Anda di halaman 1dari 14

TUGAS STUDI KASUS & PEMBAHASAN

Pharmaceutical Sciences-Management

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4
Annis Maspupah nim.2113017006
Puteri Hardiyanti Syafiatuddin nim.2113017013
Moh. Al Gifari Anwar nim.2113017014
Muhammad Zul Adnan nim.2113017015
Denny Dwi Wirandaka nim.2113017017
Riesky Maulida nim.2113017022
Bahana Eliza Putri nim.2113017023
Siti Hartina nim.2113017029
Lisa Rusmawati nim.2113017031
Wirdah Eka Ridha Ridwan nim.2113017051

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA
2021

KASUS 1

Apoteker AB bekerja sebagai medical representatif (Medrep) disalah satu Industri


Farmasi. Sebagai salah satu cara untuk menarik perhatian dokter dalam
mempromosikan produk obatnya, maka Apoteker AB bekerja bersedia menanggung
biaya dan memfasiltasi dokter tersebut untuk mengikuti simposium ilmiah, dan telah
disetujui juga oleh industri tempat ApotekerAB tersebut bekerja. Kemukakan
pendapat saudara mengenai sikap dan perilaku Apoteker AB?

Penyelesaian :
Menurut pendapat kelompok kami tindakan yang dilakukan oleh apoteker dengan
memberikan fasilitas kepada dokter untuk dapat menghadiri simposium ilmiah secara
langsung bertentangan dengan peraturan yang telah diatur dalam peraturan menteri kesehatan
republik indonesia nomor 58 tahun 2016 tentang sponsorship bagi tenaga kesehatan.
Peraturan ini mengatur tentang :“perusahaan farmasi tidak boleh memberikan sponsorship
kepada dokter secara pribadi untuk mengikuti seminar”, hal ini juga telah disetujui oleh
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Kementrian Kesehata, Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) serta dari pihak KPK.
Tindakan yang dilakukan apoteker tersebut telah melanggar peraturan serta dapat
dikategorikan rawan kategori gratifikasi atau islilah umumnya dapat disebut sebagai
penyogokan. Apabila tindakan ini dilakukan maka akan menyebabkan dokter tersebut akan
berpihak kepada produk Industri Farmasi tersebut dan hampir semua resep yang dia berikan
kepasien merupakan produk dari Industri Farmasi tersebut. Hal ini bisa menjadi konflik
kepentingan yang dapat dikatakan sebagai tindakan balas budi terhadap apa yang sudah
diberikan ke dokter berupa sponsorship untuk dapat menghadiri simposium ilmiah dan
sebagai balasannya maka para dokter akan mempromosikan produk-produk dari Perusahaan
Farmasi tersebut ke pasien yang akan membuat keuntungan bagi penjualan produk obat
mereka naik.
Apoteker dan industri farmasi juga telah melanggar tentang Etika Promosi Obat GP
Farmasi-IDI, dimana di dalamnya telah diatur bahwa :“seorang dokter dalam melakukan
pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dalam pemilihan obat untuk pasien karena dokter telah menerima komisi dari
perusahaan farmasi tertentu”.
Selain itu Apoteker juga telah melanggar Kode Etik Profesi apoteker terutama pada pasal
5 yang menyebutkan bahwa :“seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari
keuntungan diri semata yang bertentangan dengan ketentuan jabatan kefarmasian”. Meski
begitu pemberian sponsorship kepada tenaga kesehatan dari industri farmasi diperbolehkan,
namun dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang sudah diatur dalam peraturan Mentri
Kesehata.
Sebagai seorang Apoteker yang bekerja sebagai medical representativ (medrep) maka
sudah menjadi kewajiban untuk mengenalkan produknya kepada dokter yang tujuannya
bukan lagi untuk target diri sendiri melainkan juga untuk kemajuan perusahaannya. Di dalam
menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan
diri semata yang bertentangan dengan martabat kefarmasian. Dalam dunia kefarmasian
terdapat undang-undang atau kode etik yang harus ditaati oleh Industri Farmasi. Undang-
undang atau kode etik ini merupakan salah satu unsur penting dalam kerangka agar mengatur,
membina dan mengembangkan usaha Farmasi yang sehat dan bertanggung jawab. Tujuannya
adalah untuk menetapkan standar tinggi yang harus ditaati oleh indutri farmasi dalam
melaksanakan pemasarannya.

