Anda di halaman 1dari 11

Analisis Terhadap Perkawinan di Bawah Umur Dalam Perspektif

Politik Hukum

A. Pendahuluan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam penjelasan ditegaskan lebih
rinci bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila
yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agama/kerohanian,
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani,
tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.
(Sudarsono, 2010:9)
Sebelum melangsungkan perkawinan, maka diharuskan
memenuhi beberapa syarat di antaranya pihak pria telah mencapai
umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Namun, dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) UndangUndang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan dalam hal
penyimpangan terhadap ayat (1). Pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pihak pria maupun wanita.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut maka
perkawinan yang dilangsungkan sebelum memenuhi persyaratan
yang dimaksud dikategorikan sebagai perkawinan di bawah umur atau
perkawinan usia muda, di mana perkawinan yang para pihaknya
masih sangat muda dan belum memenuhi persyaratan-persyaratan
yang telah ditentukan dalam melakukan perkawinan. (Rahmatiah HL,
2016:145)
Perkawinan di bawah umur ini bukanlah sesuatu yang baru di
Indonesia. Praktek ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak
pelaku, baik itu di kota besar maupun di pedalaman. Namun pada
kenyataannya perkawinan di bawah umur pada zaman dahulu sampai
pada zaman sekarang masih banyak sekali yang terjadi.
Perkawinan di bawah umur menimbulkan beberapa dampak bagi
kehidupan masyarakat, terutama bagi pelakunya. Meskipun terdapat
dampak positif dalam pernikahan di bawah umur, namun tidak sedikit
pula dampak negatifnya. Sebagian besar dari akibat pernikahan di
bawah umur menimbulkan akibat yang buruk, bahkan menimbulkan
berbagai masalah yang tidak sedikit berakhir dengan perceraian di
Pengadilan Agama. Akibat buruk yang sering timbul adalah karena
faktor belum matang usia maupun kedewasaan para pelaku nikah di
bawah umur. (Mardi Candra, 2018:143)
Hal ini mengindikasikan bahwa batas usia dalam pelaksanaan
perkawinan memiliki peranan yang penting.
Dewasa ini, banyak fenomena perkawinan di bawah umur yang
sedang marak terjadi dan menarik menjadi perhatian berbagai
kalangan. Sebab perkawinan di bawah umur menjadi masalah serius
karena memunculkan kontroversi di masyarakat, pada faktanya
perkawinan di bawah umur sering terjadi karena sejumlah alasan dan
pandangan baik secara hukum, agama, tradisi dan budaya di
masyarakat.
Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur
terpaksa dilakukan, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Hal ini diatur
dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu
dengan adanya dispensasi dari pengadilan bagi yang belum mencapai
batas umur minimal tersebut. (Sulfiani, 2017:212)
Penyimpangan batasan umur ini dapat dimintakan dispensasi
kepada Pengadilan Agama oleh kedua belah pihak orang tua pria dan
perempuan. Praktik dispensasi nikah menurut beberapa pendapat
yang berkembang sebagaimana ketentuan pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkesan menggampangkan proses
perkawinan tanpa mempertimbangkan keharmonisan hidup keluarga
kelak di masa-masa yang akan datang. Jika orientasinya hanya dalam
konteks pemenuhan nafkah batin, diantaranya hubungan seks, maka
makna perkawinan menjadi hilang dan tidak sejalan dengan indikasi
hukum perkawinan Islam. (Mardi Candra, 2018:117)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini sebenarnya telah
mengalami revisi menjadi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019.
Dimana perubahan ini juga menuai kontroversi di kalangan
masyarakat, sebab perubahan ataupun revisi dalam suatu Undang-
Undang tentunya untuk memperbaiki ketimpangan yang ada pada
Undang-Undang sebelumnya. Namun dari beberapa fakta yang
penulis peroleh perubahan ini justru tidak efektif dalam menekan
angka perkawinan di bawah umur, justru perubahan Undang-Undang
ini membuat angka perkawinan di bawah umur melonjak.
Permasalahan yang muncul terkait dengan perkawinan di bawah
umur tentunya perlu dikaitkan dengan politik hukum, khususnya dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan.
Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam
bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber
dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan
negara yang dicita-citakan.
Politik hukum yang ada dalam hukum perkawinan akan dianalisis
secara komprehensif untuk diketahui apakah politik hukumnya telah
terlaksana atau tidak dalam pembentukan perundang-undangan yang
mengatur tentang perkawinan serta faktor-faktor hukum apa yang
memengaruhi sehingga politik hukum Undang-Undang perkawinan
tidak terlaksana dengan baik sehingga kasus perkawinan di bawah
terus meningkat.
Berdasarkan permasalahan diatas, penulis akan fokus mengkaji
permasalahan bagaimana politik hukum Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap perkawinan di bawah umur
dan faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya
perkawinan di bawah umur ditinjau dari perspektif politik hukum
B. Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah dengan
menggunajan jenis Penelitian hukum normative dipergunakan untuk
menyusun penelitian ini. Bahan-bahan hukum yang akan digunakan
diperoleh melalui studi kepustakaan. Bahan-bahan hukum tersebut
terdiri dari bahan hukum primer yaitu: peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai perkawinan dan literatur-literatur, karya
