Namanya adalah Nu’man bin Tsabit Al-Marzuban namun beliau dikenal dengan kun-yah
(panggilan) Abu Hanifah, orang pertama yang meletakkan dasar-dasar fikih dan mengajarkan
hikmah-hikmah yang baik. Beliau merupakan pendiri dari Madzhab Yurisprudensi(Fiqih) Islam
Hanafi.
Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 699 M. Ia adalah putra dari keluarga Persia
(bukan orang Arab). Asalnya dari Kota Kabul (ibu kota Afganistan sekarang). Kakeknya,
Marzuban, memeluk Islam di masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, lalu hijrah dan menetap
di Kufah.
Ayahnya, Nu’man, adalah seorang pebisnis yang sukses di Kota Kufah, tidak heran kita
mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang pebisnis yang sukses pula mengikuti jejak sang
ayah. Jadi, beliau tumbuh di dalam keluarga yang shaleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan
yang represif yang diterapkan gubernur Irak Hajjaj bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap
menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian-pakaian lainnya sambil mempelajari ilmu
agama.
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan
kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian
diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Imam
Bukhari.
Belajar Agama
Sejak kecil, Abu Hanifah telah mampu menghafal Alquran. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari ulama-ulama terkemuka di Kota Kufah.
Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau sepuluh orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik,
Sahl bin Sa’d, Jabir bin Abdullah, dan lain-lain.
Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk menunaikan ibadah
haji dan berziarah ke kota Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah al-
Munawwaroh. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang
merupakan ulama terbaik di kota Mekah.
Jumlah guru Imam Abu Hanifah adalah sebanyak 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari
sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah
guru yang demikian banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak menempuh
perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama. Beliau menunaikan
haji sebanyak 55 kali, pada musim haji para ulama berkumpul di Masjidil Haram menunaikan
haji atau untuk berdakwah kepada kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.
Metode ini dianggap sangat efektif untuk mer4ngsang logika para murid Imam Abu Hanifah
sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga melihat begitu cerdasnya Imam Abu
Hanifah dan keutamaan ilmu beliau. Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar semisal Abu
Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dan lain-lain. dan majlis beliau menjadi sebuah
metode dalam kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan membuah sebuah
kitab yang istimewa, al-Fiqh al-Akbar.
Imam Abu Hanifah pernah dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiah akibat beberapa kali
ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di Kufa, namun tawaran tersebut
senantiasa beliau tolak.
Di masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh Mimar Sinan
didedikasikan untuk beliau. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan
menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki
Utsmani. Saat ini madzhab beliau banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir,
dan India.
Sumber: http://kisahmuslim.com/biografi-imam-abu-hanifah/
Malik bin Anas - Pendiri Mazhab Maliki
Malik ibn Anas bin Malik bin 'Amr al-Asbahi atau Malik bin Anas, adalah pakar ilmu fikih dan
hadits, termasuk salah satu Imam Madzhab, yaitu madzhab Maliki dengan kitabnya yang
terkenal Al Muwatha'.
Ibunya adalah Aliyah bin Syarik al-Azdiyah. Keluarganya berasal dari Yaman, lalu pada masa
Umar bin Khattab, sang kakek pindah ke Kota Madinah dan menimba ilmu dengan para sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menjadi salah seorang pembesar tabi’in.
Kunyah: Abu Adbillah, Nasab: Al Ashbuhi; adalah nisbah yang di tujukan kepada dzi ashbuh,
dari Humair dan Al Madani; nisbah kepada Madinah, negri tempat beliau tinggal.
Kakek dan ayahnya adalah ulama hadits terpandang di Madinah. Maka semenjak kecil, Imam
Malik tidak meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan
sumber ilmu yang berlimpah dengan kehadiran ulama-ulama besar.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada
ayah dan paman-pamannya. Disamping itu beliau pernah juga berguru kepada para ulama
terkenal lainnya
Dalam usia yang terbilang muda, Imam Malik telah menguasai banyak disiplin ilmu.
Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya di salurkan untuk memperoleh
ilmu.