Adapun ketentuan-ketentuan tertentu yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2016 Tentang Sponsorship Bagi Tenaga
Kesehatan. Pada Pasal 6 :“sponsorship diberikan kepada Tenaga Kesehatan dengan status
pegawai ASN atau nonpegawai ASN/pegawai swasta. Dalam peraturan ini disepakati untuk
dokter yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS), perusahan farmasi memberikan sponsorship
melalui pihak rumah sakit. Nantinya, pihak rumah sakit tersebut mengumumkan adanya
sponsorship kepada para dokter yang ingin mengikuti seminar. Dalam bentuk penawaran ke
rumah sakit yang bersangkutan. Pihak rumah sakit akan memberikan jawaban kepada
perusahaan farmasi untuk mengirim dokter tertentu mengikuti seminar tersebut. Sementara
itu, untuk dokter yang berstatus pegawai swasta pemberian sponsorship akan disalurkan
melalui organisasi profesi seperti IDI atau Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PGDI) maupun
organisasi profesi yang dinaungi kedua organisasi tersebut. Sama halnya dengan dengan
pihak rumah sakit, organisasi profesi tersebut nantinya akan menyalurkan kepada para dokter
anggota mereka dan menentukan siapa yang akan diberikan sponsorship kepada para dokter
yang ingin mengikuti seminar”. Maka dari itu, mekanisme pemberian sponsorship ini dengan
harapan tidak ada lagi pemberian oleh perusahaan farmasi yang dapat digolongkan gratifikasi
dan menimbulkan konflik kepentingan pribadi atau individu.
KASUS 2

Apoteker A memiliki sebuah apotek bernama apotek MD dan bekerja sebagai APJ
(Apoteker Penanggung Jawab) disebuah apotek tersebut yang sekaligus bertindak
sebagai PSA. Suatu saat ia mendapatkan tawaran untuk menjadi penanggung jawab di
PBF B dan apt. A menerima tawaran tersebut tanpa melepas status sebagai APJ
diapotek MD dan menjadi penanggung jawab di PBF B. Untuk mencapai target yang
telah ditetapkan oleh PBF B, apoteker A melakukan kerjasama dengan apotek
miliknya untuk mendistribusikan obat ke klinik dan balai pengobatan serta rumah
sakit. Apotek akan mendapat fee dari kerjasama ini sebesar 2% faktur penjualan.
Semua administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur
pengiriman, faktur pajak, tanda terima, SP klinik, balai pengobatan serta RS,
pengieiman dari apotekke sarana tersebut dll). Semua disiapkan dengan rapi sehingga
setiap adapemeriksaan BPOM tidak terlihat adanya penyimpangan secara
administrasi. Pelanggaran apa yang dilakukan apoteker tersebut? Dasarnya apa ? Dan
bagaimana solusinya?
Penyelesaian :