ilmiah hukum yang membahas mengenai perkawinan. Bahan-bahan
hukum yang dtersedia dianalisis secara normative
C. Pembahasan
a. Politik Hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun I974 tentang
Perkawinan terhadap Perkawinan di Bawah Umur
Politik hukum menurut imam syaukani dan A. Ahsin Thohari
adalah kebijakan dasar penyelenggaraan negara dalam bidang
hukum yang akan, sedang dan akan berlaku, yang bersumber dari
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan
negara yang dicita-citakan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pembangunan
nasional adalah suatu proses yang dialami oleh masyarakat
menuju kehidupan yang lebih baik dan untuk dapat mencapai
suatu sasaran yang diharapkan dari proses pembangunan itu,
maka pada umumnya kegiatan pembangunan harus terencana,
terpadu dan terarah, demikian pula halnya dengan pembangunan
hukum. Sejalan hal ini banyak pendapat mengatakan bahwa masa
kini adalah hasil kumulatif serta kesinambungan dari masa yang
telah lalu dan masa depan akan lebih banyak ditentukan oleh
corak dan langkah maupun upaya bersama suatu bangsa pada
masa kini melalui suatu perubahan sosial dan budaya yang
direncanakan demi pelaksanaan pembangunan. Perubahan ini
sendiri juga harus ditunjang melalui pembaharuan hukum
nasional.
Dalam pembentukan hukum harus memenuhi: (1) nilai
filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran; (2) nilai
sosiologis sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di
masyarakat; dan (3) nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bangunan hukum
nasional yang diharapkan adalah bangunan hukum yang berlaku
bagi semua warga negara tanpa memandang isme keagamaan
dan kesukuan. Upaya untuk mewujudkan satu hukum nasional
bagi bangsa Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah, karena
Indonesia terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama yang
berbeda, serta masih terdapatnya keanekaragaman hukum yang
ditinggalkan oleh bangsa penjajah. Sulitnya pembangunan hukum
dilakukan akibat keadaan pluralisme ini terutama dalam bidang
kehidupan masyarakat yang bersifat sensitive, seperti hal nya
masalah perkawinan. (Farizal Nuh:Kontribusi Hukum Islam dalam
Pembangunan Hukum Nasional)
Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di dalamnya
tercantum bahwa perkawinan adalah sah jika dilaksanakan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Jika ditinjau dari segi politik hukum , proses kelahiran
Undang-Undang Perkawinan penuh dengan intrik dan polemik
tarik menarik, hal ini boleh jadi akibat dari sistem hukum negara,
juga pengaruh dari kekuatan-kekuatan politik yang menunggangi
hukum di dalamnya. Pada persoalan usia perkawinan khususnya
yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan ini juga tidak luput
dari pro kontra yang kian hari kian tidak dapat dihindari,
perdebatan yang selalu muncul dan meledak di permukaan ini,
mengharuskan adanya suatu usaha nyata dan taktis dalam
menghadapi diskursus yang berkembang di balik penetapan usia
perkawinan di Indonesia. Oleh karena budaya perkawinan
merupakan faktor krusial pembentukan keluarga yang menjadi
akar dalam pengembangan individu menjadi generasi unggul
bangsa dalam pembangunan nasional, serta sesuai dengan cita-
cita masyarakat Indonesia yang ideal dalam konteks negara
modern.
Melihat historiografi proses legislasi hukum perkawinan di
Indonesia maka persoalan ideologi negara dapat dikatakan
sebagai titik awal semua ide positifisasi hukum perkawinan
digulirkan berikut dengan masalah aturan usia perkawinan di
dalamnya. Pada akhir tahun 1930-an merupakan masa dimana
mencuatnya perdebatan ideologi di bumi nusantara, yang dinilai
sangat berpengaruh terhadap pilihan ideologi yang ditentukan
kemudian, baik di kalangan pejuang kemerdekaan maupun
sampai pada pasca kemerdekaan
Lahirnya Undang-Undang Perkawinan 1974 dapat dikatakan
sebagai era kemajuan politik hukum Islam dalam ranah hukum
Indonesia dengan beberapa karakter yaitu:
1. Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 (UUP) sebagai
bentuk modernisasi hukum keluarga ke dalam hukum
nasional ditujukan untuk menciptakan kesatuan dan
memperkuat nasionalisme.
2. Lahirnya UUP menandai adanya perkembangan kompetensi
lembaga peradilan Islam di Indonesia.
3. Materi hukum UUP secara tidak langsung mengukuhkan
eksistensi agama khususnya hukum Islam dalam
pengaturannya.
4. Lahirnya UUP merupakan hasil peran nyata elite Islam dalam
melakukan pendekatan dengan kalangan elite legislative.
Namun, dalam perkembangannya saat ini Undang-Undang
Perkawinan banyak menuai pro kontra terutama mengenai
penetapan usia perkawinan. Tercatat sejak tahun 2003, diskursus
usia perkawinan berikut upaya yang akan/sedang dilakukan
menggema tanpa henti sampai saat ini, mulai dari kalangan
tradisonalis maupun reformis dan yang lebih banyak lagi dari
kalangan feminis. Hal ini menandakan bahwa perlu adanya
pengkajian ulang apakah UUP tersebut masih relevan
diberlakukan saat ini, mengingat hukum harus dapat menjawab
perkembangan zaman, kemudian hukum yang diciptakan tersebut
adilkah terhadap semua pihak, termasuk adil dalam memenuhi
aspirasi politik dan hukum yang menjadi kebutuhan sebagian
besar masyarakat Indonesia diantaranya.
Sedangkan pada era reformasi saat ini, penetapan usia
perkawinan sering dikaitkan dengan isu penegakan hak asasi
manusia (HAM), perlindungan anak, kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan, serta kesehatan reproduksi ibu dan
anak baik yang telah diupayakan melalui proses hukum maupun
hanya dalam tataran diskursus sebagaimana yang akan dibahas
berikut:

