dilakukan desinfeksi dengan betadin solution pada penis dan daerah sekitarnya,

daerah genitalia dipersempit dengan kain steril.

8. Kateter yang telah diolesi dengan pelicin/jelly dimasukkan ke dalam orifisium uretra

eksterna.

9. Pelan-pelan didorong masuk, dan kira-kira pada daerah bulbomembranasea (yaitu daerah

sfingter uretra eksterna) akan terasa tertahan. Dalam hal ini pasien diperintahkan untuk

mengambil nafas supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih rileks. Kateter uretra

didorong hingga masuk ke kandung kemih yang ditandai dengan keluarnya urin dari

lubang kateter.

10. Sebaiknya keteter terus didorong masuk ke kandung kemih lagi hingga percabangan

kateter menyentuh meatus uretra eksterna.

11. Pastikan terlebih dahulu kateter telah masuk, kemudian baru balon kateter dikembangkan

dengan 5-20 ml air steril.

12. Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa penampung (urinbag).

13. Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian proksimal pasien.

Fiksasi kateter yang tidak benar (yaitu mengarah ke kaudal) akan menyebabkan

terjadinya penekanan uretra bagian penoskroal sehingga terjadi nekrosis. Selanjutnya di

tempat ini akan menimbulkan striktur uretra atau fistel uretra.28

2.4.3.2 Teknik Kateterisasi pada Wanita

Tidak seperti laki-laki, teknik pemasangan kateter pada wanita jarang menjumpai

kesulitan karena uretra wanita lebih pendek. Kesulitan yang sering dialami adalah pada waktu
24

mencari muara uretra karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara uretra oleh

tumor uretra/ tumor vagina/ serviks. Untuk itu mungkin perlu dilakukan dilatasi dengan busi a

boule terlebih dahulu.28

Pemakaian kateter menetap akan menyebabkan timbulnya beberapa penyulit jika tidak

merawatnya dengan benar. Penyulit yang dapat terjadi pada tindakan kateterisasi adalah:28

1. Kateterisasi yang kurang hati-hati (kurang kesabaran) dapat menimbulkan lesi atau

perdarahan pada uretra.

2. Tindakan kateterisasi dapat menyebabkan timbulnya infeksi.

3. Fiksasi kateter yang tidak benar akan menimbulkan nekrosis uretra atau menimbulkan

fistel, abses atau striktur uretra.

4. Kateter yang terpasang dapat bertindak sebagai inti dari timbulnya batu saluran kemih.

5. Pemakaian kateter jangka waktu lama akan menginduksi timbulnya keganasan pada

kandung kemih.

2.5 Kerangka Teori

Berdasarkan uraian diatas, dapat dibuat kerangka teori seperti pada Gambar 2.5 berikut:

ISK nosokomial Infeksi Saluran ISK komunitas


Kemih (ISK)

ISK terkait
kateterisasi

Mikroorganisme
patogen

Gejala klinik
25

 Sefalosporin
golongan ketiga
Tatalaksana  Florokuinolon
antibiotik  Beta laktam
 Karbapenem
(meropenem)
Uji sensitivitas
antibiotik

Sensitif Intermediet Resisten

Gambar 2.5 Kerangka teori

2.6 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori di atas dapat dibuat kerangka konsep penelitian berdasarkan

variabel yang akan diteliti pada penelitian ini seperti pada Gambar 2.6 berikut:

Pasien dengan
kateterisasi
urin

Identifikasi bakteri

Bakteri Gram Bakteri Gram


positif negatif

Uji sensitivitas
antibiotika
meropenem
26

Sensitif Intermediet Resisten

Gambar 2.6 kerangka konsep

Anda mungkin juga menyukai