1. Pelanggaran yang dilakukan oleh apoteker tersebut adalah :


Pelanggaran 1 :
Melanggar aturan pasal 5 dalam Permenkes RI No.922/MENKES/PER/X/1993
yang berbunyi Apoteker pengelola apotik tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi
dan tidak boleh menjadi apoteker pengelola apotik di apotik lain. Kedua melanggar
pasal 18 ayat 1 Permenkes RI No.889/MENKES/PER/2011 yang berbunyi SIPA
bagi apoteker penanggung jawab di fasilita pelayanan kefarmasian atau SIKA hanya
diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas kefarmasian
Seorang apoteker harus memiliki izin Surat Tanda Registrasi Apotcker (STRA) yang
merupakan tanda bukti bahwa yang bersangkutan telah resmi teregristasi sebagai
salah seorang tenaga kefarmasian yaitu apoteker. Selain itu, apoteker juga harus
memiliki izin Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) yang diperhukan apabila bekarja di
fasilitas kefarmasian yaitu di apotek. Sedangkan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA)
wajib dimiliki ketika melakukan praktik di fasilitas produksi atau distribusi/penyalur
kefarmasian.
Dalam kasus ini, Apoteker Tidak hanya sebagai apoteker Penanggung Jawab di
Apotek tetapi juga sebagai Apoteker penanggung jawab di PBF, schingga tidak hanya
memiliki SIPA tetapi juga memiliki SIKA. Perbuatan tersebut bertentangan dengan
perauturan perundang- undangan yang berlaku. Hal ini diatur dalam Permenkes
No.889 Tahun 2011 pasal 18, bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh untuk satu fasilitas
kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh memiliki SIPA atau SIKA untuk satu
tempat saja.
Pelanggaran 2 :
Melanggar UU No.5 tahun 1999 pasal 14 bagian 8 yang bunyinya pelaku usaha
yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain bertujuan untuk menguasai
produksi sejumlah produk termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa
tertentu mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses
lanjutan, baik dalam satu rangkaian maupun tidak langsung, yang dapat
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat. Pasal
tersebut melarang namanya integrasi vertikal, yaitu usaha membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain dengan tujuan menguasai jumlah produk termasuk dalam rangkaian
produksi barang dan atau jasa tertentu yang setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian maupun langsung
tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
dan atau merugikan masyarakat. Pada kasus ini melibatkan sebuah perjanjian antara
apotik dan PBF berupa fee, dimana apotik dan PBF melakukan distribusi yang
berkelanjutan hingga ke klinik, balai pengobatan dan rumah sakit sebagai akhir dari
penjanjian tersebut. Sehingga menimbulkan persaingan yang tidak sehat, dan akan
merugikan masyarkat. Jadi, kesimpulannya bahwa pelanggaran pada apoteker
tersebut adalah tindak pidana berupa integrasi vertikal.
Pelanggaran 3:
Menjalankan Apotek Panel ,yang di telah di larang oleh Ikatan Apoteker Indonesia
dalam surat edaran mengenai “PRAKTIK PANEL”, tahun 2011. D iamana apotik
PANEL adalah apotik yang bekerjasama dengan PBF dalam mendistribusikan obat keras
kepada pihak-pihak yang diinginkan oleh PBF yaitu : Dokter,Rumah Sakit tanpa
apoteker,poliklinik tanpa apoteker, paramedic,toko obat dan perorangan/freelancer. Dalam
surat edaran tersebut melarang Praktik PANEL dalam segala bentuknya baik oleh apoteker di
apotik atau di rumahsakit bersama dengan distributor (PBF) dengan sanksi yaitu agar diberi
tindakan tegas kepada teman sejawat apoteker yang terbukti melakukan Praktik PANEL
dengan sanksi maksimal pencabutan rekomendasi baik bagi apoteker di apotik/ rumah sakit
maupun PBF.

Dalam kasus ini disebutkan apoteker A bekersama dengan apotik miliknya untuk
mendistribusikan obat ke klinik dan balai pengobatan serta rumah sakit. Apotek
akan mendapat fee dari kerjasama ini sebesar 2% faktur penjualan. Semua
administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur
pengiriman, faktur pajak, tanda terima, SP klinik, balai pengobatan serta RS,
pengieiman dari apotekke sarana tersebut dll). Semua disiapkan dengan rapi
sehingga setiap adapemeriksaan BPOM tidak terlihat adanya penyimpangan
secara administrasi. Sehingga hal ini dapat dikatakan bahwa apoteker A telah
melakukan Praktik Panel.

2. Solusi yang dapat kami berikan:


 Sebagai apoteker harus mengetahui dan mentaati regulasi-regulasi terkait
pekerjaan kefarmasian.
 Apoteker A harus melepaskan salah 1 jabatan sebagai apoteker penanggang
apotek atau apoeteker penanggung jawab PBF B.
 Jika apoteker A tetap ingin menjadi apoteker penanggung jawab di PBF, maka
apoteker A harus mencari pengganti untuk menjadi apoteker penanggung
jawab di apotik
 Berhenti memahami PBF dengan perjanjian fee, karena dapat menimbulkan
persaingan tidak sehat dan merugikan fasilitas kefarmasian yang lain.
 Untuk praktik panel agar segera
KASUS 3
Kasus Tiga
Pasien ingin menebus resep obat X, namun karena suatu kondisi (obat kosong) obat X
yang diminta dalam resep tidak dapat dilayani. Setelah dicek ternyata IFRS
mempunyai obat yang kandungannya sama dengan Obat X namun dengan merk yang
berbeda (pabrik lain) yakni Obat Y. Harga obat pengganti memang lebih mahal,tetapi
dengan pertimbangan agar pasien segera dilayani, tidak ada pasien yang membeli obat
diluar RS dan efisiensi perputaran obat di IFRS. Apoteker segera memberikan obat
tersebut. Setelah menerima obatnya, pasien yang bersangkutan meminta dibuatkan
copy resep, namun apoteker keberatan karena obat tersebut telah ditebus semua.
Namun karena pasien terus memaksa akhirnya apieteker membuatkan copy resep dan
menuliskan obat Y. Sesuai dengan obat yang diterima pasien. Bagaimana pendapat
anda? Jelaskan berdasarkan dasarnya!