1. Kontra penetapan usia perkawinan melalui tataran


diskursus.
LBH APIK menyatakan bahwa perlunya revisi usia
perkawinan dalam UUP yang terkesan melegalkan
pernikahan dini, karena tidak sejalan dengan HAM yang
selama ini diperjuangkan oleh pemerhati kemanusiaan. (LBH
APIK, Amandemen Usia Perkawinan) Selain itu, Musdah
Mulia sebagai tokoh akademisi dan cendekiawan Islam juga
berargumen menggunakan analisis perbandingan dengan
melihat negara Arab muslim yang telah melakukan
pembaruan dalam pengaturan usia perkawinanya, juga demi
memperjuangkan HAM yang lebih baik. Mereka
beranggapan bahwa penetapan usia perkawinan dalam
Undang-Undang Perkawinan sudah tidak mampu
mengakomodir pandangan Islam yang humanis dan
demokratis serta berseberangan dengan Undang-Undang
yang berkembang di Indonesia maupun di tingkat
internasional. Argumen ini juga didukung dengan pendapat
terlihat ada kelemahan pokok terkait dengan beberapa pasal
yang di dalamnya jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip
dasar dalam Islam seperti persamaan, persaudaraan,
keadilan, kemaslahatan, penegakan HAM, pluralisme, dan
keadilan gender. Kemudian sebagai solusi dari hal ini,
Musdah dan timnya Pengarusutamaan Gender mengusulkan
lahirnya CLD-KHI, yang kemudian juga banyak menimbulkan
perdebatan baru, kelompok yang cenderung menyetujui lebih
sedikit daripada yang menyetujui karena dinilai bertentangan
dengan ajaran Islam.
Demikian pula persoalan kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan yang mulai merambah dunia
politik hukum, yang dipicu oleh stigma masyarakat dalam
menilai kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpengaruh
terhadap wilayah hukum perempuan. Bagi kalangan feminis
bahwa pembedaan usia perkawinan bagi laki-laki dan
perempuan menjadi salah satu bentuk diskriminasi terhadap
perempuan. Yang pada akhirnya nanti akan memunculkan
pihak-pihak lain untuk mengusulkan perubahan UU atau
melalui berbagai macam upaya seperti sosialisasi
pendewasaan usia perkawinan sebagai salah satu proyek
pembangunan kualitas negara yang telah diupayakan oleh
BKKBN dalam merespon kesehatan dan hak reproduksi
perempuan
Tidak ikut ketinggalan Komisi Perempuan Indonesia
(KPI) yang akan berupaya mendorong perubahan batas usia
nikah bisa dilakukan melalui mekanisme legislasi di DPR,
mengingat banyak kerugian konstitusional yang dialami
perempuan baik itu persoalan berkurangnya hak
memperoleh pendidikan, kesehatan reproduksi memburuk
dan angka kematian ibu dan anak sangat tinggi.