Rihlah beliau
Meskipun Imam Malik memiliki kelebihan dalam hafalan dan kekuatan pengetahuannya, akan
tetapi beliau tidak mengadakan rihlah ilmiah dalam rangka mencari hadits, karena beliau
beranggapan cukup dengan ilmu yang ada di sekitar Hijaz. Meski beliau tidak pernah
mengadakan perjalanan ilmiyyah, tetapi beliau telah menyangdang gelar seorang ulama, yang
dapat memberikan fatwa dalam permasalahan ummat, dan beliau pun membentuk satu majlis di
masjid Nabawi pada saat beliau menginjak dua puluh satu tahun, dan pada saat itu guru beliau
Nafi’ hiudp. Semua itu agar dapat mentransfer pengetahuannya kepada kaum muslimin serta
kaum muslimin dapat mengambil manfaat dari pelajaran yang di sampaikan sang imam
Guru-guru beliau
Imam Malik berjumpa dengan sekelompok kalangan tabi’in yang telah menimba ilmu dari para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang paling menonjol dari mereka adalah
Nafi’ mantan budak Abdullah bin ‘Umar. Malik berkata; ‘Nafi’ telah menyebarkan ilmu yang
banyak dari Ibnu ‘Umar, lebih banyak dari apa yang telah disebarkan oleh anak-anak Ibnu
Umar,’
Guru-guru imam Malik, selain Nafi’, yang telah beliau riwayatkan haditsnya adalah; Abu Az
Zanad Abdullah bin Zakwan, Hisyam bin ‘Urwah bin Az Zubair, Yahya bin Sa’id Al Anshari,
Abdullah bin Dinar, Zaid bin Aslam, mantan budak Umar, Muhammad bin Muslim bin Syihab
AzZuhri, Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm, Sa’id bin Abi Sa’id Al Maqburi, Sami mantan
budak Abu Bakar,
Murid-murid beliau
Banyak sekali para penuntut ilmu meriwayatkan hadits dari imam Malik ketika beliau masih
muda belia. Disini kita kategorikan beberapa kelompok yang meriwayatkan hadits dari beliau,
diantaranya;
Guru-guru beliau yang meriwayatkan dari imam Malik, diantaranya; Muhammad bin
Muslim bin Syihab Az Zahrani, Yahya bin SA’id Al Anshari, Paman beliau, Abu Sahl Nafi’ bin
Malik,
Dari kalangan teman sejawat beliau adalah; Ma’mar bin Rasyid, Abdul Malik bin Juraij,
Imam Abu Hanifah, An Nu’man bin Tsabit, Syu’bah bin al Hajaj, Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri,
Al Laits bin Sa’d
Orang-orang yang meriwayatkan dari imam Malik setelah mereka adalah; Yahya Bin
Sa’id Al Qaththan, Abdullah bin Al Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Waki’ bin al Jarrah,
Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
Kitab Al-Muwatha
Al-Muwaththa berarti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang
ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan
hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama
tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu
fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih kerana Imam Malik terkenal dengan
sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Dia sangat berhati-hati ketika menapis,
mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan.
Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu,
hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-
Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan
menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafii pernah berkata, “Tiada
sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang lebih banyak mengandungi kebenaran
selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik, inilah karangan para ulama
muaqoddimin.”
Masyarakat Medinah menjalankan wasiat yang ia sampaikan, yakni dikafani dengan kain putih,
dan disalati diatas keranda. Imam shalat jenazahnya adalah Abdullah bin Muhammad bin
Ibrahim al-Hasyimi yang merupakan gubernur Madinah. Gubernur Madinah datang melayat
dengan jalan kaki, bahkan termasuk salah satu yang ikut serta dalam mengangkat jenazah hingga
ke makamnya. Beliau dimakamkan di Pemakaman Baqi', seluruh murid-murid beliau turut
mengebumikan beliau.
Informasi tentang kematitan beliau tersebar di seantero negeri Islam, mereka sungguh sangat
bersedih dan merasa sangat kehilangan, seraya mendoakan beliau agar selalu dilimpahi rahmat
dan pahala yang belipat ganda berkat ilmu dan amal yang beliau persembahkan untuk Islam.
[Sumber: Biografi Imam Malik bin Anas, Malik bin Anas]
Biografi Rabi'ah al-Adawiyyah - Wanita Sufi
Zuhud
Muhamad Nurdin Fathurrohman Wednesday, December 12, 2018 tokoh wanita
Rabiah Al-Adawiyah (Arab: )رابعة العدوية القيسيةdikenal juga dengan nama Rabi'ah Basri adalah
seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan dan kecintaannya terhadap Allah. Rabi'ah
merupakan klien (bahasa Arab: Mawlat) dari klan Al-Atik suku Qays bin 'Adi, dimana ia
terkenal dengan sebutan al-Qaysyah.
Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713 - 717 Masehi, atau 95 - 99 Hijriah, di kota Basrah,
Irakdan meninggal sekitar tahun 801 Masehi / 185 Hijriah. Ia dilahirkan dari keluarga yang
sangat miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan
Rabiah yang berarti anak keempat. Ayahnya bernama Ismail, ketika malam menjelang kelahiran
Rabi'ah, keadaan ekonomi keluarga Ismail sangatlah buruk sehingga ia tidak memiliki uang dan
penerangan untuk menemani istrinya yang akan melahirkan.
Sejak kecil Rabi'ah sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan taat beragama. Beberapa tahun
kemudian, ayahnya, Ismail, meninggal dunia kemudian disusul oleh ibunya, sehingga Rabi'ah
dan ketiga saudara perempuannya menjadi anak yatim piatu. Ayah dan Ibunya hanya
meninggalkan harta berupa sebuah perahu yang kemudian digunakan Rabi'ah untuk mencari
nafkah. Rabi'ah bekerja sebagai penarik perahu yang menyebrangkan orang dari tepi Sungai
Dajlah ke tepi sungai yang lain. Sementara ketiga saudara perempuannya bekerja dirumah
menenun kain atau memintal benang.
Nama lengkapnya adalah Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah. Rabiah merupakan sufi
wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah yang menjadi pemimpin dari murid-murid
perempuan dan zahidah, yang mengabdikan dirinya untuk penelitian hukum kesucian yang
sangat takut dan taat kepada Tuhan.
Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai "The Mother of the Grand Master" atau Ibu Para Sufi
Besar karena kezuhudannya. Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh
dan Dhun Nun al-Misri. Kezuhudan Rabi'ah juga dikenal hingga ke Eropa. Hal ini membuat
banyak cendikiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis riwayat hidupnya, seperti
Margareth Smith, Masignon, dan Nicholoson.
Rabi'ah memilih untuk tidak menikah karena ia takut tidak bisa bertindak adil terhadap suami
dan anak-anaknya kelak karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan kepada Allah. Tidak
ada satupun di dunia ini yang dicintai Rabi'ah kecuali Allah. Sehingga atas dasar itulah, Rabi'ah
memuntuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya.
Akhir hidup
Sekembalinya Rabi'ah dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, kesehatan Rabi'ah mulai
menurun. Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti Abi Shawwal, yang telah menemaninya
dengan baik hingga akhir hidupnya. Rabi'ah tak pernah mau menyusahkan orang lain, sehingga
ia meminta kepada Abdah untuk membungkus jenazahnya nanti dengan kain kafan yang telah ia
sediakan sejak lama. Menjelang kematiannya, banyak orang-orang saleh ingin mendampinginya,
namun Rabi'ah menolak. Rabiah diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801
Masehi / 185 Hijriah dan dimakamkan di Bashrah, Irak.
Ajaran
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang berlandaskan seluruh
amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan
dari azab neraka. Rabi'ah terkenal dengan metode cinta kepada Allah (Bahasa Arab: Al-
mahabbah, artinya cinta tanpa pamrih) dan uns (kedekatan dengan Tuhan). Perkataan mistik
Rabi'ah menggambarkan kesalehan dirinya, dan banyak di antara mereka yang menjadi kiasan
atau kata-kata hikmah yang tersebar luas di wilyah-wilayah negara Islam. Rabi'ah al-Adawiyah
terkenal zahid (tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta
pertolongan pada ornag lain. Ketika ia ditanya orang mengapa ia bersikap demikian, Rabi'ah
menjawab:
“Saya malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan
menjadi pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah lah yang memberi rezeki kepadaku dan
kepada mereka yang kaya. Apakah Dia yang memeberi rezeki kepada orang yang kaya, tidak
memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya dia menghendaki begitu, maka kita harus
menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah kita menerimanya dengan hati rida
(senang).”
Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahului dan sezaman dengannya, Rabi'ah dalam
menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah atau takut
kepada nerakanya. Hatinya penuh oleh perasaan cinta kepada Allah sebagai kekasihnya.
Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari
fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta
yang maksimal kepada-Nya. Tingkat kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-
Bashri sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah
sebagai zuhud karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga
ia menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sufyan ath-Thawri, Rabah bin Amr al-
Qaysi, dan Malik bin Dinar.