Penyelesaian :
Permasalahan yang terdapat pada kasus tersebut adalah apoteker mengganti obat
X ke obat Y tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada Dokter dan/atau pasien
yang sesuai regulasi (Permenkes No.HK.02.02/MENKES/068/I/2010 Tahun 2010
tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Milik Pemerintah,pasal 7) “Apoteker dapat mengganti obat merek dagang/obat paten
dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas
persetujuan dokter dan/atau pasien”. Dalam hal ini apoteker IFRS melakukan
kekeliruan sebagai berikut :
 Apoteker mengganti merek obat dengan harga lebih mahal tanpa konfirmasi
adalah keliru, seharusnya menurut regulasi apoteker mengkonfirmasi terlebih
dahulu kepada pasien, merekomendasikan bahwa obat yang ada berbeda tetapi
mempunyai kandungan dan khasiat yang sama namun mempunyai harga yang
lebih mahal dan alasan penggantian obat dikarenakan stok obat X kosong.

Permasalahan selanjutnya adalah apoteker keberatan dalam memberikan copy


resep (salinan resep) yang diminta oleh pasien adalah keliru, dalam PERMENKES RI
No. 9 Tahun 2017 tentang apotek, pasal 22 point (1) pasien berhak meminta salinan
resep.
 Sebaiknya pemberian salinan resep diberikan atas permintaan pasien, dapat
diberikan dengan ketentuan pada bagian bawah obat dalam salinan resep
diberikan keterangan berupa –det : yang berarti obat telah diberikan.
KASUS 4

Pemerintah telah mentetapkan harga jual obat 1-3 kali harga obat generiknya. Seorang
Apoteker yang menjabat sebagai manajer produksi disuatu industri farmasi mendapati
bahwa harga bahan baku glibenclamide naik sehingga setelah di produksi menjadi
tablet glibenclamide harga juga menjadi tinggi. Bila mengikuti harga obat yang telah
ditetapkan pemerintah maka pabrik farmasi akan mengalami kerugian. Dan diketahui
bahwa pabrik yang memproduksi obat glibenclamide ini hanya beberapa pabrik
farmasi saja. Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh apoteker?

Penyelesaian :
 Apoteker tetap memproduksi obat tersebut dengan memasang harga yang sesuai
dengan bahan baku obat, agar pabrik farmasi tidak mengalami kerugian dan tetap
menyesuaikan margin yang tidak terlalu tinggi agar obat yang di edarkan tetap dicapai
oleh masyarakat menengah ke bawah. Berdasarkan PP 51 tahun 2009 pasal (2) ayat
(1) mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi atau
penyaluran dan pelayanan sediaan farmasi. Pekerjaan Kefarmasian dilakukan
berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan
perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan
Sediaan Farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan
kemanfaatan dalam hal ini, Apoteker harus tetap bisa menyediakan obat dengan bahan
baku yang bermutu dan memenuhi standar keamanan.
 Kita harus bisa mengatur ketersediaan obat walaupun keuntungan yang kita
dapatkan hanya sedikit, karena apabila bila menjual dibawah harga maka industri
farmasi yang kita jalankan akan mengalami kerugian sehingga akan mempengaruhi
pada penyediaan obat-obat yang lainnya yang diperlukan masyarakat.
 Langkah yang dapat kita lakukan yaitu dengan menekan biaya produksi dengan
cara membeli bahan tambahan yang lebih murah namun tidak mempengaruhi
kualitas, dan karena harga bahan baku yang meningkat kita dapat menjualnya dengan
harga neto untuk menghindari kerugian, serta dapat melakukan upaya diploma atau
melakukan rapat antar petinggi pabrik dengan pemerintah untuk membahas terkait
regulasi. Untuk mewujudkan kemandirian obat dan bahan baku obat di dalam
negeri, pengembangan industri bahan baku obat menjadi prioritas yang harus
dikerjakan. Industri farmasi nasional dituntut untuk melakukan transformasi dari
industri formulasi menjadi industri yang mencakup keseluruhan proses rantai
nilai (value chain) yang holistik mulai dari R&D bahan baku, produksi bahan
intermediat dan bahan baku sediaan farmasi, sampai produksi, distribusi,
dan ekspor sediaan obat jadi dan bahan baku sediaan farmasi.
 Kebijakan pemerintah terkait harga obat JKN perlu disusun lebih komprehensif
dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan kepentingan industri
farmasi. Serta perlu dipertimbangkan kembali kebijakan pengendalian harga obat
untuk menjamin ketersediaan obat baik jumlah dan jenisnya di era JKN khususnya
obat generik, sehingga mudah diakses oleh masyarakat. Pemerintah juga harus terus
mendorong pemberlakuan dan pengelolaan ketersediaan obat secara nasional.
Pemerintah perlu mendorong kemandirian obat generik yang belum sepenuhnya
terpenuhi dengan pengembangan produksi bahan baku obat dalam negeri untuk
mendukung JKN, karena saat ini sebagian besar bahan baku obat masih diimpor dan
harga bahan baku impor cenderung terus naik.
KASUS 5