2. Kontra penetapan usia perkawinan melalui upaya proses


hukum
Kesehatan Perempuan dan beberapa orang serta
Yayasan Pemantauan Hak Anak yang tergabung dalam
Koalisi 18+ pernah menyatakan bahwa pasal yang mengatur
usia perkawinan cenderung bertentangan dengan UU
Perlindungan Anak dan UU Kesehatan. Negara seperti
melegalkan pernikahan di bawah umur, padahal pernikahan
di bawah umur tidak hanya mengancam kesehatan, tetapi
berdampak lebih besar pada stabilitas bangsa. Sehingga
LSM ini mengajukan judicial review ke MK, walaupun
akhirnya ditolak oleh MK.
Secara deduktif-kuantitatif putusan MK sudah benar,
namun dapat dikatakan pertimbangan MK lebih didominasi
keterkungkungan MK secara normatif dan numerik dalam
melihat perkara. MK melawan adanya fakta, perkembangan
serta tuntutan masyarakat kini, maka putusan MK ini
tergolong salah secara induktif-kualitatif. Perkembangan
serta tuntutan masyarakat secara dinamis terus berubah
maju secara progresif. Termasuk hukum dituntut bersifat
progresif dalam menanggapi fakta, perkembangan, serta
tuntutan masyarakatnya. Jika tidak, hukum akan ditinggalkan
dan dilecehkan serta ada kemungkinan masyarakat
bertindak di luar hukum. Terlepas dari itu semua, MK dengan
jelas menawarkan agar kontra, tuntutan, atau permohanan
masyarakat diajukan dalam legislative review. Artinya
mendorong serta mengawal lembaga legislatif untuk
melakukan perubahan terhadap UUP.

3. Kontra penetapan usia perkawinan melalui upaya proses


legislasi
Kemenag juga telah mengusulkan Rancangan Undang-
Undang Hukum Materiil Pengadilan Agama Bidang
Perkawinan (RUU HMPA Bidang Perkawinan) yang
dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas). Tujuan RUU-HMPA adalah untuk menaikkan
KHI menjadi UU dan mengamandemen beberapa pasal yang
sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan masyarakat.
Namun dari tahun 2010 diusulkan sampai saat ini tidak ada
tindak lanjut dalam merespon RUUHMPA ini.
Kemudian sikap pemerintah, badan peradilan, partai
politik, ormas Islam, serta organisasi perempuan, juga
berbagai pihak lainnya dalam merespon penetapan usia
perkawinan semakin menguatkan stigma masyarakat ke
permukaan bahwa harus segera dilaksanakan revisi batas
usia menikah sebagai solusi akomodatif dari persoalan
hukum perkawinan yang tertera dalam Pasal 7 UUP oleh
legislatif.
Berdasarkan realitas empirik di atas, terjadinya pro
kontra penetapan usia perkawinan dapat disebabkan dari
latar belakang pelaku hukum atau penegak hukum dalam hal
ini hakim Pengadilan Agama atau pejabat KUA yang
memberikan izin dispensasi menikah juga kepada kedua
mempelai calon pengantin dan pihak orang tua calon
pengantin. Perkawinan di bawah umur juga menjadi faktor
utama tingginya angka perceraian.
Di luar ranah hukum, dalam menanggapi pernikahan
dini yang dialami oleh perempuan, sebaiknya dan akan lebih
bijaksana jika orang tua memprioritaskan pendidikan anak
dan memberikan pengawasan serta pengarahan kepada
anak mereka, kepada remaja untuk mengikuti
kegiatankegiatan positif sehingga menimbulkan minat untuk
berkarya dan menunda menikah di usia yang lebih matang
secara fisik maupun psikis. Sehingga dapat menjalani
kehidupan pernikahan di masa depan dengan lebih
berkualitas dan sejahtera. Kepada para pihak yang
berhubungan dengan proses pernikahan seperti pejabat
Kantor Urusan Agama, Hakim Pengadilan Agama untuk
meningkatkan standar profesional dan kinerja mereka agar
tercipta hukum progresif yang mampu menjawab aspirasi
masyarakat. Terakhir kepada badan legislasi agar
mengakomodir pembentukan hukum yang adil terhadap
semua pihak, dan segera mengesahkan dan melegalkan
RUU Tentang Perubahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP) dengan menerima usulan menaikkan
batas usia perkawinan sebagaimana yang diajukan
masyarakat.
b.

Anda mungkin juga menyukai