Anda di halaman 1dari 2

Selamat pagi, ijin menyampaikn diskusi saya.

Nama ; Ni Komang Trisnayanti


NIM : 042296764

Menurut saya kondisi perbankan indonesia saat terjadinya krisis ekonomi 1998 dengan kondisi
perbankan sekarang tahun 2020 ketika dilanda covid 19 sangatlah berbeda, dalam artian kondisi
krisis ekonomi 1998 lebih parah daripada kondisi sekarang.
Berikut penjelasannya :
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia merupakan dampak dari krisis moneter yang
melanda Asia pada tahun 1997. Krisis perekonomian Indonesia yang mencapai puncaknya
pada tahun 1997-1998 itu, telah melahirkan perdebatan publik, khususnya mengenai
pilihan kebijakan (policy response) yang diambil Pemerintah pada waktu itu. Penyaluran
Bantuan LikuiditasBank Indonesia (BLBI) merupakan pilihan kebijakan yang paling
banyak disorot karena menyangkut aliran dana yang sangat besar dan sangat
berpengaruh bagi pengelolaan keuangan negara pasca krisis. Krisis moneter tersebut
berdampak luas dan lama terhadap perekonomian dan khususnya perbankan di
Indonesia. Sebenarnya sejak digulirkannya Pakto’88 sudah dapat terindikasi lemahnya
perbankan Indonesia. Ciri-ciri yang memperkuat indikasi tersebut antara lain: pertama,
rendahnya rasio modal terhadap aktiva produktif, kedua rendahnya persyaratan
modal minimum untuk mendirikan suatu bank di Indonesia (merupakan yang terendah di
Asia saat itu), dan faktor ketiga adalah tingginya jumlah kredit yang bermasalah.
Dampak terbesar krisis moneter bagi perbankan adalah menurunya kepercayaan
masyarakat terhadap bank. Dilikuidasinya 16 bank pada tahun 1997 merupakan bukti
perbankan Indonesia sangat rapuh. Lumpuhnya sektor perbankan saat itu sangat berpengaruh
dalam kegiatan ekonomi masyarakat,terutama yang menggunakan fasilitas bank.
Dalam kondisi yang demikian pemerintah melakukan langkah pengetatan moneter
sebagai reaksi merosotnya nilai rupiah terhadap valuta asing. Bank Indonesia juga melakukan
penghentian transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), menarik dana BUMN, dan
menaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Terhentinya dana dari Bank
Indonesia mengakibatkan tingkat suku bunga kredit antar bank meningkat. Untuk menarik
dana dari masyarakat, setiap bank bersaing meningkatkan suku bunga simpanannya. Pada
saat itu bunga deposito dapat mencapai 30-40 persen. Meningkatnya pasokan dana
masyarakat dari tabungan, deposito, maupun produk bank lainnya menghadapi resiko
yang tinggi. Tingginyabunga pinjaman sebagai konsekuensi dari bunga simpanan bank yang
tinggi menyebabkan peminjam dapat mengalami kesulitan pengembalian kreditnya. Kesulitan
likuiditas perusahaan mengakibatkan pengembalian kredit terhambat dan bank akan
menghadapi kredit macet.
Upaya untuk menyehatkan bank dimulai tahun 1998 dengan proses due diligence oleh BPPN
terhadap 176 bank nasional dalam rangka rekapitalisasi perbankan. Ada 99 bank yang masuk
dalam kategori A, 49 dalam kategori B, dan 28 masuk kategori C. Dasar dari pengkategorian
tersebut pada Rasio Kecukupan Modal/CAR (Capital Adequacy Ratio) yang syaratnya
sebagai berikut:
1.Kategori A untuk bank yang memiliki CAR di atas 4 persen.
2.Kategori B untuk bank yang memiliki CAR antara 4 persen sampai 25 persen.
3.Kategori C untuk bank yang CARnya dibawah 25 persen.
Pada bulan Maret tahun 1999 pemerintah mengambil alih tujuh bank, menutup 38 bank,
dan merekapitalisasi 9 bank kategori B, 12 bank BTO, 12BPD, dan seluruh bank BUMN.
Bulan Desember 1998 defisit modal perbankan mencapai Rp80 triliun sampai dengan Rp90
triliun. Di beberapa negara umumnya digunakan dua tahap untuk mengatasi krisis
perbankan. Tahap pertama, dengan menentukan tujuan yang jelas, yaitu memulihkan
kepercayaan nasabah dan menjamin dananya, mencegah likuidasi aset, menghindari
fluktuasi moneter, dan melindungi bank bank yang solvent. Tahap kedua, membuat blue
print yang jelas, perbaikan pengaturan regulasi perbankan, restrukturisasi perbankan, dan
dukungan pendanaan dari pemerintah.

Sedangkan Pandemi COVID-19 telah menghantam sendi-sendi perekonomian Indonesia. Resesi


kembali dialami Indonesia pada 2020 setelah terakhir terjadi pada 1998. Sektor jasa keuangan
dan asuransi, yang di dalamnya termasuk perbankan, pun tak luput dari imbas ini. Menurut
Badan Pusat Statistik (BPS), sektor jasa keuangan dan asuransi mengalami minus 10,3 persen
secara tahunan (year-on-year/y-o-y) pada kuartal II/2020 sebelum tumbuh kembali sebesar 2,59
persen y-o-y pada kuartal III/2020. Walau kondisi sudah relatif membaik, jalan menuju
pemulihan sektor perbankan masih terjal. Lembaga pemeringkat S&P Global Ratings bahkan
merevisi prospek utang jangka panjang Indonesia, dari "stabil" menjadi "negatif" pada April
2020. Artinya, Indonesia kini memiliki profil risiko yang tinggi dan kelayakan kredit yang
rendah.
Dalam analisisnya pada 23 September 2020, S&P Global Ratings juga menempatkan sistem
perbankan Indonesia baru akan pulih pada tahun 2023, relatif lambat jika dibandingkan sejumlah
negara lainnya. Prospek yang tampak 'suram' ini mendorong adanya upaya ekstra dari regulator
agar kestabilan sektor perbankan tetap terjaga dalam perjalanan Indonesia menuju pemulihan
ekonomi nasional.
Sumber : BMP ESPA4314 MODUL 3 HAL 3.9 – 3.12
https://tirto.id/menilik-kondisi-perbankan-tatkala-pandemi-menerjang-f9F4

Anda mungkin juga menyukai