Apoteker A berpraktek di apotek miliknya. Suatu hari ada pasien anak kecil kejang
yang diantar oleh orang tuanya kerumah sakit, namun belum sampai rumah sakit anak
tersebut kejang lagi (semakin kejang dari sblmnya) sehingga orangtuanya
memutuskan untuk berhenti di apotek terdekat untuk meminta pengobatan darurat
atau pertolongan pertama di apotek tersebut. Dokter yang praktek di apotek tersebut
sudah tidak ada dan apoteker A harus segera mengambil tindakan untuk membuat
keputusan menolong pasien atau menolaknya. Dengan pertimbangan keilmuannya,
apoteker A memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu sehingga kejangnya
mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dibawa ke RS terdekat. bagaimana
pendapat anda terkait dengan tindakan apoteker A ? Jelaskan !

Penyelesaian:
Kejang dibagi menjadi 2 menurut klasifikasinya yaitu:
1.Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
2.Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)

Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang
dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang demam ini berbentuk
umum tonik atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24
jam. Kejang demam sederhana ada sekitar 80% di antara seluruh kejang demam.

Kejang demam kompleks salah satu cirinya sebagai berikut:


1. Kejang lama > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

 PP 51 tahun 2009 pasal 24 ayat c:


Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan
psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
 UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Pasal 32 :
Ayat 1: Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan
nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
Ayat 2: Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Pasal 53 :
Ayat 1: Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit
dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
Ayat 3: Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan
lainnya.
Pasal 102
Ayat 1: Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya
dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang
untuk disalahgunakan.

Penjelasan:
Dari klasifikasi soal di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa kejang ini termasuk
dalam kejang kompleks. Pada terapi yang diberikan oleh apoteker A sendiri menurut
kelompok kami sudah tepat dan telah sesuai menurut panduan konsensus
penatalaksanaan kejang. Pemberian diazepam adalah penangan yang tepat.
Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51 tahun 2009 pasal 24
ayat c, tindakan Apoteker A merupakan sebuah pelanggaran dalam menjalankan
pekerjaan kefarmasian karena memberikan obat valisanbe rectal yang isinya adalah
diazepam termasuk dalam golongan psikotropika.
            Tetapi, tindakan Apoteker A tidak sepenuhnya salah kerena keadaan anak
tersebut dalam kondisi darurat yang memerlukan penanganan secepatnya (UU 36
tahun 2009 pasal 32 ayat 1 dan pasal 53 ayat 3). Karena penanganan kejang ini harus
segera dilakukan agar menghindari risiko kelainan neurologis sampai kematian pada
pasien. Keputusan Apoteker A memberikan Diazepam juga didasari oleh alasan
kemanusiaan serta dasar kompetensi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi yang
telah dimilikinya.
Jika menurut peraturan perundang-undangan, tindakan apoteker dapat dibenarkan
mengingat pemberian obat golongan psikotropika tanpa resep dokter tersebut
bertujuan sebagai pertolongan kepada pasien sehingga nyawa pasien dapat
terselamatkan.
 

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun


2009 Tentang Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI: 2009.

Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian, Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
IDAI, 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Ikatan Dokter Anak
Indonesia: Jakarta.
PERMENKES RI No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010., Tentang Kewajiban
Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pemerintah.
PERMENKES RI No. 9 Tahun 2017., Tentang Apotek.
Rahani et al.,.2018. Kemandirian dan Ketersediaan Obat Era Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN): Kebijakan, Harga, dan Produksi Obat. Media Litbangkes,
Vol. 28 No. 4, Desember 2018, 219 – 228
Permenkes RI No. 922 Tahun 1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin
Apotek
Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja
Kefarmasian
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopali dan
Persaingan Uisaha Tidak Seha

Anda mungkin juga menyukai