Karamah Rabi’ah
Rabiah al-Adawiyah hidup di zaman Imam Sufyan at-Tsuari. Rabiah termasuk wanita ahli
ibadah, zuhud, dan selalu khusyu, dan sering memberikan penjelasan tentang hikmah.
Abu Said bin al-Arabi mengatakan, ‘Terkait Rabiah, masyarakat banyak mendapatkan hikmah
yang banyak darinya.’
"Kamu hanyalah hitungan hari tertentu. Jika sudah berlalu satu hari, hilang sebagian dirimu.
Jika sudah hilang sebagian, sebentar lagi akan hilang semuanya. Dan kamu telah
memahaminya, karena itu beramal-lah."
Diantara perkataan hikmah Rabi’ah, Aku memohon ampun kepada Allah karena kurang jujur
ketika saya membaca istighfar.
Salah satu wanita yang melayani Rabiah, bernama Abdah bintu Abi Syawwal pernah
mengatakan,
"Rabiah melaksanakan shalat semalaman. Ketika sudah terbit fajar, beliau tidur sejenak di
tempat shalatnya, hingga fajar mulai menguning."
Ketika beliau terbangun dari tidurnya, aku sering mendengar beliau mengucapkan,
"Wahai jiwaku, berapa lama kau tidur? Sampai berapa lama kau akan bicara? Hampir saja
ketika kamu tidur, kamu tidak akan bangun kecuali sampai kiamat. (Siyar A’lam an-Nubala’,
8/242)"
Menurut Abdah bin Abi Syawal, ini merupakan kebiasaan Rabi’ah selama hidupnya hingga
beliau wafat. Rahimahallah rahmatan wasiah…
Tidak ada riwayat yang shahih mengenai mukjizat atau karamah Rabi’ah sebagaimana yang
sering diramaikan masyarakat.
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa usia beliau 80 tahun dan beliau meninggal di tahun 180
H. Semoga Allah merahmati beliau dan semua umat yang meniti jalan kebenaran.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Rabi'ah_al-Adawiyyah
https://konsultasisyariah.com/31334-siapakah-rabiah-al-adawiyah.html
Sa’id bin Jubair - Tabi'in yang Wafat karena
Dipenggal
Muhamad Nurdin Fathurrohman Wednesday, September 17, 2014 Tabiin
Sa’id ibn Jubair ibn Hisyam al Asadi, biasa dipanggil Abu Abdillah merupakan keturunan
Habasyah (Ethiopia) dan menjadi maula Walibah bin Harits dari Bani Asad. Ia tinggal di Kufah
dan menjadi salah seorang tabi’in terkemuka disana.
Kelahiran
Tidak ada seorang pun dari para sejarawan atau yang menulis biografinya yang mengetahui
tempat dan waktu kelahirannya. Mereka hanya menjelaskan bahwa dia terbunuh pada bulan
Sya’ban tahun 95 Hijriyah. Dia pernah berkata pada puteranya, “Ayahmu tidak akan ada lagi
setelah berusia 54 tahun.” Jadi kelahirannya diperkirakan pada tahun 38 Hijriyah.”
Adz-Dzahabi menegaskan bahwa dia dilahirkan pada masa kekhalifahan Abu Hasan Ali bin Abi
Thalib.” Ada juga yang mengatakan,”Dia berumur 49 tahun, jadi dia lahir pada tahun 46
Hijriyah.”
Sifat-sifatnya :
Adz-Dzahabi berkata, “Ada yang mengatakan bahwa dia berkulit hitam.
Dari Abdullah bin Numair dari Fithr, dia berkata, “Aku melihat Sa’id bin Jubair dengan rambut
kepala dan jenggot berwarna putih.” (Tarikh Al-Islam 6/367)
Dari Ayyub, dia berkata, “Said bin Jubair pernah di tanya seseorang tentang Khidhab dengan
menggunakan tato, diapun tidak menyukainya, dan dia berkata, “Allah memberi pakaian
seorang hamba dengan cahaya yang memancar di wajahnya (kehormatan), kemudian dia
mematikannya dengan warna hitam (Tato).”
Dari Isma’il bin Abdul Malik, dia berkata, “Aku melihat Said bin Jubair memakai sorban
berwarna putih.” (Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/267)
Dari Al-Qasim Al-A’raj, dia berkata, “Pernah pada suatu malam Said menangis hingga
penglihatannya rabun.” (Siyar A’lam An-Nubala’ 4/333)
Guru-guru beliau
Abu Sa’id al-Khudri, Adi bin Hatim ath-Thayy, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah ad-Dausi,
Abdullah bin Umar dan Ummul Mukminin Aisyah. Tapi guru utamanya adalah Abdullah bin
Abbas radhiyallahu ‘anhu.
Dengan setiap Sa’id bin Jubair mengikuti Abdullah bin Abbas layaknya bayangan yang selalu
mengikuti orangnya. Dari sahabat inilah beliau menggali tafsir Alquran, hadis-hadis, dan seluk-
beluknya. Darinya pula beliau mendalami persoalan agama maupun tafsirnya. Juga mempelajari
bahasa hingga mahir dengannya. Dan pada gilirannya, tidak ada seorang pun di muka bumi ini
kecuali memerlukan ilmunya.
Selanjutnya, beliau mengembara dan berkeliling di negara-negara muslimin untuk mencari ilmu
sesuai kehendak Allah. Setelah merasa cukup, beliau memutuskan Kufah sebagai tempat
tinggalnya. Dan kelak beliau menjadi guru dan imam di kota itu.
Beliau menjadi imam shalat bagi kaum muslimin di bulan Ramadhan, terkadang membaca
Alquran dengan qira’ah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, terkadang dengan qira’ah Zaid
bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dan terkadang dengan qira’ah selainnya.
Jika beliau shalat sendirian, adakalanya beliau khatamkan Alquran dalam sekali shalat. Dan
sudah menjadi kebiasaan beliau apabila membaca ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“(Yaitu) orang-orang yang mendustakan al-Kitab (Alquran) dan wahyu yang dibawa oleh
rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. Kelak mereka akan mengetahui, ketika belenggu dan
rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas,
kemudian mereka dibakar dalam api.” (QS. Al-Mukmin: 70-72)
Atau ketika membaca ayat-ayat serupa yang berisi ancaman, maka menjadi gemetarlah
badannya, gentar hatinya, dan menetes air matanya. Kemudian mengulang-ulang ayat tersebut
sampai adakalanya hampir pingsan.
Beliau melakukan perjalanan ke Baitullah al-Haram dua kali setiap tahunnya. Pertama adalah
pada bulan Rajab untuk melakukan umrah, lalu di bulan Dzulqa’dah hingga usai ibadah haji.
Menurut Qatadah, Sa’id Ibn Zubair adalah seorang tabi’in yang paling alim dalam bidang tafsir
Al Qur’an. Dan Sufyan Ats Tsaury berkata dihadapan Ibrahim An Nakha’I :”Ambilah tafsir (Al
qur’an)dari 4 orang, yaitu dari Sa’id Ibn Zubair, Mujahid, Ikrimah, dan dari Ad Dahhak”.
Said juga terkenal sebagai seorang pemberani, ia termasuk salah seorang penentang penguasa
Irak yang terkenal dzalim waktu itu, Hajjaj bin Yusuf, seorang raja muda Umayah di Irak.
Perbincangannya dengan penguasa Irak menunjukan bahwa ia seorang yang sangat pemberani
dalam menegakan kebenaran. Sehingga kemudian ia dipancung kepalanya.
Hajjaj membunuh Sa’id pada tahun 95 H (pada usia 49 tahun), kepala Sa’id terisah dengan
raganya. Konon, Hajjaj bin Yusuf tidak pernah bisa tidur setelah memancung Sa’id, dan ia
bertahan hidup tidak lama, dan meninggal beberapa hari setelah itu. Sebelum meninggal Hajjaj
bin Yusuf berkata:” Apa yang terjadi antara aku dan Sa’id. Setiap kali mau tidur, ia selalu
menyeret kakiku.”
Diantara ahli Al Qur’an yang pernah belajar kepadanya adalah Abu Amr bin ‘Ala, salah seorang
ahli qira’at 7.
Sumber:
http://www.hasmi.org/nama-kelahiran-dan-sifat-sifat-sa%E2%80%99id-bin-jubair/
http://www.ensikperadaban.com/?%26nbsp%3BTABI%27IN:Tabi%27in_Ahli_Tafsir:Sa
%27id_ibn_Jubair_al_Asadi_al_Kufi
https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2018/12/biografi-tokoh-ilmuwan-islam-pada-masa-bani-
umayyah.html